Sejarah Peradaban Islam pada Masa dinasti Abbasiyah
Sunday, October 14, 2012
BAB I
Pendahuluan
Peradaban
Islam mulai di bangun oleh Nabi Muhammad saw, ketika berhasil merumuskan
masyarakat Madani dan Piagam Madinah, kemudian di lanjutkan oleh Khulafa
Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Afffan, dan Ali Ibn
Thalib) sistem yang di kembangkan pada saat itu adalah sistem demokrasi di mana
pucuk pimpinan di pilih melalui Musyawarah oleh beberapa orang yang di tunjuk
oleh kaum muslimin atau khalifah sebelumnya, pasca meninggalnya Ali dan naiknya
Muawiyah, sistem pemerintahan dalam Islam berubah dratis dari sistem
kekhilafahan ke Monarkhi Absolut. Monarkhi Absolut di buktikan dengan di
pilihnya Yazid sebagai putra mahkota, kemudian mengangkat dirinya sebagai Kholifah
fi Allah, mulailah babak baru dalam pemerintahan Islam dan berlangsung
terus menerus sampai kepada Khalifah Turki Usmani sebagai konsep pemerintahan
Khalifah (penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat) terakhir dalam dunia Islam.
Peradaban
Islam mengalami puncak kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah. Di buktikan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan di awali dengan
menerjemahkan naskah – naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam
bahasa Arab, pendirian pusat ilmu pengetahuan dan perpustakaan Bait al-
Hikmah, dan terbentuknya madzhab- madzhab ilmu pengetahuan dan keagamaan
sebagai buah dari kebebasan berfikir yang menjadi ciri khas pada masa Abbasiyah
lambat laun mengalami kemunduran sebab – sebab kemunduran Dinasti ini di latar
belakangi oleh faktor internal dan eksternal.
Imperium
kedua Islam ini muncul setelah terjadi revolusi sosial yang di peroleh oleh
para keturunan Abbas dan di dukung oleh kelompok oposisi yang membrontak kepada
kekuaasan Bani Umayyah seperti Syiah, Khawarij, Qodariyah, Mawali (non
–Arab) dan suku Arab bagian Selatan.
Makalah ini
akan membahas sedikit proses munculnya Dinasti Bani Abbsiyah, kemajuan yang di
capai, dan faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya kemunduran pada masa
Dinasti Abbasiyah. Dengan harapan akan terbuka wacana pemikiran terhadap
peradaban Islam pada masa itu dan hikmah apa yang dapat kita ambil untuk di
jadikan spirit dan pelajaran demi kemajuan Islam sekarang .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses
Munculnya Dinasti Abbasiyah
Perjuangan Bani Abbas untuk
keluar dari bayang- bayang Dinasti Umayyah secara intensif baru di mulahi
berkisar antara 5 tahun menjelang revolusi Abbasiyah. Pelopor utamanya adalah
Muhammad Ibn Ali al-Abbas di Hamimah. Ia telah banyak belajar dari kegagalan
Syiah di karenakan kurang terorganisis perencanaan perlawanan. Selain itu
secara politik kekuatan Syiah hanya terpusat di Kufa, yang notabene tidak bisa
bergerak secara leluasa. Dari itulah kemudian Abbas mengatur pergerakanya
secara rapi dan terencana sama seperti konsep gerakan- gerakan pada masa
sekarang. Di mana harus di mulai dari perencanaan isu politik yang matang,
kemudian bergerak secara sistematis dan taktis.
Muhammad Ibn Ali al-Abbas
mulai melakukan pergerakannya dengan langkah-langkah awal yang sistematis,
diantaranya; Pertama, membuat propaganda agama untuk menghasut rakyat
menentang kekuasaan Umayyah, serta menanamkan ide-ide tentang hak khalifah. Kedua,
membantuk faksi-faksi Hamimah, faksi Kufah, dan faksi Khurasan. Ketiga faksi
ini bersatu dalam satu tujuan menumbangkan Dinasti Umayyah. Ketiga,
ide tentang persamaan antara orang Arab dan Non Arab. Namun di balik isu
propaganda itu ada isu yang paling penting yaitu tegaknya Syariat Islam, dimana
hal tersebut tidak pernah terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Propaganda Abbasiyah
dilaksanakan dengan dua tahap, yakni Pertama dilaksanakan dengan
sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas nama
Abbasiyah sambil berdagang mengunjungi tempat-tempat yang jauh, dan dalam kesempatan
menunaikan Haji di Mekkah. Para pendakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang di
bawah para pemimpinnya yang berjumlah 12 orang, dan pucuk pimpinnanya adalah
Muhammad Ibn Ali. Kedua, menggabungkan para pengikut Abu Muslim
al-Khurasan dengan pengikut Abbasiyah.
Propaganda-propaganda tersebut
sukses membakar semangat api kebencian umat Islam kepada Dinasti Bani Umayyah.
Langkah pertama memperoleh sukses besar melalui propaganda-propaganda yang
dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa al-Abbas
adalah ahli al-Ba’it, sehingga lebih berhak menjadi Khalifah dan
menyebarkan kebencian dan kemarahan terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan
mengembangkan ide-ide persamaan antara orang-orang Arab dengan non Arab karena
objek propaganda Abu Muslim tersebut adalah wilayah Khurasan yang notabene
merupakan basis kelompok Mawali.
Propaganda dengan cara
menghasut dan menyombongkan diri (membangga-bangkan kelompoknya sendiri) yang
dilakukan oleh Bani Abbas sangat bertentangan dengan politik Islam dalam al-Qur’an
surat al-Qashash ayat 83 dikatakan :
Artinya : “Negeri akhirat itu, kami jadikan
untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di
(muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang
bertakwa”.
Setelah Muhammad Ibn Ali
meninggal tahun 743 M, perjuangan dilanjutkan oleh saudaranya Muhammad Ibn
Ibrahim sampai tahun 749 M karena diketahui oleh Marwan Ibn Muhammad (Khalifah
Bani Umayyah), Ibrahim ditangkap dan dipenjarakan di Harran, sebelum
dieksekusi, Ibrahim telah menyerahkan kepemimpinan kepada keponakannya Abdullah
Ibn Muhammad dan memerintahkan pusat gerakan di pindahkan dari Hamimah ke
Kufah, maka pindahlah mereka diiringi pembesar-pembesar Abbasiyah yang lain
seperti Ja’far, Isa Ibn Musa, dan Abdullah Ibn Ali. Sedangkan pemimpin
propaganda dibebankan kepada Abu Salama. Pada masa inilah revolusi Abbasiyah
berlangsung.
Pimpinan Bani Umayyah di Kufa,
Yazid Ibn Umar Ibn Hubairah ditaklukan oleh Abu Salama pada tahun 132 H dan
diusir ke Wasit, selanjutnya Abdullah Ibn Ali diperintahkan mengejar Khalifah
Umayyah terakhir Marwan Ibn Muhammad bersama pasukannya melarikan diri, dan
dapat dipukul di dataran rendah Sungai Zab (Tigris), pengejaran dilakukan ke
Mausul, Harran, dan menyebrang Sungai Eufrat sampai ke Damaskus. Kemudian
Marwan melarikan diri hingga Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir
tahun 132 H/750 M di bawah pimpinan Salib Ibn Ali salah seorang paman Abbas
yang lain. Dengan kematian Marwan Ibn Muhammad maka berdirilah Dinasti
Abbasiyah sebagai pengganti Dinasti Umayyah.
B. Sukses
Kepemimpinan
Abdullah Ibn Muhammad alias Abu Abbas diumumkan
sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah tahun 750 M. dalam khutbah
pelantikan yang disampaikan di masjid Kufah, ia berjanji akan memerintah
sebaik-baiknya dan melaksanakan syariat Islam. Selain itu ia menyebut dirinya
dengan as-saffa (penumpah darah) yang akhirnya menjadi julukannya. Hal ini
sebenarnya akan menjadi preseden yang buruk bagi suatu kekuasaan, dimana
kekuatan tergantung kepada pembunuhan yang ia jadikan sebagai alat pembenar
bagi kebijakan politiknya. Ini tentu bertentangan dengan tugas ideal seorang
penguasa adalah :
- Memelihara iman dan prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama dengan suara bulat oleh Ulama-ulama salaf dari umat Islam.
- Menegakkan hokum terhadap para pelanggar hokum dan memecahkan masalah secara adil terhadap orang-orang yang sedang berselisih.
- Mengatur keamanan wilayah hingga penduduk bisa hidup tenang dan aman, baik di rumah, di perjalanan maupun di waktu melaksanakan tugas sehari-hari.
- Melindungi hak-hak perorangan dari penduduk serta menegakkan hokum sesuia dengan hokum Islam hingga setiap kejahatan terhadap Allah dapat ditekan hingga titik yang amat terbatas.
- Menjaga perbatasan Negara dengan berbagai pelaralatan yang dimiliki untuk menghadapi kemungkinan serangan dari luar.
- Berjuang melawan orang-orang yang melawan Islam, hingga kebenaran Allah bersinar di seantero wilayah itu.
- Memungut pajak dan mengumpulkan zakat sesuai dengan aturan syari’ah.
- Mengatur anggaran belanja untuk gaji karyawan/pejabat. Dan pembelanjaan lain tanpa boros atau pelit.
- mengangkat pegawai secara jujur berdasarkan keahlian seseorang dalam posisinya (tidak kolusi) agar tercapai kelancaran pemerintahan dan kemakmuran.
- Mengawasi tugas-tugas seluruh personal terutama menguji para pelaksana tugas-tugas kemasyarakatan hingga mampu mengarah pemerintahan untuk melindungi bangsa dan agama.
Dinasti Abbasiyah berlangsung
dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H-656 H. selama Dinasti ini
berkuasa, pola pemerintahan yang ditetapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan
dan politik itu, pemerintahan Abbasiyah di bagi menjadi 5 periode :
- Periode I (132 H/750 M- 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama, Khalifah yang memerintah adalah As-Saffah 132-126 H, Ja’far al-Mansur 136-158 H, al-Mahdi 158-169 H, al-Hadi 169-170 H, Harun ar-Rasyid 170-193 H, al-Amin 193-198 H, al-Ma’mun 198-218 H, al-Mu’tasim 218-227 H, al-Watsiq 227-232 H.
- Periode II (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama, Khalifah yang memerintah adalah al-Mutawakkil 232-247 H, al-Muntashir 247-248 H, al-Musta’in 248-252 H, al-Mu’tazz 252-255 H, al-Muhtadi 255-256 H, al-Mu’tamid 256-279 H, al-Mu’tadhid 279 – 289 H, al-Muktafi 289-295 H, al-Muqtadir 295-320 H, al-Qahir 220-222 H, ar-Radhi 322-329 H, al-Muttaqi 329-333 H, al-Mustakfi 333-334 H.
- Periode III (334 H/945 M – 447 H/1055 M), disebut kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah atau masa pemerintahan Persia kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Muthi’ 334-363 H, ath-Tha’I 363 – 381 H, al-Qadir 381 – 422 H.
- Periode IV (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), disebut masa kekuasaan Dinasti Saljuk dalam pemerintahan Abbasiyah atau masa pengaruh Turki kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Qa’in 422-467 H, al-Muqtadi 467-487 H, al-Mustazhhir 487-512 H, al-Mustasyid 512-529 H, ar-Rasyid 529-530 H, al-Muqtafi 530-555 H, al-Munstanjid 555-566 H, al-Mustadhi’ 566-575 H.
- Periode V (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), disebut masa khalifah bebas dari pengaruh Dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar di bawah pemimpin Hulaqu Khan tahun 656 H. khalifah yang memerintah adalah an-Nashir 575-622 H, azh-Zahir 622-623 H, al-Mustanshir 623-640 H, al-Musta’shim 640-656 H.
Kebijakan politik as-Saffah
yang pertama pada masa pemerintahannya adalah membasmi keluarga Bani Umayyah
yang masih tersisah dengan cara mengerahkan segenap pasukan yang dipimpin oleh
pamannya sendiri Abdullah Ibn Ali. Hal ini dilakukan untuk mereformasi semua
sistem Dinasti Umayyah agar sesuai dengan ajaran Islam murni (Syariat Islam).
Karena dianggap korup, dekaden, otoriter dan sekuler. Selain itu karena terlalu
benci sampai-sampai mereka juga membongkar semua kuburan Bani Umayyah dan
jenazahnya di bakar. Hanya ada dua kuburan yang selamat dari kekejaman tersebut
yaitu kuburan Muawiyah Ibn Abi Sofyan karena dianggap sebagai sahabat Nabi dan
Umar Ibn Abdul Aziz yang selama masa pemerintahannya menerapkan keadilan dengan
seadil-adilnya. Disamping itu Ia juga memberikan sebuah lahan di Hamimah untuk
digunakan oleh keluarga Abbas, sehingga bisa melancarkan propaganda dengan
sebaik-baiknya pasca meninggalnya. Dan dari revolusi itu pulah hanya satu orang
yang berhasil selamat yaitu Abdurrahman ad-Dakhil, kemudian mendirikan
sebuah Amir di Andalusia. Al-Saffah hanya memerintah selama 4 tahun, setalah
meninggal pada 134 H, pemerintahan diambil alih oleh adiknya Ja’far al-Mansur
setalah dapat menyingkirkan pamannya Abdullah Ibn Ali, yang juga berusaha
menjadi khalifah.
Ketika naik tahta langkah yang
dilakukan oleh al-Mansur adalah menindak tegas pemberontak yang dilakukan oleh
golongan Syi’ah yang merasa disingkirkan pasca naiknya as-Saffah, pemberontakan
yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan yang tidak mau tunduk kepada pusat,
penduduk Syiria yang masih tunduk kepada pemerintahan Dinasti Umayyah dan
orang-orang yang kecewa kepada pemerintahan baru. Masa ini dapat dikatakan
sebagai masa perjuangan dan konsolidasi untuk mengamankan eksistensi Dinasti
Abbasiyah. Berkat visi politik dan pendekatan pragmatis yang dilakukan oleh
al-Mansur, maka terjadi kestabilan pemerintah dapat terjaga. Kemudian al-Mansur
mengangkat putranya al-Mahdi dan Isa Ibn Musa untuk menggantikan posisinya
kelak ketika Ia meninggal sebagaimana perjanjian dengan as-Saffah. Sebenarnya
tradisi ini sudah ditanamkan oleh Muawiyah ketika mengangkat anaknya Yazid.
Padahal sejarah membuktikan bahwa dari tradisi ini muncul kecemburuan sosial
yang menyebabkan terjadi ketidakpuasan dan berakhir pada pemberontakan
dibeberapa daerah, terutama dari kalangan Syi’ah dan Khawarij. Pola seperti ini
juga membuktikan bahwa Dinasti Abbasiyah menerapkan kembali sistem Monarkhi
Absolut yang dulu dipraktekkan oleh kerajaan Persia, Romawi. Setelah dapat
memperkokoh kekuasaan Abbasiyah al-Mansur meninggal karena sakit dalam suatu
perjalanan Haji kelima bersama rombongan keluarga dan pembesar Abbasiyah. Dia
meninggal dalam usia 65 tahun setelah memerintah selama 21 tahun.
Pemerintah Abbasiyah kemudian
dipegang oleh putranya al-Mahdi, yang baru berusia 30 tahun. Al-Mahdi memulai
zaman pemerintahannya dengan membebaskan semua tahanan, kecuali penjahat yang
dipenjarah menurut Undang-Undang dan memberikan bantuan cara hidup kepada
orang-orang yang masih dipenjara dan yang anggota tubuhnya cacat. Kemudian
memerintahkan untuk membangun beberapa bangunan Haram dan Masjid Nabawi dan
memerintahkan untuk membangun beberapa bangunan besar beserta kolam-kolam di
sepanjang jalan menuju Mekkah sebagai tempat persinggahan para musafir dan
mebangun pos yang menghubungkan Baghdad dengan wilayah Islam lainnya. Selain
itu, al-Mahdi juga membuat posko pengaduan dan penganiayaan serta mengembalikan
harta yang dirampas ayahnya kepada pemiliknya.
Kemudian menunpas gerakan
al-Muqanna’ al-Khurasan yaitu sebuah kelompok yang ingin menuntut balas atas
kematian Abu Muslim al-Khurasan dan merampas kekuasaan Abbasiyah. Lalu al-Mahdi
mewariskan jabatan khalifah kepada anaknya al-Hadi dan Harun ar-Rasyid, tetapi
keinginannya itu terhalang oleh Isa Ibn Musa. Berkat jabatan putra mahkota
inilah Isa Ibn Musa mengalami dua kali kekejaman yaitu pada masa al-Mansur dan
al-Hadi. Setelah dipaksa, ditanggalkanlah gelar tersebut oleh Isa Ibn Musa,
maka al-Mahdi melantik anaknya al-Hadi sebagai putra mahkota pada 160 H dan
dilanjutkan melantik Harun ar-Rasyid tahun 166 H. dari sini dapat kita pahami
bahwa cara-cara kekerasan merupakan alternatif utama yang diambil oleh Dinasti
Abbasiyah dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi terutama
masalah-masalah politik. Padahal hal ini jelas bertentangan dengan agama Islam
dan prilaku Nabi Muhammad.
Setelah al-Mahdi mangkat,
kekuasaan Abbasiyah digantikan oleh al-Hadi 169-170 H, langkah awal yang
dilakukan al-Hadi adalah melantik ar-Rabi’ Ibn Yunus sebagai menteri, tetapi
beberapa waktu kemudian ar-Rabi’ Ibn Yunus digantikan oleh Ibrahim Ibn Zakuan
al-Harrani dan bagaimana melenyapkan Harun ar-Rasyid agar mau menanggalkan
gelar putra mahkota sehingga anaknya Ja’far dapat menggantikannya kelak. Salah
satu sifat penguasa adalah bagaimana kekuasaan itu langgeng dan hanya berputar
disekitar garis keturunannya. Oleh karena itu kekuasaan itu harus dipertahankan
mati-matian, jika perlu dengan menghalalkan segala cara.
Kekuasaan al-Hadi tidak
berumur panjang hanya satu tahun, karena al-Hadi di racun oleh ibunya Khaizuran
yang lebih menginginkan Harun ar-Rasyid sebagai penguasa. Harun ar-Rasyid
170-193 H naik tahta menggantikan al-Hadi pada usia 22 tahun. ar-Rasyid
merupakan puncak kegemilangan pemerintahan Abbasiyah. Dimana ilmu pengetahuan
berkembang luas, kekayaan melimpah, dan stabilitas pemerintahan terkendali,
ditambah lagi kebijakan pembagian kekuasaan yang adil antara putra mahkotanya
yaitu al-Ma’mun untuk wilayah Khurasan, wilayah Irak untuk al-Amien dan
semenanjung Arab untuk al-Qasim.
Dalam masalah pemerintahan,
ar-Rasyid dibantu oleh seorang Wazir yang bernama Yahya bin Barmak, terutama
setelah ibunya Khaizuran meninggal dunia pada 3 tahun kekuasaan khalifah. Yahya
bin Bermak dibantu juga oleh kerabat dan keluarganya. Berkat dirinya,
orang-orang Bermak dapat menguasai dapat menguasai pemerintahan Abbasiyah
hingga beberapa tahun.
Ar-Rasyid meninggal ketika
menumpas pemberontakan yang terjadi di Khurasan yang dipimpin oleh Rafi’ Ibn
Laith. Namun sebelumnya ar-Rasyid sudah melantik al-Amien sebagai penggantinya
di Baghdad dan Yahya Ibn Sulaiman untuk menjalankan urusan pemerintahan.
Al-Amien melanjutkan estapet kepemimpinan Dinasti
Abbasiyah dari tahun 193-198 H. namun Ia kurang memberikan perhatian kepada
pemerintahan, karena terlalu banyak bersenda gurau dan berpoya-poya. Ketika
dating tentara al-Ma’mun dari Khurasan di bawah pimpinan Tahir Ibn al-Husain
dan Hatsamah Ibn A’yam, al-Amien tidak bisa menghalaunya dan kemudian terbunuh.
Meninggalnya al-Amien langsung digantikan oleh
al-Ma’mun (198-218). Karena memperoleh kekuasaan dengan cara kekerasan, maka
pada awal kekuasaannya banyak pihak-pihak yang merongrong terutama pasca
kepindahannya dari Khurasan ke Baghdad. Namun semua itu dapat diatasi, bahkan
kekuasaan al-Ma’mun mengalami kejayaan seperti pada msa Harun ar-Rasyid. Pada
masa ini juga aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai madzhab nasional. Al-Ma’mun
wafat sewaktu berperang di Tursur pada usia 48 tahun. Namun sebelumnya ia sudah
melantik saudaranya al-Mu’tashim sebagai putra mahkota yang akan
menggantikannya.
Pasca meninggalnya al-Ma’mun kekuasaan Abbasiyah
mulai mengalami kemunduran ditambah lagi kuatnya dominasi orang-orang Turki dan
Persia, sehingga setiap saat siap merongrong kewibawaan Baghdad. Puncaknya pada
masa pemerintahan al-Mutawakkil, dimana Ia mengangkat panglima besar Ashar yang
berkebangsaan Turki dan mulailah berdiri Dinasti-Dinasti kecil merdeka di
sekitar Baghdad.
C. Kemajuan
Dinasti Abbasiyah
Kemajuan peradaban Abbasiyah sebagai disebabkan
oleh stabilitas politik dan kemajuan ekonomi kerajaan yang pusat kekuasaannya
terletak di Baghdad. Adapun kemajuan peradaban Islam yang dibuat oleh Dinasti
Abbasiyah adalah :
- Bidang Politik dan Pemerintahan
- Memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Kemudian menjadikan Baghdad sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dijadikan “kota pintu terbuka” sehingga segala macam bangsa yang menganut berbagai keyakinan diizinkan bermukin di dalamnya. Dengan demikian jadilah Baghdad sebagai kota international yang sangat sibuk dan ramai.
- Membentuk Wizarat untuk membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan Negara. Yaitu Wizaratul Tanfiz sebagai pembantuk khalifah dan bekerja atas nama khalifah dan Wizaratul Rafwidl sebagai orang yang diberi kuasa untuk memimpin pemerintah, sedangkan khalifah sendiri hanya sebagai lambing.
- Membentuk Diwanul Kitaabah (Sekretaris Negara) yang tugasnya menjalankan tata usaha Negara.
- Membentuk Nidhamul Idary al-Markazy yaitu sentralisasi wilayah dengan cara wilayah jajahan dibagi dalam beberapa propinsi yang dinamakan Imaarat, dengan gubernurnya yang bergelar Amir atau Hakim. Kepala daerah hanya diberikan hak otonomi terbatas; yang mendapat otonomi penuh adalah “al-Qura” atau desa dengan kepala desa yang bergelar Syaikh al-Qariyah. Hal ini jelas untuk mebatasi kewenangan kepala daerah agar tidak menyusun pasukan untuk melawan Baghdad.
- Membentuk Amirul Umara yaitu panglima besar angkatan perang Islam untuk menggantikan posisi khalifah dalam keadaan darurat.
- Memperluas fungsi Baitul Maal, dengan cara membentuk tiga dewan; Diwanul Khazaanah untuk mengurusi keuangan Negara, Diwanul al-Azra’u untuk mengurusi kekayaan Negara dan Diwan Khazaainus Sila, untuk mengurus perlengkapan angkatan perang.
- Menetapkan tanda kebesaran seperti al-Burdah yaitu pakaian kebesaran yang berasal dari Rasul, al-Khatim yaitu cincin stempel dan al-Qadlib semacam pedang, dan kehormatan. Al-Khuthbah, pembacaan doa bagi khalifah dalam khutbah Jum’at, as-Sikkah, pencantuman nama khalifah atas mata uang dan Ath-Thiraz, lambing khalifah yang harus dipakai oleh tentara dan pegawai pemerintah untuk khalifah.
- Membentuk organisasi kehakiman, Qiwan Qadlil Qudha (Mahkamah Agung), dan al-Sutrah al-Qadlaiyah (jabatan kejaksaan), Qudhah al-Aqaalim (hakim propinsi yang mengetuai Pengadilan Tinggi), serta Qudlah al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai Pengadilan Negeri).
- Bidang Ekonomi
Pada masa awal pemerintahan Abbasiyah,
pertumbuhan ekonomi cukup stabil, devisa Negara penuh melimpah. Khalifah
al-Mansur adalah tokoh ekonom Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar
yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara (Baitul Maal).
Di sektor pertanian, pemerintah membangun sistem
irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai teluk
Persia, sehingga tidak ada lagi daerah pertanian yang tidak terjangkau irigasi.
Kemudian kota Baghdad di sampaing sebagai kota politik agama, dan kebudayaan,
juga merupakan kota perdagangan terbesar di dunia, sedangkan Damaskus merupakan
kota kedua. Sungai Tigris dan Eufrat menjadi kota transit perdagangan antar
wilayah-wilayah Timur seperti Persia, India, China, dan nusantara dan wilayah
Barat seperti Eropa dan Afrika Utara sebelum ditemukan jalan laut menuju Timur
melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Selain itu, barang-barang kebutuhan
pokok dan mewah dari wilayah Timur diperdagangkan dengan barang-barang hasil
dari wilayah bagian Barat. Di kerajaan ini juga, sudah terdapat berbagai macam
industri seperti kain Linen di Mesir, Sutra di Suriah dan Irak, Kertas di
Samarkand, serta hasil-hasil pertanian seperti Gandum dari Mesri dan Kurma dari
Irak.
- Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Pada masa Dinasti Abbasiyah pengembangan keilmuan
dan teknologi diarahkan ke dalam Ma’had. Lambaga ini dikenal ada dua
tingkatan. Pertama, Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga
pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung,
menulis, anak-anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama serta tempat
penngajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (Khalaqah),
tempat berdiskusi dan Munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan dan
juga dilengkapi dengan ruangan perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai
macam disiplin ilmu. Disamping itu, di masjid-masjid ini dilengkapi juga dnegan
berbagai macam fasilitas pendidikan penunjang lainnya. Kedua, bagi
pelajar yang ingin mendalami ilmunya, bisa pergi keluar daerah atau ke
masjid-masjid atau bahkan ke rumah-rumah gurunya. Karena semakin berkembangnya
ilmu pengetahuan, baik mengenai agama maupun umum maka semakin banyak khalaqah-khalaqah
(lingkaran pengajaran), yang tidak mungkin tertampung di dalam ruang masjid.
Maka pada perkembangan selanjutnya mulai di buka madrasah-madrasah yang di
pelopori oleh Nizhamul Muluk.2 Lembaga inilah yang kemudian yang
berkembang pada masa Dinasti Abbasyiah. Madrasah ini dapat di temukan di
Baghdad, Balkar, Isfahan, Basrah, Musail dan kota lainya mulai dari tingkat
rendah, menengah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.
- Gerakan Penerjemah
Peleopor gerakan penerjemah pada awal
pemerintahan Dinasti Abbasyiah adalah khalifah al-Mansur yang juga membangun kota Baghdad.
Dia mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam seperti Nuwbhat,
Ibrahim al-Fazari dan Ali Ibnu Isa untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa
Persia dalam bidang Astronomi yang sangat berguna bagi kafilah dengan baik dari
darat maupun laut. Buku tentang ketatanegaraan dan politik serta moral seperti kalila
wa Dimma Sindhind dalam bahasa Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Selain itu, Manuskrip berbahasa Yunani seperti logika karya
Aristoteles, Al-Magest karya Ptolemy, Arithmetic karya
Nicomachus dan Gerase, Geometri karya Euclid. Manuskrip lain yang
berbahasa Yunani Klasik, Yunani Bizantium dan Bahasa Pahlavi (Persia
Pertengahan), bahasa Neo-Persia dan bahasa Syiria juga di terjemahkan.
Penerjemahan secara langsung dari bahasa Yunani
ke dalam bahasa Arab dipelopori oleh Hunayn Ibn Isyaq (w. 873 H) seorang
penganut Nasrani dari Syiria. Dia memeperkenalkan metode penerjemahan baru
yaitu menerjemahkan kalimat, bukan kata per kata. Metode ini lebih dapat
memahami isi naskah karena sturktur kalimat dalam bahasa Yunani berbeda dengan
sturktur kalimat dalam bahasa Arab.
Pada masa al-Ma’mun karena keinginan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan demikian pesat, dia membentuk tim penerjemah
yang diketuai langsung oleh Hunayn Ibn Isyaq sendiri, dibantu Ishaq anaknya dan
Hubaish keponakannya serta ilmuwan lain seperti Qusta Ibn Luqa, Jocabite
seorang Kristen, Abu Bisr Matta Ibn Yunus seorang Kristen Nestorian, Ibn A’di,
Yahya Ibn Bitriq dan lain-lain. Tim ini bertugas menerjemahkan naskah-naskah Yunani
terutama yang berisi ilmu-ilmu yang sangat diperlukan seperti kedokteran.
Keberhasilan penerjemahan juga didukung oleh fleksibilitas bahasa Arab dalam
menyerab bahasa Asing dan kekayaan kosakata bahasa Arab.
- Baitul Hikmah
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan
yang juga berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Istitusi ini adalah
kelanjutan dari Jandishapur Academy yang ada pada masa
Sasania Persia. Namun, berbeda dari istitusi pada masa Sasania yang hanya
menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja, pada masa Abbasiyah
intitusi ini diperluas kegunaannya. Pada masa Harun ar-Rasyid intitusi ini
bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai
perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M, al-Ma’mun mengembangkan
lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah. Pada masa ini juga, Bait
al-Hikmah dipergunakan secara lebih modern yaitu sebagai tempat
penyimpanan buku-buku kuno yang di dapat dari Persia, Byzantium, bahkan
Ethiopia dan India. Selain itu Bait al-Hikmah berfungsi sebagai
kegiatan studi dan riset astronomi untuk meneliti perbintangan dan matematika.
Di institusi ini al-Ma’mun mempekerjakan Muhammad Ibn Hawarizmi yang ahli
bidang al-Jabar dan Astronomi dan orang-orang Persia bahkan Direktur
perpusatakaan adalah seorang nasionalis Persia dan ahli Pahlewi Sahl Ibn Harun.
- Bidang Keagamaan
Pada masa Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai
berkembang, terutama dua metode penafsiran, yaitu Tafsir bil al-Ma’tsur
dan Tafsir bi al-Ra’yi. Tokoh tafsir terkenal seperti Ibn Jarir
at-Tabary, Ibn Athiyah, Abu Bakar Asam (Mu’tazilah), Abu Muslim Muhammad Ibn
Bahr Isfahany (Mu’tazilah), dll.
Dalam bidang Hadits, mulai dikenal ilmu
pengklasifikasian Hadits secara sistematis dan kronologis seperti, Shahih,
Dhaif, dan Madhu’. Bahkan juga sudah diketemukan kritik Sanad,
dan Matan, sehingga terlihat Jarrah dan Takdil Rawi
yang meriwayatkan Hadits tersebut. Ahli Hadits terkenal di zaman ini adalah;
Imam Bukhari (w 256 H), Imam Muslim (w 261 H), Ibn Majah (w 273 H), Abu Daud (w
275 H), at-Tirmidzi, An-Nasa’I (303 H), dll.
Dalam bidang
Fiqh, mucul kitab Majmu’ al-Fiqh karya Zaid Ibn Ali (w 740) yang
berisi tentang Fiqh Syi’ah Zaidiyah. Kemudian lahir Fuqaha seperti Imam Hanafi
(w 767 ), seorang hakim agung dan pendiri Madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas (w 795
M), Muhammad Ibn Idris as-Syafe’i (820 M), Imam Ahmad Ibn Hambal ( w 855 M).
Dalam bidang filsafat dan Ilmu kalam, lahir para
filosof Islam terkemuka seperti Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad
al-Farabi, Ibn Barjah, Ibn Tufail, dan Imam Ghazali. Dan ilmu Kalam, Mu’tazilah
pernah menjadi Madzhab utama pada masa Harun ar-Radyid dan al-Ma’mun. diantara
ahli ilmu Kalam adalah Washil Ibn Atha’, Abu Huzail al-Allaf, Adh Dhaam, Abu
Hasan Asy’ary, dan Iman Ghazali.
Ilmu Lughah juga berkembang dengan pesat
karena bahasa Arab semakin dewasa dan memerlukan suatu ilmu bahsa yang
menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan,
Badi, Arudh, dan Insya. Ulama Lughah yang terkenal adalah
Sibawaih (w 183 H), Mu’az al-Harra (w 187 H), Ali Ibn Hamzah al-Kisai (w 208
H), dll.
Ilmu Tasawuf berkembang pesat terutama pada masa
Abbasiyah II dan seterusnya. Diantara tokoh tasawuf yang terkenal adalah
al-Qusayiri (w 456 H), Syahabuddin (w. 632 H), Imam al-Ghazali (w. 502 H), dan
lain-lain.
- Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Adapun kemajuan yang dicapai umat Islam pada masa
Dinasti Abbasiyah dalam bidang ilmu Pengetahuan, sains dan teknologi adalah a).
Astronomi, Muhammad Ibn Ibrahim al-Farazi (w. 777 M), ia adalah astronom muslim
pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang.
Disamping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibn Isa
al-Asturlabi, al-Farghani, al-Battani, al-Khayyam dan al-Tusi. b). Kedokteran, pada
masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibn Rabban al-Tabari pengarang
buku Firdaus al-Hikmah tahun 850 M, tokoh lainnya adalah ak-razi,
al-Farabi, dan Ibn Sina. c). Ilmu Kimia, bapak kimia Islam adalah Jabir Ibn
Hayyan (w. 815 M), al-Razi, dan al-Tuqrai yang hidp pada abad ke 12 M. d).
Sejarah dan Geografi, pada masa ini sejarawan ternama abad ke 3 H adalah Ahmad
Ibn al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad Ja’far Ibn Jarir al-Tabari. Kemudian ahli
Bumi yang termasyur adalah Ibn Khurdazabah (w. 913 H).23
D. Kemunduran
Dinasti Abbasiyah
Ada dua faktor yang menyebabkan runtuhnya Dinasti
Abbasiyah, yaitu faktor Internal (dari dalam sendiri), dan faktor Eksternal
(dari luar). Faktor internal diantaranya. Pertama, perebutan kekuasaan
antar keluarga merupakan pemicu awal yang akhirnya berimplikasi panjang
terhadap kehidupan khalifah selanjutnya, terutama suksesi setelah Harun
ar-Rasyid. Perebutan antara al-Amien dan al-Ma’mun yang memicu perang sipil
besar yang pada akhirnya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah dan control
terhadap provinsi-provinsi di bawah kekuasaan Abbasiyah. Selanjutnya dari
perebutan tersebut melahirkan orang-orang yang tidak kompeten, ditambah lagi
terjadi pemisahan antrara agama dan politik. Akibatnya terjadi penyalahgunaan
kekuasaan dengan cara hidup dalam kemewahan dan pesta pora di Istana karena
agama tidak lagi menjadi pengawas. Seperti al-Mutawakkil memiliki 4000 orang
selir semuanya pernah tidur seranjang dengan dia. Khalifah al-Mutazz (Khalifah
ke-13) menggunakan pelana emas dan baju berhiaskan emas.
Kemudian menurut Abu A’la al-Maududi ketika
konsep khalifah digantikan dengan sistem kerajaan maka tiada ada lagi keahlian
kepemimpinan yang mencakup segalanya baik dalam politik maupun agama. Sehingga
keberhasilan raja-raja tidak mendapatkan penghargaan dan kewibawaan moral di
hati rakyat, walaupun mereka mampu menaklukan rakyat dengan kekuasaan dan
kekuatan, dan mengeksploitasi mereka demi tujuan politisnya.Disinilah secara
filosofis kelemahan mendasar dari sistem kerajaan. Selain itu secara Sosiologis
system Kerajaan akan menciptakan paradigma berfikir peodalistik anti kritik,
sehingga mudah sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalamnya. Kedua,
perpecahan di bidang akidah dan di bidang madzhab, yang masing-masing kelompok
saling mengklaim paling benar, sehingga memunculkan sikap fanatisme berlebihan.
Bahkan khalifah al-Ma’mun melancarakan gerakan pembasmian kepada orang-orang
yang tidak mau tunduk kepada madzhab Mu’tazilah. Hal tersebut kemudian diikuti
kembali oleh al-Mutawakkil yang membasmi terhadap golongan Mu’tazilah karena
tidak mau tunduk kepada Ahlu Hadits.Terakhir, penguasaan Baitul Maal
yang berlebihan akibatnya muncul justifikasi bahwa Baitul Maal adalah
milik penguasa, bukan milik umat. Sehingga tidak seorang pun berhak meminta
pertanggungjawaban mengenai dari mana uang itu berasal dan lari kemana uang itu
kemudian. Hal ini memancing reaksi negative dari masyarakat, dan memunculkan
rasa ketidakpuasan yang berujung kepada pemberontakan.
Masalah ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh Rasulullah Saw lewat
sabdanya :
“Semakin dekat seseorang pada kursi kekuasaan,
semakin jauhlah dia dari Tuhan; semakin banyak jumlah pengikut yang
dimilikinya, semakin jahatlah ia; semakin banyak kekayaan yang dipunyainya,
semakin ketat pulalah perhitungannya.
Namun sangat disayangkan para penguasa Dinasti Abbasiyah semuanya terbuai
dan lupa bahkan kepada Allah sendiri, hingga keruntuhan mereka.
Kemudian faktor eksternal yang menyebabkan
runtuhnya Dinasti Abbasiyah adalah; Pertama, pemberontakan terus
menerus yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Syi’ah, Murjiah, Ahlusunnah, dan
bekas pendukung Dinasti Umayyah yang berpusat di Syiria menyebabkan penguasa
Abbasiyah harus selalu membeli perwira pasukan dari Turki dan Persia.
Konsekuensinya meningkat terus ketergantungan pada tentara bayaran dan ini pada
gilirannya menguras kas Negara secara financial. Kedua,
memberikan kebaikan berlebihan kepada orang-orang Persia, dan Turki, berakibat
mereka dapat menciptakan kerajaan sendiri seperti Thahiriyah di Khurasan,
Shatariyah di Fars, Samaniyah di Ttansxania, Sajiyyah di Azerbaijan, Buwaihah
di Baghdad semuanya dari bangsa Persia. Sedangkan kerajaan yang didirikan oleh
orang-orang Turki adalah Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan,
Ghaznawiyah di Afghanistan.dan dilanjutkan muculnya Dinasti-Dinasti merdeka
Umayyah di Andalusia, Fathimiyah di Afrika Utara, Idrisiyah di Maroko,
Rustamiyah, Aghlabiyah, Ziriyyah, Hammadiyah di Jazirah dan Syiria,
al-Murabitun, al-Muwahidun di Afrika Utara,Marwaniyah di Diyarbakar, dll. Ketiga,
serangan bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulaqu Khan. Baghdad di bumihanguskan
dan diratakan dengan tanah. Khalifah al-Musta’sim dan keluarganya di bunuh,
buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah di bakar dan dibuang ke
sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut menjadi hitam kelam
karena lunturan tinta dari buku-buku itu.
Analisa
Dari proposisi di atas dapat kita analisa bahwa
suksesnya revolusi Abbasiyah tidak terlepas dari peran serta kelompok-kelompok
yang sudah menyempal terlebih dahulu dari Dinasti Umayyah, karena merasa selalu
terdzalimi terhadap pola-pola kepemimpinan yang ditonjolkan oleh
khalifah-khalifah Umayyah. Rasa ketidakpuasan ini secara psikologi menciptakan
“sidrom traumatik” terutama bagi kelompok Syi’ah dn Khawarij yang sejak
lengsernya Ali Ibn Abi Thalib selalu di buru dan diasingkan. Maka tidak
mengherankan jika pada awal-awal pemerintahannya Abu Abbas as-Saffa menciptakan
sebuah kebijakan politik “pembumihangusan” etnis Umayyah dari muka bumi. Disamping
untuk balas dendam atas kebiadaban Dinasti Umayyah juga rasa terima kasih atas
bantuan dari kelompok-kelompok oposisi tersebut, sehingga diharapkan mereka
terpuaskan dan akan loyal dalam mendukung kekuasaan Dinasti Abbasiyah di masa
mendatang. Dan hal yang tidak bisa dilepaskan mudahnya mendapatkan dukungan
dari kelompok-kelompok tersebut adalah janji penegakan syariat Islam dan
terciptanya kehidupan tanpa ketakutan dan kekerasan yang tidak pernah mereka
dapatkan pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Pasca As-Saffa dan naiknya Ja’far al-Mansur
rupanya menjadi awal bangkitnya kembali “solidaritas keluarga”, ini terlihat
dari penyingkiran kelompok oposisi yang notabene sekutu utama dalam penumbangan
Dinasti Umayyah dan pergantian kekuasaan diserahkan kepada Putra Mahkota agar
kekuasaan hanya berputar pada keluarga Bani Abbasiyah. Kebijakan ini jelas
mencerminkan sifat haus kekuasaan dan lunturnya nilai-nilai demokrasi akibatnya
hilang prinsip persamaan, kebersamaan, dan mendahulukan kepentingan umum di atas
kepentingan pribadi seperti yang pernah dipraktekan oleh Rasulullah. Padahal
semua itu adalah tugas utama seorang khalifah.
Sifat seperti ini bukan merupakan “barang baru”
dalam dunia Islam. Khalifah Utsman Ibn Affan adalah “The Best Teacher” yang
telah mengajarkan bagaimana kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang.
Dalam pada itu, pengaruh kerajaan Persia yang monarkhi absolute juga mendukung
terciptanya iklim seperti itu, ini terlihat dari pindahnya Ibu kota dari
Damaskus ke Baghdad, lalu dilanjutkan dengan mencontoh secara besar-besaran
model-model kekuasaan dan administrasi Negara Persia.
Namun bagaimana pun jeleknya Dinasti Abbasiyah
secara politik, mereka telah berhasil menorehkan tinta emas dalam peradaban
Islam, terutama keberhasilan mereka dalam memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan cara menerjemahkan secara besar-besaran kitab-kitab klasik
peninggalan Yunani, Persia, India, China ke dalam dunia Islam. Sehingga wajar
banyak ilmuwan berpendapat bahwa masa ini adalah masa kejayaan Islam yang
paling gemilang atau dalam bahasa Ashar Ali zaman Islam Mahayana.dan kejayaan
seperti ini sulit kita jumpai di Negara-negara yang mengatasnamakan Islam.
Disamping itu Dinasti ini menunjukkan sifat keislamannya yang lebih menonjol
daripada sifat kearabannya. Dua orang di antara khalifah-khalifahnya yang
menjadi penunjang utama dalam menggulingkan dinasti Bani Umayyah dan menegakkan
dinasti Bani Abbasiyah adalah orang-orang Persia. Oleh karena itu tidaklah aneh
kalau kepada-kepala dinasti ini berusaha memelihara keseimbangan yang
seadil-adilnya antara unsur Arab dan unsur Persia di dalamnya. Tentu berbeda
dengan Dinasti Bani Umayyah yang lebih kuat unsur Arabnya sehingga
mengkotak-kotakkan masyarakatnya dalam Arab dan non Arab. Perpecahan baru
terjadi pasca meninggalnya Harun ar-Rasyid, ketika kedua putranya berperang
berebut kekuasaan. Yang satu hendak memperkokoh kedudukan orang-orang Arab.
Sedangkan yang lainnya bertekad hendak memperkokoh kedudukan orang-orang
keturunan Persia.
Runtuhnya sebuah Dinasti-Dinasti Islam pasti
berawal dari pola hidup yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ini menandakan
bahwa Dinasti Abbasiyah tidak pernah mau belajar dari sejarah kehancuran Bani
Umayyah. Disamping itu, mempercayakan keamanan berlebihan kepada suatu kelompok,
jelas akan berakibat pada lunturnya nilai persatuan di antara masyarakat itu
sendiri.
Pada masa sekarang kebijakan seperti ini diikuti
oleh kerajaan Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab yang mempercayakan
keamanannya kepada pasukan Amerika dan balasannya Amerika berhak
mengeksploitasi minyak dan mendirikan pangkalan militer di Negara-negara
tersebut. Padahal ini adalah bagian dari penjajahan sistemik dan pembodohan
sturktural yang nantinya akan melemahkan sendi-sendi pemerintahan dan
nasionalisme kebangsaan masyarakatnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari deksipsi di atas dapat
disimpulkan bahwa Dinasti Ababsiyah merupakan masa kejayaan umat Islam,
berkuasa mulai Khalifah Abu Abbas as-Saffa hingga al-Musta’shim sebagai
khalifah terakhir. Rentan waktu yang lama ini telah menghasilkan banyak
kemajuan dalam peradaban Islam, terutama sejak menerjemahkan kitab-kitab klasik
dari bangsa Yunani, Persia, India, baik dalam bidang politik pemerintahan,
ekonomi, agama di mana lahir para pemikir-pemikir Islam baik dari bidang
Filsafat, Kalam, Fiqh, maupun Tasawuf, dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Selain itu
lahir pula pakar-pakar ilmu astronomi, geografi, sejarah, dan lain sebagainya,
yang nantinya sangat berperan besar terhadap munculnya renaissance di
dunia Eropa. Namun dibalik kemajuan itu, Dinasti Abbasiyah menyisahkan noda
bagi peradaban Islam itu sendiri, terutama pembantaian-pembantai manusia setiap
pergantian kekuasaan. Dan hal yang paling penting sekarang dapatkah kita
merefleksikan kemajuan dan kemunduran Dinasti Bani Abbasyiah dalam kehidupan
kontemporer, sehingga menjadi sebuah spirit perubahan radikal. Wallahu
a’lam bi Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Akbar S., Citra Islam (Tinjauan Sejarah dan Sosiologi),
Jakarta: Erlangga, 1992, cet. I.Al- Wa, Muhamed, Sistem Politik dan Pemerintahan Islam, Surabaya ; bina ilmu, 1983, cet. 1.
Al-Afifi, Abdul Hakim, 1000 Peristiwa dalam Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), cet. I
Al-Maududi, Abul A’la, Khilafah dan Kerajaan (Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam), Bandung: Mizan, 1984, cet. I.
Amien, Ahmad, Islam dari Masa ke Masa, Bandung: Rosda, 1987, cet. I.
As-Salus, Ali, Imamah & Khilafah, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, cet. I
Bosworth, C. E. , Dinasti-Dinasti Islam, Bandung: Mizan.
Budiahardjo, Mariam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1999.
Engineer, Ashar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, cet. IV.