makalah hadis
Monday, April 22, 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Umat
Islam mengalami kemajuan pada zaman kalsik (650-1250). Dalam sejarah, puncak
kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup
ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits,
fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya[1].
Berdasarkan bukti histories ini menggambarka bahwa periwayatan dan
perkembangan pengetahuan hadits berjalan seiirng dengan perkembangan
pengetahuan lainnya.
Menatap
prespektif keilmuan hadis, sungguh pun ajaran hadis telah ikut mendorong
kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Qur’an telah
memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan. Dengan demikian
prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam. Bahkan
suatu kenyataan yang tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab
dimana al-Qur’an diturunkan. Bertolak dari kenyataan ini, Prof. A. Mukti Ali
menyebutkan sebagai metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, ajaran atau
kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan
mutlak dengan waktu, temapat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana
kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul. Dalam dunia pengetahuan tentang
agama Islam, sebenarnya benih metode sosio-historis telah ada pengikutsertaan
pengetahuan asbab al nuul
(sebab-sebab wahyu diturunakan) untuk memahami al-Qur’an, dan asbab al-wurud
(sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami al-Sunnah.
Meskipun
asbab al-Nuzul dan
asbab al –Wurud
terbatas pada peristiwa dan pertanyaan yang mendahului nuzul (turun) Al-Qur’an
dan wurud (disampaikannya)
hadits, tetapi kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada hadits Nabi
SAW. Tak heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu hadits serta
cabang-cabangnya untuk memahami hadits Nabi, sehingga As-Sunnah sebagai sumber
hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta diamalkan oleh umat Islam sesuai
dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah.
B.
TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun
tujuan pembahasan makalah ini adalah:
- mengetahui definisi ilmu hadits
- mengetahui cabang-cabang ilmu hadits serta penjelasannya
- mengetahui kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits
- mengetahui otentitas hadits
C.
RUMUSAN MASALAH
Adapun
batasan-batasan masalah atau batasan pembahasan makalah ini adalah
- Apa definisi ilmu hadits?
- Apa saja cabang-cabang ilmu hadits itu?
- Apa saja kegunaan mempelajari ilmu hadits
- bagaimana otentitas hadits Nabi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN Ilmu Talfiqil hadits
Yaitu ilmu yang
membahas tentang cara mengumpulkan antar hadits yang berlawanan lahirnya.
Dikumpulkan itu ada
kalanya dengan mentahsikhkan
yang ‘amm, atau
mentaqyidkan
yang mutlak,
atau dengan memandang banyak kali terjadi.
Ilmu ini dinamai juga
dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha
menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H),
At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini
sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
Artinya: “Ilmu yang membahas tentang cara
mengumpulkan hadis-hadis yang isinya berlawanan. “
Cara mengumpulkannya adakalanya dengan
menakhsiskan yang ‘amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang
banyaknya yangterjadi.
ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful
Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah
Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu
Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh
Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
a. Ilmu Tashif wat
Tahrif
Yaitu
ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai
mushohaf), dan
bentuknya (dinamai muharraf).
b. Ilmu Asbabi
Wurudil Hadits
Yaitu
ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan
waktu beliau menuturkan itu.
Menurut
Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi
Wurudil Hadits dalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya
hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan
menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.[2]
Disamping
itu, ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif.
Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih
dahulu di antara dua hadits yang “Pertentangan”. Karenanya tidak mustahil kalau
ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.Misalnya, Abu
Hafs Al- Akbari (380-456H),
Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy
(1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan
Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
c. Ilmu Mukhtalaf dan
Musykil Hadits
Yaitu
ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya bertentangan
atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil meskipun tidak
bertentangan dengan hadits lain.
Oleh
sebagaian ulama dinamakan dengan “Mukhtalaf
Al-Hadits” atau “Musykil
Al-Hadits”, atau semisal dengan itu. Ilmu ini tidak akan muncul
kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih.[3]
B.
KEGUNAAN MEMPELAJARI ILMU HADITS
Adapun
beberapa manfaat / kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits adalah:
Hadits Nasikh Dan Mansukh
Definisi
Naskh
menurut bahasa mempunyai dua makna, yaitu : menghapus dan menukil. Sehingga
seolah-olah orang yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan
atau menukilkannya kepada hukum yang lain.
Sedangkan menurut istilah, naskh adalah “pengangkatan
yang dilakukan oleh Penetap Syari’at terhadap suatu hukum yang datang terdahulu
dengan hukum yang datang kemudian”.
Bagaimana Cara Mengetahui Nasikh
dan Mansukh ?
Nasikh dan
mansukh dapat
diketahui dengan salah satu dari beberapa hal berikut :
1. Pernyataan dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau :
”Aku dahulu pernah melarang
kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang) berziarahlah kalian, karena hal
itu dapat mengingatkan akhirat” (HR. Muslim).
2. Perkataan shahabat.
3. Mengetahui sejarah, seperti hadits
Syaddad bin ‘Aus :
”Orang yang membekam dan
yang dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinasakh
oleh hadits Ibnu ‘Abbas :
”Bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan
berpuasa” (HR.Muslim).
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad
dijelaskan bahwa hadits itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi
Fathu Makkah; sedangkan Ibnu ‘Abbas menemani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam dalam keadaan ihram pada saat haji wadai tahun 10 hijriyah.
4. Ijma’ ulama’; seperti hadits yang
berbunyi :
Barangsiapa yang meminum
khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya,
maka bunuhlah dia” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Nawawi
berkata,”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh
terhadap hadits ini”. Dan ijma’ tidak bisa dinasakh
dan tidak bisa menasakh,
akan tetapi menunjukkan adanya nasikh.
Pentingnya Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
Mengetahui nasikh dan mansukh
merupakan suatu keharusan bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum
syari’ah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui
dalil-dalil nasikh
dan mansukh.
Oleh sebab itu, para ulama sangat memperhatikan ilmu tersebut dan menganggapnya
sebagai satu ilmu yang sangat penting dalam bidang ilmu hadits.
Mereka mendefinisikannya sebagai berikut
: “Ilmu nasikh
dan mansukh
adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang tidak
mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadits dihukumi sebagai nasikh dan yang lain
sebagai mansukh.
Hadits yang lebih dahulu disebut mansukh,
dan hadits yang datang kemudian menjadi nasikh”.
1.
Hadits
Hadits berasal dari
bahasa Arab الحديث (al hadits) jamaknya adalah الأحاديث
(al
ahaadiits). Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya الجديد (al
jadiid) yang berarti baru, lawan dari kata القديم (al
qadiim) yang berarti lama. Dalam hal ini, semua yang disandarkan kepada nabi
Muhammad SAW itu adalah hadits (baru). Sebagai lawan/ kebalikan dari wahyu
Allah (kalam Allah) yang bersifat qadim.[4]
Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al Khathib. Beliau
mengatakan hadits berarti sesuatu yang baru.[5]
Kemudian arti hadits adalah “qarib” (yang dekat), yang belum lama terjadi
seperti dalam ungkapan (baru masuk Islam) حديث
العهد بالإسلام , khabar (warta) atau sesuatu yang
diperbincangkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Dari makna
inilah diambil ungkapan “hadits Rasulullah”.
Hadits yang bermakna
khabar ini diambil dari kata haddatsa, yuhadditsu, tahdiits, yang
bermakna riwayat atau ikhbar (mengabarkan). Maka jika ada ungkapan حدّثنا
بحديث اى اخبرنا بحديث “ia mengabarkan sesuatu khabar kepada kita”.
Sedangkan menurut istilah :
a.
Hadits menurut pengertian ahli hadits dibagi menjadi dua
yaitu pengertian hadits yang terbatas dan pengertian hadits yang luas.
Pengertian hadits yang terbatas adalah :
ما
أضيف الى النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قولا او فعلا او تقريرا او نحوها, “ ialah sesuatu yang disandarkan
kepada nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir)
dan yang sebagainya/ semisalnya”.
Ta’rif ini mengandung empat
unsur yakni perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan nabi
Muhammad SAW yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada beliau, tidak
termasuk hal-hal yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.
Sementara menurut pengertian hadits
yang luas, hadits tidak hanya disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, tetapi juga
mencakup perkataan, perbuatan atau taqrir yang disandarkan kepada para sahabat
atau tabi’in, sehingga dalam hadits ada istilah “marfu’ (yang disandarkan
kepada nabi), manqul (yang disandarkan kepada sahabat) dan maqthu’ (yang
disandarkan kepada tabi’in).
b.
Hadits menurut pengertian ahli
usul yaitu :
اقواله
صلّى الله عليه وسلّم و افعاله وتقاريره ممّا يتعلّق به حكم بنا “ segala
perkataan, perbuatan dan ketetapan nabi yang bersangkut paut dengan hukum”.
Maka menurut mereka, tidak termasuk hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut
dengan hukum, seperti masalah kebiasaan sehari-hari atau adat istiadat.
2. Sunnah
Sunnah menurut bahasa
adalah jalan yang ditempuh baik itu terpuji/ tidak terpuji. Suatu tradisi yang
sudah dibiasakan dinamakan sunnah walaupun tidak baik.
Secara etimologi, sunnah berarti
tata cara.[3] Menurut pengarang kitab Lisan Al ‘Arab ___mengutip
pendapat Syammar___sunnah pada mulanya berarti cara atau jalan yaitu jalan yang
dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan. Dalam
kitab Muhtar Al Shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti
tata cara dan tingkah laku atau atau perilaku hidup baik perilaku itu terpuji
maupun tercela. Al Tahanuwi juga berpendapat bahwa sunnah menurut etimologi
berarti tata cara, baik maupun buruk.[5]
Karena ada perbedaan-perbedaan dalam menentukan pengertian
sunnah, baik secara etimologi maupun terminologi, berikut adanya dampak dari
perbedaan-perbedaan itu, maka perlu diteliti lebih dulu apa sebenarnya maksud
kata sunnah itu.
Sunnah dalam syair-syair Arab ;
1.
Penyair Khalid mengartikan sunnah
dengan tradisi.
2.
Penyair Labid mengartikan sunnah
dengan aturan.
3.
Penyair Hassan bin Tsabit
mengartikan sunnah dengan tradisi/ aturan.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kata
“sunnah” sudah dipakai penyair-penyair pada masa Jahiliyah dan Islam, untuk menunjukkan
artI secara etimologi aturan/ tata cara yang dianut, baik tata cara itu terpuji
maupun tercela.
Sunnah dalam Al Qur'an
Kata sunnah sudah dipakai
dalam Al Qur'an untuk arti tata cara dan kebiasaan.
Sunnah dalam sabda Nabi
Contoh sabda Nabi SAW, dari Abu Said, Ata bin Yasar
menuturkan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda; “Kamu semua niscaya akan mengikuti
‘sunnah’ orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa
...”.[6] Menurut Ibnu Hajar, sunnah di sini maksudnya tata cara.[7]
Nabi bersabda ; “sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah
(perjalanan) orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta, sehingga andai mereka memasuki sarang dhab, kamu pasti memasukinya
juga”. Nabi bersabda pula; “Barangsiapa mengadakan suatu sunnah (jalan) yang
baik, maka ia akan mendapatkan pahala itu dan pahala dari orang lain yang
mengerjakannya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa mengerjakan suatu sunnah
yang buruk, ia akan merasakan dosa dari pekerjaan buruk itu dan dosa dari orang
yang mengerjakannya hingga hari kiamat”.
Kata-kata sunnah dari kedua hadits di atas menunjukkan arti jalan sebagaimana
yang dikehendaki oleh pengertian menurut bahasa.
Sedangkan sunnah menurut istilah ahli hadits ialah : “segala yang
dinukilkan dari nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun
berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang terjadi
sebelum nabi Muhammad SAW diutus menjadi rasul maupun sesudahnya”.
Mayoritas ahli hadits (Muhaditsiin)
menegaskan bahwa sunnah dalam pengertian semacam ini adalah Muradif (sinonim)
dengan kata hadits.
Makna inilah yang dimaksud dengan kata ‘sunnah’ dalam sabda nabi Muhammad SAW :
لَقَدْ
تَـَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا اِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا
كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Sungguh aku telah tinggalkan dua perkara untukmu, kamu
tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada keduanya yakni kitabullah dan
sunnah rasul-Nya”. Dan
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِىْ وَ سُنَّةَ ألْخُلَفَآءِالرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِىْ
“Berpeganglah kamu erat-erat dengan sunnahku dan sunnah Al
Khulafa Al Rasyidiin setelah aku”.
Pengertian lain dari sunnah adalah “syari’ah” seperti yang dimaksud dalam sabda
Rasul SAW tentang iman dalam shalat yang berbunyi :
... فَاَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ
“... Kemudian yang paling pandai tentang syari’at”.
Beberapa pendapat para ulama :
1.
Al Imam Ibnu Taimiyah mengatakan :
“hadits di kala tidak dikaitkan dengan suatu arti, berarti segala yang
diriwayatkan dari Nabi SAW, sesudah beliau menjadi nabi, baik perkataannya,
pekerjaannya maupun ikrarnya”.
2.
Al Imam Al Kamal Ibnu Al Humam
mengatakan : “sunnah adalah segala yang diriwayatkan dari nabi yang berupa
perbuatan atau perkataan, sedangkan hadits adalah hanya yang berupa perkataan
saja”.
3.
Dr. Taufiq : “sunnah menurut
bahasa dan istilah ulama salaf ialah khittah (garis kerja) dan jalan yang
diikuti. Maka yang dinamai sunnah nabi hanyalah jalan yang beliau praktekkan
terus menerus dan diikuti oleh para sahabatnya. Jadi, masih menurut Dr. Taufiq,
hadits ialah perkataan (pembicaraan) yang diriwayatkan oleh seorang atau
dua orang dan lalu mereka saja yang mengetahuinya, tidak menjadi pegangan atau
amalan umum.
Tegasnya, antara sunnah dan hadits ada perbedaan yang tegas.
Menamai sunnah dengan hadits adalah istilah dari para ulama’ mutaakhirin
belaka. Ahli hadits banyak menggunakan kata hadits, sedangkan ahli ushul fiqih
banyak memakai kata sunnah.
3. Khabar
Khabar menurut bahasa
ialah “warta berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain”, atau
memberitakan, mengabarkan”.[8]
Sedangkan khabar menurut istilah ahli hadits adalah “segala bentuk berita, baik yang datang
dari nabi, sahabat nabi, maupun tabi’in”.
Melihat definisi di atas, maka hadits marfu’, hadits
mauquf dan hadits maqthu’ bisa disebut dengan khabar. Dan oleh karena itu pula
ada yang berpendapat bahwa khabar adalah segala bentuk berita (warta) yang
diterima bukan dari nabi SAW saja. Contoh hadits yang berbunyi :
بَدَأَ
الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى
لِلْغُرَبَآءِ
“Islam itu mulanya asing dan akan kembali asing seperti
semula. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang asing”.
Kalau ditinjau dari definisi bahwa khabar itu mencakup hadits marfu’, maka
hadits di atas tadi dianggap khabar, karena meski diriwayatkan oleh imam Muslim
dan abi Hurairah r.a, menurut sebagian para ahli hadits, hadits ini dianggap
marfu’.
4. Atsar
Adapun atsar menurut bahasa adalah “berkas atau dampak
sesuatu”. Atau sesuatu yang diambil, misal doa yang diambil langsung
kalimat-kalimatnya dari nabi SAW disebut dengan doa ma’tsur. Contoh doa
nabi SAW yang diriwayatkan oleh Annas, r.a :
وعن
انس رضي الله عنه قال : كان اكثر دعاء النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم اللّهمّ آتنا
فى الدّنيا حسنة و فى الآخرة حسنة وقنا عذاب النّار (متفق عليه )
Dari Anas r.a, ia berkata : doa nabi SAW yang paling banyak
(dibaca) adalah “wahai Allah, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (HR. Bukhari Muslim).
Sementara pengertian atsar menurut istilah mayoritas ahli
hadits sama dengan khabar dan hadits.
Para Fuqaha’ (ahli Fiqih) menggunakan kata atsar untuk
ucapan-ucapan sahabat, tabi’iin, ulama’ salaf dan lain-lain.
Ada yang berpendapat bahwa atsar lebih umum daripada khabar,
dengan alasan bahwa atsar mencakup segala berita yang datang dari nabi dan
lainnya. Sementara khabar ditujukan kepada berita yang datang dari nabi SAW
saja.
Dari uraian di atas, untuk membedakan mana yang termasuk
hadits/ khabar/ atsar, seseorang harus mengetahui kedudukan sanad yang
menyampaikan matan hadits yang dimaksud, apakah ia bersambung sampai nabi SAW
atau tidak. Wallaahu a’lam.
Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad
Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1999.
At Thahhan, Mahmud. Dasar-Dasar
Ilmu Takhrij Dan Studi Sanad. Semarang: Dina Utama, 1995.
Azami, M.M. Hadis Nabawi Dan
Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa Yaqub. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000.
M. Isa H.A. Salam Bustamin. Metodologi
Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Matsna, Moh. Qur’an Hadits. Semarang: Toha
Putra, 2004.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta:
Hida Karya Agung, 1990.
Zuhri, Muh. Telaah Matan Hadits Sebuah Tawaran
Metodologis. Yogyakarta:--, 2003.
[1] Muhammad Subhi Al Salih, ‘Ulumul
Al Haddis Wa Mustalahuh (Beirut: Dar Al Fikr, 1989), 4-5.
[2] Ajjaj al Khathib, Usul Al Hadis Wa
Mustalahaha (Beirut: Dar Al Fikr, 1975), 26.
[3]
Al Qamus Al Muhit Dan Lisan Al ‘Arab; kata “sunan”.
[4]
Muhtar Al Shihah: 339.
[5]
Kasysyaf Istilahat Al Funun, 703.
[6]
Shahih Bukhari, Al Intiba’, 50.
[7]
Fath Al Bari , VI : 498.
[8]
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 180
[1]
An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), namun
tidak sampai ke tangan kita.
[2]
Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad
Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
[3]
Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram
(wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad.
[4]
Muhammad Subhi Al
Salih, ‘Ulumul Al Haddis Wa Mustalahuh (Beirut: Dar Al Fikr, 1989), 4-5.
[5]
Ajjaj al Khathib, Usul
Al Hadis Wa Mustalahaha (Beirut: Dar Al Fikr, 1975), 26.