Hukum Membaca Usualli / Niat ketika sholat
Sunday, October 14, 2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………….
DAFTAR ISI …………………………………………….
1.
BAB I
a.
Pendahuluan …………………………………………….
b.
Latarbelakang …………………………………………….
c.
Rumusan Masalah …………………………………………….
2.
BAB II
a.
Pembahasan …………………………………………….
b.
Niat …………………………………………….
c.
Aspek Niat …………………………………………….
d.
Hukum Membaca Usuali ketika sholat …………………………………………….
e.
Hukum Membaca Niat Usuali bagi NU …………………………………………….
3.
BAB III
a.
Penutup …………………………………………….
b.
Kesimpulan …………………………………………….
c.
Saran …………………………………………….
4.
DAFTAR
PUSTAKA …………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Permasalahan fiqih memang sangat kompleks jika kita tidak
mengerti, tapi apabila kita mengerti sangat mudah sekali dalam menjalankan
fiqih, khususnya dalam hal ibadah.
Diantara permasalahan yang masih menjadi pertentangan sampai
saat ini ialah perdebatan tentang melafazdkan niat dalam sholat, empat madzab
dalam hal ini berbeda dalam menyikapinya.
Permasalahan yang lain ialah tentang membaca al-fatihah bagi
makmum jahriyah. Dalam hal ini ada yang bilang masih harus membaca, ada juga
yang bilang tidak perlu membaca lagi, sehingga perdebatanpun terjadi dalam
bidang ini.
Dalam al-fatihahpun masih ada perdebatan lagi, yaitu
mengenai masalah membaca basmalah. Perdebatannya disini berkenaan dengan apakah
basmalah itu masuk pada al-fatihah atau tidak. Mengenai hal ini para ulama’
fiqih berbeda pendapat. Sehingga umat diharapkan memilih sesuai dengan keyakinan
masing-masing, mau ikut mazhab yang mana.
Semua permasalahan diatas perlu kita bahas pada kesempatan
kali ini, karena bagaimanapun juga hal itu menjadi kewajiban kita sehari-hari.
Selaku umat islam kita dituntut untuk mengetahui masalah ini supaya tidak
timbul kecemburuan sosial atau konflik ketika terjadi perbedaan dalam hal
beribadah.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Niat
Niat adalah maksud atau keinginan kuat di
dalam hati untuk melakukan sesuatu. Dalam terminologi syar'i berarti adalah
keinginan melakukan ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau
meninggalkannya.
Niat termasuk perbuatan hati maka
tempanya adalah di dalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan
oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam di dalam hatinya.
B.
Aspek Niat
Aspek niat itu ada 3 hal :
- Diyakini dalam hati.
- Diucapkan dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau bahkan menjadi ijma.
- Dilakukan dengan amal perbuatan.
Jadi niat akan lebih kuat bila ke
tiga aspek diatas dilakukan semuanya, sebagai contoh saya berniat untuk salat,
hatinya berniat untuk salat, lisannya mengucapkan niat untuk salat dan tubuhnya
melakukan amal salat. Demiikian pula apabila kita mengimani segala sesuatu itu
haruslah dengan hati yang yakin, ucapan dan tindakan yang selaras.
Dengan definisi niat yang seperti ini
diharapkan orang Islam atau Muslim itu tidak hanya 'semantik' saja karena dengan berniat berati
bersatu padunya antara hati, ucapan dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim itu tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu dan tawadhu, ucapan yang baik dan santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak
dan tidak tergesa-gesa serta cerdas. Karena dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila yang diucapkan lain dengan
yang diperbuat termasuk ciri-ciri orang yang munafik.
C.
Hukum
Membaca Usulli ( Niat ) Bagi sholat
bahwa niat
tempatnya di hati. Oleh Karena itu, jika niat ini dilafalkan berarti telah
mengubah posisi niat yang seharusnya di hati di pindah ke lisan.
Qodhi Abur
Rabi’ As Syafi’i mengatakan, “Mengeraskan niat dan bacaan di belakang imam
bukanlah bagian dari sunah. Bahkan ini adalah sesuatu yang dibenci. Jika ini
mengganggu jamaah shalat yang lain maka hukumnya haram.” (Al Qoulul Mubin,
Hal.91).
Sebagian orang yang bermadzhab
syafi’i salah paham terhadap ucapan Imam Syafi’i. Mereka beranggapan bahwa Imam
Syafi’i mewajibkan melafalkan niat. Imam As-Syafi’i mengatakan,
الصَّلَاة لَا تَصِحُّ
إلَّا بِالنُّطْقِ
“….shalat itu tidak sah kecuali
dengan an-nuthq.” (Al Majmu’, 3:277).
An nuthq artinya
berbicara atau mengucapkan. Sebagian Syafi’iyah memaknai an nuthq di
sini dengan melafalkan niat. Padahal ini adalah salah paham terhadap maksud
beliau rahimahullah. Dijelaskan oleh An Nawawi bahwa yang dimaksud
dengan an nuthq di sini bukanlah mengeraskan bacaan niat. Namun
maksudnya adalah mengucapkan takbiratul ihram. An-Nawawi mengatakan,
قَالَ أَصْحَابُنَا
غَلِطَ هَذَا الْقَائِلُ وَلَيْسَ مُرَادُ الشَّافِعِيِّ بِالنُّطْقِ فِي
الصَّلَاةِ هَذَا بَلْ مُرَادُهُ التَّكْبِيرُ
“Ulama kami (syafi’iyah)
mengatakan, ‘Orang yang memaknai demikian adalah keliru. Yang dimaksud As
Syafi’i dengan An Nuthq ketika shalat bukanlah melafalkan niat namun maksud
beliau adalah takbiratul ihram’.” (Al Majmu’, 3:277).
Kesalahpahaman ini juga dibantah
oleh Abul Hasan Al Mawardi As Syafi’i, beliau mengatakan,
فَتَأَوَّلَ ذَلِكَ –
الزُّبَيْرِيُّ – عَلَى وُجُوبِ النُّطْقِ فِي النِّيَّةِ ، وَهَذَا فَاسِدٌ ،
وَإِنَّمَا أَرَادَ وُجُوبَ النُّطْق بِالتَّكْبِيرِ
“Az Zubairi telah salah dalam
mentakwil ucapan Imam Syafi’i dengan wajibnya mengucapkan niat ketika shalat.
Ini adalah takwil yang salah, yang dimaksudkan wajibnya mengucapkan adalah
ketika ketika takbiratul ihram.” (Al-Hawi Al-Kabir, 2:204).
Sebenarnya
tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an
lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat
dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT)
pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya menjadi
asing dan sesuatu yang disoal oleh sebagian kalangan yang tidak sepemahaman
dengan warga nahdliyin.
Adapun
hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut
kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab
Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum
takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih
khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Jika
seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya,
seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang
dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh
mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati.
Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih
benar.
Menurut
pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah
(Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak
disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap
niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat
sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang
terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah.
Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir
adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang
terkena penyakit was-was.
Sebenarnya
tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
“Dari Anas r.a. berkata: Saya
mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah
dan haji”.(HR.
Muslim).
Memang
ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji,
bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak
bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk
melafalkan niat.
Memang
tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu
disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu
yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga
(mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya
niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk
membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang
beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk
membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara
shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.
Karena
melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut
tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum
melafalkan niat adalah sunnah. Imam Ramli mengatakan:
“Disunnahkan melafalkan niat
menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar
terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang
mewajibkan melafalkan niat”.
(Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)
Jadi,
fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam
melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena
melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat
pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Adapun memfitnah, bertentangan dan
perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum sunnah adalah menyalahi
syari’at Allah SWT.
D.
Hukum
Membaca Usuali ketika akan sholat bagi Nadhalatul Ulama
Sebenarnya
tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli fardla
dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya
berniat melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan
tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul
ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di
kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya menjadi asing dan sesuatu yang
disoal oleh sebagian kalangan yang tidak sepemahaman dengan warga nahdliyin.
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ
وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.
Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Imam Ramli mengatakan:
وَيُنْدَبُ
النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ
وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ
أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)
Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum sunnah adalah menyalahi syri’at Allah SWT
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat
menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam
Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah)
adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk
mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan
shalatnya
2.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ikhtishar Muhadzdzab “As-Sunan
Al-Kubra” (Qhoiron, jakarta 2001)
Hazm Ibnu “Kitabul Adzan” (Al-ilm,
jakarta, 1989)
Jauziy Ibnil, “Kitabush Sholah”
(jariyah, kediri, 1978)
Abdul Aziz, Syaikh, “Menjawab Tuntas
Masalah Sholat Mulai A-Z “ (Al-Mahra Jakarta 2007)
A,K arif, “Kitab Ul-Azan” (Jabari,
Jakarta, 1977)