Sejarah Perbankan
Sunday, January 6, 2013
SEJARAH
PERBANKAN
Secara umum, bank adalah lembaga keuangan yang
melaksanakan tiga fungsi, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan
memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian umat islam,
pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian
dari tradisi umat islam sejak zaman rasulullah. Praktik-pratik seperti
menitipkan harta, meminjamkan harta untuk keperluan konsumsi dan untuk
keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak
zaman rasulullah saw. Dengan demikian. Fungsi-fungsi utama perbankan modern,
yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat islam, bahkan sejak
zaman Rasulullah.
Rasulullah yang dikenal dengan julukan Al-Amin, dipercaya
oleh masyarakat makkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir
sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali bin Abi Thalib r.a untuk
mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya. Dalam konsep ini, pihak
yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan.
Seorang sahabat Rasulullah saw, Zubair bin Awwam r.a.,
memilih tidak menerima harta titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam
bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni
pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, ia mempunyai hak untuk
memanfaatkan, kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk
mengembalikan nya secara utuh. Dalam riwayat yang lain disebutkan, ibnu Abbas
r.a. juga pernah melakukan pengiriman uang ke Kuffah dan Abdullah bin Zubair
melakukan pengiriman uang dari makkah ke adiknya Mis'ab bin Zubair r.a. yang
tinggal di Irak.
Pengunnan cek juga di kenal luas sejalan dengan
meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak
berlangsung dua kali dalam setahun. Bahkan pada masa pemerintahannya, Khalifah
Umar bin al- Khatab r.a. menggunakan cek untuk membayar kepada mereka yang
berhak. Dengan menggunakan cek ini,, mereka mengambil gandum di baitul mal yang
ketika itu diimpor dari Mesir. Disamping itu, pemberian modal untuk modal kerja
berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, muzara'ah, musaqoh, telah dikenal
sejak awal di antara kaum muhajirin dan kaum anshor.
Dan Rasulullah saw pun mejalankan praktisi itu
sebelumnya, yaitu ketika ia bertindak sebagai mudharib (pengelola investasi)
untuk Khadijah. Dan Khalifah Umar bin Khatab menginvestasikan uang anak yatim
kepada para saudagar yang berdagang di jalur perdagangan antara Madinah dan Irak.
Kemitraan bisnis berdasarkan system bagi hasil sederhana semacam ini terus
dipraktekan selam berabad-abad tanpa perlu perubahan bentuk sama sekali.
Dengan demikian, jelas bahwa terdapat individu-individu
yang telah melaksakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah saw, meskipun
individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada sahabat yang
melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan
fungsi pinjam meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam, ada yang
melaksankan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.
SEJARAH
PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI DUNIA[1]
Sejak awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan
kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern : neorevivalisme dan modernis.
Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah
tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan
ekonominya berlandaskan Al-qur'an dan As-Sunnah.
Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di
Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana
jama'ah haji secara nonkonvesional. Rintisan Institusional lainnya adalah
Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, bank Islam tumbuh dengan
sangat pesat. Sesuai dengan analisa Prof. Khursid Ahamad dan laporan
Internasional Association of Islamic Bank, hingga akhir 1999 tercatat lebih
dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, baik di
negara-negara berpenduduk muslim maupun di Eropa, Australia, mauoun Amerika.
Suaru hal yang patut juga di catat adalah saat ini banyak nama besar dalam
dunia keuangan internasional seperti Citibank, Jardine Flemming, ANZ, Chase
Chemical Bank, Goldman Sach, dan lain-lain telah membuka cabang dan subsidiories
yang berdasarkan syariah.
- Mit Ghamr Bank
Rintisan
perbankan syariah muali mewujud di Mesir pada dekade 1960-an dan beroperasi
sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di
Indonesia) di sepanjang sungai Nil lembaga ini mendapatkan bantuan dari Raja
Faisal Arab Saudi. Lembaga dengan nama Mit Ghamr Bank binaan Prof.Dr. Ahmad
Najjar tersebut hanya beroperasi di pedaesaan Mesir dan berskala kecil, namun
institusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan
sistem finansial dan ekonomi Islam.
- Islamic Development Bank
Pada
sidang menteri luar negeri negara-negara Organisasi Konfrensi Islam di Karachi,
Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan Bank
syariah. Proposal yang disebut Studi Pendirian Bank Islam Internasional untuk
perdagangan dan pembangunan (Internasional Islamic Bank for Trade and
Development) dan proposal pendirian federasi Bank Islam (Federation of Islamic
Bank), dikaji oleh para ahli dari 18 negara Islam.
Proposal
tersebut pada Intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus
diganti dengan suatu sistem kerja sama dengan skema bagi hasil keuntungan
maupun kerugian. Proposal
tersebut diterima. Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam Internasional
dan Federasi Bank Islam.
Perkembangan Bank Syariah Dibeberapa Negara
- Pakistan
Pakistan merupakan pelopor di bidang perbankan syariah. Pada awal Juli 1979, sistem bunga di hapuskan dari opersonal
tiga institusi : National Investment (Unit Trust), House Building Finance
Corporation (pembiayaan sektor perumahan), dan Mutual Funds of the Investment
Corporation of Pakistan (kerja sama investasi). Pada tahun 1979-80, pemerintah
mensosialisasikan skema pinjaman tanpa bunga kepada petani dan nelayan.
Pada tahun 1981, seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang perusahaan Mudharabah
dan Murabahah, mulailah beroperasi tujuh ribu cabang bank komersial
nasional di seluruh Pakistan dengan menggunakan sistem bagi hasil. Pada awal tahun
1985, seluruh sistem perbankan Pakistan dikonversi dengan sistem yang baru,
yaitu perbankan syariah.
- Mesir
Bank syariah pertama yang didirikan di Mesir adalah Faisal Islamic Bank.
Bank ini mulai beroperasi pada bulan maret 1978 dan berhasil membukukan hasil
yang mengesankan dengan total aset sekitar 2 miliar dolar AS. Selain
Islamic Bank, terdapat bank lain, yaitu Islamic International Bank of
Investment and Development yang beroperasi dengan menggunakan instrumen
keuangan Islam dan menyediakan jaringan yang luas. Bank ini beroperasi, baik
sebagai bank investasi (investment bank), bank perdagangan (merchant
bank), maupun bank komersial (commercial bank).
- Siprus
Faisal Islamic Bank of Kirbis (Siprus) mulai beroperasi pada Maret 1983 dan
mendirikan Faisal Islamic Investment Corporation yang memiliki cabang di Siprus
dan 1 cabang di Istambul. Dalam sepuluh bulan awal operasinya, bank tersebut
telah melakukan pembiayaan dengan skema murabahah senilai sekitar
sekitar TL 450 juta (TL atau Turkey Lira, mata uang Turki).
Bank ini
juga melaksanakan pembiayaan dengan skema musyarakah dan mudharabah, dengan
tingkat keuntungan yang bersaing dengan bank non syariah. Kehadiran bank Islam
di Siprus telah menggerakan masyarakat untuk menabung. Benk ini beroperasi
dengan mendatangi desa-desa, pabrik dan sekolah dengan menggunkan kantor kas
(mobil) keliling untuk mengumpulkan tabungan masyarakat. Selain
kegiatan-kegiatan di atas, mereka juga mengelolah dana-dana lain seperti al-qardhul
hasan dan zakat.
- Kuwait
Kuwait Finance House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasi
dengan sistem tanpa bunga. Institusi ini memiliki puluhan cabang di Kuwait dan
telah menunjukan perkembangan yang cepat. Selama dua tahun saja, yaitu 1980
hingga 1982, dana masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekitar KD149 juta
menjadi KD474 juta. Pada akhir tahun 1985, total aset mencapai KD803 juta dan
tingkat keuntungan bersih mencapai KD17 juta (satu Dinar Kuwait ekuivalen
dengan 4 hingga 5 dólar US).
- Bahrain
Bahrain merupakan off-shore
banking heaven terbesar di Timur Tengah. Di negeri yang hanya berpenduduk
tidak lebih dari 660.000 jiwa (perDesember 1999) tumbuh sekitar 220 local dan
off-shore banks. Tidak kurang dari 22 di antaranya beroperasi
berdasarkan syariah. Di antara bank-bank yang beroperasi secara syariah
tersebut adalah Citi Islamic Bank of Bahrain (anak perusahaan Citi
Corp.N.A), Faysal Islamic Bank of Bahrain, dan al-Barakah Bank.
- Uni Emirat Arab
Dubai Islamic Bank merupakan salah
satu pelopor perkembangan bank syariah. Didirikan pada tahun 1975. investasinya
meliputi bidang perumahan, proyek-proyek industri, dan aktivitas komersial.
Selama beberapa tahun, para nasabahnya telah menerima keuntungan yang lebih
besar dibandingkan dengan bank konvensional.
- Malaysia
Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB)
merupakan bank syariah pertama di Asia Tenggara. Bank ini didirikan pada tahun
1983, dengan 30 persen modal merupakan milik pemerintah federal. Hingga akhir
1999, BIMB telah memiliki lebih dari tujuh puluh cabang yang tersebar hampir di
setiap negara bagian dan kota-kota Malaysia.
Sejak beberapa tahun yang lalu, BIMB
telah tercatat sebagai listen-public company dan masoritas sahamnya
dikuasai oleh Lembaga Urusan dan Tabungan Haji.
Pada tahun 1999, di samping BIMB
telah hadir satu bank syariah baru dengan nama Bank Bumi Putra Muamalah. Bank
ini merupakan anak perusahaan dari Bank Bumi Putera yang baru saja melakukan
merger dengan Bank of Commerce.
Di negeri jiran ini, di samping full
pledge islamic banking, pemerintah Malaysia memperkenankan juga sistem Islamic
Window yang memberikan layanan syariah pada bank konvensional.
- Iran
- Ide pengembangan perbankan syariah di Iran sesungguhnya bermula sesaat sejak Revolusi Islam Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini pada tahun 1979, sedangkan perkembangan dalam arti rill baru dimulai sejak Januari tahun 1984.
- Berdasarkan ketentuan/undang-undang yang disetujui pemerintah pada bulan Agustus 1983. Sebelum undang-undang tersebut dikeluarkan sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar lebih dari 100 miliar rial yang diadministrasikan sesuai dengan sistem syariah.
- Islamisasi sitem perbankan di Iran di tandai dengan nasionalisasi seluruh industri perbankan yang dikelompokan menjadi dua kelompok besar. (1) perbankan komersial, (2) lembaga pembiayaan khusus. Dengan demikian, sejak dikeluarnya undang-undang perbankan Islam (1983), seluruh sistem perbankan di Iran otomatis beerjalan sesuai syariah di bawah kontrol penuh pemerintah.
- Turki
Sebagai negara yang berideoligi sekuler, Turki termasuk negeri yang cukup
awal memiliki perbankan syariah. Pada tahun 1984, pemerintah Turki memberi izin
kepada Daar al-Maal al-Islam (DMI) untuk mendirikan bank yang beroperasi
berdasarkan perinsip bagi hasil. Menurut ketentuan Bank Sentral Turki, bank
syariah diatur dalam satu yurisdiksi khusus. Setelah DMI berdiri, pada bulan
Desember 1984 didirikan pula Faisal Finance Institutiondan mulai beroperasi
pada bulan April 1985. disamping dua lembaga tersebut, turki memiliki
ratusan-jika tidak ribuan-lembaga waqaf (vaqfi organiyasyonu) yang
memberikan fasilitas pinjaman dan bantuan kepada masyarakat.
PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA[2]
Di Indonesia, bank syariah yang pertama didirikan pada
tahun 1992 adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya agak
terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya, perbankan
syariah di Indonesia akan terus berkembang. Bila pada priode tahun 1992-1998
hanya ada satu unit bank syariah, maka pada tahun 2005, jumlah bank syariah di
Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17
unit usaha syariah. Sementara itu, jumlah bank perkreditan rakyat syariah
(BPRS) hingga akhir tahun 2004 bertambah menjadi 88 buah.
Berdasarkan data bank Indonesia, prospek perbankan
syariah pada tahun 2005 diperkirakan cukup baik. Indusri perbankan syariah
diprediksi masih akan berkembang dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi.
Jika pada posisi November 2004, volume usaha perbankan syariah telah mencapai
14,0 triliun rupiah, dengan tingkat pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2004
sebesar 88,6%, volume usaha perbankan syariah di akhur tahun 2005 diperkirakan
akan mencapai sekitar 24 triliun rupiah. Dengan volume tersebut, diperkirakan
industri perbankan syariah akan mencapai pangsa sebesar 1,8% dari industri
perbankan nasional dibandingkan sebesar 1,1% pada akhir tahun 2004. Pertumbuhan
volume usaha perbankan syariah tersebut ditopang oleh rencana pembukaan unit
usaha syariah yang baru dan pembukaan jaringan kantor yang lebih luas. Dana
pihak ketiga (DPK) diperkirakan akan mencapai jumlah sekirat 20 triliun rupiah
dengan jumlah pembiayaan sekitar 21 triliun rupiah di akhir tahun 2005.
Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Karim Business
Consulting pada tahun 2005 menunjukan bahwa total aset bank syariah di
Indonesia diperkirakan akan lebih besar dari pada apa yang diproyeksikan oleh
Bank Indonesia. Dengan menggunakan KARIM Growth Model, total aset bank syariah
di Indonesia diproyeksiakan akan mencapai antara 1,92% sampai 2,31% dari
industri perbankan nasional. Model ini dikembangkan dengan pendekatan rational
expectation atau dengan memanfaatkan all relevan information available dan
mensimulasikan proyeksi pertumbuhan aset masing-masing BUS/UUS (organik) dan
proyeksi BUS/UUS baru (non-organik) yang kemudian dilahirkan agregasi
pertumbuhan.
Lahirnya undang-undang sebagai babak
baru perkembangan bank syariah di Indonesia[3]
Setelah
berdirinya 2 jenis bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah yaitu Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Bank Muamalat Indonesia BMI sebagai bank
umum. Lalu disusulnya dengan disahkannya undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
perbankan yang merupakan dari undang-undang yang berlaku sebelumnya yakni UU
No.14 1967 tentang pokok-pokok perbankan.
Lahirnya
undang-undang No.7 Tahun 1992 tersebut, yang didalamnya telah memuat landasan
hukum beroperasinya bank syariah, dan menandai dimulainya babak baru bagi
perkembangan bank syariah di Indonesia. Khusus bagi umat Islam lahirnya
undang-undang perbankan tersebut jelas mempunyai makna tersendiri, karena
disamping lahirnya undang-undang tersebut tidak terlepas dari perjuangan umat
Islam yang sudah lama menginginkan adanya bank yang beroperasi.
Dalam
undang-undang tersebut pengaturan mengenai bank syariah baru dinyatakan secara
implisit dengan menggunakan istilah "bank berdasarkan prinsip bagi hasil
". Namun terlepas dari berbagi kekurangan dan kelemahan pengaturan
mengenai bank syariah dalam undang-undang tersebut, secara yuridis ketentuan
yang terdapat dalam undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut sudah dapat
dijadikan landasan hukum untuk mendirikan suatu bank yang beroperasi sesuai
hukum Islam di Indonesia.
Selanjutnya,
pada tahun 1998 disahkan undang-undang No. 10 1998 tentang perubahan atas
undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. undang-undang perbankan
tersebut merupakan amandemen dari undang-undang No. 7 1992.
Dalam
undang-undang tersebut terdapat beberapa perubahan yang tidak saja semakin
mempertegas eksistensi dan legitimasi bank syariah sekaligus juga memberikan
peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah itu sendiri di
Indonesia.
Perubahan
yang terdapat dalam undang-undang tersebut dipertegas dalam pasal 1 ayat 3 dan
4 undang-undang tersebut yang menyebutkan dengan tegas istilah "bank berdasarkan
prinsip syariah". Pasal tersebut juga telah merinci dengan jelas landasan
hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan
oleh bank syariah sebagaimana diuraikan dalam pasal 1 ayat 13 dan pasal 6 serta
pasal 7, sekaligus juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk
membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank
syariah sebagaimana dinyatakan dalam pasal 6 huruf M dan pasal 13 huruf C
undang-undang tersebut
BANK ISLAM DALAM TATA HUKUM
PERBANKAN INDONESIA
1.
Sistem Perbankan di Indonesia[4]
Menurut
Emirzon sistem perbankan itu adalah "suatu tatanan yang didalamnya
terdapat berbagai jenis bank yang terkait satu sama lain dan merupakan suatu
kesatuan dengan mengikuti suatu aturan tertentu". Sedangkan menurut
Hermansyah sistem perbankan itu adalah "suatu sistem yang menyangkut
tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses
melaksanakan keggiatan usahanya secara keseluruhan".
Berbicara
mengenai sistem perbankan di Indonesia tidak lain harus mengacu pada
undang-undang No. 10 Tahun 1998. Mengacu pada undang-undang perbankan
tersebut, salah satu aspek yang perlu dipahami dalam sistem perbankan di
Indonesia diakui adanya bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah
disamping perbankan konvensional yang dikenal dengan istilah dual banking
system.
2.Bank Syariah Sebagai Bagian Yang Integral dari
Perbankan Nasional
Dalam pasal 1 ayat (3) dan (4) UU No.10 tahun 1998 yang menyatakan bahwa:
"Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Perkreditan Rakyat adalah
Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkanprinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran"
Dalam pasal 1 ayat (7) UU No.21 Tahun 2008 :
"Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS,
adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/atau unit syariah."
Dari
ketentuan UU No.10 tahun 1998 pasal tersebut dapat dipahami bahwa suatu bank,
yakni bank umum maupun bank perkreditan rakyat, dalam melaksanakan kegiatan
usahanya dapat dilakukan secara konvensional, juga dapat dilakukan berdasarkan
prinsip syariah. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut, suatu bank
baik itu bank umum maupun bank perkreditan rakyat, dalam hal menjalankan
fungsinya atau melaksanakan kegiatan usahanya ada dua pilihan, yakni dapat
dilakukan secara konvensional (sistem bunga) dan/atau berdasarkan prinsip
syariah. Hanya saja perbedaanya, bagi bank umum dalam melaksanakan kegiatan
usahanya diperkenankan memilih, yakni bisa melakukan kegiatan usaha secara
konvensional saja, atau dengan prinsip syariah saja, atau boleh juga dengan
menerapkan kedua-duanya secara berbarengan. Sedangkan bank perkreditan rakyat
hanya diperkenankan memilih salah satu dari kedua jenis kegiatan usaha
perbankan tersebut, yakni kegiatan usaha perbankan konvensional saja, atau yang
berdasarkan prinsip syariah saja. Namun dalam UU No.21 Tahun 2008 di pertegas
dengan dibuatnya UUS bagi Bank konvensional yang iingin melakukan kegiatan
usahanya dengan prinsip-prinsip syariah sebagi induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Dengan diakuinya
eksistensi bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, di samping yang
beroperasi secara konvensional dalam UU perbankan tersebut, maka dengan
sendirinya dalam sistem perbankan nasional terdapat dua sistem bank (dual
banking system), yakni bank yang beroperasi secara prinsip syariah dan bank
yang beropersi secara konvensional. Dengan demikian kedudukan bank syariah tersebut tidak
lain merupakan bagian integral dari sistem perbankan nasional yang berlaku saat
ini.
Adapun
konsekuensi dari kedudukan bank syariah tersebut yang merupakan bagian dari
sistem perbankan nasional, dalam operationalnya bank harus tunduk pada
ketentuan peraturan perundangan di bidang perbankan syariah itu sendiri, ia
juga harus tunduk pada segala aturan umum yang menjadi landasan hukum perbankan
nasional, kecuali hal-hal yang secara khusus ditentukan lain oleh UU Perbankan
tersebut.
- Pengaturan Bank Syariah dalam Undang-Undang Perbankan
Pada tanggal 16 Juli, disahkan Undang-Undang No. 21 Tahun
2008 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94. Inilah
undang-undang yang yang spesifik mengatur tentang perbankan syariah. Ini
merupakan kebijakan publik yang menjadi payung hukum yang kuat dalam
operasional pebankan syariah di Indonesia.
UU Perbankan Syariah memberikan peluang aktivitas usaha
bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan bank
konvensional. Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan BUS dan tidak dapat
dilakukan bank konvensional. Perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih
dari yang ditawarkan oleh investment banking karena jasa-jasa bank syariah
merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance
company, dan merchant bank.
Selain usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan
fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal
dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya
kepada organisasi pengelola zakat, dan menghimpun dana sosial dari wakaf uang
dan menyalurkannya keada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak
pemberi wakaf (wakif).
Dalam pasal 4 UU No.21 Tahun 2008 disebutkan :
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial
dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat,
infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada
organisasi pengelola zakat.
(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial
yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir)
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
Hal ini
yang membuat bank syariah menjadi bank yang unik jika dibandingkan dengan bank
konvensional karena selain mencari keuntungan dunia (profit) bank juga sebagai
fasilitator bagi nasabah untuk melaksanakan ibadah untuk mendapatkan keuntungan
akhirat.
- Sikap Undang-Undang perbankan mengenai Perbankan Islam[5]
Sekalipun Indonesia bukan negara Islam, yaitu negara yang
berdasarkan hukum Syariah, tetapi Indonesia adalah negara muslim, yaitu negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sebagai negara muslim, kebutuhan
bagi para pendudukIndonesia yang muslim atau yang beragama Islam akan adanya
suatu bank yang berusaha dengan berlandaskan Prinsip syariah, suatu barang
tentu sangat diperlukan. Berkenaan dengan itu, Undang-undang No 7 Tahun 1992 jo
Undang-undang No 10 tahun 1998 menampung kebutuhan tersebut. Sekalipun bank
Islam di dalam Undang-undang tersebut tidak disebutkan sebagai suatu jenis bank
tersendiri di samping bank umum dan bank perkreditan rakyat, tetapi suatu bank
umum atau bank perkreditan rakyat boleh melakukan usahanya tiak berdasarkan
bunga, tetapi berdasarkan prinsip Syariah.
Dalam Undang-undang perbankan No 7 tahun 1992 belum
disebutkan secara tegas tentang keberadaan bank yang emlakukan kegiatannya
berdasarkan prinsi Syariah. Undang-undang tersebut hanya secara samar-samar
memberikan indikasi mengenai kemungkinan suatu bank memberikan fasilitas kredit
dengan imbalan atau pembagian hasil keuntungan ketika pasal 1 ayat (12) yang
dimaksud dengan kedit ialah :
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
pihak bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam umtuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau
pembagian hasil keuntungan.
Berbeda dengan sikap Undang-undang No 7 tahun 1992 yang diubahnya,
Undang-undang No 10 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No 7 tahun 1992
tentang perbankan mengakui secara tegas tentang pembiayaan berdasarkan prinsip
Syariah yang dapat dilakukan oleh suatu bank, baik bank umum maupun bank
perkreditan rakyat. Hal itu dapat diketahui dari bunyi pasal 1 ayat (12), pasal
6 huruf n, paal 7 huruf c, pasal 29 ayat (3), dan pasal (37) ayat 1 huruf c,
dan dipertegas dalam UU No.21 Tahun 2008 Pasal 19 dan 20
Pada saat ini bank Indonesia telah mengeluarkan surat
keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang
bank umum Berdasarkan Syariah dan No.32/36/KEP/DIR
tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip
Syariah. Kedua surat keputusan direksi Bank Indonesia tersebut, pedoman yang
dpakai oleh BUS atau Bank Perkredian rakat Syariah adalah peraturan pemerintah
No.72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan
prinsip bagi hasil (PP No.72/1992). Peraturan pemerintah tersebut merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No7 tahun 1992
tentang perbankan. Marilah sejenak kita melihat bagaimana PP No72 tahun 1992
tersebut mengatur bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
Dalam pasal 1
ayat (1) PP No.72 tahun 1992 disebutkan bahwa :
Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum atau bank perkreditan
rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi
hasil.
Mengenai tentang prinsip bagi hasil itu disebutkan dalam
pasal 3 PP No.72 tahun 1992 itu sebagai
berikut :
(1) prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud daam
pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil berdasarkan Syariah yang digunakan
yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip
bagi hasil dalam :
a. menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan
dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya,
b. menetapkan imbalan yang akan diterima sehubung dengan penyediaan dana
kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun
modal kerja,
c. menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim
dilakukan olah bank dengan prinsip bagi hasil.
(2) pengertian prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada
masyarakat dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
termasuk pula kegiatan usaha jual beli.
Pertanyaan yang timbul ialah, apakah suatu bank umum atau
suatu bank perkreditan rakyat yang melakukan kegiatan bank yang berdasarkan
bunga sekaligus juga boleh melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip
Syariah? Sebaliknya pula, apakah suatu bank umum atau suatu bank
perkreditan rakyat yang melakukan kegiatan bank berdasarkan prinsip Syariah
boleh pula melakukan kegiatan perbankan konvensional berdasarkan bunga?
Menurut pasal 6 PP No.72 tahun 1992, hal yang
dipertanyakan itu tidak mungkin dilakukan. pasal 6 PP No.72 tahun 1992 itu
menentukan sebagai berikut:
1. bank umum atau bank
perkreditan rakyat yang kegiatan usahnya semata-mata berdasarkan prinsip bagi
hasil, tidak diperkenanakan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan
prinsip bagi hasil.
2. bank umum atau bank
perkreditan rakyat yang kegiatan usahnya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
tidak diperkenanakan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi
hasil.
Namun dengan berlakunya undang-undang No.10 tahun 1998,
sebagaimana hal itu ternyata dari penjelasan pasal 6 huruf (m), bank umum yamg
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip Syariah, namun dilakukan oleh kantor cabang khusus
semata-mata melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah saja.dengan
kata lain, suatu cabang bank konvensional tidak boleh melaksanakan secara
berbarengan kegiatan usahaperbankan konvensional dan kegiatan usaha perbankan
berdasarkan Prinsip Syariah.
Sedangkan bank Umum yang melakukan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah (bank umum syariah) tidak di benarkan sama sekali
untuk melakukan kegiatan usaha secara konvensional, sekalipun kegiatannya itu
dilakukan dengan cara membuka suatu kantor cabang yang khusus hanya melakukan
kegiatan usaha secara konvensional. Dengan demikian, UU No.10 Tahun 1998
memberikan perlakuan yang berbeda antara bank umum yang melakukan kegiatan
usaha secar konvensional dan benk umum yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 6 huruf
(m) tersebut.
Penertian bank umum dan bank perkreditan rakyat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 UU No. 10 Tahun 1998 mendukung pula
penjelasan tersebut di atas. Menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Perbankan,
bank umum didefinisikan sebagai berikut :
Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dari pengertian mengenai bank umum sebagaimana
dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa bank umum boleh memilih untuk
melakukan jenis kegiatannya, yaitu hanya melakukan kegiatan usaha perbankan
konvensional saja, atau berdasarkan Prinsip Syariah saja atau melakukan kedua
kegiatan tersebut. Namun sebagaimana telah diterangkan dari penjelasan pasal 6
huruf (m) diatas, apabila bank umum yang melakukan kegiatan usaha perbankan
konvensional juga ingin melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan Prinsip
Syariah, bank umum tersebut harus melakukannya dengan membuka cabang khusus
untuk melakukan kegiatan tersebut. Dengan kata lain, bank umum konvensional
boleh membuka double window, yaitu conventional window dan Islamic
window, namun tidak boleh mencampuradukan keduia window itu dalam
suatu kantor cabang bank yang bersangkutan.