Makalah Islam Larangan Banyak Bertanya
Wednesday, September 28, 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari seseorang pasti dalam fikirannya penuh dengan
pertanyaan-pertanyaan, baik dalam pelajaran, pekerjaan,maupun yang
berhubungan dengan agama, sebenarnya
dalam bertanya ada batas-batasa nya, mana kala ada yang boleh ditanyakan dan
apa yang boleh ditanyakan
A. Rumusan
masalah
1. Apa
saja yang boleh ditanyakan dalam islam ?
2. Mengapa
dilarang bertanya dalam islam ?
3. Hal-hal
apa saja yang dilarang islam dalam
konsep bertanya ?
B. Tujuan
Masalah
1. Untuk
Mengetahui Apa saja yang boleh ditanyakan dalam islam
2. Untuk
Mengetahui Mengapa dilarang bertanya dalam islam
3. Untuk
Mengetahui Hal-hal apa saja yang dilarang islam
dalam konsep bertanya
C. Manfaat Masalah
Untuk
Memberikan informasi dan dapat dipahani kepada penulis dan pembaca tentang
otonomi daerah
BAB II
PEMBAHASAN
Banyak bertanya adalah salah satu sifat dari Yahudi, mereka
bertanya bukan untuk keinginan untuk mengamalkan pertanyaan yang mereka
tanyakan, mereka hanya sekedar bertanya dan untuk membuat orang yang mereka
ajukan menjadi bingung, sungguh ini adalah sifat yang sangat di benci oleh
Allah S.W.T.
Contoh yang boleh diambil dari kisah terdahulu dalam hal petanyaan
yang dilarang :
kita ambil adalah sewaktu
turunnya ayat yang memerintahkan kewajipan melaksanakan haji, maka ketika itu
ada yang bertanya kepada Rasulullah S.A.W; Adakah haji itu pada tiap-tiap tahun
ya Rasulullah? Rasulullah mendengar pertanyaan itu tetapi tidak diendahkannya,
sehingga orang itu mengulang pertanyaannya sebanyak dua kali. Lalu baginda
menjawab;
Hampir sahaja aku menjawab ya! Kalau aku berkata ya, tentulah jadi
wajib tiap-tiap tahun. Kalau demikian, kamu tiada sanggup mengerjakannya. Maka
biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya yang membinasakan
umat sebelum kalian adalah kerana banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya)
penyelisihan mereka kepada para nabi mereka. Maka apabila aku melarang sesuatu
kepada kalian, tinggalkanlah. Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada
kalian, kerjakanlah semampu kalian”
[Muttafaqun ’alaihi]
Kemudian setelah itu, Allah S.W.T menurunkan ayat:
“Hai orang beriman! Janganlah kamu bertanya dari sesuatu yang jika
dijelaskan kepada kamu, tentu akan menyusahkan kamu“
[Al-Ma'idah:101]
Lantaran itu, daripada hadis dan ayat al-Quran di atas, nyatalah
bahawa seseorang Muslim itu hendaklah melaksanakan apa yang diperintahkan dan
meninggalkan apa yang dilarang dan jangan membangkitkan sesuatu yang tidak
diterangkan atau perkara-perkara yang sulit untuk difahamkan, atau menimbulkan
masalah yang menyusahkan. Hadis ini tidaklah bermakna bertanya itu dilarang
sama sekali, tetapi bermakna larangan untuk bertanya perkara yang bukan-bukan
dan merumitkan diri sendiri.
Banyak Bertanya Untuk Mengejek dan Bermegah-megah dengan Ilmu
Kembali semula kepada hadis kedua yang telah dinyatakan sebelum
ini, pada ungkapan “Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah
kerana banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya) penyelisihan mereka kepada
para nabi mereka“, kenyataan ini merujuk kepada golongan yang sengaja bertanya
dengan tujuan untuk mengejek dan menunjukkan kedegilan hatinya sepertimana yang
telah dilakukan oleh kaum kuffar. Mereka telah bertanyakan kepada Rasulullah
S.A.W tentang bilanya datang hari Qiamat dengan tujuan mempersendakan kebenaran
wahyu yang dibawa oleh baginda S.A.W sebagaimana yang telah diceritakan di
dalam al-Quran, melalui surah al-Qiyamah ayat ke-6 yang bermaksud:
“Dia bertanya (secara mengejek): Bilakah datangnya hari kiamat
itu?“
Malah di dalam al-Quran turut menceritakan bagaimana pertanyaan
umat-umat terdahulu kepada nabi mereka yang akhirnya pertanyaan itu telah
kembali menyusahkan mereka. Antara kisah yang utama ialah kisah baqarah iaitu
sapi betina yang diperintah kepada Bani Israel untuk disembelih atas tujuan
tertentu yang telah diperintahkan. Namun mereka tidak mahu melaksanakan
perintah itu selagi mana mereka tidak diberikan penjelasan satu persatu
sedangkan menurut perintah asal, mereka boleh sahaja menyembelih mana-mana
lembu yang mereka kehendaki. Tetapi mereka enggan melaksanakannya begitu sahaja
malah ditanya pula tentang ciri-ciri lembu tersebut termasuklah umurnya, warnanya
dan keadaannya. Maka lihatlah bagaimana mereka telah menyebabkan urusan
tersebut menjadi sukar kerana lembu yang akhirnya dikehendaki (setelah mereka
banyak sangat bertanya) tidak mudah didapati melainkan seekor sahaja dan
harganya pula terlalu mahal namun terpaksa juga mereka membelinya untuk
disembelih demi memenuhi perintah itu.
Termasuk juga dalam larangan “banyak bertanya” ini adalah, segala
macam pertanyaan dalam ruang lingkup ilmu pengetahuan yang mana orang yang
menganjurkan pertanyaan itu bukanlah untuk menambah ilmunya atau untuk beramal
bahkan tetapi untuk bermegah-megah atau bertengkar-tengkar (untuk
menunjuk-nunjuk ilmu yang dia miliki). Dan jenis ini menurut Saidina Ali R.A ,
adalah sejenis fitnah yang akan terjadi pada akhir zaman dan saya rasa kita
sendiri sudah banyak melihat situasi-situasi sebegini melanda masyarakat kita
pada hari ini. Menurut riwayat, Saidina Umar R.A pernah bertanya kepada Saidina
Ali; Bilakah fitnah itu akan berlaku? Maka jawab beliau: “Apabila seseorang
belajar bukan kerana agama, bukan kerana amal, dan mencari dunia dengan amal
akhirat ” atau dalam erti kata lain, mempergunakan ilmu agama untuk kepentingan
duniawi. Hakikatnya, inilah realiti yang kita hadapi pada hari ini.[1]
Dari Abu Hurairah ‘ abdurrahmadn bin shakhr radhiyallaahhu’anhu, ia
berkata, “ aku mendengar Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘
aa yang aku larang darinya maka jauhilah, dan apa yang ku perintahkan kalian
dengannya maka kerjakanlah semampu kalian. Karna sesungguhnya yang membinasakan
orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi
para Nabi mereka.’”(HR. AL-BUKHARI dan Muslim)
Sebab dari adanya larangan banyak bertanya seputar hal-hal yang
telah disebutkan diatas adalah
1.
karena
ditakutkan dengan pertanyaan semacam itu justru akan menurunkan beban syar’i
(taklif) yang lebih berat lagi (karena Rasul masih hidup dan berbicara
berdasarkan wahyu semata, maka datangnya jawaban tentang masalah yang
dipertanyakan berarti perintah/taklif yang wajib dita’ati), seperti pertanyaan
tentang apakah haji dilakukan setahun sekali atau tidak?
Dalam
sebuah hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu
Daud, Ahmad dan ditashhih oleh Ibnu Hibban, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
bersabda, yang artinya : “Sesungguhnya orang-orang Islam yang paling besar
dosanya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan maka
lantaran pertanyaannya hal itu (kemudian) diharamkan “.
2.
ditakutkan
bahwa dengan pertanyaan itu justeru akan menimpa si penanya itu sendiri, dan
karenanya Nabi sangat membenci pertanyaan semacam itu dan mencelanya, seperti
pertanyaan yang berkaitan dengan hukum Li’an ; yaitu pertanyaan seseorang
kepada Nabi perihal sesuatu yang masih merupakan dugaan/perandaian yang mungkin
akan terjadi terhadap keluarganya dan ternyata lantaran pertanyaan itu hal
tersebut benar-benar terjadi. (Lihat Musnad Ahmad, Shahih Muslim, Sunan
at-Turmuzi dan Shahih Ibnu Hibban).
Jadi,
bila himmah/keinginan si pendengar begitu mendengar perintah dan larangan hanya
diarahkan kepada penciptaan masalah-masalah yang berpretensi kemungkinan
terjadi dan kemungkinan tidak terjadi saja maka hal inilah yang termasuk dalam
larangan tersebut yang dibenci untuk bertanya-tanya tentangnya sebab hal itu
malah akan mematahkan semangat untuk mengikuti perintah tersebut.
Dan
hal ini pula yang menyebabkan Ibnu ‘Umar memarahi seseorang yang bertanya
kepadanya tentang hukum menyalami hajar aswad, maka lantas hal itu dijawab oleh
Ibnu ‘Umar, yang artinya : “aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
menyalaminya dan menciumnya”. Orang tersebut berkata kepadanya : bagaimana jika
aku tidak sanggup melakukannya karena sesuatu hal ? bagaimana jika sedang dalam
keadaan berdesak-desakan? ..Lalu Ibnu ‘Umar menjawab :”jadikan ungkapanmu
‘bagaiman jika’ itu di negeri Yaman saja !(barangkali si penanya ini berasal
dari negeri Yaman yang memang penduduknya suka membuat pernyataan semacam itu
atau hal semacam itu merupakan kebiasaan yang ada di negeri Yaman-penj), aku
telah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyalaminya dan menciumnya “.
(dikeluarkan oleh at-Turmuzi).
Maksud
Ibnu Umar dalam riwayat tersebut adalah bahwa jadikanlah keinginanmu
semata-mata untuk mengikuti sunnah Rasulullah sehingga tidak perlu mengemukakan
bayangan-bayangan kemungkinan tidak dapat melaksanakan hal itu atau lantaran
sulitnya melakukan hal itu sebelum terjadi, karena hal itu justeru bisa
mematahkan semangat untuk mengikuti sunnah Nabi. Bukankah tafaqquh (mendalami
syari’at) hanya terdapat dalam agama dan bertanya tentang ilmu hanya dipuji
bilamana hal itu untuk dilakukan/dipraktekkan bukan hanya untuk berdebat dan
mencari muka?.[2]
Di antara
pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yang diajukan oleh seseorang yang
sebenarnya sudah tahu jawabannya, namun ia lontarkan pertanyaan di majelis agar
diketahui jawabannya oleh orang-orang yang hadir di majelis itu. Sebagaimana
yang dilakukan Jibril yang menanyakan tentang Islam, Iman, Ihsan, dan
tanda-tanda hari kiamat (H.R Muslim)
Adapun sikap
bertanya yang tercela, di antaranya adalah :
1.
Banyak
bertanya pada saat masih turunnya wahyu, sehingga dikhawatirkan memberatkan
kaum muslimin (Q.S al-Maidah:101)
2.
Bertanya-tanya tentang rahasia di balik
takdir, yang hanya Allah saja yang tahu. Contoh : bertanya mengapa si A
ditakdirkan begini, sedangkan si B ditakdirkan demikian?
وَإِذَا ذُكِرَ
الْقَدَرُ فَأَمْسِكُوا
Jika disebutkan
tentang takdir, maka tahanlah (diamlah) (Shahihul Jaami’ no 546).
3.
Bertanya
tentang kaifiyat Sifat Allah.
Seperti
pertanyaan : Seperti apa Wajah Allah? Bagaimana bentuk istiwa’ Allah di atas
‘Arsy? Semua itu tidak ada yang tahu kecuali Allah.
وَمَا
يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ …
dan tidak ada
yang tahu takwilnya (kaifiyat /makna secara menyeluruh) kecuali Allah… (Q.S Ali
Imran:7)
4.
Sekedar
bertanya tidak untuk mengamalkannya, atau tidak untuk memahami makna ayat dan
hadits (menambah iman), hanya sekedar menguji ustadz atau Syaikh.
5.
Bertanya
tentang permasalahan yang tidak akan pernah terjadi.
6.
Banyak bertanya pada saat kondisi Ustadz atau
Syaikh sudah capek, letih, dan semisalnya.
Para Sahabat
Nabi menjaga adab untuk bertanya. Mereka tidak menambah pertanyaan karena
merasa kasihan dengan Nabi.Simaklah adab dari perkataan Ibnu Mas’ud :
حَدَّثَنِي
بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي …
demikianlah
Nabi mengkhabarkan kepadaku, yang sebenarnya kalau aku minta tambah penjelasan,
niscaya beliau akan menambahinya.. (H.R Muslim)
Nabi adalah
manusia yang paling dermawan, termasuk dalam hal memberi jawaban. Sebenarnya,
kalau Sahabat terus bertanya, akan terus dijawab oleh Nabi, namun hal itu tidak
dilakukan Sahabat karena menjaga adab kepada Nabi.[3]
ADAB- ADAB
DALAM ISLAM DALAM BERTANYA :
Seorang
penanya hendaklah memiliki adab-adab dalam bertanya supaya dia bisa mengambil
manfaat dari pertanyaan tersebut. Diantara adab-adab tersebut:
1.
Ikhlash
dalam bertanya
Diantara
ikhlash dalam bertanya adalah bertanya untuk menghilangkan kebodohan dari diri
kita atau diri orang lain, bukan untuk berdebat kusir atau sombong dihadapan
para ulama atau riya (supaya dikatakan orang yang bersemangat menuntut ilmu).
Rasulullah
bersabda:
من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه
الناس إليه أدخله الله النار
“Barangsiapa
yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan para ulama atau untuk
berdebat dengan orang-orang bodoh atau untuk menarik perhatian manusia maka
Allah akan memasukkannya ke dalam neraka” (HR. At-Tirmidzy 5/32 no.2654, dan
dihasankan oleh Syeikh Al-Albany)
Berkata
Ibnul Qayyim:
وقيل إذا جلست إلى عالم فسل تفقهاً لا تعنتاً
“Telah
dikatakan: Jika anda duduk bersama seorang ‘alim (ahli ilmu) maka bertanyalah
untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan” (Miftah Daris Sa’adah 1/168)
2.
Memperbagus
pertanyaan
Berkata
Ibnul Qayyim:
وللعلم ست مراتب أولها حسن السؤال…فمن الناس من يحرمه لعدم حسن سؤاله
أما لأنه لا يسأل بحال أو يسأل عن شيء وغيره أهم إليه منه كمن يسأل عن فضوله التي
لا يضر جهله بها ويدع ما لا غنى له عن معرفته وهذه حال كثير من الجهال المتعلمين
ومن الناس من يحرمه لسوء إنصاته فيكون الكلام والممارات آثر عنده وأحب اليه من
الانصات وهذه آفة كامنة في أكثر النفوس الطالبة للعلم وهي تمنعهم علما كثيرا ولو
كان حسن الفهم
“Ilmu
memiliki 6 tingkatan, yang pertama adalah bagusnya pertanyaan… dan sebagian
orang ada yang tidak mendapatkan ilmu karena jeleknya pertanyaan, mungkin
karena dia tidak bertanya sama sekali, atau bertanya tentang sesuatu padahal
disana ada sesuatu yang lebih penting yang patut ditanyakan seperti bertanya
tentang sesuatu yang sebenarnya tidak mengapa kita tidak mengetahuinya dan
meninggalkan pertanyaan yang harus kita ketahui, dan ini adalah keadaan
kebanyakan dari para penuntut ilmu yang bodoh.( Miftah Daris Sa’adah hal:169)
Diantara
pertanyaan yang bagus adalah pertanyaan tentang ilmu yang bermanfaat yaitu ilmu
yang menunjukkan kita kepada kebaikan dan mengingatkan kita dari kejelekan.
Adapun yang selainnya maka itu akan membawa mudharat atau tidak ada faidahnya.
Allah
telah menyebutkan di dalam Al-Quran sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang
tidak bermanfaat seperti pertanyaan orang-orang musyrik tentang kapan hari
kiamat (Al-A’raf:187) dan pertanyaan orang yahudi tentang ruh (Al-Isra': 85),
Atau pertanyaan tentang sesuatu yang tidak mungkin terjadi atau jarang sekali
karena itu termasuk berlebih-lebihan dan berprasangka belaka.
3.
Menggunakan
cara yang baik dalam bertanya
Diantaranya
adalah berlemah lembut dalam bertanya karena yang demikian itu akan menjadikan
yang ditanya memberikan ilmunya sebaik-baiknya.
Berkata
Az-Zuhry:
وكان عبيد الله يلطفه فكان يعزه عزا
“Dahulu
Ubaidullah (yakni bin Abdullah bin ‘Utbah, seorang tabi’in) berlemah lembut
ketika bertanya kepada Ibnu Abbas, maka beliau (Ibnu ‘Abbas) memberinya ilmu
yang banyak” (Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal di Al-‘Ilal wa
Ma’rifatur Rijal 1/186, dan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra 5/250)
Dan
berkata Ibnu Juraij:
لم أستخرج الذي استخرجت من عطاء إلا برفقي به
”
Tidaklah aku mengambil ilmu ‘Atha kecuali dengan kelembutanku kepadanya”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih 2/423)
Diantara
kebaikan dalam bertanya adalah mencari situasi dan kondisi yang tepat untuk
bertanya.
4.
Berdiskusi
dengan cara yang baik kalau ada yang tidak disetujui dari jawaban orang yang
ditanya.
5.
Tidak
mengadu domba diantara ahli ilmu seperti mengatakan: Tapi ustadz fulan (dengan
menyebut namanya) mengatakan demikian, dan yang demikian termasuk kurang
beradab. Namun kalau memang harus bertanya maka hendaklah mengatakan: Apa
pendapatmu tentang ucapan ini? Tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan. (Lihat
Hilyah Thalibil Ilmi, Syeikh Bakr Abu Zaid dengan syarh Syeikh ‘Utsaimin hal:
178 )[4]
BAB III
KESIMPULAN
Dalam
uraian diatas pemakalah dapat mnyimpulkan ada beberapa di dunia ini yang boleh
di pertanyakan dan ada juga yang tidak boleh, apalagi yang menyangkut tentang
wahyu allah, didalam alqur’an semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita
sudah tertera, sehingga jangan lah bertanya hal-hal yang akan mempersulit kita
nantinya. Dan juga kita juga dianjurkan bertanya tapi dengan syarat, segala
sesuatu yang kita tanyakan itu bertujuan untuk menambah ilmu dan
mengamalkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Banyak Bertanya:
Antara Larangan dan Tuntutan diakses
pada http://langitilahi.com/16461/
Anjuran
melakukan perintah dan menjauhi larangan Rosululloh (ﷺ) semampunya dan
larangan banyak bertanya diakses pada http://abuzuhriy.com/anjuran-melakukan-perintah-dan-menjauhi-larangan-rosululloh-%EF%B7%BA-semampunya-dan-larangan-banyak-bertanya/
Sikap Terhadap
Perintah dan Larangan Nabi (Hadist ke-9 Arbain Annawiyyah) diakses pada http://salafy.or.id/blog/2012/05/30/sikap-terhadap-pemerintah-dan-larangan-nabi-hadist-ke-9-arbain-annawiyyah/
ADAB DALAM
BERTANYA diakses pada https://salafiyunpad.wordpress.com/2009/07/22/adab-di-dalam-bertanya/#more-2426
[1] Banyak
Bertanya: Antara Larangan dan Tuntutan diakses pada http://langitilahi.com/16461/
[2]Anjuran
melakukan perintah dan menjauhi larangan Rosululloh (ﷺ) semampunya dan larangan banyak bertanya diakses pada http://abuzuhriy.com/anjuran-melakukan-perintah-dan-menjauhi-larangan-rosululloh-%EF%B7%BA-semampunya-dan-larangan-banyak-bertanya/
[3]Sikap
Terhadap Perintah dan Larangan Nabi (Hadist ke-9 Arbain Annawiyyah) diakses
pada http://salafy.or.id/blog/2012/05/30/sikap-terhadap-pemerintah-dan-larangan-nabi-hadist-ke-9-arbain-annawiyyah/