MAKALAH ZAKAT DALAM PRESPEKTIF EKONOMI
Friday, October 21, 2016
A. Deskripsi Masalah
Dalam
pandangan ahli fiqih pembahasan tentang zakat merupakn suatu bagian
dari pembahasan hukum isslam.sebagian dari pembahasan hukum, pembahasan
zakat terfokus pada sah dan tidak sah pemungutan dan penyerahan zakat,
boleh atau tidak bolehnya pemungutan dan penyerahan zakat, wajib atau
tidak wajibnya sesuatu kekayaan dipungut zakatnya dan sebagainya.
Zakat adalah ibadah yang mengandung dua dimensi: dimensi hablum minalloh atau dimensi vertical dan dimensi hablumminannas atau
dimensi horizontal.Ibadah zakat bila ditunaikan dengan baik, akan
meningkatkan kualitas keimanan, membersihkan dan menyujikan jiwa, dan
mengembangkan serta memberkahakan harta yang dimiliki. Jika dikelola
dengan baik dan amanah serta mampu meningkatkan etos dan etika kerja
umat, serta sebagai institusi pemerataan ekonomi.
Zakat merupakan bagian dari Rukun Islam yang ketiga dan merupakan suatu sumber pokok dalam penataan ekonomi di dalam Islam. Ekomomi yang berintikan zakat akan memunculkan sifat tazkiyah
yaitu ekonomi yang dipenuhi dengan nilai-nilai zakat yaitu nilai
kebersihan, kejujuran, keadilan, pertumbuhan, perkembangan dan
penghargaan serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.
Masalah-masalah
pokok ekonomi mencakup pilihan-pilihan yang berkaitan dengan konsumsi,
produksi, distribusi dan pertumbuhan sepanjang waktu. Jika zakat mampu
dikelola dengan baik dan di dayagunakan dengan baik dan merata akan
menjadikan sistem ekonomi menjadi adil dan stabil dan akan memperkecil
jurang antara orang kaya dan miskin.
Seiring
dengan berkembangnya sektor-sektor perekonomian zaman ini menjadikan
zakat semakin berkembang, bagaiman kita melihat pada sektor pertanian,
sector industri yang mana terus mengalami peningkatan, kemudian sektor
jasa yang sekarang banyak diminati oleh masyarakat.seperti usaha yang
terkait dengan surat berharga dll. Yang mana sektor tersebut akan
menjadikan sumber obyek zakat semakin luas dan meningkat.
Dengan
berkembangnya obyek zakat tersebut membuat para pakar ilmu hukum Islam
menawarkan konsep-konsepnya,seperti yang telah di rumuskan oleh Masdar F
Fuadi bahwasannya profesi, perusahaan,
surat-surat berharga, perdagangan mata uang, hewan ternak yang
diperdagangkan, investasi properti, asuransi syari’ah merupakan obyek
yang dikenai zakat.
B. Teori Zakat Prespektif Ekonomi
Untuk bisa melahirkan satu format hukum Islam yang eksistensinya
menjaga diri pada kemaslahatan universal menghargai rasa keadilan
sosial dan hak asasi manusia, maka ijtihad menjadi ikhtiar pertama yang
mutlak harus dilakukan. Pandangan umum mengenai ijtihad yang selama ini
berjalan bisa dikatakan hanya menjangkau sasaran atau hal-hala yang
bersifat zhanni (teks yang tidak pasti) dan kurang mencermati dimensi
ajaran yang diyakini seagai qot’I (teks yang dianggap pasti). Menurut
masdar, dengan meletakkan maslahat seagai asas ijtihad maka konsep lama
tentang qot’i dan zhanni harus segera dicarikan rumusan barunya.[1]
Dalam
pandangan masdar, apa yang disebut sebagai dalil qot’I adalah nilai
kemaslahatan dan keadilan, yang merupakan jiwa dari hukum itu sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dalil zhonni adalah seluruh ketentuan teks,
ketentuan normative yang bisa digunakan untuk menterjemahkan yang qot’I
(nilai kemaslahatan dan keadilan) dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu
ijtihad tidak bisa terjadi pada wilayah qot’I, dan hanya bisa dilkukan
pada wilayah zhonni .[2]
Berangkat
dari konsep qot’I dan zhonni yang ditawarkan masdar, ia lantas
menawarkan konsep baru tentang zakat. Dalam amatannya, zakat merupakan
ajaran pokok Islam yang paling dekat dengan inti persoalan yang banyak
dihadapi umat manusia yakni ketidakadilan. Ajaran zakat bukanlah ajaran
untuk kepentingan umat Islam saja, melainkan ajaran untuk kemaslahatan
dan keadilan semesta. Inti dari ajaran zakat yang mutlak, universal, dan
tidak berubah adalah (1) siapa pun yang memiliki kelebihan harta maka
ia harus menginfakkan sebagian harta yang diterimanya itu, (2) harta
ynga diinfakkan oleh atau dipungut dari yang
mampu itu harus ditasarufkan untuk kemaslahatan seluruh anggota
masyarakat, dengan memprioritaskan mereka yang lemah. Disamping
orang-orang islam sendiri tetap harus mendapat perhatian dalam pembagian
zakat, agar bisa meringankan beban ekonomi mereka. Kemaslahatan yang
dimaksud adalah kemaslahatan menyeluruh, lintas, agama, suku dan
golongan.[3]
Umat
islam khusunya para umaro’ dan ulama’, tidak bisa melepaskan tanggung
jawab atas terjadinya ketidakadilan semesta yang disebakan oleh Negara.
Dengan memisahkan ajaran zakat dari lembaga pajak, umat islam telah
benar-benar memisahkan Negara dari agama. Pemisahan ini menyebabkan umat
islam menanggung beban yang sangat berat karena harus melaksanakan dua
macam kewajiban, yaitu menunaikan zakat sebagai kewajiban agama dan
membayar pajak sebagai kewajiban warga Negara. Akibatnya kewajiban
mengeluarkan zakat selalu terkalahkan oleh keharusan memayar pajak.[4]
Gagasan
yang menarik yang harus kita garis bawahi dari masdar adalah tentang
obyek zakat yang harus diperluas cakupannya. Untuk zaman sekarang
tidaklah adil jika kita hanya menggunakan
pungutan sedekah wajib atas kurma dan anggur, semetara itu kelapa sawit,
apel, kopi, dan tembakau yang tidak kalah nilai ekonomisnya, kita
bebaskan saja dari kewajiban membayar zakat. Tidak adil juga ketika kita
kenakan beban sedekah wajib atas pendapatan pada sektor pertanian
sedangkan dari sektor industri dan jasa kita bebaskan. Jika Nabi SAW
tidak membicarakan suatu jenis kekayaan tertentu maka hal itu hanya
karena jenis kekayaan tersebut belum ada pada masa Nabi. Sebab jika
suatu jenis tersebut ada pada zaman nabi maka tentu ia juga dikenakan
zakat, seperti jenis kekayaan yang lain yang telah ditentukan. Oleh
karena itu tidak perlu lagi kita memahami jenis barang yang wajib
dikeluarkan oleh zakatnya seperti yang disebut dalam nash, akan tetapi
lebih penting adalah menangkap subtansi dari kewajiban zakat itu
sehingga diperluas cakupannya.[5]
C. Teori Zakat Prespektif Didin Hafidudin
Al-Qur’an merupakan rujukan dan sumber hukum utama kaum muslimin, al-Qur’an telah banyak menyinggung sumber zakat dengan dua pendekatan. Yakni pendekatan Ijmali (global) segala macam harta yang dimiliki yang memenuhi persaratan zakat. Dan yang kedua pendekatan Tafsili (teruari) yaitu menjelaskan beberapa jenis harta yang
apabila telah memenuhi persaratan zakat , maka wajib dikeluarkan
zakatnya, dengan pendekatan ijmali ini semua jenis harta yang belum ada contoh
konkritnya zaman Rasulullah SAW, akan tetapi karena perkembangan
ekonomi, menjadi benda yang bernilai, maka harus dikeluarkan zakatnya.[6]
Kriteria-kriteria yang digunakan untuk menetapkan sumber zakat sebagai contoh yang dibahas, adalah sebagai berikut:
1. Sumber
zakat tersebut masih dianggap hal yang baru, sehingga belum mendapatkan
pembahasan secara mendalam dan terinci. Berbagai macam kitab Fiqih,
terutama kitab fiqih terdahulu belum banyak membicarakannya, misalnya
zakat profesi.
2. Sumber
zakat tersbebut merupakan ciri utama ekonomi modern, sehingga hampir di
setiap Negara berkembang, merupakan sumber zakat yang potensial contoh
zakat investasi properti, zakat perdagangan mata uang, dll.
3. Sementara
ini zakat selalu dikaitkan dengan kewajiban kepada perorangan, sehingga
badan hukum yang melakukan kegiatan usaha tidak dimaksudkan ke dalam
sumber zakat. Padahal zakat itu disamping harus di lihat dari segi
muzaki, juga harus di luhat dari segi hartanya. Karena sumber zakat
badan hukum perlu mendapatkan pembahasan, misalnya zakat perusahaan.
4. Sumber
zakat sektor modern yang mempunyai nilai yang sangat signifikan yang
terus berkembang dari waktu ke waktu dan perlu mendapatkan perhatian
secara keputusan status zakatnya, seperti usaha tanaman anggrek,burung
wallet, ikan hias dll. Demikian pula sektor rumah tangga modern pada
segolongan tertentu kaum muslimin yang bercukupan, bahkan cenderung
berlebihan, hal ini dapat tercermin dalam jumlah dan harga kendaraan
serta aksesoris rumah tangga yang dimilikinya.[7]
Dalam kaitannya dengan perekonomian modern yang
terdiri dari sektor pertanian, industri dan jasa jika dikaitkan dengan
kegiatan zakat, maka ada yang tergolong flows dan ada pula yang
tergolong pada stoks[8].flows
ialah berbagai aktifitas ekonomi yang dapat dilakukan dalam waktu jam,
hari, ulan, dan tahun tergantung pada akadnya. Sedangkan stoks adalah
hasil kotor yang dikurangi keperluan keluarga dari orang perorang yang
harus dikenakan zakat pada setiap tahunnya sesuai dengan nisob.
Dengan
menggunakan metode purposive sampling berdasarkan kriteri-kriteria
diatas maka terpilihlah sumber zakat yang beraneka ragam seperti contoh
di bawah ini:
a. Zakat profesi
b. Zakat perusahaan
c. Zakat surat-surat berharga
d. Zakat perdagangan mata uang
e. Zakat hewan ternak yang diperdagangkan
f. Zakat madu dan produk hewani
g. Zakat investasi properti
h. Zakat Asuransi Syariah
i. Zakat tanaman anggrek, ikan hias, burung wallet
j. Zakat Aksesoris rumah tangga modern
D. Zakat Dalam Prespektif Islam
Semua
penghasilan melalui kegiatan professional tersebut, apabila telah
mencapai nishob, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan
nashnya yang umum. Misalnya Firman Alloh dalam surat Adz-Dzariyaat: 19
þ’Îûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãóspRùQ$#ur ÇÊÒÈ
Artinya:
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian
Al-Qurtubi[9]
(Wafat 671 M) dalam Tafsir al-Jami li Ahkam al-Qur’an menyatakan bahwa
yang dimaksud dalam surat adz-Dhariyat ayat 19 adalah zakat yang
diwajibkan, artinya semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang
didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat, maka harus
dikeluarkan zakatnya.
Sayyid Qutub[10]
(Wafat 1965 M) dalam tafsirnya Fi Dhilalil Qur’an ketika menafsirkan
firman Alloh dalam surat al-Baqarah ayat 267 menyatakan , bahwa nash ini
mencakup seluruh hasil manusia yang baik dan halal dan mencakup pula
seluruh yang dikeluarkan oleh Alloh dari dalam dan atas bumi, seperti
hasil pertanian, maupun hasil pertambnagan seperti minyak. Karena itu
nash itu mencakup sema harta, baik yang terdapat pada masa Rosululloh
maupun zaman sesudahnya, maka semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan
ketentuan dan kadar sebagiaman yang telah diterangkan dalam sunnah
Rasululloh, baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun yang
diqiyaskan kepadanya.
Sementara
itu para Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait (29
Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30 April 1984 M) telah sepakat
tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishob, meskipun
mereka berbeda pendapat tentang cara pengeluarannya. Dalam pasal 11 ayat
v2 Bab IV Undang-Undang No 38 Tahun 1999 yentang pengelolaan zakat,
dikemukakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: emas, perak, uang,
perdagangan dan perusahaan, hasil pertanian,perkebunan,perikanan,
pertambangan, peternakan, hasil pendapatan dan jasa dan rikaz.
Para ulama terdahulu pun maupun sekarang mengistilahkan harta yang wajib di zakati dengan menggunakan istilah al-Amwal, dan sebagian
ulama yang lain menggunakan istilah khusus al-Maal al-Mustafad seperti
yang ada dalam fiqh zakat dan al-fiqh al-Islami wa Adillatuhu[11]
Alasan
yang lain sesuai dengan ciri agama Islam adalah prinsip keadilan
tentang penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan
terasa sangat jelas, dibandingkan hanya dengan menetapkan kewajiban
zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yangh konvensional. Petani
yang saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetap harus
berzakat ketika sudah satu nishob. Karena itu sangat adil pula apabila
zakat inipun bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para
dokter, ahli hukum, konsultan dll.
E. Analisis
Berdasarkan
landasan-landasan yang telah disebutkan diatas kiranya penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwasannya semua harta yang dapat dari hasil yang
halal dan yang mempunyai nilai lebih satu nishob maka wajib dikeluarkan
zakatnya sesuai dengan qiyasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Fuad.Mahsun, 2005. Hukum Islam Indonesia dari nalar partisipatoris hingga emasipatoris: Yogyakarta;lkis
Ø Didin Hafidudin, 2002.Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema INsani Pres
Ø Kahf .Monzer, 1995.Ekonomi Islam: Telaah Analitik tehadap fungsi system Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein. Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
Ø Al-Qurtubi, 1993. Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Beirut: Daar el-kutub Ilmiyah, ,
Ø Qutub .Sayyid, 1977.Fi Zhilalil Qur’an, (Beirut: Daar el-Surq,)
Ø Hafidudin.Didin, 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta:Gema INsani Pres