Perjanjian jual beli islam secara legal
Monday, April 22, 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG
Menjual
adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli
yaitu menerimanya.
Allah
telah menjelaskan dalam kitab-Nya yang mulia demikian pula Nabi shalallahu
'alaihi wasallam dalam sunnahnya yang suci beberapa hukum muamalah, karena
butuhnya manusia akan hal itu, dan karena butuhnya manusia kepada makanan yang
dengannya akan menguatkan tubuh, demikian pula butuhnya kepada pakaian, tempat
tinggal, kendaraan dan sebagainya dari berbagai kepentingan hidup serta
kesempurnaanya.
Islam
melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu
semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk
aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus, dijadikan
sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi
khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi.
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM JUAL BELI
Hukum
Jual Beli
Jual
beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan al Kitab, as Sunnah, ijma
serta qiyas :
Allah
Ta'ala berfirman : " Dan Allah menghalalkan jual beli Al Baqarah"
Allah
Ta'ala berfirman : " tidaklah dosa bagi kalian untuk mencari keutaman
(rizki) dari Rabbmu "
(Al
Baqarah : 198, ayat ini berkaitan dengan jual beli di musim haji)
Dan
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "Dua orang yang saling berjual
beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika
keduianya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya
(dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan
apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan
dicabut barokah jual beli dari keduanya"
(Diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami
no. 2886)
Dan
para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas
yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual
beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain
baik berupa harga atau sesuaitu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak
dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka
jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada
tujuan yang dikehendaki. .
Akad
Jual Beli :
Akad
jual beli bisa dengan bentuk perkataan maupun perbuatan :
•
Bentuk perkataan terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti
ucapan " saya jual" dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli
dengan ucapan "saya beli "
•
Bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari perbuatan
mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang dagangan kepadanya
(pembeli) dan (pembeli) memberikan harga yang wajar (telah ditentukan).
Dan
kadang bentuk akad terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus :
Berkata
Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullah : jual beli Muathoh ada beberapa
gambaran
1.
Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan pembeli mengambilnya seperti
ucapan " ambilah baju ini dengan satu dinar, maka kemudian diambil,
demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti mengucapkan
"ambilah baju ini dengan bajumu", maka kemudian dia mengambilnya.
2.
Pembeli mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi, sama saja
apakah harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk suatu jaminan dalam
perjanjian.(dihutangkan)
3.
Keduanya tidak mengucapkan lapadz apapun, bahkan ada kebiasaan yaitu meletakkan
uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu yang telah dihargai.
Syarat
Sah Jual Beli
Sahnya
suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad dan (barang)
yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka
tidak sah jual belinya. Adapun syarat tersebut adalah sbb :
Bagi
yang beraqad :
1.
Adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi suatu jual
beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa tanpa haq (sesuatu
yang diperbolehkan) berdasarkan firman Allah Ta'ala " kecuali jika jual
beli yang saling ridha diantara kalian ", dan Nabi shalallahu 'alaihi
wasallam bersabda "hanya saja jual beli itu terjadi dengan asas
keridhan" (HR. Ibnu Hiban, Ibnu Majah, dan selain keduanya), adapun
apabila keterpaksaan itu adalah perkara yang haq (dibanarkan syariah), maka sah
jual belinya. Sebagaimana seandainya seorang hakim memaksa seseorang untuk
menjual barangnya guna membayar hutangnya, maka meskipun itu terpaksa maka sah
jual belinya.
2.
Yang beraqad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk melakukan
transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang yang sehat akalnya,
maka tidak sah jual beli dari anak kecil, bodoh, gila, hamba sahaya dengan
tanpa izin tuannya.
(catatan
: jual beli yang tidak boleh anak kecil melakukannya transaksi adalah jual beli
yang biasa dilakukan oleh orang dewasa seperti jual beli rumah, kendaraan dsb,
bukan jual beli yang sifatnya sepele seperti jual beli jajanan anak kecil, ini
berdasarkan pendapat sebagian dari para ulama pent)
3.
Yang beraqad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau menempati posisi
sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan sabda Nabi kepada Hakim bin
Hazam " Janganlah kau jual apa yang bukan milikmu" (diriwayatkan oleh
Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya). Artinya jangan engkau menjual
seseuatu yang tidak ada dalam kepemilikanmu.
Berkata
Al Wazir Ibnu Mughirah Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa tidak boleh
menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan tidak juga dalam kekuasaanya, kemudian
setelah dijual dia beli barang yang lain lagi (yang semisal) dan diberikan
kepada pemiliknya, maka jual beli ini bathil
Bagi
(Barang) yang diaqadi
•
Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara mutlaq,
maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil manfaatnya seperti
khomer, alat-alat musik, bangkai berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi
wasallam " Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual bangkai, khomer, dan patung
(Mutafaq alaihi). Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan " mengharamkan khomer
dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya, mengharamkan babi dan
harganya", Tidak sah pula menjual minyak najis atau yang terkena najis,
berdasarkan sabda Nabi " Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu
(barang) mengharamkan juga harganya ", dan di dalam hadits mutafaq alaihi:
disebutkan " bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai, sesungguhnya
lemak itu dipakai untuk memoles perahu, meminyaki (menyamak kulit) dan untuk
dijadikan penerangan", maka beliau berata, " tidak karena sesungggnya
itu adalah haram.".
•
Yang diaqadi baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk
didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan (dikuasai)
menyerupai sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual belinya, seperti tidak
sah membeli seorang hamba yang melarikan diri, seekor unta yang kabur, dan
seekor burung yang terbang di udara, dan tidak sah juga membeli barang curian
dari orang yang bukan pencurinya, atau tidak mampu untuk mengambilnya dari
pencuri karena yang menguasai barang curian adalah pencurinyasendiri..
•
Barang yang diaqadi tersebut diketahui ketika terjadi aqad oleh yang beraqad,
karena ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan suatu bentuk penipuan,
sedangkan penipuan terlarang, maka tidak sah membeli sesuatu yang dia tidak
melihatnya, atau dia melihatnya akan tetapi dia tidak mengetahui (hakikat) nya.
Dengan demikian tidak boleh membeli unta yang masih dalam perut, susu dalam
kantonggnya. Dan tidak sah juga membeli sesuatu yang hanya sebab menyentuh
seperti mengatakan "pakaian mana yang telah engkau pegang, maka itu harus
engkau beli dengan (harga) sekian " Dan tidak boleh juga membeli dengam
melempar seperti mengatakan "pakaian mana yang engaku lemparkan kepadaku,
maka itu (harganya0 sekian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radiallahu
anhu bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan hasil
memegang dan melempar" (mutafaq alaihi). Dan tidak sah menjual dengan mengundi
(dengan krikil) seperti ucapan " lemparkan (kerikil) undian ini, maka
apabila mengenai suatu baju, maka bagimu harganya adalah sekian "
RUKUN
JUAL BELI
Sebuah
transaksi jual beli membutuhkan adanya rukun sebagai penegaknya. Dan rukunnya
ada tiga perkara, yaitu: [1] Adanya pelaku yaitu penjual dan pembeli yang
memenuhi syarat, [2] Adanya akad/ transaksi [3] Adanya barang/ jasa yang
diperjual-belikan.
1.
Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual
dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah
untuk boleh melakukan transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku
yang harus berakal dan baligh.
Maka
jual beli tidak memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang
gila atau tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka termasuk orang
yang kurang akalnya (idiot).
Demikian
juga jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh tidak sah,
kecuali bila yang diperjual-belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat
kecil. Namun bila seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau orang dewasa,
jual beli yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah.
Sebagaimana
dibolehkan jual beli dengan bantuan anak kecil sebagai utusan, tapi bukan
sebagai penentu jual beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk
membelikan suatu benda di sebuah toko, jual beli itu sah karena pada dasarnya
yang menjadi pembeli adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah
utusan atau suruhan saja.
2.
Adanya Akad
Penjual
dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk bertukar dalam jual beli. Akad itu
seperti: Aku jual barang ini kepada anda dengan harga Rp 10.000".lalu
pembeli menjawab, “Aku terima.”
Sebagian
ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali
bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya. Namun
ulama lain membolehkan akad jual beli dengan sistem mu’athaah, yaitu
kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan
lafadz.
3.
Adanya Barang/ Jasa Yang Diperjual-belikan
Rukun
yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama
menetapkan bahwa barang yang diperjual belikan itu harus memenuhi syarat
tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual beli menjadi sah secara syariah,
maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a.
Barang Yang Diperjualbelikan Harus Suci
Benda-benda
najis bukan hanya tidak boleh diperjual-belikan, tetapi juga tidak sah untuk
diperjual-belikan. Seperti bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran
manusia, kotoran hewan dan lainnya. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:
وَعَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ
اَللَّهِ يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ, وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ
حَرَّمَ بَيْعَ اَلْخَمْرِ, وَالْمَيْتَةِ, وَالْخِنْزِيرِ, وَالْأَصْنَامِ
Dari
Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di Makkah
pada tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang jual beli minuman
keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR Muttafaq Alaih)
Bank
Darah Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak boleh didapat dari
jual-beli. Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah menegaskan bahwa bank
darah yang mereka miliki bukan didapat dari membeli. Lembaga itu pun tidak melakukan
penjualan darah untuk pasien.
Kalau
ada pembayaran, bukan termasuk kategori memperjual-belikan darah, melainkan
biaya untuk memproses pengumpulan darah dari para donor, penyimpanan,
pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya lain yang dibutuhkan. Namun secara
akad, tidak terjadi jual beli darah, karena hukumnya haram.
Kotoran
Ternak
Demikian
juga dengan kotoran ternak yang oleh umumnya ulama dikatakan najis, hukumnya
tidak boleh diperjual-belikan. Padahal kotoran itu sangat berguna bagi para
petani untuk menyuburkan tanah mereka. Untuk itu mereka tidak melakukan
jual-beli kotoran ternak. Kotoran itu hanya diberikan saja bukan dengan akad
jual-beli. Pihak petani hanya menanggung biaya penampungan kotoran,
pengumpulan, pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk semua itu bukan harga
kotoran hewan, sehingga tidak termasuk jual beli.
b.
Barang Yang Diperjualbelikan Harus Punya Manfaat
Yang
dimaksud dengan barang harus punya manfaat adalah bahwa barang itu tidak
bersungsi sebaliknya. Barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang
membahayakan atau merugikan manusia.
Oleh
karena itu para ulama As-Syafi’i menolak jual beli hewan yang membahayakan dan
tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular atau semut. Demikian juga
dengan singa, srigala, macan, burung gagak.
Mereka
juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatul-lahwi yang memalingkan
orang dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan syarat bila setelah dirusak
tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka jual beli alat musik itu batil. Karena
alat musik itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan
mereka.Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti
tambur, seruling, rebab dan lainnya. (Lihat Kifayatul Akhyar jilid 1 halaman
236).
c.
Barang Yang Diperjualbelikan Harus Dimiliki Oleh Penjualnya
Tidak
sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang
tersebut menjadi wali (wilayah) atau wakil. Yang dimaksud menjadi wali
(wilayah) adalahbila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim
atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak
itu.
Sedangkan
yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat mandat dari pemilik
barang untuk menjualkannya kepada pihak lain. Dalam prakteknya, makelar bisa
termasuk kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara
konsinyasi, di mana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya
adalah sebagai wakil dari pemilik barang.
Adapun
transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka transaksi itu batil,
karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual
barang itu. Dalilnya adalah sebagai berikut:
Tidak
sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak.
Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak
untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang
memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali
dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya. (HR Tirmizi - Hadits
hasan)
Namun
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat banyak jalur
sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi hadits shahih.
Dalam
pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi’i membolehkan jual beli yang dilakukan
oleh bukan pemiliknya, teapi hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada
persetujuan pemilik aslinya. Misalnya, sebuah akad jual beli dilakukan oleh
bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu
ternyata tidak setuju, maka jual beli itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi
bila setuju, maka jual-beli itu sudah dianggap sah. Dalilnya adalah hadits
berikut ini:
‘Urwah ra berkata, “Rasulullah SAW
memberi aku uang 1 Dinar untuk membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku
belikan untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga 1
Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar
sambil aku ceritakan kisahku. Beliau pun bersabda, “Semoga Allah memberkatimu
dalam perjanjianmu.” (HR Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d.
Barang Yang Diperjualbelikan Harus Harus Bisa Diserahkan
Maka
menjual unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena tidak jelas
apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak. Demikian juga tidak sah menjual
burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik
secara pisik maupun secara hukum. Demikian juga ikan-ikan yang berenang bebas
di laut, tidak sah diperjual-belikan, kecuali setelah ditangkap atau bisa
dipastikan penyerahannya.
Para
ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari
pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e.
Barang Yang Diperjualbelikan Harus Diketahui Keadaannya
Barang
yang tidak diketahui keadaanya, tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali
setelah kedua belah pihak mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun
dari segi kualitasnya.
Dari
segi kualitasnya, barang itu harus dilihat oleh penjual dan pembeli sebelum
akad jual beli dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung. Dari segi
kuantitas, barang itu harus bisa dtetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau
panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di
masanya.
Dalam
jual beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik
dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan bermotor,
disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan
kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di
masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan
disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak
rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya
syarat-syarat jual beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang
seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tehnik, misalnya:
• Dengan membuat daftar spesifikasi
barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan tentang
data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi
listrik dan lainnya.
• Dengan membuka bungkus contoh barang
yang bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample barang.
• Garansi yang memastikan pembeli
terpuaskan bila mengalami masalah.
BAB III
PENUTUP
Jual
beli dalam Islam diharapkan menjadi cikal bakal dari sebuah sistem pasar yang
tepat dan sesuai dengan alam bisnis. Sistem pasar yang tepat akan menciptakan
sistem perekonomian yang tepat pula. Maka, jika kita ingin menciptakan suatu
sistem perekonomian yang tepat, kita harus membangun suatu sistem jual beli
yang sesuai dengan kaidah syariah Islam yang dapat melahirkan khalifah-khalifah
yang tangguh di muka bumi ini. Hal tersebut dapat tercipta dengan adanya
kerjasama antara seluruh elemen yang ada di pasar, yang disertai dengan kerja
keras, kejujuran dan mampu melihat peluang yang tepat dalam membangun bisnis
yang dapat berkembang dengan pesat.
Dalam jual beli pun kita harus mengetahui hukum,syarat, dan rukun jual beli sehingga orang yang melaksanakan jual beli dapat berjalan dengan baik. Aktivitas jual beli mampu melatih kita untuk menjadi orang yang pemurah dan senantiasa berbagi dengan sesama. Zakat, infak, dan shadaqah adalah media yang tepat untuk membangun hal tersebut.
Dalam jual beli pun kita harus mengetahui hukum,syarat, dan rukun jual beli sehingga orang yang melaksanakan jual beli dapat berjalan dengan baik. Aktivitas jual beli mampu melatih kita untuk menjadi orang yang pemurah dan senantiasa berbagi dengan sesama. Zakat, infak, dan shadaqah adalah media yang tepat untuk membangun hal tersebut.