MAKALAH KONSEP HUTANG DALAM ISLAM LENGKAP
Wednesday, September 14, 2016
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Hakekat
manusia yang bersifat sosial, dimana orang tak dapat hidup sendiri harus saling
membantu baik dalam kesusahan maupun kebaikan. Seperti halnya pada harta dimana
saat melihat saudara semuslim kita kesusahan contohnya dalam harta dan sngat
mendesak alangkah lebih baik kita membantu, yaitu dengan cara menghutangi
dengan catatan orang yang di hutangi akan membayar jika sudah tiba waktunya dan
ada untuk pengembaliannya.
Firman
Allah S.W.T bermaksud “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya”
(Surah al-Baqarah ayat 282). Maksud dari ayat tersebut adalah saat menghutangi
sesuatu alangkah baiknya di catat agar tak ada kata lupa baik dalam waktu
maupun jumlah yang di hutangi.
Hutang
di perbolehkan dalam islam karena ada kaitannya dengan ayat dalam al Quran yang
berbunyi taawun yang berarti tolong menolong.
Pengertian
hutang adalah memberikan sesuatu yang memiliki nilai yang menjadi hak milik
pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai
perjanjian dengan jumlah yang sama. Contoh, A meminjam emas 10 gram pada B.
Maka B wajib mengembalikan utang tersebut pada A sebanyak 10 gram emas atau
uang senilai itu pada waktu yang telah ditentukan.
Hutang
piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan
manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu penyebab munculnya
perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan jasa peminjaman
(hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.
Islam
sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga mengatur
mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam
pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang
kesusahan. Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah
bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit
demi sedikit mulai menyisihka, menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep
muamalah Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini
penting untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan
transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.
Bertolak
dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat untuk memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh
agama Islam terkait al-Qardh (hutang piutang) dengan kajian normatif yang
dikutip dari berbagai sumber terkait definisi, landasan hukum, hukum qardh, dan
lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hutang
Di
dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan
istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang
berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut
Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang
Qardh
secara etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’- yaqridhuhu,
yang berarti dia memutuskanya.
القَرْضُ
بِفَتْحِ الْقَافِ وقد تكسر، وَأَصْلُهُ فِي اللُّغَةِ: القَطْعُ.
Qardh
adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-syai’a
bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang
diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun
qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan
memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari. Menurut Firdaus at
al., qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau
diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad
tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.
Menurut
ulama Hanafiyah:
القَرْضُ
هُوَ مَا تُعْطِيْهِ مِنْ مَالٍ مِثِليٍّ لِتَتَقَاضَاهُ ،أَوْ بِعِبَارَةٍ أُخْرَى
هُوَ عَقْدٌ مُخُصُوصٌ يَرُدُّ عَلَى دَفْعِ مَالٍ مِثْلِيٍّ لِأخَرَلِيَرُدَّ مِثْلَهُ
Artinya:
“Qaradh
adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki
perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan
yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta
(mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang
diterimanya.”
Sayyid
Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:
الْقَرْضُ
هُوَ الْمَالُ الَّذِيْ يُعْطِيْهِ الْمُقْرِضُ لِلْمُقْتَرِضُ لِيَرُدَّ مِثْلَهُ
إِلَيْهِ عِنْدَ قُدْرَتِهِ عَلَيْهِ
Artinya:
“Al-qardh
adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada penerima utang
(muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang
diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”
Hanabilah
sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh sebagai berikut:
اَلْقَرْضُ
دَفْعُ مَالٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَه
Artinya:
“Qardh
adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian
mengembalikan penggantinya.”
Adapun
pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:
اَلشَّا
فِعِيَّةُ قَالُوْا : اَلْقَرْضُ يُطْلَقُ شَرْعًا بِمَعْنَى الشَّيْءِالْمُقْرَض.
Artinya:
“Syafi’iyah
berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang
diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan)
Hutang
piutang termasuk salah satu sikap dalam islam karena terkait dengan kata saling
tolong menolong.
DALIL SEPUTAR HUTANG PIUTANG
Quran Surat Al-Baqarah 2:282
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ
كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ
اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ
بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا
رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا
مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ
ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا
ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ
كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فَسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا
اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
KONSEP HUTANG DALAM ISLAM
Konsep
berhutang menurut perspektif Islam ialah memberikan sesuatu kepada seseorang
dengan perjanjian bahawa orang yang diberi pinjam itu akan membayar dengan
kadar sama.
Amalan
berhutang kini menjadi persoalan biasa di kalangan masyarakat Islam. Sama ada
ia atas nama pembiayaan peribadi, pelajaran, kereta, pemilikan kad kredit dan
pelbagai skim ditawarkan syarikat perbankan, rata-rata ia memberi maksud
hutang. Malah, kewujudan ‘Ah Long’ juga adalah mata rantai kepada urusan
pinjaman dan hutang.
Persoalan
hutang dan pinjam meminjam adalah antara perbahasan yang berada dalam ruang
lingkup perspektif Islam dan ia terikat dengan hukum ditetapkan syarak. Ianya
dibahas dan dikupas oleh sarjana Islam dalam kitab fiqh menerusi keterangan
yang ada dalam ayat al-Quran dan Hadis Nabawiyah.
Firman
Allah S.W.T bermaksud “Wahai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menulisnya” (Surah al-Baqarah ayat 282).
Secara
dasarnya Islam membolehkan kepada seseorang untuk berhutang atas faktor yang
memaksa seperti masalah kesempitan hidup. Namun begitu, perlu diperjelaskan di
sini bahawa bebanan bakal diterima si penghutang adalah berat, terutama jika
hutang tidak dibayar. Lebih berat jika dia meninggal dunia dalam keadaan hutang
tidak dilangsaikan.
Perkara
zalim dalam urusan hutang piutang mesti dielakkan dan dijauhkan seperti
mengenakan riba’, faedah dan bunga yang tinggi kerana ia ternyata membebankan
si penghutang. Lebih parah dengan kadar bunga yang terlalu tinggi menyebabkan
berlaku nilai bunga yang sepatutnya dibayar semula jauh lebih tinggi daripada
kadar wang dipinjam. Ia ternyata penganiayaan kepada manusia lemah dan tidak
berkemampuan.
Kepada
orang berhutang pula, sebaik-baiknya berusaha dengan tangan sendiri sebelum
mengambil keputusan meminta-minta atau berhutang dengan orang lain. Orang yang
suka berhutang seolah-olah menafikan kebolehan yang ada pada dirinya untuk
berusaha sendiri mencari rezeki keperluan hidup.
Sebaik-baiknya
cobalah elakkan diri daripada berhutang. Namun, apabila keadaan terlalu
mendesak dan tiada jalan lain untuk memperoleh wang, maka di sinilah Islam
membenarkan amalan berhutang.
Apabila
sudah mula meminjam, aturkan jadual pembayaran hutang secara berterusan dan
konsisten mengikut jadual serta menepati syarat perjanjian supaya tidak
menimbulkan masalah pada kemudian hari. Cuba elakkan daripada mengambil
kesempatan melambat-lambatkan pembayaran hutang kerana ia bukan sahaja
menyusahkan diri sendiri malah kepada orang yang memberi hutang. Rasulullah
turut memberi ingatan bahawa jika seseorang itu meninggal dunia, sedangkan dia
masih berhutang, dosanya tidak akan diampunkan walaupun dia mati syahid dalam
peperangan.
Dalam
Islam berhutang memang diharuskan. Islam memberi galakan kepada umatnya, agar
memberi bantuan kepada saudara-saudaranya, lebih-lebih lagi dalam hal keperluan
asasi. Hutang yang dibenarkan dalam Islam hanyalah hutang Al Qard dengan maksud
pinjaman. Ia juga dikenali dengan nama Al Qardhul Hasan atau Al Qardn Hassan atau
pinjaman kebajikan (benevolent loan) di mana hutang atau pinjaman diberikan
kepada orang yang sangat memerlukan bantuan, tanpa melibatkan bayaran lebih
semasa bayaran balik hutang tersebut.
Orang
yang memberikan hutang tidak boleh mengenakan bayaran tambahan ke atas hutang
itu, kerana jumlah tambahan ke atas hutang itu dikenali sebagai RIBA yang amat
dilarang dalam Islam.
Dalam
konsep hutang dalam islam di jelaskan juga bahwa membayar hutang adalah wajib.
Seperti dalam kasus berikut Berbagai-bagai alasan akan diberikan untuk mengelak
atau menangguhkan pembayaran hutang tersebut. Sesungguhnya melambat-lambatkan
bayaran hutang, amatlah besar sekali akibatnya dalam kehidupan manusia, bukan
sahaja di dunia, bahkan juga di akhirat. Antaranya:
a.
Mereka akan ditimpa kehinaan dan hilang
maruahnya.
b.
Hidup mereka tidak mendapat keredhaan Allah
c.
Mereka digolongkan dalam perbuatan zalim.
d.
Amalan kebajikan mereka tidak diberkati.
Mari
kita lihat pendekatan Islam melalui hadis Rasulullah s.a.w yang disampaikan
oleh Abu Hurairah r.a, di mana ianya menceritakan tentang kebaikan memberikan
kelonggaran bagi menjelaskan hutang.
Rasulullah
s.a.w bersabda; “Barang siapa yang memberikan kelonggaran waktu pada hutangnya
orang fakir dan miskin atau membebaskannya, maka Allah memberikan kepadanya
naungan di hari Kiamat di bawah naungan arasyNya, ketika tidak ada naungan
kecuali naunganNya .” Hadis riwayat Imam Al Tirmidhi. Rujuk Sunan al Tirmidhi
Jil. II.
HUKUM HUTANG DALAM ISLAM
Hukum
Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam. Bahkan orang
yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan
adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di dalamnya terdapat pahala yang
besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah
sebagaimana berikut ini:
Dalil
dari Al-Qur’an adalah firman Allah :
مَنْ
ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245)
“Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah:
245)
Sedangkan
dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi
pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau
membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan
unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai
Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau
bersabda,
“Berikan
saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam
mengembalikan hutang.” (3)
Nabi
juga bersabda:
مَا مِنْ
مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap
muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti
orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu
Mas’ud . Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi
Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).)
Hukum
hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi kondisi dan toleransi.
Pada umumnya pinjam-meminjam hukumnya sunah / sunat bila dalam keadaan normal.
Hukumnya haram jika meminjamkan uang untuk membeli narkoba, berbuat kejahatan,
menyewa pelacur, dan lain sebagainya. Hukumnya wajib jika memberikan kepada
orang yang sangat membutuhkan seperti tetangga yang anaknya sedang sakit keras
dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.
PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG
Dari
pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang
atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah sesuatu yang dicela
atau dibenci, karena Nabi pernah berhutang.(4) Namun meskipun demikian, hanya
saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia
mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena
hutang, menurut Rasulullah , merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan
kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana
sabda Rasulullah (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka
dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR.
Bukhari).
Rasulullah
pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih
meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah
bersabda:
يُغْفَرُ
لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan
diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim
III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash ).
Macam – Macam Hutang
Hutang
dalam hukum Islam terbagi menjadi dua bagian: hutang yang baik (qardh hasan)
dan hutang berbunga (qardh ribawi).
a)
Hutang Baik atau Hutang Halal (القرض الحسن)
Hutang
piutang yang halal adalah transaksi hutang dari pemberi hutang kepada orang
yang hutang berdasarkan pada belas kasih pada terhutang (muqtaridh) agar supaya
mengembalikan dengan nilai yang sama tanpa syarat lebih.
b) Hutang Ribawi atau Hutang
Haram
Yaitu
harta yang diberikan pada orang yang hutang dengan syarat mengembalikannya
dengan nilai lebih dari yang jumlah yang dihutang.
Rukun Hutang
Dalam
Hutang Piutang Harus Sesuai Rukun yang Ada :
Ø
Ada yang berhutang / peminjam / piutang / debitor
Ø
Ada yang memberi hutang / kreditor
Ø
Ada ucapan kesepakatan atau ijab qabul / qobul
Ø
Ada barang atau uang yang akan dihutangkan
Manfaat Hutang Piutang
Hutang
piutang dapat memberikan banyak manfaat / syafaat kepada kedua belah pihak.
Hutang piutang merupakan perbuatan saling tolong menolong antara umat manusia
yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan.
Hutang piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung
masalah serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hutang adalah memberikan sesuatu--yang memiliki nilai--
yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di
kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Adapun dalil yang
memperkuatnya yaitu QS. Albaqoroh : 282
Konsep
hutang dalam islam yaitu bahwa hutang boleh asalkan dalam keadaan terdesak, dan
memberikan utang memiliki keutamaan yaitu saling tolong menolong.
Membayar
hutang hukumnya adalah wajib sampai rosululloh pun bersabda bahwasannya tidak
akn di ampuni dosannya walaupun mati syahid dalam perang karena masih memiliki
hutang yang belum terbayar.
Adapun
rukun dari hutang yaitu:
B. Ø
Ada yang berhutang / peminjam / piutang / debitor
C. Ø
Ada yang memberi hutang / kreditor
D. Ø
Ada ucapan kesepakatan atau ijab qabul / qobul
E. Ø
Ada barang atau uang yang akan dihutangkan
Daftar pustaka
http://kistiyani.blogspot.co.id/2015/03/konsep-hutang-dalam-islam.html