MAKALAH HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Saturday, May 21, 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Beberapa waktu belakangan semenjak
bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik
sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian
dari berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, kalangan
akademisi, pelaku ekonomi bahkan masayarakat awam. Semua pihak berbicara dan
memberikan komentar tentang “otonomi daerah” menurut pemahaman dan persepsinya
masing-masing. Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap
otonomi daerah sangat disebabkan perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang
digunakan.
Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah
suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia
, konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi
sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat
beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi
Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU
22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah.
Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian
UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. Sedangkan
saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonoi daerah yang luas, nyata dan
bertanggungjawab.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
otonomi daerah pada saat ini?
2. Apa dampak dari adanya otonomi daerah?
3. Bagaimana dengan perkembangan otonomi
yang akan datang?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Otonomi Daerah
Pemerintahan
daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundangundangan.
Daerah
otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Tugas
pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Landasan Penyelenggaraan Otonomi
Daerah
Terdapat beberapa alasan terhadap
dilaksanakannya desentralisasi di Indonesia yang dirasa sangat mendesak, diantaranya
:
1.
Kehidupan
ekonomi yang terpusat di Jakarta, sementara itu pembangunan di beberapa wilayah
lain dilalaikan,
2.
Pembagian
kekayaan yang tidak adil dan merata. Daerah yang memiliki sumber daya alam yang
melimpah tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah.
3.
Kesenjangan
social antara suatu daerah dengan daerah yang lain sangat terasa. Pembangunan
fisik disuatu daerah sangat pesat sekali, namun disisi lain pembangunan di
daerah lain masih lamban bahkan terbengkalai.
Tujuan Otonomi Daerah
Desentralisasi merupakan symbol adanya
kepercayaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam konsep
desentralisasi, peran pemerintah pusat adalah mengawasi, memantau, dan
mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.
Tujuan yang hendak dicapai dengan
diterapkannya otonomi daerah yaitu untuk memperlancar pembangunan di seluruh
pelosok tanah air secara merata tanpa ada pertentangan, sehingga pembangunan
daerah merupakan pembangunan nasional secara menyeluruh.
Melalui
otonomi daerah diharapkan daerah akan lebih mandiri menentukan setiap
kegiatannya tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah
diharapkan mampu membuka peluang memajukan daerahnya dengan melakukan
identifikasi sumber-sumber pendapatan dan mampu menetapkan belanja daerah
secara efisien, efektif, dan wajar.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka konsep
otonomi yang diterapkan adalah :
· Penyerahan sebanyak mungkin
kewenangan pemerintah pusat dalam hubungan domestic kepada pemerintah daerah.
Kecuali untuk bidang politik luar negeri, pertahanan, keagamaan, serta bidang
keuangan dan moneter. Dalam konteks ini, pemerintah daerah terbagi atas dua
lingkup, yaitu daerah kabupaten, kota, dan propinsi.
· Penguatan peran DPRD sebagai
representasi rakyat.
· Peningkatan efektifitas fungsi
pelayanan melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki, serta
lebih responsive terhadap kebutuhan daerah.
· Peningkatan efisiensi administrasi
keuangan daerah serta penguatan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan
daerah. Pembagian pendapatan dari sumber penerimaan yang berkaitan dengan
kekayaan alam, pajak dan retribusi.
· Pengaturan pembagian sumber-sumber
pendapatan daerah serta pemberian keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk
menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi upaya pemberdayaan manusia.
· Perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah yang merupakan suatu sistem pembiayaan penyelenggaraan pemerintah
yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah serta
pemerataan antar daerah secara proposional.
Faktor Pendukung Otonomi Daerah
Dalam pelaksanaannya, otonomi daerah
merupakan desentralisasi sebagian kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk dilaksanakan menjadi urusan rumah tangganya sendiri.
Pemberian otonomi kepada daerah haruslah didasarkan kepada factor-faktor yang
dapat menjamin daerah yang bersangkutan mampu mengurus rumah tangganya.
Diantara factor-faktor tersebut yang
mendukung terselenggaranya otonomi daerah diantaranya adalah kemampuan
sumberdaya manusia yang ada, serta ketersediaan sumber daya alam dan peluang
ekonomi daerah tersebut.
1. Kemampuan sumber daya manusia. Salah
satu kunci kesuksesan penyelenggaraan otonomi daerah sangatlah bergantung pada
sumber daya manusianya. Disamping
2. perlunya aparatur yang kompeten,
pembangunan daerah juga tidak mungkin dapat berjalan lancer tanpa adanya
kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk itu tidak hanya kualitas
aparatur yang harus ditingkatkan tetapi juga kualitas partisipasi masyarakat.
Dalam mensukseskan pembangunan dibutuhkan masyarakat yang berpengetahuan
tinggi, keterampilan tinggi, dan kemauan tinggi. Sehingga benar-benar mampu
menjadi innovator yang mampu menciptakan tenaga kerja yang berkualitas.
3. Kemampuam keuangan/ekonomi. Tanpa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pendapatan daerah jelas tidak mungkin dapat
ditingkatkan. Sementara itu dengan pendapatan yang memadai, kemampuan daerah
untuk menyelenggarakan otonomi akan meningkat. Dengan sumber daya manusia yang
berkualitas, daerah akan mampu untuk membuka peluang-peluang potensi ekonomi
yang terdapat pada daerah tersebut.
2.2 Berbagai Dampak yang muncul dalam
Otonomi Daerah
Di beberapa tempat memang terlihat berbagai keuntungan yang
diperoleh dengan diberlakukannya otonomi daerah. Sebagai contoh, di Kabupaten
Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung mereka telah
berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang
pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan
(community-based). Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober yang memungkinkan
bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negara
dengan cara yang berkelanjutan. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di
sana dengan bantuan LSM-LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di
wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka
terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka.
Sedangkan di wilayah lainnya, otonomi daerah malahan semakin
memperburuk keadaan. Beberapa Bupati menetapkan peningkatan ekstraksi
besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka –suatu proses yang semakin
mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah.
Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh
dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.
Di Kalimantan Timur, bupati dikabarkan telah mengeluarkan
ratusan Hak/Izin/HPH konsensi penebangan kayu bagi 100 perusahaan skala kecil
senilai Rp. 50 juta dan Rp. 100 juta. Para raja kayu dengan HPH yang lebih
besar dan sudah habis sekarang mulai memanipulasi dan memanfaatkan penduduk
lokal untuk membentuk koperasi guna mendapatkan HPH penebangan kayu.
Koperasi-koperasi ini berperan melanjutkan operasi penebangan kayu para raja
kayu dan memungkinkan mereka untuk
4
tetap menjalankan pengolahan kayu. Barangkali masyarakat
lokal mendapatkan keuntungan jangka pendek dari pembayaran yang mereka terima.
Tetapi dalam jangka panjang mereka dirugikan dengan rusaknya sumber daya
keamanan sosial mereka. Laporan serupa tentang masalah ini muncul juga dari
berbagai tempat lainnya di Indonesia.
Suatu lokakarya di Kutai Barat, Kalimantan Timur,
mengidentifikasikan sedikitnya 250 konflik/sengketa di kabupaten itu yang
muncul akibat kegagalan untuk mendapatkan pengakuan hak tanah ulayat, klaim
tanah yang tumpang tindih, klaim yang saling bertentangan antara pemilik ijin
pengolahan hutan yang lama dan baru serta konflik-konflik antara pemilik
konsesi dan masyarakat-masyarakat lokal. Para pembicara di lokakarya tersebut
mengatakan bahwa situasi yang memburuk di hutan memiliki pengaruh negatif
terhadap ekonomi lokal karena penduduk lokal didorong ke dalam gaya hidup
konsumtif. Bupati setempat, Rama Asia, mendapat serangan gencar sehubungan
dengan dikeluarkannya lisensi-lisensi/hak usaha skala kecil –di distrik itu
saja sudah terdapat 622 lisensi—dan menyalahkan kerusakan hutan terhadap para
pemegang konsesi penebangan kayu yang lebih besar yang berasal dari Jakarta.
Kementrian kehutanan sekarang ini dilaporkan tengah dalam
proses membatalkan kembali suatu ketetapan yang dikeluarkan pada tahun lalu,
yang memberikan pengalihan tanggungjawab dalam menangani konsesi-konsesi hutan
yang lebih besar kepada pemerintahan daerah. Larangan sebelumnya terhadap
kepala daerah untuk mengeluarkan HPH/HGU/lisensi-lisensi skala kecil diabaikan
begitu saja oleh para pejabat distrik.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil menyerukan agar otonomi
daerah dikembalikan pada jalur semula –yang menjamin tujuan-tujuan awal untuk
memperkuat demokrasi lokal. Selain itu, mereka juga menyerukan agar desakan
untuk membangun pemerintahan yang bersih tidak dilupakan dalam arus cari untung
dari sumber daya alam. Salah satu aspek yang bisa jadi menjadi masalah di
kemudian hari adalah keuangan. Prinsip money follow function tampaknya belum sepenuhnya
tercermin pada sistem perundang-undangan yang ada.
UU No 25/1999 memang menetapkan sumber-sumber keuangan daerah. Namun, secara umum, daerah belum memiliki keleluasaan untuk menggali sendiri sumber-sumber keuangannya. Sejumlah ketentuan masih sangat mengikat mereka, yang kalau tidak segera dilonggarkan, berpotensi menjadi ganjalan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Masalah lain, UU No 25/1999 juga memperkenalkan sistem bagi hasil atas SDA. Bila pemerintah tidak segera menetapkan secara jelas dasar pembagian hasil tersebut, sangat mungkin terjadi kecurigaan besar dari daerah atas kejujuran pusat dalam membagi.
UU No 25/1999 memang menetapkan sumber-sumber keuangan daerah. Namun, secara umum, daerah belum memiliki keleluasaan untuk menggali sendiri sumber-sumber keuangannya. Sejumlah ketentuan masih sangat mengikat mereka, yang kalau tidak segera dilonggarkan, berpotensi menjadi ganjalan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Masalah lain, UU No 25/1999 juga memperkenalkan sistem bagi hasil atas SDA. Bila pemerintah tidak segera menetapkan secara jelas dasar pembagian hasil tersebut, sangat mungkin terjadi kecurigaan besar dari daerah atas kejujuran pusat dalam membagi.
Dan,
di luar semua masalah itu, kemampuan keuangan daerah yang sangat beragam akan memungkinkan
terjadinya ketimpangan horizontal antardaerah. Persoalan ini bias menimbulkan
macam-macam masalah ikutan, baik di daerah kaya maupun miskin.Beberapa gagasan
dalam mewujudkan masa depan ekonomi politik yang lebih baik dan dinamis di daerah
antara lain:
Pertama, sistem rekrutmen kepala daerah
melalui Pilkadal hendaknya dipandang sebagai “pintu” dalam memajukan ekonomi
daerah. Sehingga berbagai kendala dalam sistem rekrutasi yang menghalangi figur
berkualitas dan berwawasan ekonomi daerah, nasional dan global tidak terhambat
oleh adanya aturan-aturan yang bernuansa kepentingan politis dan jangka pendek.
Kedua, diperlukan kesamaan visi, misi,
persepsi dan paradigma dalam pembangunan daerah ke depan, antara pemerintah
pusat dan daerah serta seluruh elemen masyarakat. Momentum dilahirkannya DPD
RI, Pilkadal, dan berbagai produk konstitusi era reformasi lainnya, merupakan
“energi sosial” yang besar dalam membangun masa depan ekonomi politik di daerah
secara lebih cerah, prospektif dan memberi harapan.
Ketiga, diperlukan “blue-print”
perencanaan pembangunan yang terencana, matang dan komprehensif antara
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sinkronisasi tidak hanya terletak pada
berbagai produk legislasi, tetapi juga pada tataran manajemen operasionalisasi
pembangunan; menyangkut: prioritas pemilihan sektor ekonomi dan pembangunan
yang berbasis keunggulan daerah, dan prospektif terhadap peningkatan daya saing
nasional.
Keempat, masa depan ekonomi politik di
daerah amat ditentukan oleh desain awal dan komitmen awal bersama kita terhadap
pembangunan daerah. Diperlukan konsistensi dan kontinyuitas pola pembangunan
ekonomi di daerah. Seluruh instrumen dan infrastruktur politik di daerah harus
diarahkan dan dikerahkan ke dalam upaya revitalisasi ekonomi di daerah.
2.3 Otonomi Daerah Saat Ini
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi
Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah
otonom untuk menatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah
otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang
luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup
kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang
dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan
serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkain
baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah
dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi
Daerah dalam UU 22/1999 adalah :
- Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
- Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
- Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
- Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
- Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
- Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
- Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
- Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU
22/1999 yang dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan
yang perlu segera dicarikan pemecahannya. Namun sebagian kalangan beranggapan
timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat dari kesalahan dan
kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga merekapun mengupayakan
dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999 tersebut.
Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi
kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang baru berjalan memasuki
bulan kesepuluh bulan ini, berbagai permasalahan yang timbul tersebut
seharusnya dapat dimaklumi karena masih dalam proses transisi. Timbulnya
berbagai permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena terbatasnya
peraturan pelaksanaan yang bisa dijadikan pedoman dan rambu-rambu bagi
implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut. Jadi bukan pada tempatnya jika
kita langsung mengkambinghitamkan bahkan memvonis bahwa UU 22/1999
tersebut keliru.
2.4 Otonomi Daerah dan Prospeknya di Masa
Mendatang
Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di
bawah UU 22/1999 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik
yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang
digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat
dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya
pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi
aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta
hubungan Pusat dan Daerah.
Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian dan
penyelenggaraan Otonomi Daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari Otonomi
Daerah tersebut. Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini
adalah aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Dari aspek ideologi , sudah jelas dinyatakan bahwa
Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar negara.
Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan, semangat
persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak asasi manusia, demokrasi, dan
keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami
dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan
Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan
dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia
.
Dari aspek politik , pemberian otonomi dan kewenangan
kepada Daerah merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada
Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan
memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan yang
harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya
dukungan Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan
dan kesatuan bangsa.
Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik
rakyat akan membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah.
Dari aspek ekonomi , kebijakan Otonomi Daerah yang
bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi
Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan
pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk
meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan.
Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan
maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional
maupun global.
Dari aspek sosial budaya , kebijakan Otonomi Daerah
merupakan pengakuan terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa,
agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di
daerah. Pengakuan Pusat terhadap keberagaman Daerah merupakan suatu nilai
penting bgi eksistensi Daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa
setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh
terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan
nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan
budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.
Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan ,
kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah untuk
memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional.
Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan kepercayaan Daerah terhadap
Pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat akan dapat
mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia .
Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek
ideologi, politik, sosal budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan
Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah
mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala
tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan
bernegara.
Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat
terlaksana jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat
diatasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa
mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu :
·
Adanya
komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga
perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi
·
kebijakan
Otonomi Daerah.
·
Adanya
konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan
Otonomi Daerah.
·
Kepercayaan
dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam pemerintah dalam mewujudkan
cita-cita Otonomi Daerah.
Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang
mustahil Otonomi Daerah mempunyai prospek yang sanat cerah di masa mendatang.
Kita berharap melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa kebijakan
Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di
daerah.
Ada beberapa karakteristik penyelenggaraan pemerintahan
daerah menurut undang-undang ini. Pertama, wilayah negara dibagi ke
dalam daerah yang bersifat otonom dan ke dalam wilayah administratif. Pada
prakteknya, tidak ada daerah yang benar-benar otonom. Semua daerah pada era ini
hanyalah wilayah administratif yang pemerintahan daerahnya hanyalah
melaksanakan kebijakan pusat. Pemerintahan di daerah bersikap menunggu
petunjuk, hampir tidak ada tindakan yang merupakan inisiatif dan hasil
kreativitas daerah. Kedua, dipakai sistem hirarki pada setiap tingkatan
pemerintahan. Sistem hirarki ini riskan karena dengan kekuasaan yang lebih
besar di tingkat pemerintahan lebih tinggi, itu seringkali disalahgunakan untuk
memaksakan kehendak terhadap pemerintahan di bawahnya. Pemerintahan yang lebih
tinggi, yang memiliki kekuasaan lebih besar, cenderung akan memperlakukan
daerah dibawahnya sebagai sarana untuk pencapaian tujuan sendiri. Sedangkan
daerah di bawahnya, yang tentu saja lebih lemah tersebut, harus mengabdi kepada
daerah di atasnya. Ketiga, DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah. Dengan
hubungan seperti ini, DPRD berada dibawah kepala daerah sehingga DPRD tidak
berperan sebagai wakil rakyat daerah, melainkan hanya pembantu kepala daerah.
Keempat, Mendagri terlalu mencampuri urusan daerah. Kelima, kedudukan kepala
wilayah lebih kuat ketimbang kepala daerah. Hal ini menjadikan cengkraman pusat
terhadap daerah sedemikian kuat sehingga daerah tidak memiliki kebebasan untuk
mengatur rumahtangga sendiri. Terakhir, ketergantungan daerah di sektor
keuangan. Akibatnya, hampir semua proyek pembangunan di daerah ditentukan oleh
pusat, sedangkan daerah hanya pelaksana.
BAB III
PENUTUP
Ø Kesimpulan
Sentralisasi
berfungsi menciptakan keseragaman, sedangkan desentralisasi menciptakan
keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan. Walapun demikian berbagai aspek
dinamik dalam mengaplikasikan kedua asas tersebut selalu menimbulkan isu.
Tanggap Pemerintah dan DPR mengenai isu tersebut tertuang dalam perubahan
berbagai UU tentang Pemerintahan Daerah.
Sekalipun
setiap perubahan UU Pemerintahan Daerah pada dasarnya merupakan reformasi
pemerintahan daerah, namun terdapat perbedaan mengenai gradasi, skala dan
besaran substansi perubahan yang dikehendaki oleh UU Pemerintahan Daerah yang
dicanangkan. Perubahan yang dikehendaki oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25
Tahun 1999 tergolong perubahan yang radikal (radical change) atau
drastik (drastic change) dan bukan perubahan yang gradual (gradual
change). Oleh karena itu, konflik, krisis dan goncangan yang menyertai
reformasi tersebut lebih besar daripada serangkaian reformasi yang pemah
terjadi sebelumnya. Dibandingkan dengan reformasi pemerintahan daerah di
berbagai negara berkembang lainnya pun reformasi pemerintahan daerah di
Indonesia masih tergolong sangat besar. Reformasi pemerintahan daerah di
Indonesia tergolong big bang approach.
Namun
perubahan sejumlah paradigma dan model tersebut tidak berakar pada strategi.
Desentralisasi bukanlah tujuan tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Dalam TAP MPR No. IV/WR/2000 ditegaskan bahwa kebijakan otonomi daerah
diarahkan kepada pencapaian peningkatan pelayanan publik dan pengembangan
kreativitas pemerintah daerah, keselerasan hubungan antara Pemerintah dengan
Daerah dan antar Daerah dalam kewenangan dan keuangan, untuk menjamin
peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat dan
menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian Daerah. Tujuan
desentralisasi tersebut belum tertampung dalam strategi reformasi pemerintahan
daerah yang digulirkan melalui kedua undang-undang tersebut. Pada hakekatnya
desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritoir
tertentu. Sebagai pancaran paham kedaulatan rakyat, tentu otonomi diberikan
oleh Pemerintah kepada masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun
Pemerintah Daerah. Ketegasan pernyataan otonomi milik masyarakat dan masyarakat
sebagai subyek dan bukan obyek otonomi perlu dicanangkan di masa depan untuk
meluruskan penyelenggaraan otonomi daerah. Telah lama Hatta (1957) menegaskan
bahwa otonomisasi suatu masyarakat oleh Pemerintah tidak saja berarti
melaksanakan demokrasi tetapi juga mendorong berkembangnya prakarsa sendiri
dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan untuk kepentingan masyarakat
setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri tercapailah apa yang dimaksud
dengan
demokrasi
yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan
nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri.
Dengan visi yang sama, Kartohadikusumo (1955) mengatakan bahwa pada hakekatnya
otonomi merupakan usaha untuk mendapatkan jawaban kembali semangat dan kekuatan
rakyat guna membangun masa depan mereka sendiri yang luhur.
Guna
tercapainya kesejahteraan masyarakat diperlukan kestabilan penyelenggaraan
pemerintah daerah. Visi mensejahterakan masyarakat harus dibangun dan dijadikan
acuan oleh kedua lembaga tersebut. Menurut Hatta (1957) demokrasi tidak saja
mendidik orang bertanggungjawab mengenai keselamatan dan kesejahteraan
masyarakat, tetapi juga menanam perhatian terhadap usaha-usaha publik. Setiap orang
harus bersedia mencurahkan perhatian dan tenaganya untuk membela kepentingan
umum tanpa mengharapkan imbalan jasa. Kewajiban membela kepentingan bersama,
keselamatan dan kesejahteraan umum di dalam lingkungan hidup yang besar dan
kecil. Pemberian layanan dan barang public perlu melibatkan sektor swasta dan
komunitas dengan tetap menjunjung tinggi berbagai prinsip: transparansi,
akuntabilitas, efisensi, keadilan dan penegakan hukum.
Untuk mengetahui prospek ke depan dari Otonomi Daerah
dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Pendekatan yang digunakan
disini adalah :
ü aspek
ideologi,
ü politik,
ü sosial
budaya, dan
ü pertahanan
keamanan.
Ø Saran
Untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik bagi masa
mendatang, diperlukan langkah-langkah, tahapan-tahapan dengan merevieuw
terhadap pemerintahan yang lalu, sebagai tolak ukur dalam keberhasilan hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini dapat terlihat dari
hasil-hasil yang telah diciptakan/diterima oleh masyarakat. Seperti bagaimana
pelayanan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin.
Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan berupa aspek
ideologi, politik, social budaya, dan pertahanan keamanan, diharapkan dapat
terjalin dan tercipta suatu hubungan yang baik antara pemerintah dengan
masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat di masa yang akan dating dapat
lebih terjamin kehidupannya.
DAFTAR
PUSTAKA
http://kk-blog-07.blogspot.com/2011/02/makalah-hubungan-pemerintah-pusat-dan.html
Buku Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Undang-Undang . No. 32 Tahun 2004