MAKALAH SEJARAH KERAJAAN SAUDI ARABIAH
Wednesday, January 9, 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Negara Arab Saudi
merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama
karena di negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat
ibadah haji kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa
dilepaskan dari wilayah Arab Saudi. Sebab, di sanalah Rasulullah saw. lahir dan
Islam bermula hingga menjadi peradaban besar dunia. Arab Saudi juga sering
menjadi rujukan dalam dunia pendidikan Islam karena di negara tersebut terdapat
beberapa universitas seperti King Abdul Aziz di Jeddah dan Ummul Qura di Makkah
yang menjadi tempat belajar banyak pelajar Islam dari seluruh dunia.
Pemerintah Saudi bermula
dari bagian tengah semenanjung (jazirah) Arab yakni pada tahun 1750 ketika
Muhammad bin Sa’ud bersama dengan Muhammad bin Abdul Wahhab bekerja sama untuk
memurnikan agama Islam yang kemudian dilanjutkan oleh Abdul Aziz Al Sa’ud atau
Abdul Aziz Ibnu Su’ud dengan menyatukan seluruh wilayah Hijaz yang dulu
dikuasai oleh Syarif Husain dengan Najd.
Pada tahun 1902 Abdul
Aziz menguasai Riyadh dari penguasa Al-Rashid, kemudian Al-Ahsa kemudian
wilayah nejed antara tahun 1913-1926. Pada tanggal 8 Januari 1926, Abdul Aziz
menjadi penguasa wilayah Najd. Dengan menandatangani perjanjian di Jeddah pada
tanggal 20 Mei 1927 Arab Saudi menyatakan kemerdekaannya. Pada tahun 1936
wilayah itu diresmikan sebagai Kerajaan Arab Saudi.
Wahabisme dan keluarga Kerajaan Saudi
telah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sejak kelahiran keduanya.
Wahabisme-lah yang telah menciptakan kerajaan Saudi, dan sebaliknya keluarga
Saud membalas jasa itu dengan menyebarkan paham Wahabi ke seluruh penjuru
dunia. One could not have existed without the other – Sesuatu tidak dapat
terwujud tanpa bantuan sesuatu yang lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH KERAJAAN SAUDI ARABIAH
Terbentuknya kerajaan
Arab Saudi tidak terlepas dari kemunduran yang dialami oleh Daulah Utsmaniyah
di Turki, bangkitnya paham Wahabiyah di daerah Makkah, Madinah dan Basrah,
serta campur tangan penjajah dari Eropa seperti Inggris dan Prancis. Seperti
kerajaan-kerajaan lain sebelumnya, kerajaan Arab Saudi pun mengalami
pasang-surut antara masa-masa kejayaan dan kehancuran. Pada umumnya, sejarah
kerajaan Arab Saudi dibagi menjadi tiga periode: dinasti pertama pada tahun
1744-1818, dinasti kedua antara tahun 1824-1892, dan dinasti ketiga yang
dimulai pada tahun 1932 sampai sekarang.
Pada awalnya, keluarga
ini hanya sebuah keluarga yang menguasai daerah kecil sebagaimana
keluarga-keluarga lainnya di jazirah Arab. Sejarah Keluarga Sa’ud berawal pada
tahun 1727, ketika Muhammad bin Sa’ud menjadi hakim di Dir’iyah dan memutuskan
untuk bersekutu dengan Muhammad ibn Abdul Wahab pada tahun 1744. Sejak saat
itu, keluarga Sa’ud menjadi pendukung utama gerakan wahabi dan ikut menyebarkan
ajaran yang dibawanya. Gerakan Wahabi ini pada mulanya telah tersebar di daerah
‘Uyainah, tetapi kemudian tidak mendapat dukungan dari pemerintah setempat.
Persekutuan Sa’udiyah –
Wahabiyah ini menjadi suatu kekuatan baru di dunia Arab, baik dari segi politik
maupun dari segi spritual. Ajaran Wahabi berkembang dan menjadi ideologi
pemersatu kesukuan yang bersifat keagamaan di wilayah kekuasaan Ibn Sa’ud.
Dengan semangat memurnikan kembali ajaran Islam, mereka berusaha untuk melawan
suku-suku disekitarnya sekaligus menyebarkan ajaran Wahabi. Di lain sisi,
daerah kekuasaan Ibn Sa’ud semakin meluas.
Pada masa kepemimpinan
Abdul Aziz bin Muhammad ibn Saud (1765–1803), dinasti Sa’ud berhasil merebut
Riyadh yang merupakan ibukota Nejd pada tahun 1773, kemudian meluas daerah
pedalaman Arabia. Beberapa tahin kemudian Dinasti Sa’ud berhasil menguasai
Oman, Yaman, Pedalaman Suriah, teluk Arab, hingga Karbala pada tahun 1801, di
tahun berikutnya mereka berhasil menguasai Thaif. Pendudukan ini kemudian
berlanjut pada masa pemerintahan Saud Ibn Abdul Aziz Ibn Muhammad Ibn Saud
(1803–1814), pasukannya berhasil memasuki Makkah (1803) dan Madinah (1804) dan
memaksa penguasa Hijaz pada saat itu tunduk pada pemerintahan Sa’udiyah.
Perkembangan Daulah Bani
Sa’udiyah yg begitu pesat ini, menjadikanya sebagai sebuah ancaman tersendiri
bagi kekuatan Daulah Bani Utsmaniyah di Turki. Oleh karena itu, pada tahun 1811
pemerintah Utsmaniyah mengirim Muhammad Ali Pasya untuk merebut kembali daerah
Hijaz. Usaha Muhammad Ali ini diteruskan oleh anaknya Ibrahim Pasya hingga
akhirnya dapat menguasai kota Dir’iyah tahun 1818. Setelah menguasai kota,
pemimpin dinasti Sa’ud pada saat itu, Abdullah bin Saud ditangkap dan
dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah. Peristiwa ini menandai runtuhnya kekuatan
keluarga Sa’ud periode pertama.
Dinasti Sa’ud yang kedua dimulai
sejak Turki ibn ‘Abdillah berkuasa di Riyadh pada tahun 1824.[7] Ia berusaha mengembalikan
kejayaan Sa’udiyah, dan berhasil menguasai ‘Arid, Kharj, Hotah, Mahmal, Sudayr
dan Aflaj. Pada masa ini Turki ibn Abdillah tidak saja harus berhadapan dengan
pasukan Utsmaniyah dan pasukan Mesir, tetapi Ia juga harus meredam
pemberontakan yang dilakukan oleh Mishari yang merupakan sepupunya sendiri.
Perang saudara seperti ini terus berlanjut hingga generasi ketiga, sepeninggal
Sa’ud yang wafat pada tahun 1875. Dua saudaranya, Abdurrahman dan Abdullah
saling berebut untuk menjadi orang nomor satu di dinasti Sa’udiyah. Oleh karena
perang saudara yang berlarut-larut ini, akhirnya pada tahun 1891, dinasti
Sa’udiyah berakhir ditandai dengan terusirnya Abdurrahman ke Kuwait oleh bekas
bupatinya sendiri, Muhammad ibn Rashid.
Pada tahun 1902, Abdul
Aziz yang merupakan anak dari Abdurrahman berhasil membunuh pemimpin Bani
Rashid dan menduduki Riyadh. Peristiwa ini merupakan cikal bakal berdirinya
Kerajaan Arab Saudi seperti yang kita ketahui sekarang ini.
B. Lahirnya Kerajaan Arab Saudi (Al-Mamlakah Al-‘Arabiyah As-Sa’udiyah)
Kerajaan Arab Saudi
modern seperti yang kita kenal seperti pada saat ini merupakan sebuah kerajaan
bani Sa’udiyah yang dirintis oleh Abdul Aziz As-Sa’ud atau yang lebih dikenal
dengan Ibn Saud setelah Ia menaklukan Riyadh. Ibnu Sa’ud merupakan seorang
pemimpin kharismatik, pemberani, terhormat, bahkan dikenal dengan kekejamannya
pada saat-saat tertentu. Pada awal-awal masa pemerintahannya di Riyadh, Ia
menghadapi serangan dari bani Rashid yang dibantu oleh pasukan Ottoman Turki.
Tetapi dengan bantuan Inggris dan Kuwait, pada tahun 1904 Ibnu Sa’ud berhasil
memenangkan pertempuran tersebut dan memaksa Ottoman untuk menarik pasukan
mereka.
Ibnu Sa’ud juga berhasil
merengkuh dukungan dari suku Badui dengan mendirikan sebuah organisasi yang
disebut dengan Al-Ikhwan. Melalui organisasi ini Ia mengajak para masyarakat
Badui yang memeluk paham Wahabi untuk tinggal menetap dan memberikan mereka
bantuan berupa tanah, sandang-pangan, dan lain sebagainya. Ibnu Sa’ud mulai
menghilangkan hukum-hukum adat yang berlaku dan menggantinya dengan hukum
Islam, Ia mulai berusaha menata kehidupan kaum Badui yang semula suka berpindah-pindah
tempat. Oleh karena itu, Ibnu Sa’ud
kemudian mendapat dukungan penuh dari kelompok Al-Ikhwan ini, serta dapat
memukul mundur pasukan Ottoman dari Hufuf pada tahun 1913.
Pada masa-masa menjelang
perang dunia pertama, Ibnu Sa’ud lebih memilih bekerja sama dengan Inggris.
Sehingga pada than 1915 ia mengadakan perjanjian dengan pemerintahan Inggris
yang dengannya diakuinya eksistensi dan kemerdekaan negara Saudi. Hal ini
dilakukan Inggris karena mereka menilai masa depan Ibnu Sa’ud akan jauh lebih
baik dari pada penguasa Hijaz, Husain bin Ali.
Setelah berakhirnya
perang dunia pertama, Ibnu Sa’ud kembali memperluas wilayah kekuasaannya dan
mempersatukan jazirah Arabia dibawah kerajaannya. Pada tahun 1920 Ia memulai
ekspansi ke Ha’il dan berhasil menghapus kekuasaan dinasti Rasyidiyah. Setahun
kemudian Ia memplokamirkan diri sebagai penguasa Nejd. Tahun 1922 Ibnu Sa’ud
meluncurkan serangan ke Hijaz, Ia berhasil membuat penguasa Hijaz ketakutan dan
memasuki kota Makkah tanpa perlawanan pada tahun 1924.
Pada tahun 1927 Inggris
kemudian mengadakan perjanjian dengan Ibnu Sa’ud dan mengakui kemerdekaan dari
wilayah kekuasaan Sa’udiyah pada saat itu. Tetapi ini justru menyebabkan
perpecahan antara Ikhwan dan pemerintahan Ibnu Sa’ud. Hal ini didasari oleh dibangunnya
pos penjagaan oleh Irak didekat perbatasan Saudi. Kelompok Ikhwan yang tidak
setuju dengan hal tersebut menyerang pos tersebut, serangan ini menyebabkan
terjadinya konflik dengan Inggris. Di lain pihak, Ibnu Sa’ud menginginkan
penyelesaian masalah tersebut secara diplomatis, yang mana sangat bertentangan
dengan keinginan kaum Al-Ikhwan. Hal ini mengakibatkan pemberontakan kelompok
Al-Ikhwan terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Pada Januari 1930, Ibnu Sa’ud
berhasil meredam pemberontakan ini dan mengubah pola pengajaran diwilayah kekuasaan
kerajaan Sa’udiyah.
Setelah pemberontakan
Al-Ikhwan, pemberontakan-pemberontakan kembali terjadi untuk meruntuhkan rezim
Ibnu Sa’ud. Untuk menjaga stabilitas di wilayah kekuasaannya, Ibnu Sa’ud
kemudian menumpas semua kelompok pemberontak dan melarang segala bentuk gerakan
politik yang sebelumnya diperbolehkan.[13] Pada tahun 1932 Ia berhasil
memplokamirkan penggabungan Hijaz dan Najd, hingga puncaknya Ibnu Sa’ud
memplokamirkan berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tanggal 23 September 1932.
C. Perkembangan Islam pada Masa Dinasti Sa’ud
Pada hakikatnya, Islam
telah tersebar di jazirah Arab sejak diangkatnya Muhammad SAW sebagai nabi dan
rasul. Jazirah Arab meupakan tempat Islam mulai tumbuh dan berkembang sejak
beliau Hijrah dari Makkah ke Madinah, serta diteruskan oleh para Khulafa’ur
Rasyidin. Pusat pemerintahan Islam terbesar kemudian berpindah ke Damaskus pada
masa Daulah Bani Umayyah, ke Baghdad pada masa Daulah Abbasiyah, bahkan beralih
ke Turki pada masa Daulah Utsmaniyah. Jazirah Arab kemudian kembali bergeliat
pada masa-masa kehancuran Utsmaniyah hingga menjadi sebuah kerajaan besar
dibawah pimpinan Ibnu Sa’ud.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa kejayaan Dinasti Sa’ud sangan dibantu dengan gerakan paham Wahabiyah yang
dibawa oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab. Bahkan dapat dikatakan Kerajaan
Sa’udiyah tidak dapat berkembang pesat apabila tidak diiringi dengan misi untuk
menyebarkan paham ini. Seperti yang telah dijelaskan diatas, paham ini menjadi
ideologi pemersatu bangsa Arab dan mendorong semangat untuk memperluas wilayah
cakupun penganutnya sekaligus wilayah kekuasaan Dinasti Sa’udi.
Salah satu faktor
berkembangnya paham Wahabi di Jazirah Arab ini karena ketertinggalan mereka
dalam masalah Agama. Hal ini disadari oleh para ulama-ulama yang belajar di
Damaskus kemudian kembali ke Nejd, mereka menilai para masyarakat muslim di
Jazirah Arab sangat tertinggal diantaranya dengan banyaknya jumlah kaum
muslimin yang buta huruf dan berkehidupan mengembara seperti pada masa
Jahiliyah. Oleh karena itu, Muhammad Ibnu Abdul Wahab kemudian berusaha untuk
mengajarkan ilmu pengetahuan baru dan membawa beberapa perubahan-perubahan yang
masih sangat awam bagi masyarakat Arab.
Hal ini mendapat dukungan
penuh dari Muhammad bin Sa’ud dan bersama mereka berusaha membangun peradaban
dan dinasti baru di Jazirah Arab. Mereka kemudian mulai berusaha mengembalikan
nilai-nilai suci Islam dengan menghancurkan berhala-berhala yang mulai
berkembang, menghancurkan bangunan-bangunan yang disucikan diatas kuburan, dan
salah satu perubahan yang dapat dirasakan sampai sekarang adalah menyatukan
pelaksanaan shalat di Hijaz. Telah menjadi tradisi, shalat jama’ah dilakukan
empat kali dalam setiap shalat berdasarkan empat madzhab yang berkembang saat
itu, hal ini kemudian dihapuskan oleh Sa’ud.
Di samping itu, ternyata
perluasan wilayah oleh dinasti Sa’ud juga memperoleh dukungan dari ajaran
Wahabi tentang Jihad. Muhammad Ibnu Abdul Wahab menilai jihad perlu dilakukan
untuk tiga hal; pertama ketika bertemu dengan pasukan kafir, kedua ketika
pasukan kafir mendekati wilayah kaum muslimin, dan ketiga ketika jihad dirasa
oleh Imam ataupun pemimpin perlu dilakukan. Hal ini tentu sangat mendukung
dinasti Sa’ud untuk memperluas wilayah kekuasaannya, disamping itu pula membantu
Wahab untuk memperluas paham dan ajaran yang dibawanya.
Setelah kemunduran yang
dialami oleh dinasti Sa’ud yang pertama, penyebaran ajaran Wahabi seakan ikut
terhenti. Hal ini didasari karena wilayah jazirah Arab kembali dikuasai oleh
Daulah Utsmaniyah, dan dengan bantuan Irak mereka berusaha untuk membendung
gerakan Wahabi. Kerja sama ini pun tidak lepas dari kepentingan politik Turki
dan Irak untuk melawan ekspansi Rusia.
Pada masa awal
pembentukan Kerajaan Arab Saudi Modern, Ibnu Sa’ud pun berusaha merangkul para
ulama dan pengikut Wahabi. Telah dijelaskan diatas bahwa Ibnu Sa’ud membangun
sebuah organisasi Al-Ikhwan dan memberi suntikan bantuan untuk membiayai
kehidupan mereka. Kebijakan ini berhasil menarik simpati dan dukungan kaum
Wahabi pada Ibnu sa’ud. Ia kemudian mulai memerangi gerakan anti-Wahabi dan
menggantikan ulama-ulama lokal dengan para syekh Wahabi. Sebaliknya Wahabi mengeluarkan fatwa-fatwa
yang menguntungkan Ibnu Sa’ud, diantarnya fatwa mati terhadap Ibnu Umar karena
menentang pemerintah dan ingin meruntuhkan pemimpin yang sah.
Dapat kita simpulkan
bahwa paham Wahabi yang diajarkan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab merupakan salah
satu faktor pendorong kemajuan Dinasti Sa’ud. Sebaliknya, dinasti Sa’ud
merupakan salah satu pelopor penyebaran ajaran Wahabi di jazirah Arab. Dua
kekuatan ini bersatu dan saling melengkapi satu sama lain sehingga membentuk
suatu kekuatan besar di Asia Timur Tengah.
D. Keadaan Sosial Bangsa Arab pada Masa Berdirinya Dinasti Sa’ud
Dalam sejarah Islam dan
dalam stuktur esensialnya, orang-orang Arab menempati posisi khusus. Nabi
Muhammad saw adalah orang Arab, dakwah pertamanya kepada orang Arab, Islam pun
maju dan berkembang berkat bangsa Arab. Bahasa Arab menjadi merupakan bahasa
ibadah, teologi, dan hukum. Di mata Islam tidak mengenal perbedaan antara
bangsa Arab dan bangsa lainnya, tetapi pada kenyataannya rasa perbedaan etnis
tetap bertahan baik dalam budaya, sastra, maupun perebutan kekuasaan. Bangsa
Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap darah
keturunan mereka.
Pada perkembangan
selanjutnya, pusat umat Islam berpindah dari jazirah Arab. Pada masa dinasti
Umayah, Muawiyah bin Abi Sofyan memindahkan pusat dinastinya ke Damaskus
Syiria. Pada masa dinasti ‘Abbasiyah, Abdullah As-Saffah memindahkan pusat
peradaban Islam ke kota Baghdad, Iran, Dinasti besar Islam selanjutnya, dinasti
Utsmaniyah berada di daerah Turki. Perpindahan kekuasaan dan pusat kebudayaan
ini semakin menjauh dari jazirah Arab yang merupakan pusat dakwah Islam pertama
oleh Rasulullah saw.
Kekuasaan memang terus
berpindah kepada kelompok-kelompok ‘Ashabiyah, baik itu Persia maupun Turki.
Namun hal ini tidak serta-merta menghapus kekuatan bangsa Arab, bahasa Arab
tetap mempertahankan posisi khususnya sebagai bahasa kebudayaan dan bahasa
agama. Dengan demikian melalui sarana-sarana tersebut orang-orang Arab masih
memainkan suatu peran dalam kehidupan publik komunitas Islam.
Ketika dinasti Utsmaniyah
mulai mengalami kemunduran, terjadi pergeseran keseimbangan kekuasaan di dalam
umat antara bangsa Turki dan bangsa Arab. Orang-orang Arab dianggap dapat menyelematkan
Islam dari keruntuhan. Hal ini didasari
oleh posisi sentral semenanjung Arab di kalangan umat muslim, disamping itu
karena posisi bahasa Arab dalam pemikiran Islam, bangsa Arab pada waktu itu
juga dianggap relatif bebas dari korupsi modern dan orang-orang Badui bersih
dari keruntuhan moral dan kepasifan despotisme.
Pada akhir abad ke-19,
perasaan nasionalisme dikalangan umat muslim mulai berbentuk sekuler. Majalah
Bustani Al-Jinan membuat seruan khusus terhadap perasaan lokal seraya
menyerukan kesatuan di dalam wathan Utsmaniyah, tetapi hal ini diiringi dengan
seruan kesatuan nasionalisme (bilad) Suriah. Keadaan pada masa ini harapan
mengenai kesatuan Utsmaniy sangat tinggi, tetapi kobaran perasaan nasionalis
masih terfokus pada unit teritorial yang lebih kecil, terbagi-bagi baik secara
geografis maupun keturunan.
Pengelompokan-pengelompokan
akibat perasaan nasionalis (Bilad/Bustan) ini terus berkembang hingga menimbulkan
pemberontakan kepada dinasti Utsmaniyah. Sejumlah besar umat muslim
menginginkan suatu negara Arab merdeka dibawah seorang raja Arab, tetapi
sebagian umat muslim yang merupakan pengikut partai Desentralisasi menginginkan
untuk mendirikan negara Suriah merdeka. Gerakan-gerakan ini memperoleh dukungan
dari negara-negara eropa, baik Inggris
maupun Prancis.
Memasuki abad ke-20, raja
Faishal berusaha keras untuk mempertahankan dukungan Inggris dengan bersikap
akomodatif terhadap Prancis dan orang-orang Yahudi. Pada tahun 1920 Ia
mendeklarasikan diri sebagai raja Suriah dan sebagai wakil dari orang-orang
Muslim, Kristen, maupun Yahudi. Keputusan-keputusan ini tidak disetujui oleh
Inggris dan Prancis.hal ini memicu ketegangan diantara kedua belah pihak yang
berakibat didudukinya Suriah oleh Prancis. Pendudukan ini berdampak pada masa
depan negara-negara di kawasan jazirah Arab. Suriah dan Irak ditempatkan
dibawah mandat Inggris dan Prancis, sementara Hijaz menerima kemerdekaannya.
Hal inilah yang semakin menguatkan keberadaan dinasti Sa’ud di kawasan jazirah
Arab.
E. Geografi
Peta Arab
Saudi
Negara :
Arab Saudi
Ibu kota :
Riyadh
Luas wilayah :
2.240.000 km2
Bentuk pemerintahan :
Kerajaan
Jumlah penduduk :
25.100.430 jiwa
Lagu kebangsaan :
"As-Salam, Al-Malaky, As-Saudi"
Bahasa :
Arab
Agama :
Islam
Mata uang :
Real
a. Bentuk Pemerintahan Negara Arab Saudi
Bentuk pemerintahan Negara Arab yaitu kerajaan
berkostitusi dengan kepala Negara raja dan kepalal pemerintahan perdana
menteri. Negara Arab Saudi beribu kota Riyadh. Raja memegang fungsi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Raja juga mempunyai hak istimewa untuk membentuk dan
membubarkan dewan menteri. Calon anggota dewan menteri harus bersumpah setia kepada raja sebelum
diangkat. Kendati dewan menteri sebenarnya bertanggung jawab atas masalah
pemerintahan, Badan ini juga menjadi badan legislatif.
b. Letak,
Batas, Dan Luas Arab Saudi
Letak Astronomis
Secara astronomis Negara Arab Saudi Terletak diantar 15o
LU – 32o LU dan antara 34o
BT – 57o BT
Letak Geografis
Negara Arab Saudi berada di kawasan Asia Barat, tepatnya
di Semenanjung Arab.
Batas-batas Negara
a. Sebelah timur :
berbatasan dengan Teluk Persia dan Uni Emirat Arab.
b. Sebelah Barat : berbatasan dengan Laut Merahdan Teluk Aqaba.
c.Sebelah utara :
berbatasan dengan Yordania,Irak, dan Kuwait.
d. Sebelah selatan :
berbatasan dengan Oman dan Yaman.
Luas : Luas negara Kenya adalah 2.240.000 km2.
Dibandingkan dengan luas negara Indonesia yang luasnya
1.906.240 km2. Berarti luas negara Arab lebih luas dibandingkan
dengan luas negara
Indonesia.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Arab Saudi terkenal sebagai
Negara kelahiran Nabi Muhammad SAW serta tumbuh dan berkembangnya agama Islam,
sehingga pada benderanya terdapat dua kalimat syahadat yang berarti "Tidak
ada tuhan (yang pantas) untuk disembah melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah
utusannya".
Arab Saudi menggunakan sistem
Kerajaan atau Monarki. Hukum yang digunakan adalah hukum Syariat Islam dengan
berdasar pada pengamalan ajaran Islam berdasarkan pemahaman sahabat Nabi
terhadap Al Qur'an dan Hadits atau dengan kata lain pemahaman Ahlus Sunnah Wal
Jamaah. Memiliki hubungan intemasional dengan negara negara lain baik negara
negara Arab, negara-negara anggota Organisasi Konfrensi Islam, maupun negara
negara lain.
DAFTAR
ISI
Ar-Rasyid, Madawi. A History of
Saudi Arabia. London: Cambridge University Press.
Commins, David. The Wahabi Mission
in Saudi Arabia. London: I.B. Tauris, 2006.
Hourani, Albert. Pemikiran Liberal
di Dunia Arab. terj. Suparno dkk. Bandung: Penerbit Mizan, 2004
Moolen, Van der. Al-Malik Ibn
Sa’ud wal Jazirah al-‘Arabiyah an-Nahidhah. Riyadh: Daarah al-Malik
‘Abdul Aziz, 1999.
Wynbrant, James. A Brief History
of Saudi Arabia. New York: Library of Congress Cataloging-in-Publication
Data, 2004.
Yatim, Badri. Sejarah Sosial
Keagamaan Tanah Suci. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.
Zarkasyi, Abdullah Syukri. Peranan
Arab Saudi dalam Dakwah dan Pendidikan di Indonesia, dalam 100 tahun berdirinya
Kerajaan Arab Saudi