makalah aqidah hadist dan sunnah
Wednesday, September 28, 2016
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
istilah Hadits dan Sunnah sudah
sering dipakai dalam masyarakat muslim. Pada umumnya kebanyakan dari mereka
mengartikan hadits dan sunnah adalah sama yaitu sebagai sumber hukum islam
setelah Al-Qur’an. Namun sesungguhnya hadits dan sunnah masing-masing memiliki
pengertian yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum memahami
secara utuh tentang pengertian antara hadits dan sunnah beserta
perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya. Para ulama dari masing-masing
disiplin ilmu juga memperdebatkan perbedaan antar hadits dengan sunnah ini.
Tetapi ada pula ulama yang mempersamakan antara hadits dan sunnah. Dengan
demikian, dengan adanya makalah ini diharapkan masyarakat pembaca dapat
mengerti tentang perbedaan antara hadits dan sunnah dari berbagai sudut pandang
para ulama dari berbagai disiplin ilmu.
Selain itu, masyarakat telah banyak berpikir rasional tentang keeksisan Nabi
Muhammad SAW. Masyarakat bertanya-tanya apakah Nabi Muhammad itu manusia biasa
seperti manusia saat ini, bilamana Nabi Muhammad SAW berperan sebagai
Rasulullah dan sebagai manusia biasa. Maka dengan adanya realita ini, penulis
mencoba untuk memaparkan bilamana Nabi Muhammad berperan sebagai Rasulullah dan
berperan sebagai manusia biasa yang dikaji menurut Al-Qur’an dan Hadits.
B.
TUJUAN PENULISAN
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk mengenalkan kepada
masyarakat tentang perbedaan antara hadits dan sunnah dari sudut pandang para
ulama dari berbagai disiplin ilmu maupun sudut pandang dari para ulama yang
menyebutkan bahwa di antara keduanya adalah sama. Selain itu, penyusunan
makalah ini bertujuan untuk mengenalkan kepada para pembaca kedudukan Nabi
Muhammad SAW sebagai Rasulullah dan sebagai manusia biasa.
PEMBAHASAN
PENGERTIAN HADITS
Kata Hadits merupakan isim (kata benda) yang
secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi
baik verbal maupun lewat tulisan. Bentuk jamak dari hadits adalah al-ahadits.
Masyarakat Arab di zaman jahiliyah telah menggunakan kata hadits ini dengan
makna “pembicaraan”.
Pengertian hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu
yang baru) yang merupakan lawan kata dari qadim (sesuatu yang lama). Dalam hal
ini dimaksudkan bahwa qadim sebagai kitab Allah, sedangkan yang “baru” adalah
apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam Syarah al-Bukhari, Syaikh
Islam Ibnu Hajar berkata yang dimaksudkan denganhadits menurut pengertian
syara’ adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dan hal itu
seakan-akan sebagai bandingan Al-Qur’an adalah Qadim.
Hadits juga sering disebut sebagai Al-Khabar (berita) yaitu
sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Berdasarkan tinjauan dari sudut pendekatan kebahasaan, kata hadits dipergunakan
dalam Al-Qur’an dan hadits itu sendiri[1].
Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-Kahfi ayat 6 yang berbunyi:
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَى
آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفاً ﴿٦﴾
“Maka
(apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah
mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al
Qur'an).”
Sedangkan dalam pengertian hadits secara terminologis
terdapat perbedaan pendapat antara ahli hadits dan ahli ushul.
Menurut
para ahli hadits, hadits ialah:
اَقْوَالُ النبي ص م وافعالهُ
وَاَحْوَا لُهُ
Artinya:
“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang
diriwayatkan Nabi muhammad SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik,
sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan.
Pengertian
hadits lainnya menurut ahli hadits ialah:
مَاأُضِيْفَ إلى النبي ص م قَولاً أو
فِعْلاً أوْتَقْرِيْرًا اَوْ صِفَةً
Artinya:
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, maupun sifat beliau”.
Sebagian Muhaditsin berpendapat bahwa pengertian
hadits di atas merupakan pengertian yang sempit. Menurut mereka, hadits
mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW (Hadits Marfu’) saja, tetapi juga
yang disandarkan kepada para sahabat (Hadits Mauquf), dan juga yang
disandarkan kepada para Tabi’in (Hadits Maqtu’). Hal ini sesuai dengan
apa yang diriwayatkan oleh Al-Tirmisi:
“Bahwasanya
hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang
Mauquf, yaitu yang disandarkan kepada para sahabat, dan yang maqtu’, yaitu yang
disandarkan kepada para Tabi’in.”
Sedangkan menurut para ulama Ushul, hadits menurut
terminologis ialah:
أَقْوَا
لُهُ واَفْعَا لُهُ وتََقْرِِيْرَاتُهُ التى تَثْبُتُ الأََ حْكاَمُ و
تُقَرَِّرُهاَ
Artinya:
“Segala perkataan Nabi Muhammad SAW, perbuatan, taqrirnya yang berkaitan
dengan hukum syara’ dan ketetapannya.”
Berdasarkan pengertian hadits menurut ahli ushul ini jelas
bahwa hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik
berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan dnegan hukum atau
ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Sealain itu, tidak
bisa dikatakan sebagai hadits. Hal ini mengisyaratkan bahw apara ahli ushul
telah membedakan peran Nabi Muhammad sebagai Rasulullah dan sebagai manusia
biasa. Yang dikatakan sebagai hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi
dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW yang berupa ucapan,
perbuatan, dan ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan seperti
cara berpakaian dan cara tidur tidak dapat dikategorikan sebagai hadits.
B.
PENGERTIAN SUNNAH
Menurut bahasa, “sunnah” mempunyai arti jalan dan
kebiasaan yang baik atau yang jelek. Bisa juga diartikan dengan “jalan
yang lurus”. Menurut M.T. Hasbi Ash-Shiddieqy, penmgertian sunnah
ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani baik
yang trepuji maupun yang tidak. Hal ini sesuai dengan tradisi yang sudah
dibiasakan, dinamai sunnah walapun tidak baik. Pengertian sunnah menurut sabda
Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:
“Barang
siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah
itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat. Dan barang siapa
mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk
itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat” (H.R. Al-Bukhary dan
Muslim).”
Sedangkan pengertian sunnah menurut istilah (terminologis)
terdapat perbedaan pendapat antar para ulama. Perbedaan pendapat ini disebabkan
oleh perbedaan latar belakang, persepsi, dan sudut pandang mereka masing-masing
terhadap diri Rasulullah SAW. Para ulama ini secara garis besar terbagi menjadi
3 golongan yaitu Ahli hadits, Ahli Ushul, dan Ahli Fiqih.
a. Pengertian sunnah menurut ahli hadits yaitu:
ما اثِرَ عنِ النبى ص م مِن قولٍ أو
فعل أو تقرير أو صفة أو خَلْقِيّةٍ أوسِيَرَةٍ،سواء كان قبل البِعْثَةِ أو بعده
Artinya:
“Segala yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkatan,
perbuatan, taqrir (ketetapan), tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya baik
sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudah diangkat menjadi Rasul.”
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah
menurut Muhadditsin adalah sama dengan kata hadits. Para Muhadditsin
memandang diri Rasul SAW sebagai Uswatun Hasanah atau qudwah (contoh
atau suri tauladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Oleh
karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang
diterima tentang diri Rasul SAW tanpa membedakan apakah isinya berkaitan dengan
hukum syara’ atau tidak. Mereka juga tidak membedakan ucapan atau perbuatan
yang dilakukan sebelum diangkat menjadi Rasul dan sesudah diangkat menjadi
Rasul. Hal ini berarti Ahli Hadits mendefinisikan bahwa cakupan sunnah lebih
luas dibandingkan dengan hadits.
b.
Pengertian sunnah menurut Ahli Ushul
adalah:
Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang berhubungan dengan hukum syara’, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Berdasarkan pengertian tersebut,
dapat ditarik definisi sunnah menurut Ahli Ushul yaitu:
“segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur’anul Karim, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil
bagi hukum syara.”
Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada
perkataan sunnah dalam sabda Nabi sebagai berikut:
“Sungguh
telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu
berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.” (HR.Malik)
Latar belakang para Ahli Ushul dalam mendefinisikan sunnah
yaitu bahwa Rasulullah SAW adalh penentu atau pengatur undang-undang yang
menerangkan kepada manusia tentang aturan-aturan kehidupan (dustur al-hayat)
dan meletakkan dasar-dasar metodologis atau kaidah-kaidah bagi para mujtahid
yang hidup sesudahnya dalam menjelaskan dan menggali syariat islam. Sehingga
segala sesuatu tentang Rasul yang tidak mengandung hukum syara’ tidak dapat
disebut sebagai sunnah.[2]
Sudut pandang seperti ini berdasarkan QS. Al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
مَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ
مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ
وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاء مِنكُمْ وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
Artinya:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang
berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
c.
Pengertian sunnah menurut Ahli Fiqih
“Segala
ketetapan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW selain yang difardlukan dan
diwajibkan dan termasuk hukum (taklifi) yang lima.”
Para Fuqoha[3]
apabila mereka berkata perkara ini sunnah, maksudnya mereka memandang bahwa
pekerjaan itu mempunyai nilai syariat yang dibebankan oleh Allah SWT kepada
setiap orang yang baligh dan berakal dengan tuntutan yang tidak mesti. Dengan
kata lain, tuntutan tersebut tidak fardlu dan tidak wajib.
Dalam hal ini dimaksudkan sunnah adalah suatu amalan yang
diberi pahala apabila dikerjakan dan tidak dituntut (tidak berdosa) apabila
ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah
menerangkan bahwa sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekkan
oleh Nabi Muhammad SAW secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya,
sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang,
dua, atau tiga perawi dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut
selain mereka sendiri.
Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang
karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya
memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep
perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu
yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga
sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata sunnah diterapkan ke
dalam masalah-masalah hukum syara’, maka yang dimaksud dengan kata sunnah di
sini ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh
Rasulullah SAW baik beruipa perkataan maupun perbuatan. Dengan demikian,
apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah maka
yang dimaksudkannya adalah Al-Qur’an dan Hadits.