MAKALAH BPHTB
Saturday, January 12, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesainya makalah ini, walaupun
masih jauh dari kesempurnaan. Makalah yang kami buat berisi materi tentang Iman
Kepada Malaikat.
Makalah ini
memberi perhatian yang besar terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi maupun
ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Oleh karena itu, selain menyajikan makalah
yang di kehendaki, makalah ini juga menyajikan aplikasi keimanan kita dalam
kehidupan sehari- hari, baik dalam bidang IPTEK maupun non IPTEK. Di dalam
makalah ini, kita temukan tentang keimanan manusia untuk beribadah kepada
Malaikat .
Akhir kata,
tiada gading yang tak retak, kami juga sangat berterima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu untuk kelancaran pembuatan makalah ini. Demikian pula
dengan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun tetap kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ………………………………………………..1
DAFTAR
ISI ………………………………………………..2
1. BAB
I
a.
Pendahuluan ………………………………………………..3
b.
Latar Belakang ………………………………………………..3
2. BAB
II
a.
Pembahasan ………………………………………………..4
b.
Pengertian ………………………………………………..4
c.
Subjek ………………………………………………..4
3. BAB
III
a.
Penutup ………………………………………………..15
b.
Kesimpulan ………………………………………………..15
c. Daftar
Pustaka ………………………………………………..16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Republik
Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban
setiap orang, oleh karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu sumber
penerimaan negara merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan dalam kegotongroyongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam
membiayai pembangunan.
Pajak telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam penerimaan negara. Hal ini terlihat dalam Anggaran Perbelanjaan dan Belanja Negara tahun 2005 dimana penerimaan pajak mencapai 70 persen (70%) baik pajak dalam negeri maupun pajak perdagangan internasional (lihat lampiran 1). Peningkatan penerimaan dari sektor pajak ini tidak dapat dilepaskan dari upaya tax reform tahun 1984 yang kemudian dilanjutkan dengan tax reform di tahun 1994. Tax reform pertama telah meletakkan landasan bagi terbentuknya sistem perpajakan yang lebih menjamin pemerataan dalam pengenaan dan pembebanan pajak, kepastian hukum, kesederhaan, penutupan peluang penggelapan pajak dan penyalahgunaan wewenang serta memberikan pengaruh positif di bidang ekonomi.
Tax reform yang kedua dilakukan untuk memberikan landasan hukum di bidang perpajakan yang disempurnakan agar mampu meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak dengan tetap memperhatikan asas keadilan, kesederhanaan serta kepastian hukum, dan menyesuaikan dengan kondisi perekonomian yang dihadapi. Undang-undang pajak dibuat untuk menggali potensi pajak secara optimal. Salah satu pos penerimaan pajak yang baru dikeluarkan pada tahun 1997 adalah dikeluarkannya Undang-undang (UU) Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya disingkat BPHTB) yang tertuang dalam UU No. 21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dalam UU No. 20 tahun 2000.
Sejalan dengan tujuan dilakukannya reformasi perpajakan tahun 2000, prinsip kepastian hukum, keadilan dan netralitas mutlak diperhatikan dalam pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam rangka penerimaan negara, mendorong, kegiatan ekonomi, dan pemerataan dalam pembebanan pajak.
Dasar hukum utama yang melandasi BPHTB adalah pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 :
“ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi sosial diantaranya memenuhi kebutuhan dasar sebagai tempat tinggal, lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan bagi pemiliknya. Disamping itu, dari segi fungsi ekonomi, bangunan dapat memberi manfaat ekonomi karena dianggap memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi pemiliknya. Dengan demikian, wajar bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pada masa lalu ada pungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Harta tetap dalam ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 No. 27.
Dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau sekarang biasa disebut Undang-undang Pokok Agraria, hak-hak kebendaan yang dimaksud diatas tidak berlaku lagi, karena semua sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan demikian, sejak diundangkannya Undang-undang tentang Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi, sedangkan ketentuan mengenai pengenaan pajak atas tanah pendaftaran dan pemindahan kapal yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 masih tetap berlaku.
Berdasarkan pertimbangan hal tersebut diatas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak diberlakukannya Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pajak telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam penerimaan negara. Hal ini terlihat dalam Anggaran Perbelanjaan dan Belanja Negara tahun 2005 dimana penerimaan pajak mencapai 70 persen (70%) baik pajak dalam negeri maupun pajak perdagangan internasional (lihat lampiran 1). Peningkatan penerimaan dari sektor pajak ini tidak dapat dilepaskan dari upaya tax reform tahun 1984 yang kemudian dilanjutkan dengan tax reform di tahun 1994. Tax reform pertama telah meletakkan landasan bagi terbentuknya sistem perpajakan yang lebih menjamin pemerataan dalam pengenaan dan pembebanan pajak, kepastian hukum, kesederhaan, penutupan peluang penggelapan pajak dan penyalahgunaan wewenang serta memberikan pengaruh positif di bidang ekonomi.
Tax reform yang kedua dilakukan untuk memberikan landasan hukum di bidang perpajakan yang disempurnakan agar mampu meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak dengan tetap memperhatikan asas keadilan, kesederhanaan serta kepastian hukum, dan menyesuaikan dengan kondisi perekonomian yang dihadapi. Undang-undang pajak dibuat untuk menggali potensi pajak secara optimal. Salah satu pos penerimaan pajak yang baru dikeluarkan pada tahun 1997 adalah dikeluarkannya Undang-undang (UU) Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya disingkat BPHTB) yang tertuang dalam UU No. 21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dalam UU No. 20 tahun 2000.
Sejalan dengan tujuan dilakukannya reformasi perpajakan tahun 2000, prinsip kepastian hukum, keadilan dan netralitas mutlak diperhatikan dalam pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam rangka penerimaan negara, mendorong, kegiatan ekonomi, dan pemerataan dalam pembebanan pajak.
Dasar hukum utama yang melandasi BPHTB adalah pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 :
“ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi sosial diantaranya memenuhi kebutuhan dasar sebagai tempat tinggal, lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan bagi pemiliknya. Disamping itu, dari segi fungsi ekonomi, bangunan dapat memberi manfaat ekonomi karena dianggap memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi pemiliknya. Dengan demikian, wajar bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pada masa lalu ada pungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Harta tetap dalam ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 No. 27.
Dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau sekarang biasa disebut Undang-undang Pokok Agraria, hak-hak kebendaan yang dimaksud diatas tidak berlaku lagi, karena semua sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan demikian, sejak diundangkannya Undang-undang tentang Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi, sedangkan ketentuan mengenai pengenaan pajak atas tanah pendaftaran dan pemindahan kapal yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 masih tetap berlaku.
Berdasarkan pertimbangan hal tersebut diatas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak diberlakukannya Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang
selanjutnya disebut pajak. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah
perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan
atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah adalah hak
atas tanah termasuk hak pengelolaan beserta bangunan di atasnya sebagaimana
dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No.16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya. Dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah UU No.20/2000 (UU No.21/1997 rev.)
II. Subjek
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut
perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.
Pengertian
Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut Pasal 4 ayat (1) UU
SPHTS adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan.
III. Objek
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
1. Objek BPHTB adalah perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan, bukan
tanah atau bangunannya sendiri. Objek perolehan hak atas
dan atau bangunan meliputi:
A. Pemindahan
Hak karena:
· Jual beli;
· Tukar-menukar;
· Hibah;
· Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan
wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada
orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah
wasiat meninggal dunia;
· Waris;
· Pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang
pribadi atau badan kepada perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai
penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut;
· Pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan
oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama;
· Penunjukan pembeli dalam lelang,
yaitu penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum
dalam risalah lelang;
· Pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi
atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam
putusan hakim tersebut;
· Penggabungan usaha, yaitu
penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang
menggabung;
· Peleburan usaha, yaitu penggabungan
dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan
melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut;
· Pemekaran usaha, yaitu pemisahan
suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan
badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha
baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama;
· Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum
berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
B. Pemberian
hak baru karena:
·
Kelanjutan
pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum
dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak;
·
Di
luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi
atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
·
Perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan.
·
Objek
pajak yang diperoleh karena waris dan hibah wasiat pengenaan BPHTB-nya diatur
lebih lanjut dalam PP Nomor 111 Tahun 2000;
·
Objek
pajak yang diperoleh karena pemberian hak pengelolaan pengenaan BPHTB-nya
diatur lebih lanjut dengan PP Nomor 112 Tahun 2000.
2.
Yang meliputi Hak atas tanah yaitu:
a. Hak milik, yaitu hak turun-temurun,
terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah;
b. Hak guna usaha (HGU), yaitu hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu
sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku;
c. Hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
d. Hak pakai, yaitu hak untuk
menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
e. Hak milik atas satuan rumah susun,
yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik
atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama,
dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan satuan yang bersangkutan.
f. Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai
dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang
haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah,
penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian
dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak
ketiga.
3.
Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB, yaitu:
a.
Objek pajak yang
diperoleh Perwakilan
diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
b.
Objek pajak yang
diperoleh Negara
untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan
umum. Yang dimaksud dengan tanah dan atau
bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan
yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun
oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi
pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.
c. Objek pajak yang diperoleh badan
atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di
luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. Objek pajak yang diperoleh orang
pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama. Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan
hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria,
termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah.
e. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi
atau badan karena wakaf. Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang
pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa
hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya
untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan
apapun.
f. Objek pajak yang diperoleh orang
pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
IV. Tarif
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan adalah 5% (lima persen).
V.
Dasar
Pengenaan Dan Cara Penghitungan Pajak
1. Dasar Pengenaan BPHTB
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu
a. Jual beli adalah harga transaksi;
b.
Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c.
Hibah adalah nilai pasar;
d.
Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.
Waris adalah nilai pasar;
f.
Pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya adalah nilai pasar;
g.
Pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan adalah nilai pasar;
h.
Peralihan hak karena pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i.
Pemberian hak baru atas tanah
sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j.
Pemberian hak baru atas tanah di
luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k.
Penggabungan usaha adalah nilai
pasar;
l.
Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.
Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n.
Hadiah adalah nilai pasar;
o.
Penunjukan pembeli dalam lelang
adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Dalam hal
NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang dipakai adalah
NJOP PBB.
Yang
dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal NJOP PBB pada tahun terjadinya
perolehan belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
2. Apa yang
boleh dikurangkan dalam penghitungan BPHTB ?
Yang boleh dikurangkan dalan perhitungan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP diberikan untuk setiap perolehan hak sebagai
pengurang penghitungan BPHTB terutang. NPOPTKP ditetapkan secara regional
(setiap kabupaten/kota) paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah),
kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima
oleh orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat,
termasuk suami/istri, NPOPTKP regional paling banyak Rp300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah). Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh Kepala Kanwil DJP atas
nama Menteri Keuangan untuk setiap kabupaten/kota dengan mempertimbangkan
pendapat Pemda setempat. Ketentuan besarnya NPOPTKP diatur lebih lanjut dalam
PP Nomor 113 Tahun 2000.
3. Cara Perhitungan pajak BPHTB
1.
BPHTB
terutang = 5 % x NPOP Kena Pajak;
2.
NPOP
Kena Pajak = NPOP – NPOPTKP.
VI. Saat Dan Tempat Pajak Terutang
i.
Saat
terutang dan pelunasan BPHTB untuk:
a) Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanginya akta pemindahan hak di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris;
b) Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
c) Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
d) Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
e) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah
sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
f) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g) Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang,
yaitu tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara
atau kantor lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang.
h) Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i) Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan
mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
j) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak;
k) Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak
tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
l) Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditanda-tanganinya akta;
m) Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditanda-tanganinya akta;
n) Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditanda-tanganinya akta;
o) Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta.
ii.
Tempat pajak BPHTB terutang
Tempat
BPHTB terutang adalah wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya Daerah
Tingkat II, atau Propinsi Daerah Tingkat I
untuk Kotamadya Administratif yang meliputi letak tanah dan atau
bangunan.
VII.
Pembayaran,
Penetapan, Dan Penagihan
Sistem self assessment digunakan sebagai dasar pemungutan
BPHTB, dimana Wajib Pajak membayar BPHTB yang terutang dengan tidak mendasarkan
pada adanya surat ketetapan pajak.
1.
Cara Pembayaran pajak BPHTB
BPHTB yang terutang dibayar ke kas
negara melalui Bank/Kantor Pos Persepsi BPHTB, yaitu Kantor Pos dan atau Bank
Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat
pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menggunakan Surat Setoran
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB).
2.
Waktu SKBKB dapat Diterbitkan
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB)
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
BPHTB yang terutang kurang dibayar.
3.
Besarnya BPHTB Terutang Dalam SKBKB
BPHTB terutang dalam SKBKB adalah
BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan dari jumlah kekurangan BPHTB
tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
mulai saat terutangnya BPHTB sampai dengan diterbitkannya SKBKB dimaksud.
4.
Waktu
SKBKBT Dapat Diterbitkan
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
(SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap
yang menyebabkan penambahan jumlah BPHTB yang terutang setelah diterbitkannya
SKBKB.
5.
Besarnya
BPHTB Terutang Dalam SKBKBT
BPHTB terutang dalam SKBKBT adalah
BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan BPHTB tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum
dilakukan tindakan pemeriksaan.
6.
Dalam keadaan Bagaimana STB diterbitkan
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(STB) diterbitkan apabila :
a.
BPHTB Yang Terutang Tidak Atau
Kurang Dibayar;
b.
Dari Hasil Pemeriksaan SSB Terdapat
Kekurangan Pembayaran BPHTB Sebagai Akibat Salah Tulis Dan Atau Salah Hitung;
c.
Wajib Pajak Dikenakan Sanksi
Administrasi Berupa Denda Dan Atau Bunga.
7.
Besarnya
BPHTB Terutang Dalam STB
BPHTB terutang dalam STB akibat
tidak atau kurang dibayar dan akibat salah tulis dan atau hitung adalah BPHTB
terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat
terutangnya BPHTB.
8.
Bagaimana
kedudukan STB dalam proses penagihan BPHTB ?
STB mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan surat ketetapan pajak sehingga penagihannya dapat dilanjutkan
dengan penerbitan Surat Paksa.
9.
Dasar
penagihan BPHTB ?
Dasar penagihan BPHTB adalah SKBKB,
SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun
Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah.
Tata cara penagihan BPHTB diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
10.
Berapa
lama jangka waktu pelunasan SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah?
BPHTB terutang dalam SKBKB, SKBKBT,
STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan
Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah harus
dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh
Wajib Pajak.
Apabila sampai dengan jangka waktu 1
(satu) bulan sebagaimana dimaksud tidak atau kurang dibayar, dapat ditagih
dengan Surat Paksa, yaitu surat perintah membayar pajak dan tagihan yang
berkaitan dengan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang mempunyai kekuatan sama dengan putusan pengadilan (parate executie).
VIII.
Keberatan,
Banding, Dan Pengurangan
1. Apa saja
yang dapat diajukan permohonan keberatan BPHTB ?
Yang
dapat diajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak adalah :
a. SKBKB, yaitu surat ketetapan yang
menentukan besarnya jumlah BPHTB terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;
b. SKBKBT, yaitu surat ketetapan yang
menentukan tambahan atas jumlah BPHTB yang telah ditetapkan;
c. SKBLB, yaitu surat ketetapan yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran BPHTB karena jumlah BPHTB yang telah
dibayar lebih besar daripada BPHTB yang seharusnya terutang;
d. SKBN, yaitu surat ketetapan yang
menentukan jumlah BPHTB yang terutang sama besarnya dengan jumlah BPHTB yang
dibayar.
2. Bagaimana
tata cara permohonan keberatan BPHTB ?
· Membuat permohonan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia kepada Kepala KPPBB dengan mengemukakan jumlah BPHTB
yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang
jelas, yaitu didukung dengan data atau bukti bahwa jumlah BPHTB yang terutang atau
lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar;
· Menyampaikan permohonan secara
lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam batas waktu 3 (tiga) bulan
sejak diterimanya SKBKB, SKBKBT, SKBLB, atau SKBN; kecuali Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya.
· Melampirkan foto kopi sebagai
berikut :
· Fotocopy SSB
· Asli SKBKB/SKBKBT/SKBLB/SKBN
· Fotocopy Akta/Risalah Lelang/Surat
Keputusan Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim
· Fotocopy KTP/ Paspor / KK /identitas
lain
· Permohonan keberatan yang tidak
memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan;
· Tanda penerimaan Surat Keberatan
yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu
atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti
penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.
3. Berapa
lama jangka waktu penyelesaian permohonan keberatan BPHTB ?
Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal Surat Permohonan Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah lewat
dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan
yang diajukan tersebut dianggap diterima.
4. Apa yang
dapat disampaikan oleh Wajib Pajak sebelum keputusan keberatan BPHTB
diterbitkan?
Sebelum
surat keputusan keberatan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan
tambahan atau penjelasan tertulis.
5.
Apa bentuk
keputusan keberatan?
Keputusan Keberatan dapat berupa :
· Menerima seluruhnya, apabila
data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh
dalam pemeriksaan terbukti kebenarannya.
· Menerima sebagian, apabila
data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh
dalam pemeriksaan sebagian terbukti kebenarannya.
· Menolak, apabila data/bukti-bukti
yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan
tidak terbukti kebenarannya.
· Menambah jumlah pajaknya, apabila
data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh
dalam pemeriksaan, mengakibatkan peningkatan jumlah BPHTB-nya.
6.
Apa yang
dapat dilakukan Wajib Pajak jika permohonan keberatannya ditolak ?
·
Wajib Pajak yang keberatannya
ditolak dapat mengajukan banding ke Badan Pengadilan Pajak (BPP).
·
Permohonan dimaksud diatur lebih
lanjut dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
7.
Apa bentuk
putusan Banding ?
Putusan Banding dapat berupa :
-
Menolak;
-
Mengabulkan sebagian atau
seluruhnya;
-
Menambah pajak yang harus dibayar;
-
Tidak dapat diterima;
8.
Bagaimana
sifat Putusan Banding ?
Putusan
Banding oleh BPP bukan merupakan putusan final dan dapat diajukan Peninjauan
Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
9.
Bagaimana
jika Putusan Banding menerima sebagian atau seluruhnya ?
Apabila
putusan banding menerima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% untuk jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran BPHTB sampai dengan diterbitkannya Putusan
Banding.
10.
Kepada
siapa pengurangan BPHTB dapat diberikan ?
Pengurangan BPHTB dapat diberikan
Wajib Pajak melalui permohonan karena:
a.
Kondisi tertentu Wajib Pajak yang
ada hubungannya dengan Objek BPHTB, atau
b.
Kondisi Wajib Pajak yang ada
hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, atau
c.
Tanah dan atau bangunan digunakan
untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari
keuntungan.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Tanah
sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta
memiliki fungsi sosial diantaranya memenuhi kebutuhan dasar sebagai tempat
tinggal, lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan
bagi pemiliknya. Disamping itu, dari segi fungsi ekonomi, bangunan dapat
memberi manfaat ekonomi karena dianggap memberikan tambahan kemampuan ekonomis
bagi pemiliknya. Dengan demikian, wajar bagi mereka yang memperoleh hak atas
tanah dan bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada
negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB).
DAFTAR
PUSTAKA