pengertin aqidah
Tuesday, October 30, 2012
AKIDAH
Pengertian Aqidah Secara
Bahasa (Etimologi) :
Pengertian Aqidah Secara Bahasa
(Etimologi) :
Kata "‘Aqidah" diambil dari kata dasar
"al-‘aqdu" yaitu ar-rabth (ikatan), al-Ibraamal-ihkam
(pengesahan), (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu
biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu
(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan)
dan al-jazmu (penetapan).
"Al-‘Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian,
pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: " ‘Aqadahu"
"Ya'qiduhu" (mengikatnya), " ‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan
" ‘Uqdatun Nikah" (ikatan menikah). Allah Ta'ala berfirman, "Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja ..." (Al-Maa-idah : 89).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan
pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama
maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah
dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah
aqa-id. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan
al-Mu'jamul Wasiith: (bab: ‘Aqada).
Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi
ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun
salah.
Pengertian Aqidah Secara Istilah
(Terminologi)
Yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan
jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh
dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak
terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus
sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika
hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak
dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas
hal tersebut.
Aqidah Islamiyyah:
Maknanya adalah keimanan yang pasti teguh dengan
Rububiyyah Allah Ta'ala, Uluhiyyah-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat, takdir
baik maupun buruk, semua yang terdapat dalam masalah yang ghaib, pokok-pokok
agama dan apa yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan ketundukkan
yang bulat kepada Allah Ta'ala baik dalam perintah-Nya, hukum-Nya maupun
ketaatan kepada-Nya serta meneladani Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam.
Aqidah Islamiyyah:
Jika disebutkan secara mutlak, maka yang dimaksud
adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena itulah pemahaman Islam yang
telah diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-Nya. Aqidah Islamiyyh adalah
aqidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi sahabat, Tabi'in
dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Nama lain Aqidah Islamiyyah:
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, sinonimnya
aqidah Islamiyyah mempunyai nama lain, di antaranya, at-Tauhid, as-Sunnah,
Ushuluddiin, al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari'iah dan al-Iman.
Nama-nama itulah yang terkenal menurut Ahli
Sunnah dalam ilmu ‘aqidah.
PENGERTIAN
AQIDAH
Secara
literal, ‘aqidah berasal dari kata ‘aqada yang bermakna al-habl, al-bai’, dan
al-‘ahd (tali, jual beli, dan perjanjian).[ Mohammad Ibnu Abiy Bakar
al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, Daar al-Fikr, 1401 H/1971 M, hal.444. Bila
dikatakan I’taqada fulaan al-amr (seseorang telah beri’tiqad terhadap suatu
perkara), maknanya adalah, shadaqahu, wa ‘aqada ‘alaihi qalbuhu, wa dlamiiruhu,
(seseorang itu telah membenarkan perkara tersebut, hatinya telah menyakininya,
dan ia telah bersandar kepada perkara tersebut). Lihat al-Mu’jam al-Wasith,
jilid I, bab ‘aqada ]
Menurut
istilah, kata I’tiqad (keyakinan) bermakna, tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li
al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan
ditunjang dengan bukti).[ Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi
al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22 ]
Kata
al-‘aqiidah, al-‘ilm, al-yaqiin, dan al-iiman bermakna sama. Menurut bahasa,
al-yaqiin bermakna al-‘ilmu.[ Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 743]
Menurut istilah, yaqiin memiliki arti, “menyakini sesuatu dengan keyakinan
bahwa sesuatu yang diyakininya itu tidak mungkin berbeda dengan keyakinannya.
Sebab, keyakinannya sesuai dengan kenyataan yang tidak mungkin berubah.”[
Al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, hal. 113 ]
Imam Ibnu
Mandzur menyatakan, "Tokoh ahli
bahasa Azujaj, mendefinisikan iman dengan, “Sikap ketundukan, kepatuhan, dan
kesediaan untuk menerima syari'at Islâm.” Sikap ini harus terefleksi pula dalam
menerima apa-apa yang disampaikan Rasulullah saw (sunnah). Sunnah harus
diyakini dan dibenarkan di dalam hati. Siapa saja yang bersikap seperti itu,
dan menyakini bahwa melaksanakan suatu kewajiban itu merupakan keharusan tanpa
ragu-ragu lagi, maka hakekatnya ia adalah seorang mukmin dan muslim yang
keimanannya tidak ragu-ragu lagi. Allah swt berfirman, "....dan kamu
sekali-kali tidak akan percaya kepada kami..."[ Al-Quran, Yusuf:17.]
Makna iman
adalah tashdiq (pembenaran). Dalam kitab al-Tahdzib, disebutkan
bahwa iman berasal dari kata amana -yu'minu-îmânan, yang artinya membenarkan.
Ahli bahasa sepakat bahwa iman berarti tashdiq (pembenaran).
Lawan dari
yaqin, ‘ilmu, dan iiman adalah dzan.[ Al-Raghib al-Isfahaaniy, Mufradaat
al-Faadz al-Quran, hal.327 ] Menurut bahasa, dzan bermakna tahammuh
(prasangka/dugaan).[ Dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah, disebutkan, bahwa kata
dzan kadang digunakan dengan makna al-‘ilmu (yaqiin) [lihat juga Imam
al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, hal 218]. Fathi Mohammad Salim
menyatakan, bahwa kata dzann adalah keyakinan kuat yang masih mengandung makna
yang berlawanan. Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 406. Kata dzan
kadang-kadang digunakan dengan makna yaqiin dan syakk (keraguan). [lihat
Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq,
1414 H/199 M , hal. 20].]
Imam
Zamakhsyariy berkata, “bi’r dzannuun: la
yutsaaq bi maa’iha.[Sumur yang meragukan adalah sumur yang airnya tidak bisa
dipercaya]; rajul dzannuun: la yutsaaq bi khabarihi [laki-laki yang meragukan
adalah laki-laki yang beritanya tidak bisa dipercaya].”[ Asaas al-Balaaghah,
hal. 303 ]
Iman Dalam Tinjauan Istilah
Iman Dalam Tinjauan Istilah
Imam
al-Nasafiy, berpendapat, "ÃŽman adalah
pembenaran hati sampai pada tingkat kepastian dan ketundukan."[ Imam
al-Nasafiy, Al-'Aqâid al-Nasafiyyah, hal. 27-43 ]
Imam Ibnu
Katsir menjelaskan,"ÃŽman yang
telah ditentukan oleh syara' dan diserukan kepada kaum muslimîn adalah berupa
i’tiqâd (keyakinan), ucapan, dan perbuatan. Inilah pendapat sebagian besar
Imam-imam madzhab. Bahkan, Imam Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal,dan Abu Ubaidah
menyatakan, pengertian ini sudah menjadi suatu ijma'. (kesepakatan)".[
Ibnu Katsîr, Tafsir Ibnu Katsîr, jilid.I, hal. 40 ]
Imam Nawawi,
menyatakan, "Ahli Sunnah
dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli kalam, telah sepakat bahwa
seseorang dikategorikan muslim apabila orang tersebut tergolong sebagai ahli
kiblat (melakukan sholat). Ia tidak kekal di dalam neraka. Ini tidak akan
didapati kecuali setelah orang itu mengimani dienul Islâm di dalamnya hatinya,
secara pasti tanpa keraguan sedikitpun, dan ia mengucapkan dua kalimat
syahadat."[ Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 49 ]
Imam
al-Ghazali, menyatakan,"ÃŽman adalah
pembenaran pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang
dirasakan oleh pemeluknya."[ Imam Al-Ghazali, Iljâm al-'Awam 'an 'Ilm
al-Kalâm, hal. 112 ]
Prof. Mahmud
Syaltut, dalam Islam, ‘Aqidah wa
Syari’ah, berkata, “ Iman adalah al-I’tiqaad al-jaazim al-muthaabiq li
al-waaqi’ ‘an daliil.” (keyakinan pasti yang berkesesuaian dengan fakta dan
didasarkan pada bukti (dalil).”[ Prof. Mahmud Syalthut, Islam ‘Aqidah wa
Syari’ah, hal.56 ]
Keimanan
harus ditetapkan dengan dalil yang bersifat qath’iy (pasti) baik tsubut
(sumber) maupun dilalahnya (penunjukkannya). Sebab, keimanan yang dituntut oleh
Syaari’ adalah keimanan yang menyakinkan dan tidak disusupi keraguan.
Prof Mahmud
Syalthut berpendapat, “Adalah sesuatu
yang sudah sangat jelas, bahwa keyakinan semacam ini (keimanan yang pasti)
tidak bisa dihasilkan oleh semua hal yang disebut sebagai dalil. Keimanan
semacam ini (keimanan yang pasti) hanya akan dihasilkan oleh dalil qath’iy yang
tidak disusupi oleh kesamaran.”[ Prof. Mahmud Syalthut, Islam ‘Aqidah wa
Syari’ah, hal.56 ]