MAKALAH SUMPAH DALAM ISLAM
Tuesday, September 6, 2016
Kalimat “syahadah” diambil dari مشهَد
yaitu obyek yang terlihat jelas dengan kasat mata, adapun مشهد atau obyek tidak
membutuhkan kepandaian dan kecerdasan individu, tetapi lebih sangat memerlukan
kesaksian mata telanjang dan lebih ditekankan kepada kejujuran. Berkaitan
dengan hal tersebut, derajat hamba Allah yang mendapat gelar akademis seperti
M.A. atau Dr. dengan hamba-Nya yang tidak mampu membaca dan menulis adalah
sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa strata pendidikan seseorang tidak ada
kaitannya dengan perihal persaksian. Akhirnya kejujuran sangat urgen dalam
kesaksian dan bukan kecerdasan akal.(Al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî: 1215)
Pendapat al-Sya`râwî tersebut karena,
ia melihat perempuan tidak banyak yang ke luar menyaksikan sesuatu yang
berhubungan dengan keuangan, tetapi perempuan saat ini lebih banyak yang
bergelut dengan masalah kerja dan keuangan. Kalau hal ini diketahui oleh
al-Sya`râwî sudah barang tentu ia akan berpendapat lain.
Harus dicatat bahwa, ungkapan itu
hanyalah bersifat anjuran, bukan perintah wajib, terbukti bagian akhir ayat ini
menjelaskan “Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar
sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah,
lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguan, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan
tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka tidak ada dosa bagi kalian,
(jika) kalian tidak menulisnya”.
Sesuatu yang perlu diperhatikan yaitu,
ayat itu menunjukkan satu saksi laki-laki digantikan dua saksi perempuan, hanya
salah seorang di antara keduanya yang menjadi saksi, sedangkan satunya hanya
berfungsi untuk mengingatkan, apabila ia ragu, karena pada masa turunnya ayat
itu selalu ada kemungkinan saksi perempuan melakukan kesalahan dalam masalah
keuangan, bukan karena rendahnya kecerdasan, tetapi disebabkan kurang
pengalaman dalam masalah keuangan.
Pendapat Aminah Wadud bahwa, menurut
susunan kata ayat ini, kedua perempuan itu tidak disebut keduanya menjadi
saksi, karena satu perempuan ditunjuk untuk ‘mengingatkan’ satunya lagi, dia
bertindak sebagai teman kerjasama (kolaborator), meskipuan perempuan itu dua,
tetapi masing-masing berbeda fungsinya, dan spesifik untuk perjanjian
finansial, tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum, atau tidak berlaku
pada persoalan lain. (Amina Wadud Muhsin, Qur`an and Woman: 85)
Jadi ayat tersebut harus dipandang
secara kontekstual, bukan normatif, karena ada 7 (tujuh) ayat lain dalam
al-Qur`an, yang menyebutkan tentang kesaksian, tetapi tidak satupun yang
menyebutkan saksi satu orang laki-laki digantikan dua orang perempuan. Yaitu:
Al-Mâidah/5:106, Al-Mâidah/5:107, Al-Nisâ`/4:15, Al-Nûr/24:4, Al-Nûr/24:6,
Al-Nûr/24:8, Al-Talâq/65: 2.
Berdasar ketentuan tersebut, dapat
diambil kesimpulan bahwa, saksi perempuan diakui sama dengan saksi laki-laki,
tidak ada perbedaan diantaranya, khusus masalah keuangan, kalau perempuan
menyaksikannya, maka ia berhak menyaksikan sendiri, kalaupun ada perempuan lain
fungsinya hanya sebagai pengingat atau penguat.
Sejalan dengan ayat tersebut ada hadis
yang seolah-olah menunjukkan laki-laki memiliki kelebihan dibanding perempuan.
عن عبد الله بن عمر عن رسول الله صلىالله عليه وسلم قال...ومارايت من ناقصات عقل ودين اغلب لذى لب منكن قا لت يارسول الله ومانقصان العقل والدين قال اما نقصان العقل فشهادة امراتين تعدل شهادة رجل فهذا نقصان العقل وتمكث الليالى ما تصلى وتفطر فى رمضان فهذا نقصان الدين. رواه مسلم
“…Aku tidak melihat yang kekurangan
akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih daripada golongan kalian, perempuan
itu bertanya lagi: “Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama
itu?”, Rasulullah saw bersabda: “Maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua
orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan
kekurangan akal. Begitu juga perempuan tidak mengerjakan sholat pada
malam-malam yang dilaluinya, kemudian berbuka pada bulan Ramadan karena haid.
Maka itulah yang dikatakan kekurangan agama”.(H.R.Muslim)
Maksud kekurangan akal, kalau
dihubungkan dengan kualitas persaksian, sementara persaksian itu berhubungan
dengan faktor budaya, maka dapat saja dipahami sebagai keterbatasan penggunaan
fungsi akal bagi perempuan, karena pembatasan budaya di dalam masyarakat.
Namun sangat disayangkan asumsi
memposisikan perempuan pada titik marjinal, perempuan kurang akalnya ini tidak
terbukti kebenarannya, karena kandungan hadis menjelaskan karakter perempuan
berdasarkan struktur fisik dan psikis menurut kodratnya sangat intens dengan
perasaan. Hal ini bukan merupakan kekurangan, namun sebaliknya menjadi pembeda
dengan laki-laki, dan merupakan keistimewaan tersendiri bagi perempuan yang
sangat sesuai dengan tugas keperempuanan, karena fitrah perempuan memang
senantiasa menggunakan perasaan lebih banyak dan berpikir dengan proporsi yang
lebih sedikit.
Kendati demikian, perasaan perempuan
tidak bermakna ia tidak mampu bergerak dan berpikir cepat layaknya laki-laki.
Salah satu buktinya adalah perjanjian Hudaibiyah menjadi saksi atas kecerdasan
dan ketangkasan perempuan, orang-orang muslim di saat itu menunaikan ihram dan
berduyun-duyun menuju Baitullah al-Haram untuk melaksanakan umrah, tidak lupa
mereka membawa hewan korban untuk disembelih selepas umrah dan tawaf di sekitar
Ka`bah, namun orang-orang menghadang dan menahan langkah mereka, akhirnya
pertempuran dingin ini diselesaikan dengan sebuah perjanjian yang terkenal
dengan perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian ini ditandatangani oleh
Rasulullah dan kaum kafir Mekkah. Berisi orang kafir Mekkah tidak akan
mengganggu dan menghalangi langkah orang muslim dan penyebaran dakwah Islam,
orang-orang muslim juga tidak akan menghalangi dan menyakiti kaum kafir Quraisy
dan kerabatnya serta kaum yang berada di perlindungannya.
Adapun perempuan yang menduduki posisi
strategis dan berperan besar dalam perjanjian Hudaibiyah di antaranya, Ummu
Salamah. Ketika perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan, Nabi
mengintruksikan untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun isi perjanjian
sempat membuat mereka marah, karena menghalangi langkah penyempurnaan tawaf.
Mereka tidak memahami hikmah yang tersirat dari perjanjian ini, yaitu
sinyal-sinyal kemenangan Islam dan ekspansi wilayah Islam sampai tanah Mekkah.
Andaikata mereka lebih memilih untuk
menyelesaikan permasalahan ini dengan peperangan, maka peperangan ini dapat
dikatakan tragis, dalam arti pertempuran akan terjadi antara kaum muslim dan
kaum muslim lainnya yang berdomisili di Mekkah, karena tidak sedikit dari warga
Mekkah yang menganut agama Islam secara sembunyi-sembunyi.
Pada perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah
memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun seorang
dari umatnya tidak melaksanakan instruksi Rasul, akhirnya Rasul menemui Umu
Salamah binti Abi Umaiyyah dengan kemarahan memuncak.
Umu Salamah berkata:“Apa yang terjadi
padamu wahai Rasulullah?” Nabi diam seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti
pada titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau
bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata:“Orang-orang muslim telah punah,
mereka tidak mengindahkan perintahku, aku memerintahkannya untuk menyembelih
hewan dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah
berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, karena mereka sedang
mengalami kejadian yang dilematis akibat isi perjanjian yang menahan perolehan
kemenangan yang sebenaranya dapat dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah
dan jangan mengeluarkan sepatah katapun, sembelihlah hewanmu dan
bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah,
kemudian orang-orang menyembelih hewan korbannya dan bertahallul seperti Nabi.
(Diriwayatkan Ahmad dalam musnadnya, jilid 4: 336)
Demikianlah Nabi mengaplikasikan
nasehat isterinya Umu Salamah guna menyelesaikan permasalahan yang rumit. Jika
pendapat perempuan diklaim sangat tidak proporsional dan akal perempuan tidak
sebanding dengan akal laki-laki, secara implisit Nabi dalam hal ini tidak
melaksanakan nasehat Umu Salamah.
Keputusan yang diambil oleh laki-laki
dan perempuan sangat jauh berbeda. Hal ini terlihat jelas pada sikap
kesehariannya, dapat dibandingkan solusi yang dipakai oleh kedua pihak dalam
tataran praktis. laki-laki dalam kesehariannya selalu membudayakan penggunaan
akal, karena tugas yang diemban olehnya bekerja mencari penghasilan yang
menuntut keterampilan akal tanpa campur tangan perasaan. jika seorang ayah
tidak mempunyai uang sepeserpun, sedangkan anaknya meminta uang kepadanya,
jelas dia tidak akan memenuhi permintaannya, keputusan tegas diambil
berdasarkan akal. Realita akan berkata lain jika anak meminta uang kepada
ibunya, dapat dipastikan ibu mencari pinjaman guna memenuhi kebutuhan anaknya
walaupun dengan perasaan malu dan penuh deraian air mata.
Jadi nuqsân al-aql yang disebutkan
dalam hadis adalah frekuensi penggunaan akal pada perempuan sangat rendah,
dalam arti perempuan dalam skala mayoritas sering menggunakan perasaan dalam
setiap tindak-tanduknya.
Kalaupun hadis di atas difahami secara
tektual, tetapi ada hadis qudsi yang seolah-olah berlawanan dengan hadis di
atas, yaitu:
عن ابى موسى رضي الله عنه قال اتىالنبي صلىالله عليه وسلم
اعرابيا قاكرمه فقال له: ائتنا فاتاه فقال له رسول الله صلىالله عليه وسلم سل
حاجتك قال ناقة تركبها واعنز يحلبهااهلىفقال اعجزتم ان تكونوا مثل عجوز بنى
اسرائيل؟ قلوا يارسول الله وما عجوز بنى اسرائيل؟ قال ان موسى عليه السلام لما
سارببنى اسرائبل من مصرضالوا الطريق فقال ما هذا؟فقال علماؤهم يوسف عليه السلام
لماحضره الموت اخذ بنيامين علينا موثقا من الله ان لاتخرج من مصرحتى تنقل عظامه
معنا قال: من يعرف موضع قبره؟ قال: عجوز من بنى اسرائيل فبعث اليها فأتت فقال
دليني على قبر يوسف فقالت حتى تعطيني حكمي قال وماحكمك؟ قالت اكون معك فى الجنة
فكره ان يعطيها ذلك فاوحىالله اليه ان اعطها حكمها فانطلقت بهم الىبحيرة مستنقع
ماء فقالت انضبوا هذا الماء فأنضبوه انضبوا هذا الماء فأنضبوه فقالت احتفروا
فاحتفروا فاستخرجوا عظام يوسف فلما أقلوه الى الارض فاذا الطريق مثل ضوء النهار.
“Dari Abu Musa, ia berkata, Nabi SAW
mendatangi orang Arab gunung. Beliau memuliakannya. Lalu beliau berkata:”Datanglah
kepadaku” Maka ia mendatangi beliau. Kemudian Rasul berkata kepadanya:”Mintalah
kebutuhanmu”. Ia mengatakan:”Onta yang engkau naiki, aku bermaksud agar
keluargaku memerahnya”. Maka Rasul menjawab:”Apakah kalian sudah lemah (tidak
mampu) hingga kalian seperti perempuan bani Israil. ”Para sahabat
bertanya:”Wahai Rasul, siapa perempuan bani Israil itu? Rasul
menjawab:”Sesungguhnya Musa AS ketika membawa pergi bani Israil dari Mesir,
mereka tersesat jalan.
Maka Musa berkata:”Siapa ini?” Ulama
mereka menjawab:”Yusuf AS”. Ketika ajal Yusuf tiba. Benyamin menanggung
perjanjian dengan Allah supaya kami tidak keluar dari Mesir, sehingga kami
membawa memindahkan (membawa) tulang-tulang Yusuf bersama kami. Musa
berkata:”Siapa yang mengetahui kuburan Yusuf?” Benyamin menjawab:”Perempuan tua
dari Bani Isrâîl”. Maka Musa memerintahkan (utusan) pergi kepadanya (perempuan
itu). Maka berkatalah Musa:”Tunjukkanlah aku kuburan Yusuf!” Perempuan itu
berkata:”Supaya aku bersama kamu di surga”. Maka Musa menolak untuk memberi
yang demikian kepada perempuan. Lalu Allah mewahyukan kepada Musa supaya Musa
memberi (memenuhi) permintaan perempuan itu. Maka perempuan itu pergi bersama
mereka ke danau, tempat menggenangnya air. Perempuan itu berkata:”Kuraslah air
ini!” Kemudian mereka menguras. Perempuan itu berkata lagi:”Hendaklah kalian
menggali lubang” Lalu mereka menggali lubang. Perempuan itu berkata:”Hendaklah
kalian mengeluarkan tulang-tulang Yusuf”. Ketika mereka mengangkatnya ke atas
bumi(tanah). Tiba-tiba ada jalan seperti cahaya siang” ( Al-Imâm Abî al-Hasan
Nuruddîn `Ali bin Sultan Muhammad al-Qoriy, Al-Ahâdîs al-Qudsiyyah al-Sahihah,
terj. M.Thalib: 149-151.).
HALAMAN SELANJUTNYA HAL..1, HAL...2, HAL..3
HALAMAN SELANJUTNYA HAL..1, HAL...2, HAL..3