sejarah Hadis
Wednesday, March 27, 2013
SEJARAH KODIFIKASI HADITS
I. PENDAHULUAN
Aalisis keotentikan hukum Islam mensyaratkan bahwa teks-teks yang
dijadikan landasan hendaknya merupakan teks yang dipercayai dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang tetap. Dalam hal ini Hadits
sebagai landasan pokok setelah Al-Qur’an senantiasa harus dijaga kemurniannya.
Demikian seorang mujtahid yang akan menetapkan hukum harus benar-benar
mengetahui originalitas dari nash yang dijadikan sandaran dan
menghindari kepalsuan. Oleh karena itu menjaga keotentikan Hadits dan terus
melestarikannya agar tidak punah merupakan keniscayaan yang tidak boleh
ditinggalkan bagi kaum Muslimin.
Diketahui bahwa, sejak priode awal sepeninggal Rasulullah otentitas
sumber kedua itu berada pada ingatan dan hafalan para sahabat. Mereka yang
tersebar ke berbagai penjuru wilayah bisaa menukil dan menyampaikannya kepada
kaum Muslimin dengan riwayat bissyafahi (mulut ke mulut). Sebelum
dibukukan, sejak masa Nabi hingga akhir abad pertama Hijriah Hadits belum
ditulis secara signifikan, mereka hanya mengandalkan kuatnya hafalan. Sedangkan
yang mencatat hanyalah orang-orang tertentu saja.
Waktu terus berjalan, sementara itu jumlah para sahabat terus berkurang,
gejala kefasikan telah tersebar di mana-mana, pemalsuan Hadits yang di
nisbatkan kepada Nabi untuk kepentingan dan membela kelompok tertentu telah
bermunculan. Hal yang sedemikian itu mengundang kekhawatiran dari para Ulama
dan kaum Muslimin. Mereka terdorong untuk mencari dan menghimpun mana yang
termasuk Hadits Nabi serta mengklasifikasikannya sesuai kadar keshahihannya
dalam satu buku, demi menjaga sumber Syari’at kedua ini dari kepunahan dan
menghindari masuknya musuh-musuh Islam yang ingin menrusak kemurnian ajaran
agama dengan memalsukan Hadits.
II. HADITS SEBELUM DIBUKUKAN
A. Hadits Pada Masa Nabi
Pada masa Nabi SAW Hadits belum ditulis sedemikian rupa sebagaimana
Al-Qur’an. Hal itu dikarenakan beberapa sebab, diantaranya ; 1) banyaknya
masyarakat yang tidak mampu baca tulis (ummy) dan minimnya peralatan
tulis, 2) kuatnya hafalan serta ingatan para sahabat dan kecemerlangan otak
mereka, sehingga mereka lebih banyak berpegangan pada hafalan daripada pada
tulisan, 3) adanya larangan dari Nabi untuk menulis dari beliau selain
Al-Qur’an. Seperti Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Sa’id
Al-Hudri dari Nabi SAW bersabda ;
لا تكتبوا عني ومن كتب عني غير
لاقرآن فاليمحه (رواه مسلم)
“Janganlah
kau tulis (apa yang kau terima) dariku, barang siapa yang menulis dariku selain
Al-Qur’an maka hendaknya dihapus”. (HR. Muslim)
Dengan adanya larangan membuat para sahabat mengasah ketajaman ingatan
dan membangkitkan keinginan yang kuat untuk menghafalkan Hadits dan Sunnah.[1] Dan
menyampaikannya kepada yang lain dengan lafadz sekiranya mungkin, jika tidak
maka dengan maknanya yakni apa yang dikehendaki dalam matan Hadits. Lebih-lebih
ketika Rasul memberikan dorongan semangat kepada mereka akan hal itu, seperti
riwayat Abu Muhammad Al-Roma Hurmuzy dalam kitabnya المحدث
الفاضل بين الراوي و الواعي menyebutkan
;
عن عطاء بن يسار عن بن عباس قال
: سمعت علي ابن ابي طالب يقول : خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال :
" اللّهم ارحم خلفائي ، قلنا يا رسول الله و من خلفائك؟ قال الذين يروون
أحاديثي و يعلمونها الناس
Dari Atho’ bin
Yasar dari Ibnu Abbas RA ia berkata ; Aku telah mendengar Ali bin Abi Thalib
berkata: Rasulullah SAW keluar bersama kami, lalu beliau berdo’a : “Ya
Allah limpahkanlan belas kasihmu kepada para khulafa’ ku..” lantas aku
bertanya : “Wahai Rasulullah, siapa yang menjadi Khulafa’ engkau ?” beliau
menjawab, “Mereka yang mau meriwayatkan Hadits-Haditsku dan mengajarkannya
kepada orang-orang..”
Para sahabat mendengar penjelasan Rasulullah SAW itu, dan tidakalah
seorang yang mencurahkan sekian tenaganya untuk menghafalkan
Hadits-hadist Nabi, melainkan ia pasti akan memperoleh predikat Khilafah ini.
Namun demikian, Rasulullah mengizinkan kepada sebahagian Sahabat untuk
menulisnya. Hal ini menunjukkan bahwa larangan tersebut di atas tidak berlaku
mutlak. Dalam riwayat Bukhari Muslim disebutkan bahwa Abu Syah Al-Yamani
meminta dari Nabi untuk dituliskan keterangan yang didengar dari beliau
pada tahun fathu Makkah kemudian Nabi SAW memerintahkan : “Tulislah oleh kalian
untuk Abi Syah…”
Para Ulama
salaf berbeda pendapat mengenai posisi larangan dan pemberian izin Nabi untuk
menulis Hadits dengan argument yang berbeda-beda ;
· di
antara mereka ada yang mengatakan bahwa izin tersebut baghi mereka yang
khawatir akan melupakannya sebagaimana Abu Syah di atas, dan larangan berlaku
bagi orang yang kuat hafalannya dan dimungkinkan aman dari kelupaan.
· di
antara mereka megatakan, bahwa adanya larangan itu karena dikhawatirkan akan
terjadi iltibas antara Hadits dengan Al-Qur’an sehingga merepotkan
mereka, dan izin berlaku atas para Qari’ dan penulis yang yakin bisa aman dari
hal tersebut.
· Sebagian
mereka mengatakan bahwa, Hadits adanya izin tersebut menasakh Hadits-Hadits
yang melarang untuk menulis Hadits. Memang pada mulanya dilarang dikhawatirkan
akan terjadi campur antara A-Qur’an dengan Hadits dan setelah kekhawatiran itu
hilang maka larangan ditiadakan.[2]
B. HADITS PADA
MASA SAHABAT
Setelah Rasulullah SAW meninggal, ketika masa sahabat sudah berdekatan
dengan masa Tabi’in, maka banyak diantara mereka yang menulis dari para
Sahabat. Pada saat itu dianggap perlu bagi mereka untuk menulisnya, karena
alasan-alasan dari larangan sebagaimana kami kemukakan di atas tidak lagi ada
pada saat itu; Al-Qur’an seluruhnya telah di bukukan dan dihafal oleh
sekelompok besar sahabat, wahyu telah terputus dengan wafatnya Rasulullah,
demikian pula para sahabat, karena dakwah Islam yang menyerukan untuk
memberantas buta huruf, mayoritas mereka telah mampu baca tulis.
Umar bin Khathab adalah diantara para sahabat yang menaruh perhatian
besar untuk pengumpulan Hadits-Hadits Nabi dan mengikatnya dalam kitab-kitab.
Dalam pada itu para sahabat bermusaywarah, satu bulan lamanya telah berlalu
namun belum ada kesepakatan, hingga suatu hari Umar ber-‘azam, beliau
berkata: “Sungguh aku akan menulis Sunnah, dan aku ingat akan kaum
sebelum kalian mereka pada menulis kitab-kitab, mereka menulisnya dan tidak
memperhatikan Kitab Allah, dan demi Allah sekali-kali aku tidak akan
mencampur adukkan kitab Allah dengan sesuatu yang lain untuk selamanya.” orang-orang
yang mempunyai keliahain menulis diantara mereka pun menulisnya. [3]
Pada masa ini bacaan-bacaan dan tulisan-tulisan lebih leluasa tersebar
daripada masa sebelumnya. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ketika beliau
mendengarkan sebuah Hadits dari ‘Itban bin Malik RA yang didengarnya dari
Rasulullah SAW bahwa ;
من شهد
أن لا إله ألا الله و أنّ محمّدا رسول الله صادقا مِن قللبه لا يدخل النار
.. (رواه مسلم)
Hadits ini menarik perhatian Anas lantas beliau berkata pada anaknya :
“tulislah Hadits ini! ” maka ia menulisnya. Demikianlah para sahabat sangat
giat dalam meriwayatkan Hadits, mereka sibuk oleh penggalian ilmu dan tidak
banyak disibukkan oleh urusan dunia.
C. HADITS PADA
MASA TABI’IN
Pada masa Tabi’in periwayatan Hadits menjadi perhatian yang krisial,
lebih lebih ketika para sahabat yang menghafal dan membawakan Hadits-Hadits
dari Rasulullah SAW tersebar di Negara-negra Islam, terbukalah peluang untuk
menggali ilmu, periwayatan dan fatwa. Ditambah berdirinya madrasah-madrasah di
Hijaz dan selain Hijaz, dari sini kaum Muslimin banyak menimba ilmu, pada saat
itulah ilmu keislaman berkembang, termasuk di sana ilmu-ilmu Al-Qur’an. Dan
periwayatan terhadap Hadits masuk dalam katagori bagian yang besar.[4]
Mengenai penulisan Hadits, diriwayatkan dari Abdul Rahman bin Ziad dari
bapaknya[5] berkata ; “
aku menulis tentang halal dan haram” dan Ibnu Syihab menulis setiap yang ia
dengar, dan ketika berhujjah kulihat ia orang yang paling Alim.
Demikian secara terus menerus muncul Ulama terkemuka dari kalangan
tabi’in, seperti diantaranya Ibnu Sirin, salah seorang Tabi’in yang banyak
meriwayatkan Hadits dari sahabat, seperti dikatakannya ; “sesungguhnya ilmu
Hadits dan riwayat ini merupakan bagian dari agama, maka lihatlah agama kalian
pada diri orang yang menyampaikan riwayat itu pada kalian”. Artinya kalau yang
menyampaikan itu orangnya fasik maka dengan menerima riwayatnya ia akan ikut
menjadi fasik pula.
Abu Zinad Abdullah bin Dakwan, seorang Alim fiqih Madinah. Abdul
Rahman bin Mahdi, ia berkata “tidaklah seorang laki-laki menjadi Imam yang
boleh dijadikan panutan (pada saat itu) sehingga ia berpegangan pada riwayat
yang benar-benar ia dengar”. Ibnu Wahab, seorang Imam yang tidak diragukan
hafalan dan keyakinannya, ia berkata “Malik – Imam Darul Hijrah - telah
mengatakan kepada ku ; ketahuilah bahwa tidaklah diterima seorang yang
menyampaikan Hadits hanya bertumpu pada apa yang ia dengar, dan tidaklah ia
pantas menjadi Imam sedangkan ia berkata dengan apa yang ia dengar”.
Semua riwayat ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya penulisan
Hadits dan sanad yang bisa dipertanggungjabwabkan kebenarannya, dimana ketika
musuh-musuh Islam masuk untuk merusakkan agama ini dengan meyebarkan apa yang
dikatakan Hadits, padahal itu bukan Hadits melainkan buatan mereka sendiri.
III. MASA
PEMBUKUAN HADITS
Telah menjadi kesepakatan (ijma’ fi’li) diantar Ulama akan
pentingnya menulis serta membukukan Hadits dan Sunnah Rasulullah SAW.[6] Munculnya
beberapa faktor - sebagaimana tersebut dalam paembahasan sebelumnya – menuntut
kaum muslimin untuk menunjukkan kesetiaannya pada Sunnah Rasul. Hal itu mereka
wujudkan dengan upaya mereka mempertahankan, menjagga, dan melestarikannya
dengan penuh tanggung jawab. Mereka bergerak untuk menghafalkan serta
menulisnya dengan penuh kejelian. Sebuah tugas yang mulya yang telah dirintis
oleh generasi awal hingga masa Tabi’in.
Para rawi Al-Sunnah memperhatikan atas wajibnya menghimpun Sunnah
Rasulullah dalam sebuah buku secara kolektif dan selektif. Pemikiran itu
timbul dari seluruh Negara-negara Islam dalam waktu yang berdekatan, sehingga
tidak diketahui mana yang memperoleh keutamaan karena lebih dahulu dalam
pengumpulan itu.[7]
Umar bin Abdul Aziz RA - pada masa pemerintahannya (99-101 H) - memandang
perlu untuk membukukan Sunnah dan Hadits Nabi dalam sebuah suhuf atau
kitab-kitab sehingga tidak tercampur antara yang shahih dengan yang zaif
(palsu) dan hadist tidak akan hilang sia-sia setelah penghafalnya wafat. Beliau
menentukan langkah dengan mengirimkan surat kepada para Gubernur di berbagai
daerah Islam dan juga para Ulama terkemuka di berbagai pejjuru daerah untuk
melakukan pengumpulan dan kodifikasi terhadap Hadits. Diantaranya kepada ; Imam
Malik, hingga beliau menuliskitabnya al- Muattha’ ; kepada Muahammad bin
Hasan bin Amru bin Hazm (w.120 H) ; dan kepada Abu Bakar bin Hazm. Umar
bin Abdul Aziz juga mengirim surat kepada Ibnu Syihab Azzuhri Al-Madany,
sebagai tangan kanan beliau, seorang Ulama besar bagi penduduk Hijaz dan
Syam (w.204 H). Hal itu terjadi pada penghujung abad pertama Hujriah.
A. Kodifikasi Abad kedua ( 100
– 200 H)
Upaya pembukuan Hadits yang dilakukan Azzuhri dan Abu Bakar bin Hazm pada
tahap awal disusul oleh para Ulama Hadits di berbagai daerah. Termasuk mereka
yang membukukan pada tahap pertama dalam priode ini ialah ;
1.
Imam Malik bin Anas di Madinah (w. 179 H)
2.
Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Azizi Juraij di Makkah (w. 150 H)
3.
Sufyan bin Tsauri di Kufah (w. 161 H)
4.
Hamad bin Salamah dan Sa’id bi Arubah di Bashrah (w. 176 H)
5.
Hisyam bi Basyir di Wasith (w. 188 H)
6.
Abdul Rahman Al-Auza’I di Syam (w. 156 H)
7.
Ma’mar bin Rasyid di Yaman (w. 153 H)
8.
Abdullah bin Mubarak di Khurasan (w. 171 H)
9.
Jarir bin Abdul Hamid di Ray (w.188 H)
Pada tahap awal
ini Hadits ditulis masih bercampur dengan fatwa Sahabat dan Tabi’in. sebagaiman
bisa kita lihat dalam Muwattha’ susunan Imam Malik RA.
Pada tahap kedua Hadits Rasulullah mulai dipisahkan dari kata-kata orang
lain. Yaitu pada permulaan tahun 200 H. Selanjutnya mereka menyusun kitab yang
dikenal dengan Musnad[8].[9] Hal tersebut
antara lain ;
1.
Musnad Ubaidillah bin Musa Al-‘Abasy Al-Kufi (w. 213 H).
2.
Musnad Musadad bin Masrahad Al-Bashri (w. 228 H)
3.
Musnad Asad bin Musa Al-Al-Mishri ( w. 212 H)
4.
Musnad Naim bin Hamad Al-Khaza’I (w. 228 H)
6.
Musnad Imam Al-Jalil Ahmad bin Hambal (w. 241).
7.
Musnad Utsman bin Abi Syaibah (w.279 H).
8.
Musnad Abu BAkar bin Abi Syaibah (w.230 H). beliau menyusun berdasarkan
bab-bab sekaligus berdasarkan sanad.
B. Kodifikasi Abad Ketiga (200 - 300
H)
Priode ini dibilang sebagai abad yang paling subur dan cemerlang bagi
pembukuan Hadits. Pada priode ini muncul tokoh-tokoh penulis Kutub al-Sittah
kitab-kitab Hadits terpenting yang paling lengkap mencakup Sunnah Rasul. Muncul
pula Imam-Imam Hadits yang mumpuni dalam kuatnya hafalan, periwayatan, ilmu jarh
wa al-ta’dil, ilmu Tawarikh al-rawi, ilmu ‘ilal al-Hadits,
ditambah lagi munculnya pemilahan-pemilahan terhadap Hadits, dan penghimpun
secara khusus terhadap Hadits-Hadits shahih.[11]
Diantaranya pada priode ini mereka ada yang menyusun kitab
berdasarkan bab-bab fiqih, mereka mulai dari bab thaharah kemudian shalat,
zakat, puasa, haji, muamalat hudud, dan seterusnya. Juga ada yang menyusun
secara spesifik tentang masalah hukum. Ada pula yang mengungkapkan tentang
masalah wahyu, ilmu tafsir, peperanagan, bepergian dst. Sebagaimana yang
dilakukan oleh imamBukhari.
Diantara mereka yang secara khusus menghimpun Hadits-Hadits shahih dalam
kitabnya ialah seperti pemilik al-Shahihaini yaitu;
1.
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Ja’fi
Al-Bukhari (w. 256 H) menyusun Shahih Al-Bukhari.
2.
Imam Abu Al-Husein Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi (w. 261 H). menyusun
Shahih Al-Muslim.
Kedua kitab itu disusun dengan penuh kecermatan dalam periwayata dan
memilahnya dengan jeli, sehingga keduanya merupakan tonggak dan puncaknya
pembukuan Hadits.[12]
Jalan kedua tokoh ini kemudian ditempuh oleh Ulama-Ulama lain.
Diantara mereka
yang tidak menetapkan dalam kitabnya tertentu pada Hadits shahih saja, tetapi
dimuat di dalamnya Hadits shahih, hasan dan dlaif yang banyak ditulis
dalam kitab-kitab yang memiliki tingkatan sesuai kadar keilmuan dan pengetahuan
yang dimiliki, mereka itu seperti para Imam Hadits yang menyusun empat kitab
Sunan, mereka adalah :
1.
Imam Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’at Al-Sijistani (w. 275 H)
2.
Imam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At-Tirmidzi (w. 279 H)
3.
Imam Abu Abdi Al-Rahman Ahmad bin Syu’aib An-Nasa’I (w. 315 H)
4.
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah bin Al-Qazwaini (w. 273 H)
Kitab-kitab mereka yakni Shahihaini dan Sunan dalam lisan Ahli Hadits
terkenal dengan al-Kutub al-Sittah (kitab Hadits yang enam). Di kalangan
kaum Muslimin Kitab-kitab tersebut memperoleh derajat yang tinnggi karena para
perawinya sangat terpercaya. Sebenarnya banyak yang menyusun kitab-kitab
Hadits, hanya saja enam orang itulah yang memperoleh kemasyhuran yang tidak
diperoleh oleh yang lain.[13]
C. Kodifikasi Abad keempat (300 – 400
H)
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Abad ketiga merupakan masa yang
paling cemerlang bagi pengumpulan (kodifiksi) dan penyeleksian Hadits dan
riwayat, dimana Imam-imam besar terpercaya, ahli dalam ilmu al-Rijal dan ilmu
al-‘ilal serta menguasai hal ikhwal periwayatan lahir pada masa itu, sehingga
setiap generasi yang dating kemudian merasa tercukupi oleh mereka.
Para tokoh-tokoh Abad keempat ini berupaya membahas tentang keadaan
perawi Hadits dari Tabi’in dan orang orang sesudah mereka, masing-masing rawi
disifati dengan sifat yang ada pada diri mereka masing-masing,[14]
seperti ; kuatnya hafalan, keadilannya, kejeliannya, kejujurannya dan
seterusnya dari yag baik atau yang tidak baik. Hal ini dilakukan guna memilah
dan menentukan derajat Hadits yang dibawakannya.
Dalam hal ini mereka berbeda-beda. Kita jumpai di antara para perawi
itu ada yang disepakati keadilannya, kuat ingatannya, dan kedlabitannya,
ada yang tidak, ada pula yang diperselisihkan diantara mereka. Demikian dalam
sanad dan rawi ada yang derajatnya lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dari
yang lain. Adapun kitab-kitab yang disusun pada priode ini yang terkenal[15]
antarlain ialah ;
1.
Al-Ma’ajim Ats-Tsalatsah ; Al-Kabir, Al-Ausath dan As-Shaghir,
karya Imam Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (w. 360 H). Dalam Al-Kabir
dimuat secara tertib para Sahabat berdasarkan urutan hurufnya, tercaantum di
dalamnya sekitar 520.000 Hadits; begitu pula dalam Al-Ausath dan As-Shaghir
disusun secara tertib riwayat dari guru-gurunya berdasarkan urutan huruf.
2.
Shahih Al-Imam Al-Kabir Muhammad bin Ishak bin Huzaimah (w. 311 H).
3.
Shahih Abi Awanah Ya’kub bin Ishak (w. 316 H)
4.
Mushannaf Ath-Thahawi, seorang Ulama fiqih dan ahli Hadits Mazhab Hanafi
(w. 321 H)
5.
Al-Muntaqa, Karya Qasim bin Ashbagh, Ulama Hadis Andalusia (w. 340 H)
6.
As-Shahih Al-Muntaqa, karya Ibnu Sakan Said bin Utsman Al-Bagdadi (w.
353 H)
7.
Shahih Abi Khatim Muhammad bin Hibban Al-Basti (w.354 H)
8.
Sunan Imam Abil Hasan Ad-Daruquthni (w. 385 H)
9.
Mustadrak Imam Abi Abdillah Al-Hakim (w. 405 H).
Persoalan Sunnah berakhir pada pertengan priode ini dan As-Sunnah telah
menjadi imu yang berdiri sendiri dengan tokoh-tokoh yang khusus membahasnya
(al-Muhadditsin), meskipun merka tidak meneruskan ke dalam fiqih dan tidak
memiliki kekuatan untuk beristimbat.[16]
Mereka melestarikan peninggalan kitab-kitab yang sudah ada. Dan
penyusunan kitab yang mereka lakukan diantaranya ialah mengumpulkan tulisan
sebagian ulama-ulama sebelumnya ke dalam satu kitab, atau meringkas sanad-sanad
dan matan, mengomentari sanad-sanad atau matannya, mengumpulkan hadits-hadits yang
berkaitan dengan hokum, atau tentang keutamaan-keutamaan amal, dihimpun dalam
kitab-kitab tersendiri.
VI. KONKLUSI
Telah menjadi kesepakatan (ijma’ fi’li) di antara para Ulama akan
pentingnya menseleksi, menulis dan membukukan Hadits serta Sunnah Rasulullah
SAW. Sekiranya tidak ditulis atau dibukukan maka dalam kurun waktu yang lama
sepeninggal Rasulullah SAW akan terjadi perselisihan besar mengenai Sunnah.
Adapun mengenai Hadits-Hadits tentang larangan menulis selain Al-Qur’an
itu belaku pada masa awal Islam (shadrul Islam) karena hal-hal sebagai
berikut ;
1.
khawatirkan dicampur adukkannya Al-Qur’an dengan Sunnah oleh mereka yang
baru masuk Islam atau yang tidak bisa membedakannya.
2.
dikhawatirkan hanya berpegangan pada tulisan serta tidak
menghafalkannya.
3.
dibukukannya Hadits khawatir orang-orang awam hanya pasrah dan tidak
mengkajinya lebih dalam.
4.
masih minimnya bahan dan alat tulis. dan Al-Qur’an juga belum dibukukan.
Dalam setiap fase pembukuan terdapat karakteristik dan ciri tersendiri. Fase
pertama; pertama-tama pembukuan Hadits masih bercampur dengan
kata-kata sahabat dan Tabi’in serta fatwa-fatwa mereka. Fase Kedua;
Hadits mulai dipisahkan dari kata-kata yang lain selanjutnya disusun kitab yang
dikenal dengan Musnad. Fase ketiga; fase yang paling cemerlang
dalam kodifikasi sunnah, muncul tokoh-tokoh penulis Kutub al-Sittah yang
ditinggikan derajatnya atas yang lain karena para perawinya sangat terpercaya
dan memperoleh kemasyhuran yang tidak diperoleh oleh yang lain. Fase keempat;
ditandai dengan banyaknya Ulama yang sudah mencukupkan diri dengan kitab-kitab
sebelumnya, pengkajian tentang hal ihwal rawi dan sanad hadits mensifatinya
untuk menseleksi kualitas hadits yang dibawakannya, pada fase ini juga muncul
susunan kitab-kitab hadits.
Dari semua kitab yang ada, ada yang disusun berdasarkan tertib sanad, ada
yang berdasarkan urutan bab-bab fiqih, ada yang berdasarkan urutan hukum-hukum
fiqih, ada yang membatasi pada masalah targhib wat Tarhib dan ada yang
mencukupkan matannya saja dengan membuang sanad.
Daftar Pustaka
· Bek, Muhammad Hudlari, Tarikh
al-Tasyri’ al-Islami, edisi bahasa Indonesia, Semarang, Dar Al-Ihya’, 1980
· Syuhbah,
Muhammad Abu, Al-Wasith fi ‘Ilmi al-Mushthalah al-Hadits, Kairo, Dar
al-Fikr al-Araby, 1982
· Al-Maliki,
Alawi Abbas; An-Nuri, Sulaiman Hasan, Ibanat Al-Ahkam Sarh Bulugh Al-Maram,
Jilid I, Beirut, Darul Fikri, 2004
End Note
[1] Muhammad Abu
Syuhbah, al-Wasith fi ‘Ilmi al-Mushthalahul Hadits, (Kairo : Dar al-Fikr
al-Araby, 1982) hlm. 51
[2] Muhammad Abu
Syuhbah, al-Wasith fi ‘Ilmi al-Mushthalahul Hadits, hlm. 57
[3] Muhammad Abu
Syuhbah, al-Wasith fi ‘Ilmi al-Mushthalahul Hadits, hlm. 59-60
[4] Muhammad Abu
Syuhbah, al-Wasith fi ‘Ilmi al-Mushthalahul Hadits, hlm. 60-61
[5] Dia adalah Abdullah
bin Dakwan Al-amawy, terkenal dengan Abu Zinad, seorang yang tsiqat, alim fiqih
wafat 130 H
[6] Alawi Abbas Al-Maliki, Hasan Sulaiman An-Nuri, Ibanat
Al-Ahkam Sarh Bulugh Al-Maram, Jilid I (Beirut : Darul Fikri, 2004) , hlm.
7 - 8
[7]
Muhammad Hudlari Bek, Tarikh
al-Tasyri’ al-Islami, edisi bahasa Indonesia, (Semarang : Darul Ihyak,
1980) hlm. 339
[8]
Yaitu kitab Hadits yang disusun secara kolektif berdasarkan Sahabat, seperti
disebutkannya Hadits-Hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar, atau
Hadits-Hadits riwayat Umar dst.
[10] Terkenal dengan
sebutan Ibnu Rahawaih.
1. Hadits Riwayah
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah, secara bahasa, berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan.
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal di antara definisi-definisi tersebut adalah definisi Ibnu Al-Akhfani, yaitu , ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.1
Objek kajian ilmu hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat , dan tabi’in, yang meliputi:
Cara periwayatannya, yakni cara penerimaan dan penyampaian hadis seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain;·
Cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadits.Ilmu hadits riwayah bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya.Pada masa Nabi Muhammad saw. para sahabat dilarang menulis hadits.
Dengan demikian hadits hanya tersimpan dalam hafalan para sahabat. Periwayatan hadits oleh para sahabat, tabi`in (generasi setelah sahabat), dan tabi`it tabi`in (generasi sesudah tabi`in) dilakukan dengan dua cara, yaitu periwayatan dengan lafal (riwayah hi al-lafzi); dan periwayatan dengan makna (riwayah hi al-ma`na).
1). Periwayatan dengan lafal (riwayah hi al-lafzi) adalah periwayatan yang disampaikan sesuai dengan lafal yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. Periwayatan hadits sesuai dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadits yang diriwayatkan secara lafal ini, antara lain: =>dalam bentuk muta’ahad (sanadnya memperkuat hadits lain yang sama sanadnya),misalnya hadits tentang adzan dan syahadat => hadits-hadits tentang doa; dan=> tentang kalimat yang padat dan memiliki pengertian yang mendalam (jawaami` al-kalimah)
2). Periwayatan dengan makna (riwayah hi al-ma`na) adalah hadits yang diriwayatkan sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan demikian dari segi redaksinya ada perubahan. Sebagian besar hadits Nabi saw. diriwayatkan dengan cara demikian. Sebab beliau memberi isyarat diperbolehkannya meriwayatkan hadits dengan riwayah hi al-ma`naSyarat-syarat yang ditetapkan dalam meriwayatkan hadits secara makna ini cukup ketat, yaitu:=> periwayat haruslah seorang muslim, baligh, adil, dan dhobit (cermat dan kuat);=> periwayat hadits tersebut haruslah benar-benar memahami isi dan kandungan hadits yang dimaksud;=> periwayat hadits haruslah memahami secara luas perbedaan-perbedaan lafal sinonim dalam bahasa Arab;=> meskipun si pelafal lupa lafal atau redaksi hadits yang disampaikan Nabi Muhammad saw., namun harus ingat maknanya secara tepat;
2. Hadits Dirayah
Ilmu hadist dirayah biasa juga disebut ilmu mmustalah hadist, ilmu ushul al-hadist, ulum al-hadist, dan qawa‘id at-tahdis.Hadits dirayah menurut ‘Izzuddin bin Jama’ah, yaitu “, Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”2
Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad dan materi hadits, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat para perawi, dll.Obyek atau sasaran Ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan hadits, sehubungan dengan keshahihan, hasan, dan dha'ifnya.Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern.Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut:
·Ittishal as-sanad (persambungan sanad) .
·Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl (adil) , dhabit (cermat dan kuat), tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seoarang periwayat.
·Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad.
·‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna.
Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadis dari seorang guru),qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya di hadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya), kepada seorang untuk diriwayatkan, kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang), munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), i’lam (memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dikoleksinya), dan wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru). (M.M Azami, Studies ih Hadith Methologi and Literature.16: Mahmud al-thahhan. Taisir Mushthalah al-Hadist, h. 157-164) Muttashil, yaitu periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, atau munqathi’, yaitu periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, ataupun di akhir, dan lainnya.Hukum riwayat, adalah al-qabul, yaitu diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd, yaitu ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.
Keadaan para perawi, maksudnya adalah, keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al’adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh).Syarat-syarat mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika mereka menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-adda’).Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan Hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu’jam, atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun Hadis Nabi saw.
Tujuan dan faedah ilmu hadits dirayah adalah:·Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa sejak Rasulullah SAW sampai masa sekarang.
·Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis
.·Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis.
·Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hukum syara’.
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah, secara bahasa, berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan.
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal di antara definisi-definisi tersebut adalah definisi Ibnu Al-Akhfani, yaitu , ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.1
Objek kajian ilmu hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat , dan tabi’in, yang meliputi:
Cara periwayatannya, yakni cara penerimaan dan penyampaian hadis seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain;·
Cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadits.Ilmu hadits riwayah bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya.Pada masa Nabi Muhammad saw. para sahabat dilarang menulis hadits.
Dengan demikian hadits hanya tersimpan dalam hafalan para sahabat. Periwayatan hadits oleh para sahabat, tabi`in (generasi setelah sahabat), dan tabi`it tabi`in (generasi sesudah tabi`in) dilakukan dengan dua cara, yaitu periwayatan dengan lafal (riwayah hi al-lafzi); dan periwayatan dengan makna (riwayah hi al-ma`na).
1). Periwayatan dengan lafal (riwayah hi al-lafzi) adalah periwayatan yang disampaikan sesuai dengan lafal yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. Periwayatan hadits sesuai dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadits yang diriwayatkan secara lafal ini, antara lain: =>dalam bentuk muta’ahad (sanadnya memperkuat hadits lain yang sama sanadnya),misalnya hadits tentang adzan dan syahadat => hadits-hadits tentang doa; dan=> tentang kalimat yang padat dan memiliki pengertian yang mendalam (jawaami` al-kalimah)
2). Periwayatan dengan makna (riwayah hi al-ma`na) adalah hadits yang diriwayatkan sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan demikian dari segi redaksinya ada perubahan. Sebagian besar hadits Nabi saw. diriwayatkan dengan cara demikian. Sebab beliau memberi isyarat diperbolehkannya meriwayatkan hadits dengan riwayah hi al-ma`naSyarat-syarat yang ditetapkan dalam meriwayatkan hadits secara makna ini cukup ketat, yaitu:=> periwayat haruslah seorang muslim, baligh, adil, dan dhobit (cermat dan kuat);=> periwayat hadits tersebut haruslah benar-benar memahami isi dan kandungan hadits yang dimaksud;=> periwayat hadits haruslah memahami secara luas perbedaan-perbedaan lafal sinonim dalam bahasa Arab;=> meskipun si pelafal lupa lafal atau redaksi hadits yang disampaikan Nabi Muhammad saw., namun harus ingat maknanya secara tepat;
2. Hadits Dirayah
Ilmu hadist dirayah biasa juga disebut ilmu mmustalah hadist, ilmu ushul al-hadist, ulum al-hadist, dan qawa‘id at-tahdis.Hadits dirayah menurut ‘Izzuddin bin Jama’ah, yaitu “, Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”2
Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad dan materi hadits, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat para perawi, dll.Obyek atau sasaran Ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan hadits, sehubungan dengan keshahihan, hasan, dan dha'ifnya.Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern.Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut:
·Ittishal as-sanad (persambungan sanad) .
·Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl (adil) , dhabit (cermat dan kuat), tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seoarang periwayat.
·Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad.
·‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna.
Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadis dari seorang guru),qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya di hadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya), kepada seorang untuk diriwayatkan, kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang), munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), i’lam (memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dikoleksinya), dan wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru). (M.M Azami, Studies ih Hadith Methologi and Literature.16: Mahmud al-thahhan. Taisir Mushthalah al-Hadist, h. 157-164) Muttashil, yaitu periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, atau munqathi’, yaitu periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, ataupun di akhir, dan lainnya.Hukum riwayat, adalah al-qabul, yaitu diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd, yaitu ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.
Keadaan para perawi, maksudnya adalah, keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al’adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh).Syarat-syarat mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika mereka menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-adda’).Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan Hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu’jam, atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun Hadis Nabi saw.
Tujuan dan faedah ilmu hadits dirayah adalah:·Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa sejak Rasulullah SAW sampai masa sekarang.
·Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis
.·Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis.
·Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hukum syara’.
Dari ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah itu, muncul
cabang-cabang ilmu hadis lainnya, yaitu:
1.Ilmu Rijal Al-Hadits
Menurut ulama hadis mendifinisikan ilmu rijal al-hadis, yaitu; Ilmu yang membahas para rawi hadis, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun dari generasi-generasi sesudahnya.4
Ilmu Rijaalul-Hadiits, dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat(Ilmu Sejarah Perawi) adalah ilmu yang diketahui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.
2.Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Secara bahasa, kata al-jarh artinya cacat atau luka dan kata al-ta’dil artinya mengadilkan atau menyamakan.
Jadi, kata ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.Para ahli hadis mendifinisikan al-jarh sebagai berikut: Kecacatan para perawi hadits karena sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitannya.5
Kemudian para ulama hadis mendefinisikan at-ta’dil sebagai berikut: Ta’dil adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seoarang rawi dan menghukumnya bahwa ia adil dan dhabit.6
3.Ilmu Fannil Mubhamat
Yang dimaksud ilmu fannil mubhamatadalah,” Ilmu untuk nama orang-orang yang tidak disebutkan dalam matan atau sanad”.7
4.Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Menurut ulama Muhadditsin adalah, “Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadis, misalnya mengatakan muttasil terhadap hadis yang munqathi, menyebut marfu’ terhadap hadis yang mauquf, memasukkan hadis ke dalam hadis lain, dan hal-hal seperti itu.” 8
5.Ilmu Gharib Al-Hadits
Ilmu gharb al-hadits adalah, “Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan jarang terpakai oleh umum.” 9
6.Ilmu Nasikh wa Al-Mansukh
Menurut ulama hadits, adalah , “ Ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling betentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan sebagiannya sebagai ‘ nasikh’ dan sebagian lainnya sebagai ‘mansukh’. Yang [1]terbukti datang terdahulu sebagai mansukh dan yang terbukti datang kemudian sebagai nasikh”.10
7.Ilmu Talfiq Al-Hadits
Ilmu talfiq al-hadits adalah, “Ilmu yag membahas cara mengumpulkan hadis-hadis yang berlawanan lahirnya”.11
8.Ilmu Tashif wa At-Tahrif
Ilmu tashif wa at-tahrif adalah, “ ilmu yang membahas kata-kata yang tertukar titik dan hurufnya.
9.Ilmu Asbab Al-Wurud Al-Hadits
Pengertian ilmu asbab al-wurud al-hadis adalah, “ Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-nasanya Nabi SAW menuturkan itu”.12Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits dalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan. 10.Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
Ilmu mushthalah ahli hadis adalah, “ ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian ( istilah-istilah) yang dipakai oleh ahli-ahli hadis”
1.Ilmu Rijal Al-Hadits
Menurut ulama hadis mendifinisikan ilmu rijal al-hadis, yaitu; Ilmu yang membahas para rawi hadis, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun dari generasi-generasi sesudahnya.4
Ilmu Rijaalul-Hadiits, dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat(Ilmu Sejarah Perawi) adalah ilmu yang diketahui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.
2.Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Secara bahasa, kata al-jarh artinya cacat atau luka dan kata al-ta’dil artinya mengadilkan atau menyamakan.
Jadi, kata ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.Para ahli hadis mendifinisikan al-jarh sebagai berikut: Kecacatan para perawi hadits karena sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitannya.5
Kemudian para ulama hadis mendefinisikan at-ta’dil sebagai berikut: Ta’dil adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seoarang rawi dan menghukumnya bahwa ia adil dan dhabit.6
3.Ilmu Fannil Mubhamat
Yang dimaksud ilmu fannil mubhamatadalah,” Ilmu untuk nama orang-orang yang tidak disebutkan dalam matan atau sanad”.7
4.Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Menurut ulama Muhadditsin adalah, “Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadis, misalnya mengatakan muttasil terhadap hadis yang munqathi, menyebut marfu’ terhadap hadis yang mauquf, memasukkan hadis ke dalam hadis lain, dan hal-hal seperti itu.” 8
5.Ilmu Gharib Al-Hadits
Ilmu gharb al-hadits adalah, “Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan jarang terpakai oleh umum.” 9
6.Ilmu Nasikh wa Al-Mansukh
Menurut ulama hadits, adalah , “ Ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling betentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan sebagiannya sebagai ‘ nasikh’ dan sebagian lainnya sebagai ‘mansukh’. Yang [1]terbukti datang terdahulu sebagai mansukh dan yang terbukti datang kemudian sebagai nasikh”.10
7.Ilmu Talfiq Al-Hadits
Ilmu talfiq al-hadits adalah, “Ilmu yag membahas cara mengumpulkan hadis-hadis yang berlawanan lahirnya”.11
8.Ilmu Tashif wa At-Tahrif
Ilmu tashif wa at-tahrif adalah, “ ilmu yang membahas kata-kata yang tertukar titik dan hurufnya.
9.Ilmu Asbab Al-Wurud Al-Hadits
Pengertian ilmu asbab al-wurud al-hadis adalah, “ Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-nasanya Nabi SAW menuturkan itu”.12Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits dalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan. 10.Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
Ilmu mushthalah ahli hadis adalah, “ ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian ( istilah-istilah) yang dipakai oleh ahli-ahli hadis”
Referensi sumber buku:
1. Ibid.hlm.4.
2 .’Itr.op.cit. hlm.16
3 Utang Ranuwijaya. Ilmu hadits. Jakarta: Griya Media Pratama.1996.hlm.78
4 . M. Hasbi Ash-Shiddieqy.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta:Bulan Bintang.1987.hlm.153
5. ‘Itr.op.cit.hlm.77
6. Ibid.hlm.78
7 Ibid.hlm.160
8. Muhammad.Ahmad. Ulumul Hadits. Bandung:Pustaka Setia.2004.hlm.52-53
9. Endang Soetari. Ilmu Hadis: Kajian Riqayah dan Dirayah.Bandung:Mimbar Pustaka
10.Al-Khatib. op.cit.hlm.259
11. Ash-Shiddieqy.op.cit.hlm.164
12. Soetari.op.cit.hlm.212
13. . Ash-Shiddieqy.op.cit.hlm.165
1. Ibid.hlm.4.
2 .’Itr.op.cit. hlm.16
3 Utang Ranuwijaya. Ilmu hadits. Jakarta: Griya Media Pratama.1996.hlm.78
4 . M. Hasbi Ash-Shiddieqy.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta:Bulan Bintang.1987.hlm.153
5. ‘Itr.op.cit.hlm.77
6. Ibid.hlm.78
7 Ibid.hlm.160
8. Muhammad.Ahmad. Ulumul Hadits. Bandung:Pustaka Setia.2004.hlm.52-53
9. Endang Soetari. Ilmu Hadis: Kajian Riqayah dan Dirayah.Bandung:Mimbar Pustaka
10.Al-Khatib. op.cit.hlm.259
11. Ash-Shiddieqy.op.cit.hlm.164
12. Soetari.op.cit.hlm.212
13. . Ash-Shiddieqy.op.cit.hlm.165