Makalah Hukum Pajak Indonesia
Sunday, October 16, 2016
1.1 Latar Belakang
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban
kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan
bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara
dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan,
membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak
dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran
serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung
jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban
kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri
untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama
sebuah negara, karena itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi
pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah dilakukan pembahasan RUU
Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa
merupakan potensi pajak yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah
wajib pajak/ pembayar pajak hanya mencapai 3.670.060 jiwa dengan
perincian 2.622.184 pembayar pajak orang pribadi dan 1.047.876 lainnya
pembayar pajak badan. Hal ini menandakan bahwa kebijakan perpajakan
tidak cukup kuat untuk melakukan ekstensifikasi pajak di samping proses
pendataan wajib pajak yang kurang gencar dilakukan.
Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi
disangsikan. Karena itu wajar jika pemerintah terus berupaya menggali
berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus
menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) dari masyarakat. Namun
demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat
terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu yang
berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik
yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus),
maupun yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan
bahwa persoalan pajak merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu,
penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan komprehensif.
Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan
masyarakat agar memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar
pajak tidak terpaku pada wajib pajak belaka, tapi perlu
mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara korelatif. Dengan
pertimbangan yang simultan, solusi alternatif yang signifikan akan lebih
memungkinkan. Dari begitu banyak dan keanekaragaman hak dan kewajiban
wajib pajak, salah satunya adalah wajib pajak orang pribadi yaitu orang
yang memperoleh penghasilan baik sebagai seorang direktur dari satu,
beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang pemegang saham
atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau pekerja
mandiri seperti dokter, notaris , pengacara.
Sebelum sampai pada pembahasan tentang Wajib Pajak
Pribadi, sebagai cakrawala pengetahuan perpajakan perlu diketahui
terlebih dahulu tentang pengertian, jenis dan macam pajak serta manfaat
pajak yang berlaku di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah
Wajib Pajak Pribadi adalah orang yang memperoleh
penghasilan baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau
bahkan ratusan perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris
atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau pekerja mandiri seperti
dokter, notaries , pengacara . Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki resiko
mengalami pemeriksaan pajak . Namun sering kali terjadi berbagai
permasalahan mengenai pembyaran pajak pribadi itu sendiri.
1. Bagaimanakah Perlakuan PPh atas pengalihan tanah?
2. Bagimanakah Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan:
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah:
1. Supaya
penulis pribadi dan para pihak yang membaca makalah ini mengetahui
tentang macam-macam serta penggolongan penggolongan pajak di Indonesia.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pengenaan pajak terhadap penghasilan.
3. Untuk mengetahui bagaimana mengenai kewajiban pajak bagi wanita.
1.3.2 Manfaat:
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Bagi
para pihak yang membaca, hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat
memberikan informasi serta pengetahuan mengenai ilmu Hukum Pajak
Khususnya mengenai hal Pajak Penghasilan.
2. Bagi penulis merupakan penerapan secara ilmiah ilmu Hukum Pajak khususnya Pajak Penghasilan.
3. Sebagai referensi bagi penulis lain yang juga menulis dalam h
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Berkenaan
mengenai pengenaan pajak, pajak mempunyai latar belakang falsafah.
Falasafah pajak ini lebih lanjut lagi berdasarkan falsafah negara yaitu
pancasila. Pasal 23 UUD 1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak
yang berbunyi “segala pajak pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan
undang-undang” walaupun pasal 23 (2) UUD 1945, merupakan dasar hukum
pemungutan pajak, namun pada dasarnya dalam ketentuan ini tersirat
Falsafah Pajak. Pajak harus berdasar undang-undang karena dapat
diibaratkan pajak adalah menyayat daging diri kita sendiri. Pajak tidak
memerikan imbalan yang secara langsung dapat dinikmati, atau dapat
dikatakan pajak tidak memberikan imbalan.
Selain memiliki dasar falsafah dalam
pengenaan pajak terdapat asas-asas menurut Falsafah Hukum yaitu
asas-asas keadilan, untuk memberikan dasar menyatakan keadilannya,
terdapat teori-teori pajak yang dapat diterapkan dalam pemungutan pajak
dalam masyarakat, dan juga terdapat sistem pemungutan pajak diantaranya
adalah:
2.2.1 Teori Pemungutan Pajak
1. Teori
asuransi: Pajak dianggap sama dengan premi yang harus dibayar rakyat
karena negara yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan
masyarakat dan lingkungan di seluruh wilayah negara.
2. Teori
Kepentingan: Teori kepentingan hanya memperhatikan pembagian beban
pajak yang harus dipungut pemerintah kepada rakyat yang disesuaikan
dengan kepentingan masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang
bermanfaat baginya termasuk perlindungan atas jiwa beserta harta
bendanya.
3. Teori Daya Pikul: Pajak harus dibayar menurut daya pikul atau kemampuan seseorang.
4. Teori
Bakti: teori yang berdasar atas paham organisasi negara yang
mengajarkan bahwa negara negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk
menyelenggarakan kepentingan umum. Dengan organisasi dan tindakan
negara seperti itu, di satu sisi negara mempunyai hak untuk memungut
pajak.
5. Teori
Gaya Beli: penyelenggaraan kepentingan rakyat dapat dapat dianggap
sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan
juga bukan kepentingan negara melainkan kepentingan masyarakat yang
meliputi keduanya.
2.2.2 Asas Pemungutan Pajak
1. Asas
Domisisli: Asas ini didasarkan pada domisili atau tempat tinggal wajib
pajak di suatu negara. Negara tempat tinggal seseorang berhak mengenakan
pajak terhadap seseorang tersebut tanpa melihat darimana sumber
penghasilan atau pendapatanya diperoleh dan tanpa melohat kebangsaan
atau kewarga negarann wajib pajak tersebut.
2. Asas
Sumber: Dalam asas ini pemungutan didasarkan pada adanya sumber
pendapatan alam suatu negara. Negara menjadi tempat sumber pendapatan
tersebut berhak memungut pajak tanpa memperhatikan domisili dan
kewarganegaraan wajib pajak.
3. Asas
Kebangsaan: Pada asas inivpemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan
seseorang. Yang berhak memungut pajak seseorang adalah negara yang
menjadi kebangsaan orang tersebut.
2.2.3 Sistem Pemungutan Pajak
1. Official
Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa
jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak dihitung dan
ditetapkan oleh aparat pajak atau fiscus.
2. Self
Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa
jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib ajak dihitung
sendiri oleh wajib pajak.
2.2 Dasar Hukum
* Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
* Undang-undang
No. 10/1994 Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Pasal 4 ayat (2). “ Atas
Pengasilan berupa bungan deposito dan tabungan dan tabungan-tabungan
lainya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainya di bursa
efek, penghasilan dari pengalihan harat berupa tanah dan atau tabungan
serta pengasilan tertentu lainya, pengenaan pajaknya diatur dengan
peraturan pemerintah.
* Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
* Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan
* Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri
* UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
* UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
* UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
* UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
* UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
* UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
BAB III
PEMBAHASAN
Pengertian pajak
Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara
yang satu dengan yang lainnya. Diantara beberapa pengertian yang
diberikan oleh para ahli adalah sebgai berikut.
1. Menurut
Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib
dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan
peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan
seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam
pemerintahan
- Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat kepad negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk ‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public investment’. Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah:
* Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;
* Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan dapat dikenakan sanksi;
* Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara langsung oleh pemerintah;
* Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah;
* Pajak
diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.
3. Menurut
Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang
terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada
kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya
adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah’
4. Menurut Ray M. Sommer, Hershel M. Andersen dan Horace R. Brock:
“A tax can be defined meaningfully as any nonpenal yet compulsory
transfer of recourses from the private to the public sector, levied on
the basis of predetermined criteria without reference to specific
benefits receifed, so as to accomplish some of a nation’s economic and
social objectives”
Sebenarnya masih banyak lagi para ahli dan pakar
perpajakan yang mengemukakan pengertian pajak dengan menggunakan kalimat
masing-masing.
Jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat
dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah
pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini
sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan.
Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah
Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis
pajak dapat dibagi menjadi :
1. Pajak Penghasilan (PPh)
: PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas
penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN
adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun
pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang
PPN.
3. PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang
tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah adalah :
b. barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
c. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
d. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
e. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
f. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4. Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan
menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan
mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak bentuk KPU
35 Kode 006.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan bangunan (property tax).
6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB
adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah
Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada
Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan.
Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah
diatas juga terdapat pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik
Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:
1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
2. Pajak Kabupaten Kota
a. Pajak Hotel,
b. Pajak Restoran,
c. Pajak Hiburan,
d. Pajak Reklame,
e. Pajak Penerangan Jalan,
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
g. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Selain yang dibahas diatas, dalam parktek sering
dikenakan pungutan yang disebut sumbangan wajib. Sumbangan wajib
biasanya tidak memiliki kejelasan balas jasa maupun imabalanya.
Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan atas ketentuan yang sah
dan hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan tersebut merupakan
pungutan yang legal.
Manfaat Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga
atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber
penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama
penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit
untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari
belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan.
Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah
sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang
berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam
rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap
warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia,
menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya
dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas
bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan
dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas,
pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat
yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat
yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib
Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar
merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi
pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang
ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.
Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah
pusat yang dipungut pada seseorang atas pengahsilan dari semua orang
yang berda di wilayah Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang
dipungut setiap akhir tahun atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak
penghasilan diatur dalam undang-undang diantaranya adalah
- Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentangperubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan
- Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri
- UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
- UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
- UU No. 7 Tahun 1983 ttg PPh jo. UU No. 10/1994
- UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
- UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
- UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
- UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
Dalam Undang-Unadang Pajak Penghasilan sendiri tidak
dijelaskan apa yang dimaksud dengan subjek PPh, namun secara umum
pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPh
menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh yaitu:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan
yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan
lainya, BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan,
Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan atau organisasi yang
sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk Badan Usaha lainnya.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orang pribadi
yang tidak beretempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal di
Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan
yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
3.1 Perlakuan PPh atas pengalihan tanah.
1 Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2). “Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
UU No. 10/1994 tersebut merupakan UU yang mengubah UU
No. 7/1983. Dalam UU No.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan
PPh atas bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya. Kemudian di
dalam perubahan UU yang dituangkan dalam UU No.10/1994, cakupan Pasal 4
ayat (2) diperluas sehingga mencakup juga penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan
harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya.
Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-penghasilan yang dicakup oleh
Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, pada kenyataannya hampir
semua penghasilan dimaksud dikenakan PPh final. Pengenaan pajak atas
penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebut diatur
dengan peraturan pemerintah.
Perlakuan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan telah mengalami perubahan sejak
diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu PP 79/1999,
khususnya yang menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994 orang
pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai
PPh final sebesar 5% dari jumlah bruto. Perlakuan PPh tersebut
diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa membedakan apakah orang
yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan.
Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan PP 27/1996 yang
membedakan antara orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan orang pribadi selain
yang mempunyai usaha tersebut.
Berdasarkan PP 27/1996 pengenaan PPh final diterapkan terhadap:
1. orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan
2. orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang melakukan pengalihan hak dengan nilai kurang dari Rp60 juta.
PP 27/1996 tidak secara jelas mengatur perlakuan PPh
atas pengalihan hak tersebut apabila dilakukan oleh orang pribadi yang
mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai pengalihannya melebihi Rp60
juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PP dimaksud maka perlakuan PPh
final hanya terbatas kepada dua kelompok wajib pajak sebagaimana
disebutkan di atas.
Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang
pribadi yang usaha pokoknya bukan menjual hak atas tanah dan/atau
bangunan, maka keuntungan dari pengalihan tersebut akan dikenakan PPh
dengan tarif umum. Perlakuan ini sama dengan ketentuan dari PP 79/1999.
Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya bukan jual beli
hak atas tanah dan/atau bangunan memperoleh perlakuan yang kurang adil
bila dibandingkan dengan orang pribadi yang mempunyai usaha pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final berarti
bahwa PPh yang disetor sebesar 5% dari nilai pengalihan merupakan
pembayaran pendahuluan dari seluruh PPh yang terutang dalam tahun yang
bersangkutan.
Kesulitan akan timbul dalam menghitung keuntungan dari
pengalihan tersebut, terutama untuk harta yang telah dimiliki dalam
jangka waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan ketidakadilan
dari segi beban pajak yang ditanggung terutama untuk harta yang sudah
dimiliki dalam kurun waktu yang lama. Harga perolehan yang relatif jauh
lebih rendah dari harga peralihannya akan menyebabkan beban pajak yang
lebih tinggi. Faktor penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang Pajak
Penghasilan tidak menerapkan indeksasi untuk harta tetap untuk
menentukan harga perolehan dari harta tetap untuk keperluan perpajakan.
Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak
menjalankan usaha cenderung untuk tidak melakukan pencatatan sehingga
kemungkinan besar sulit untuk mentrasir kembali harga perolehan dari
harta dimaksud termasuk dokumen pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak
orang pribadi yang menjalankan usaha jual beli tanah dan bangunan
diterapkan pengenaan pajak yang bersifat final, padahal wajib pajak
kelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan, sehingga harga
perolehannya seharusnya dapat diketahui.
PP 27/1996 kemudian diubah dengan PP 79/1999 yang
sepanjang menyangkut orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak
orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hak atas tanah
dan/atau bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak
tetapi tidak final.
3.2 Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk
menghitung Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto dikurangi dengan
biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk
biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
seperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan
tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya
perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi,
dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh
harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan
atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran
kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan,
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata
uang asing, biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan
di Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat
tertentu;
Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan
sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut "kerugian" adalah:
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata
uang asing. Salah satu jenis kerugian yang dapat dikurangkan sebagai
biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang dipergunakan
dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui
mekanisme yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan
harta karena harta tersebut dijual atau dialihkan dan penarikan harta
karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam, maka penarikan
harta karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta
tersebut adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa
bukunya dibebankan sebagai kerugian. Apabila harta dimaksud
diasuransikan maka jumlah penggantian asuransinya dibukukan sebagai
penghasilan.
Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat
disusutkan atau harta yang tidak dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum
memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya UU ini tidak
menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya
pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha berbeda dengan capital
gains. Atas dasar pemikiran yang demikian maka kerugian karena
kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana alam seharusnya juga dapat
dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu bencana yang terjadi juga
memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak dapat
membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya
kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang tersebut.
UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di
Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenis barang, yaitu
barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan
baku dan bahan pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk
keperluan penghitungan harga pokok, metode yang diperbolehkan adalah
dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang
didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk menghitung
kerugian yang diderita karena bencana cara yang sama juga sebaiknya
diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang sama terhadap
kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan
yang seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan
untuk memberi kesempatan mengklaim kerugian, masalah yang perlu
dipikirkan adalah menentukan dokumen-dokumen yang harus disajikan
sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana. Dokumen yang
menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karena terjadinya
bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk: penyesuaian
terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25); kompensasi
kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti pada saat
dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan
(bila diperlukan)
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perlakuan PPh atas keuntungan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan terhadap wajib pajak orang pribadi menimbulkan
ketidakadilan bagi wajib pajak orang pribadi biasa. Yang dimaksud dengan
wajib pajak orang pribadi biasa adalah mereka yang tidak melakukan
kegiatan usaha jual-beli hak atas tanah dan/atau bangunan. Wajib pajak
kelompok ini akan memikul beban pajak yang lebih besar dari pada mereka
yang mempunyai usaha pokok jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan.
Undang-undang PPh hanya mengatur bahwa kerugian yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah:
1. kerugian
karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf d)
2. kerugian dari selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e)
3. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sepanjang memenuhi persyaratan tertentu Pasal 6 ayat (1) huruf h
Ketentuan diatas belum mencakup hak wajib pajak untuk
membebankan kerugian yang diderirta karena bencana alam oleh karena itu
perlu dipertimbangkan untuk memperluas cakupan Pasal 6 sehingga mencakup
kerugian yang diderita karena bencana dimaksud.
Pengertian-pengertian dan pemahaman mengenai pajak
seperti diatas yang perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat lewat
kampanye sadar pajak dalam berbagai bentuknya, seperti seminar,
diskusi, penataran, lokakarya, simulasi, dan bentuk aktifitas lainnya
Dengan upaya ini diharapkan tumbuhnya apresiasi positif masyarakat
terhadap pajak yang pada akhirnya sampai pada suatu keinsyafan bahwa
sadar pajak merupakan kunci pembangunan.
4.2 Saran
Sebaiknya perlakuan pajak atas pengalihan harta dimaksud
diubah dengan mengenakan pajak final terhadap wajib pajak orang pribadi
yang tidak mempunyai usaha, sedangkan wajib pajak orang pribadi yang
kegiatan usahanya adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dikenai pajak dengan tarif umum.
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan perlakuan PPh
dimaksud perlu dipikirkan dan ditentukan dokumen-dokumen yang dapat
diterima oleh fiskus.Pembebanan kerugian atas harta yang tidak dapat
atau tidak boleh disusutkan mungkin dapat dilakukan seperti pembebanan
penyusutan atau amortisasi, artinya tidak dibebankan sekaligus. Hal ini
perlu dipikirkan agar perlakuannya juga seimbang dari sudut pandang
Undang-undang PPh. Di samping itu perlu dipikirkan untuk mengatur
prosedur atas penyesuaian setoran PPh dalam tahun berjalan bagi wajib
pajak yang mengalami bencana. Wajib pajak yang masuk dalam kategori ini
perlu mendapatkan perlakuan yang favourable dengan tujuan agar usahanya
dapat bangkit kembali sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kembali
setoran PPh-nya seperti sebelum terjadinya bencana.
Banyaknya tokoh dari berbagai
kalangan dan profesi yang terbukti mangkir membayar Pajak Penghasilan
(PPh) merupakan contoh buruk bagi masyarakat wajib pajak secara
keseluruhan. Oleh karena itu, keteladanan dalam hal penunaian kewajiban
pajak perlu mendapat perhatian tersendiri. Keteladanan ini tentu saja
harus dimulai dari jajaran pemerintah sendiri sebagai pengelola pajak.
Jika pemerintah mampu memberikan teladan dan juga diikuti tokoh-tokoh
dan public figur lainnya, agaknya masyarakat akan lebih mudah untuk
menyadari betapa pentingnya pajak bagi kehidupan dan masa depan
negaranya. Sebaliknya, jika pemerintah, para pemimpin, dan tokoh-tokoh
populis sudah memperlihatkan keingkarannya terhadap kewajiban pajak ini,
masyarakat di bawah akan lebih sulit lagi tersadarkan untuk membayar
pajak.
Baca Juga Ulasan Mebel Jepara
DAFTAR PUSTAKA
Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
Muqodim, 2000. Perpajakan Buku Satu, UII Press dan Ekonesia , Jogyakarta
Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
Burton, Richard dan Ilyas Wirawan B. 2001. Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta
Alrasid,Harun. Naskah UUD 1945, 2003. Universitas Indonesia, UII Press
Hostaritua, Situmorang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
Pandiangan, Liberti. 2002. Undang-Undang Perpajakan Indonesia,Erlangga,
Soemitro, Rocmat.1991. Pajak Ditinjau Dari SegiHukum, PT Eresco, Bandung