Makalah Konsep Agama dalam Alquran
Wednesday, September 14, 2016
PEMBAHASAN
Konsep Hubungan Antar Agama dalam Al-Quran
A.
Sikap
Al-Qur’an/ muslim terhadap ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani/ non muslim)
Surah Ali-Imran ayat 64
أَهْلَ
الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ
نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا
بَعْضاً أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ
بِأَنَّا مُسْلِمُونَ قُلْ يَا
Artinya:
“Katakanlah (Muhammad): "Wahai Ahli Kitab, marilah (kita)
menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa
kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain
Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang
muslim.” (QS. Ali-Imran: 64)[1]
Tafsir Surat Ali-Imran ayat 64
Katakanlah: ”Hai ahli kitab, marilah kepada kata yang sama antara
kami dan kamu.”
Yaitu, katakanlah: ”Wahai ahli kitab, marilah dan pikirkanlah
kalimat yang telah sama disepakati oleh para Rasul dan Semua Kitab suci yang
diturunkan kepada mereka. Begitu pulalah yang diperintahkan melalui Taurat,
Injil, dan Al-Qur’an.” Kemudian Allah jelaskan maksud dari kalimat ini dengan
Firman-Nya:
“(Yaitu) bahwa tiada yang kita sembah, kecuali Allah dan tiada kita
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan tiada sebagian kita mengangkat yang
lain menjadi Tuhan, selain dari Allah.”
Yaitu kita jangan tunduk, kecuali hanya kepada Tuhan yang memiliki
kekuasaan mutlak di dalam menetapkan hukum, yang memiliki wewenang menghalalkan
dan mengharamkan. Dan kita jangan menyekutukan-Nya dengan apapun. Dan janganlah
sebagian kita sampai menjadikan yang lain sebagai Tuhan selain dari Allah.
Ayat ini berisikan pernyataan keesaan Tuhan dengan firman-Nya: ”Bahwa
yang tiada kita sembah, kecuali Allah.” Dan pernyataan keesaan dalam sifat
Rububiyah dengan firman-Nya:”Dan tiada sebagian kita mengangkat yang lain
menjadi Tuhan, selain dari Allah.”
“Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka:”Saksikanlah
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
Jika mereka menjauhi dakwah ini dan enggan menerimanya, bahkan
tetap menyembah selain Allah, mengadakan sekutu, perantara (mediator), dan
pendeta-pendeta yang menetapkan halal dan haram dengan kemauan sendiri, maka
katakanlah kepada mereka: ”Kami ini adalah orang-orang yang patuh kepada Allah
secara ikhlas, tidak mau menyembah siapapun selain-Nya, tidak menengadahkan
diri kepada yang lain guna meminta sesuatu yang berguna atau menjauhkan sesuatu
mala petaka. Kami hanya menghalalkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan
hanya mengaramkan sesuatu yang diharamkan Allah.
Ayat ini merupakan prinsip dan pokok yang diserukan Nabi Saw kepada
Ahli Kitab, agar diterapkan ketika mereka diajak masuk Islam, sebagaimana
halnya dapat dibuktikan dari surat-surat beliau kepada beberapa Raja Kristen,
misalnya Heraclius.[2]
Surah Al-Ankabut ayat 46
وَلَا
تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ
ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آَمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ
إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Artinya:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan
cara yang baik, kecuali dengan
orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, "Kami telah
beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepadamu Tuhan kami dan Tuhan kamu satu dan hanya kepada-Nya kami berserah diri
(taat).” (Q.S Al-Ankabut : 64)
Penjelasan
ayat
Seperti mengajak kepada allah
dengan ayat-ayatnya dan mengingatkan hujjah-hujjahnya.
Yang dimaksud dengan orang-orang
yang zalim ialah orang-orang yang setelah diberikan kepadanya
keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang baik, mereka
tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan. Ada pula yang
menafsirkan tentang orang-orang yang zalim, yaitu orang-orang yang malah
memerangi dan enggan membayar jizyah (pajak), maka bantah mereka dengan pedang
(perang) sampai mereka mau masuk Islam atau membayar jizyah. Sedangkan menurut yang
lain, bahwa ayat ini tetap berlaku hukumnya, yakni bagi orang yang ingin
mengkaji lebih lanjut terhadap agama Islam dari kalangan mereka, maka dilakukan
perdebatan dengan cara yang baik. Syaikh As Sa’diy berkata, “Allah Subhaanahu
wa Ta'aala melarang mendebat Ahli Kitab jika pendebatnya tidak di atas ilmu
atau tidak di atas kaidah yang diridhai, dan melarang mereka agar tidak
berdebat kecuali dengan cara yang baik seperti akhlak yang baik, lembut dan
tutur kata yang halus.
Yakni hendaknya perdebatan kamu
dengan Ahli kitab didasari atas iman kepada kitab yang diturunkan kepada kamu
dan kitab yang diturunkan kepada mereka. Demikian juga di atas keimanan kepada
rasul kamu dan rasul mereka serta di atas dasar bahwa Tuhan yang berhak
disembah hanya satu, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Janganlah perdebatan
kamu dengan mereka malah mencacatkan salah satu di antara kitab-kitab yang
diturunkan atau salah seorang rasul sebagaimana yang dilakukan orang yang jahil
terhadap lawannya sampai-sampai ia mencacatkan semua yang ada pada mereka, yang
hak maupun yang batil. Ini adalah kezaliman dan keluar dari yang wajib serta
keluar dari adab berdebat. Karena yang wajib adalah membantah kebatilan yang
ada pada orang yang berdebat dan menerima kebenaran yang ada padanya dan jangan
sampai ia menolak yang hak karena ucapannya meskipun kafir. Di samping itu
mendasari perdebatan dengan mereka di atas dasar ini membuat mereka mengakui Al
Qur’an dan Rasul yang membawanya. Hal itu, karena apabila berbicara tentang
dasar-dasar agama yang disepakati oleh para nabi dan rasul serta disepakati
oleh semua kitab, lalu dasar-dasar itu diakui semua pihak, di mana kitab-kitab
yang diturunkan dan para rasul yang diutus menerangkan sama dengan yang
disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Al Qur’an, maka
yang demikian menghendaki untuk membenarkan semua kitab dan semua rasul, dan
inilah di antara keistimewaan Islam. Adapun jika dikatakan, “Kami beriman
dengan kitab yang dibawa rasul ini, tidak rasul yang itu, padahal ia juga hak
dan membenarkan kitab sebelumnya, maka ia berarti zalim dan berbuat tidak adil,
dan secara tidak langsung ia juga mendustakan kitab yang diturunkan kepada
rasul yang ia sebutkan, karena barang siapa mendustakan Al Qur’an yang sama
menunjukkan seperti yang ditunjukkan kitab sebelumnya, bahkan membenarkan
kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, maka sama saja ia mendustakan
kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.
Oleh karena itu, barang siapa
yang beriman kepada-Nya, menjadikan-Nya sebagai Tuhannya yang disembah, beriman
kepada semua kitab dan semua rasul, tunduk kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,
maka dia adalah orang yang berbahagia, dan barang siapa yang menyimpang
daripadanya, maka dia adalah orang yang celaka.
C. Sikap
Berbuat Baik/ Adil dan Keras terhadap ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani/ non
muslim)
Surah
Al-Mumtahana ayat 7-9
عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ
عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (7)
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ
قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى
إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ (9)
Terjemahan:
(7) Mudah-mudahan Allah akan menimbulkan kasih-sayang diantara kamu
dengan orang-orang yang
pernah kamu musuhi diantara mereka itu; Allah
Maha Kuasa; dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
(8) Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak
mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.
(9) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu
dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka
sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.
Tafsiran Ayat:
Sesungguhnya Islam adalah agama yang damai dan akidah yang penuh
dengan cinta. Menghimpun manusia sebagai sesama saudara yang saling mengenal
dan mencintai. Sedangkan, apabila musuh-musuh orang Islam mengikat perjanjian
damai, maka Islam tidak menganjurkan sama sekali untuk bermusuhan.[3]
Allah SWT
berfirman kepada hamba-hamba-Nya yang beriman setelah menyuruh mereka memusuhi
orang-orang kafir, “mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dan
orang-orang yang kamu musuhi diantara mereka.” Yaitu cinta setelah benci dan
keterikatan hati setelah keterasingannya. “Dan Allah adalah Mahakuasa.”
Mahakuasa untuk menyatukan perkara-perkara yang saling bertentangan, sehingga
ia dapat melunakkan hati yang sebelumnya terjadi permusuhan menjadi bersaudara.
Selanjutnya, Allah berfirman, “Dan Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang,”
yaitu Allah akan memberikan ampunan kepada orang-orang kafir apabila mereka
bertobat kepada Tuhan mereka dan tunduk kepada-Nya.[4]
Allah
SWT berfirman, “ Allah tidak melarang untuk berbuat baik dan berbuat adil terhadap orang-orang yang
memerangimu kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
“Yaitu mereka bahu-membahu dalam mengusirmu. Maksudnya, Allah tidak melarang
kamu berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangimu
karena agama dan mengusir dari negerimu. Maka, kamu diperbolehkan untuk berbuat
baik dan adil kepada mereka, asalkan mereka tidak memerangimu atas nama agama,
tidak mengusirmu dari kampung halamanmu, tidak membantu musuh-musuh kita dengan
bantuan apapun, baik dengan ikut serta bermusyawarah, menyumbangkan pikiran,
apalagi dengan bantuan tenaga dan senjata. [5]
Allah
SWT berfirman, “Sesungguhynya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusirmu dari negerimu
dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.” Yaitu yang dilarang Allah hanyalah
berkawan dengan orang-orang yang telah menancapkan permusuhan kepadamu,
kemudian mereka memerangi dan mengusirmu, dan meminta bantuan orang lain untuk
mengusirmu. Allah melarang berkawan dengan kaum seperti itu dan memerintahkan
untuk memusuhi mereka.
Kemudian Allah menegaskan
mengancam bagi orang yang berkawan dengan mereka dalam firmann-Nya. “Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.” Penggalan ini seperti firman-Nya. “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu jadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai kawan. Dan
barangsiapa di antara kamu yang berkawan dengan mereka, maka sesungguhnya ia
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk
kepada orang-orang yang zalim.”
D. Sikap
Bertoleransi dalam Keyakinan dan Ibadah dengan Orang Kafir atau Non Muslim
Surah Al-Kafirun ayat 1-6
قُلْ
يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Terjemahan
- Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!
- Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
- Dan kamu bukan penyembah apayang aku sembah.
- Dan aku tidak pernaah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
- Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.
- Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Kosakata: ‘Abid عا بد (al-Kafirun/109: 4)
Kata abid merupakan bentuk fa’il (kata yang menunjuk pelaku) dari
kata kerja ‘abadaa-ya’budu, yang artinya menyembah atau beribadah. Dengan
demikian, ‘abid diartikan sebagai penyembah. Bila dikaitkan dengan subjek atau
pelaku yang dimaksud dari kata ini, maka hal itu menunjuk kepada Rasulullah
SAW.Ada mufasir yang berpendapat bahwa antara kandungan ayat ke 4 ini tidak
berbeda dari makna yang terdapat pada ayat ke dua. Pendapat ini jelas tidak
tepat, sebab ada ke duanya terdapat perbedaan penyebutan kata kerja ibadahnya.
Pada ayat ke dua ungkapan yang di pergunakan untuk menunjuk pada penyembahan mempergunakan
kata kerja lampau (fi’il madhi) yang berfungsi menerangkan sesuatu yang lalu,
sedangkan sekarang atau yang akan datang tidak seperti itu. Sedang pada ayat ke
4 yang di gunakan kata kerja bentuk sekarang (fi’il mudhari). Ini
mengisyaratkan bahwa yang di sembah orang musyrik pada waktu yang lalu ada
kemungkinan berbeda dari yang di sembah saat ini atau yang akan datang. Sedang
‘abid, yang terdapat pada ayat ke 4 ini menyatakan konsistensi nabi dalam
beribadah, seperti yang di tunjukkan pada ayat ke 3dan 5, yang menggunakan
bentuk sama, yaitufi’il mudhari ataukata kerja masa kini dan yang akan datang
(a’budhu).
Munasabah
Pada akhir surat alkausar di jelaskan bahwa orang yang membenci
nabi Muhammad akan terputus. Pada awal surah al-kafirun, Rasullullah SAW di
perintahkan bersikap tegas kepada orang yang ingkar kepada Allah.
Sabab nuzul
Telah di riwayatkan bahwa al-walin dan al-mughirah, al-‘As bin
Wa’il As-sahmi, Al-Aswad bin Abdull muthalib dan Umayyah bin Khalaf bersama
rombongan pembesar-pembesar Quraisy datang menemui nabi SAW dan menyatakan,”
hai Muhammad ! marilah engkau mengikuti agama kami dan kami mengikuti agamamu
dan engkau bersama kami dalam semua masalah yang kami hadapi, engkau menyembah
Tuhan kami setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun. Jika agama yang engkau
bawa itu benar, maka kami berada bersamamu dan mendapat bagian darinya, dan
jika ajaran yang ada pada kami itu benar, maka engka telah bersekutu pula
dengan kami dan engkau akan mendapat bagian pula daripadanya,” beliau menjawab,”
Aku berlindung kepada Allah dari mempersekutu kanNya.” Lalu turunlah surat
al-kafirun sebagai jawaban terhadap ajakan mereka
Kemudian nabi SAW pergi ke masjidil haram menemui orang-orang
qurais yang
sedang berkumpul disana dan membaca surat al-kafirun ini, maka mereka berputus asa untuk
dapat bekerja sama dengan
nabi SAW sejak itu mulailah orang-orang quraisy meningkatkan permusuhan mereka kepada nabi dengan menyakiti Beliau dan
para sahabatnya,sehingga tiba masanya hijrah ke madinah.
Tafsir
(1-2) dalam
ayat-ayat ini
Allah memerintahkanNabi Muhammad agar menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa
“Tuhan” yang mereka sembah bukanlah Tuhan yang ia sembah, karena mereka
menyembah tuhan yang memerlukan pembantu dan mempunyai anak atau menjelma dalam
suatu bentuk atau dalam sesuatu rupa atau bentuk-bentuk lain yang mereka
dakwakan. Sedang Nabi SAW menyembah Tuhan yang tidak ada tandingannya dan tidak
ada sekutu bagiNya, tidak mempunyai anak dan istri. Akal tidak sanggup menerka
bagaimana Dia, tidak di tentukan oleh tempat dan tidak terikat oleh masa, tidak
memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan penghubung.
Maksud
pernyataan itu adalah terdapat perbedaan yang sangat besar antara Tuhan yang di
sembah orang-orang kafir dengan Tuhan yang di sembah Nabi Muhammad.mereka
menyifati Tuhannya dengan sifat-sifat yang tidak layak sama sekali bagi tuhan yang di sembah oleh Nabi.
(3)
selanjutnya Allah menambahkan lagi pernyataan yang di perintahkan untuk di sampaikan kepada orang-orang kafir dengan menyatakan
bahwa mereka tidak menyembah Tuhan yang di dakwahkan Nabi Muhammad, karena
sifat-sifatNya berlainan dengan sifat-sifat Tuhan yang mereka sembah dan tidak mungkin di pertemukan antara kedua macam
sifat tersebut.
(4-5)
Sesudah Allah menyatakan tentang tidak mungkin ada persamaan dalam sifat antara Tuhan yang di sembah oleh Nabi SAW dengan yang di sembah oleh
orang-orang kafir, maka dengan sendirinya tidak ada pula persamaan dalam hal
ibadah. Tuhan yang di sembah Nabi Muhammad adalah Tuhan yang maha suci dari
sekutu dan tandingan, tidak menjelma menjadi seseorang atau memihak kepada
suatu bangsa atau orang tertentu. Sedangkan Tuhan yang mereka sembah itu
berbeda dari Tuhan yang tersebut di atas. Lagi pula ibadah Nabi hanya untuk Allah saja,
sedangkan ibadah mereka bercampur dengan syirik dan di campuri kelalaiaan dari
Allah, maka yang demikian itu tidak di namakan ibadah.
(6)
kemudian dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang kafir dengan firmannya
yaitu,”Bagi kamu balasan atas amal perbuatanmu dan bagiku balasan atas amal
perbuatanku.”
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jazairi, Abu Bakar. Tafsir al-Quran al-Aisar terj.
Azhari Hatim dan Mukti. (Jakarta: Darus Sunnah Press). 2006.
Al-Maragi, Syekh Ahmad Mustafa. Tarjamah Tafsir al-Maragi Juz 3,
alih bahasa M. Thalib. (Bandung: CV. Rosda Bandung). 1987.
Al-Rifa’i, Muhammad Nasib. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Iktishari
Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4. (Jakarta: Gema Insani Press). 2000.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya. (Jakarta: PT.
Sygma Examedia Arkanlema). 2010
Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an. (Jakarta: Gema
Insani). 2004.
[1] Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan
Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanlema, 2010), hlm. 58
[2] Syekh Ahmad
Mustafa Al-Maragi, Tarjamah Tafsir al-Maragi Juz 3, alih bahasa M.
Thalib, (Bandung: CV. Rosda Bandung, 1987), hlm. 232-235
[3] Sayyid
Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 239.
[4] Muhammad
Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Iktishari Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid 4, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 673.
[5] Abu
Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari
Hatim dan Mukti, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), 401-402.