MAKALAH KEDUDUKAN SUMPAH DALAM ISLAM
Tuesday, September 6, 2016
Hadis ini sebagai salah satu bukti
bahwa perempuan mampu mengingat sesuatu dalam waktu yang lama, dan ingatan
itupun berhubungan dengan kecerdasan akal. Dengan demikian, perempuan mampu
menjadi saksi yang baik. mampu bertindak dan diajak bicara memecahkan masalah,
tidaklah benar kalau perempuan itu kurang akal dan agama.
Perempuan berhak menduduki jabatan
politik, dengan syarat mentaati hukum syariat Islam, karena tidak ada teks yang
secara tegas (sarih) melarangnya. Sedangkan ayat yang dipakai dasar surat
Al-Tawbah/9:71:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَر وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمْ اللَّهُ إِنَّ
اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman,
laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang
lain, mereka menyuruh menjalankan kebajikan dan melarang dari kejahatan,
mendirikan salat menunaikan zakat, mereka taat patuh kepada Allah dan Rasulnya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa
lagi Maha bijaksana”.
Dalam tafsir Al-Sya`râwî, kata
auliya diartikan bahwa: “Dalam masyarakat mukmin harus saling tolong menolong
dan saling memberi nasihat, agar sempurna imannya.” (Al-Sya`râwî, Tafsir
al-Sya`râwî,: 5287). Jadi mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan.
Sedangkan "Menyuruh mengerjakan
yang makrûf dan mencegah yang munkar" maksudnya, Ketika mukmin mengerjakan
perkara munkar, maka mukmin yang lain mencegahnya, dan ketika mukmin tidak
mengerjakan kebaikan, maka mukmin yang lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap
mukmin memerintah dan diperintah untuk mengerjakan kebaikan dan melarang
mengerjakan kemunkaran. Jadi artinya sesama mukmin baik laki-laki maupun
perempuan harus saling mengingatkan, ada kemungkinan posisinya menjadi pemerintah
atau yang diperintah.
Demikian juga pendapat Sayid Qutub
dalam tafsirnya maksud dari amar makruf dan nahi munkar artinya “Menciptakan
kebaikan dan menolak kejelekan diperlukan pemerintahan atau kekuasaan dan
dengan tolong menolong, hal ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan”.(Sayid
Qutub, Fi Zilal al-Qur`ân: 1675).
Dengan ayat itu menunjukkan bahwa,
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak politik, hak kepemimpinan publik,
terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang
munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik
terhadap penguasa.
Hak perempuan di bidang politik,
merupakan hak syar`î, jika dalam beberapa masa lalu perempuan tidak menggunakan
hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu, tetapi karena
tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memperaktekkannya, atau laki-laki dalam
hal ini mengunggulinya, ini bukan berarti hak politik perempuan tidak diakui,
justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di
saat sekarang ini. Apalagi, dalam konteks pemberdayaan peran politik perempuan
di Indonesia, hak tersebut secara legal-formal telah terjamin eksistensinya.
Hal itu terlihat jelas pada pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 tentang
Pemilu, yang menyatakan bahwa:
“Setiap partai politik peserta
pemilu dapat mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten /
Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30 %”
Sementara di sisi lain ada hadis
yang dijadikan pegangan untuk tidak patut perempuan menjadi pemimpin atau
memegang jabatan adalah:
عن
ابى بكرة قال لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم آيام
الجمل بعد ماكدت آن آلحق باصحاب الجمل فآقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله صلى الله
عليه وسلم ثم آن اهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال لن يفلح قوم ولو امرهم
امرأة رواه البخارى
“Dari Abî Bakrah berkata: “Allah
memberikan manfaat kepadaku pada hari-hari perang Jamal, dengan satu kalimat
yang saya dengar dari Rasul SAW setelah aku hampir saja bergabung dengan
pasukan unta untuk bertempur bersama mereka”. Abu Bakrah berkata: “Ketika
sampai pada Rasul SAW satu berita, bahwa penduduk Persia telah menobatkan
puteri Kisra sebagai raja, maka Rasul SAW berkata: “Tidak akan sejahtera suatu
kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahannya) kepada perempuan”.
(H.R.Bukhari).)Muhammad bin Ismâ`îl Abû `Abdillah al-Bukhârî, Sahih Bukhâri,juz
4:1610)
Hadis tersebut dalam tingkatan ahad
tidak mutawatir. Seandainya hadis itu dianggap mutawatir, tetapi sabab
al-wurûdnya berkenaan dengan sebab khusus yaitu merespon kejadian tertentu yang
bersifat terbatas. Rasulullah SAW mengatakannya berkaitan dengan naiknya Puteri
Kisra raja Persia sebagai pemegang pemerintahan.
Hal itu tidak termasuk
perundang-undangan yang bersifat umum, sebab berasal dari Rasulullah dalam
kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin negara, tidak sebagai
rasul.Kalaupun hadis tersebut dianggap sebagai perundangan untuk umum, maka
maknanya secara bahasa yang tepat adalah dikuasainya seluruh urusan negara,
serta pemerintahan secara menyeluruh oleh perempuan. Ini suatu hal yang tidak
mungkin, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Hadis tersebut memakai kata امرأة
adalah bentuk nakirah jadi perempuan yang bersifat umum, sehingga perlu ada
taqyid atau batasan, artinya perempuan yang mempunyai kemampuan memimpin tidak
menjadi masalah kalau dia menjadi pimpinan atau memegang jabatan.
Kalau di lihat dari perawinya yaitu
Abû Bakrah, ia menggali hadis tersebut setelah kalahnya `Aisyah di perang
Jamal, yang telah terpendam 25 tahun dari ingatannya dalam situasi dan konteks
yang berbeda.(Fatima Mernisi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti:62).
Hadis itu tidak ada sebelum perang
jamal, dimana `Aisyah isteri Nabi menjadi pimpinan pasukan yang di dalamnya
banyak sahabat mengikutinya, tidak seorangpun sahabat keberatan atas
kepemimpinannya. Bahkan Abû Bakrahpun ada, dan tidak membelot darinya.
Seandainya dia yakin bahwa Nabi melarang perempuan menjadi pemimpin, tentulah
ia segera keluar dari barisan `Aisyah, setelah ia teringat hadis di atas. Hal
ini menunjukkan bahwa, kepemimpinan perempuan dalam hal ini adalah `Aisyah
diterima oleh para sahabat terkemuka.
Bukti bahwa perempuan mempunyai kekuatan
dan kemampuan untuk memikul masalah besar adalah terdapat dalam al-Qur`an
tentang Hajar, ibu Nabi Ismâ`îl AS, tentang ibu Nabi Musa AS., dan tentang
Maryam, ibu Nabi Isa AS. Dari bukti tersebut menunjukkan bahwa perempuan dapat
mengatasi masalah, kendatipun dalam scop yang luas, seperti persoalan dalam
suatu negara
HALAMAN SELANJUTNYA HAL..1, HAL...2, HAL..3