MAKALAH POLITIK DALAM ISLAM
Wednesday, August 31, 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Umat muslim, dalam hidupnya
berpegang teguh pada Al Qur’an dan Al Hadist sebagai pedoman hidupnya. Dari
kedua pedoman tersebut, umat muslim tidak perlu khawatir dalam menjalani
persoalan hidup. Segala apa yang menjadi persoalan, solusi, peringatan,
kebaikan dan ancaan termuat di dalam pedoman tersebut. Bahkan dalam Al Qur’an
dan Al Hadist permasalahan politik juga tertuang didalamnya. Diantaranya
membahas: prinsip politik islam, prinsip politik luar negeri islam. Baik
politik luar negeri dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang.
Prinsip-prinsip politik
yang tertuang dalam Al Qur’an dan Al Hadist merupakan dasar politik islam yang
harus diaplikasikan kedalam system yang ada. Diantaranya prinsip-prinsip
politik islam tersebut:
1. Keharusam mewujudkan
persatuan dan kesatuan umat (Al Mu’min:52).
2. Keharusan menyelesaikan
masalah ijtihadnya dengan damai (Al Syura:38 dan Ali Imran:159)
3. Ketetapan menunaikan
amanat dan melaksanakan hukum secara adil (Al Nisa:58)
4. Kewajiban menaati Allah
dan Rosulullah serta ulil amr (Al Nisa:59)
5. Kewajiban mendamaikan
konflik dalam masyarakat islam (Al Hujarat:9)
6. Kewajiban mempertahankan
kedaulatan negara dan larangan agresi (Al Baqarah:190)
7. Kewajiban mementingkan
perdamain dari pada permusuhan (Al Anfal:61)
8. Keharusan meningkatkan
kewaspadaan dalam pertahanan dan keamanan (Al Anfal:60)
9. Keharusan menepati janji
(An Nahl:91)
10. Keharusan mengutamakan
perdamaian diantara bangsa-bangsa (Al Hujarat:13)
11. Keharusan peredaran
harta keseluruh masyarakat (Al Hasyr:7)
12. Keharusan mengikuti
pelaksanaan hukum
Menurut Abdul Halim Mahmud
(1998) bahwa islam juga memiliki politik luar negeri. Tujuan dari politik luar
negeri tersebut adalah penyebaran dakwah kepada manusia di penjuru dunia,
mengamankan batas territorial umat islam dari fitnah agama, dan system jihad
fisabilillah untuk menegakkan kalimat Allah SWT. Jadi politik bermakna instansi
dari negara untuk keamanan kedaulatan negara dan ekonomi.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pandangan
islam mengenai politik yang menghalalkan segala cara?
1.2.2 Bagaimana pendapat
islam tentang pemerintahan yang otoriter?
1.2.3 Bagaimana pandangan
islam tentang perang islam melawan negara Barat?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pandangan
islam tentang politik menghalalkan segala cara.
1.3.2 Mengetahui pandangan
islam tentang pemerintah otoriter
1.3.3 Mengetahui pandangan
islam tentang perang negara Islam dengan negara Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pandangan Islam
Mengenai Politik Menghalalkan Segala Cara
Politik berasal dari bahasa
latin politicos atau politicus yang berarti relating to citizen (hubungan warga
negara). Sedangkan dalam bahasa arab diterjemahkan dengan kata siyasah, kata
ini diambil dari kata saasa-yasuusu yang diartikan mengemudi, mengendalikan dan
mengatur (M Quraish Shihab,2000). Sedangkan menurut Abdul Qadir Zallum,
mengatakan bahwa politik atau siyasah memiliki makna mengatur urusan rakyat,
baik dalam maupun luar negeri. Dalam politik terdapat negara yang berperan
sebagai institusi yang mengatur secara praktis, sedangkan rakyat mengoreksi
pemerintahan dalam melakukan tugasnya. Maka dapat disimpulkan politik merupakan
pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat. Pemikiran tersebut berupa
pedoman, keyakinan hukum atau aktivitas dan informasi.
Beberapa prinsip politik
islam berisi: mewujudkan persatuan dan kesatuan bermusyawarah, menjalankan
amanah dan menetapkan hukum secara adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab,
mentaati Allah, Rasulullah dan Ulill Amr (pemegang kekuasaan) dan menepati
janji. Dari beberapa prinsip diatas yang berkorelasi dengan politik,
menggambarkan umat islam dalam berpolitik tidak dapat lepas dari
ketentan-ketentuan tersebut. Berpolitik dalam islam tidak dapat berbuat
sekehendak hatinya. Maka dapat disimpulkan bahwa politik islam memiliki pengertian
mengurus kepentingan rakyat yang didasari prinsip-prinsip agama. Korelasi
pengertian politik islam dengan politik menghalalkan segala cara merupakan dua
hal yang sangat bertentangan. Islam menolak dengan tegas mengenai politik yang
menghalalkan segala cara. Terlebih apabila mementingkan kepentingan individu
atau kelompok. Sedangkan islam dalam berpolitik tidak sekedar mengurusi atau
mengendalikan rakyat saja, tetapi juga mengemban kebajikan untuk seluruh
rakyatnya.
2.2 Pandangan Islam
Mengenai Pemerintahan Otoriter
Dari prinsip-prinsip islam
dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemerintahan adalah memberi kesejahteraan
kepada rakyatnya. Sehingga seluruh rakyatnya diharapkan dapat menerima
hak-haknya sebagai warga negara dan turut mengawasi pemerintahan. Sedangkan
pemerintah berfungsi sebagai institusi yang mengatur masyarakat demi
masyarakatnya. Maka logika yang dapat diperoleh negara dalam islam merupakan
kegiatan demi kesejahteraan masyarakat. Apabila suatu pemerintahan telah
beralih fungsi sebagai institusi yang melayani masyarakatnya, justru menjadikan
kekuasaan sebagai peyalahgunaan. Maka pemerintahan tersebut dikatakan tidak
sehat.
Berbagai macam bentuk
pemerintahan menjadi perdebatan diantara para pemikir. Setelah sepeninggal
rasul bentuk pemerintahan di Madinah dipegang Abu Bakar sehingga yang terakhir
adalah Ali bin Abi Thalib. Bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh para
sahabat ini adalah system khalifah. Dalam bentuk pemerintahan, system khalifah,
bentuk kekuasaannya tidak dijalankan secara demokrasi, tetapi secara turun
temurun atau penunjukan. Dari seseorang yang berkuasa disebut khalifah Ibnu
Khaldum (1406M) mengatakan kekhalifahan maupun kerajaan adalah khilafah Allah
diantara manusia bagi pelaksanaan segala peraturan diantara manusia. Al Mawaidi
(1058M) dalam bukunya Al-Ahkam Al-Shultaniyah mengatakan bahwa pemilihan atau
penunjukan khalifah mesti diikuti bai’at masyarakat. Muhammad Rasyid Ridha
dalam bukunya Al Khalifah Al Amanah menyatakan system khalifah perlu untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat.
Sebagai umat islam yang
menjadikan para sahabat sebagai suri tauladan, tentunya kita harus mencontoh
ajaran dan tindakan mereka. Pada inti permasalahannya setiap pemerintahan harus
dapat melindungi, mengayomi masyarakat. Sedangkan penyimpangan yang terjadi
adalah pemerintahan yang tidak mengabdi pada rakyatnya; menekan rakyatnya.
Sehingga pemerintahan yang terjadi adalah otoriter. Yaitu bentuk pemerintahan
yang menyimpang dari prinsip-prinsip islam.
2.3 Pandangan Islam Tentang
Perang Negara Islam Dengan Negara Barat
Politik luar negeri tidak
dapt terlepaskan dari politik islam. Hal ini dikarenakan untuk memenuhi
kepentingan masyarakat di negeri sendiri serta kepentingan negara dan bangsa
lain. Politik luar negeri islam menurut Ali Abdul Halim Mahmud (1998) terdiri
atas dasar-dasar kuat yang mempunyai tujuan yang sudah jelas. Antara lain:
1. Menyebarkan dakwah
keseluruh dunia.
2. Mengamankan batas-batas
territorial negara dan umat islam dari fitnah dan gangguan-gangguan musuh.
3. Mengaplikasikan system
jihad fi sabilillah untuk menegakkan kalimat Allah swt.
Politik luar negeri islam
yang mengatur hubungan negara dengan rakyatnya serta instansi yang ada
dibawahnya dengan organisasi kenegaraan lainnya. Adapun prinsip-prisip yang digunakan
dalam politik luar negeri islam:
1. Pokok dalam hubungan
negara adalah perdamaian.
2. Tidak memutuskan
hubungan damai antar negara kecuali karena alasan yang mendesak atau darurat.
3. Membuat kaidah-kaidah
hubungan luar negeri tetap dalam keadaan damai dan menjamin kedamaian itu.
4. Membuat kaidah-kaidah
hubungan luar negeri perang dengan tujuan mengurangi penderitaan.
5. Membuat syarat-syarat
bila negara mau diakuai negara lain.
6. Megumumkan
ketentuan-ketentuan perang bila sampai itu terjadi agar tetap pada tujuan yang
benar.
Politik luar negeri islam
berlangsung dalam keadaan damai dan perang. Dalam hubungan politik damai antar
negara harus mampu menjaga keamanan, kepercayaan dan perdamaian. Sedangkan
dalam politik luar negeri islam dalam keadan perang adalah hanya boleh terjadi
apabila dalam hubungan politik tersebut ada upaya memerangi islam, menghalangi
dakwah dan mereka yang menyerukan untuk tidak mendengarkan dakwah. Berikut
merupakan prinsip politik luar negeri islam yang berlangsung damai: menjaga
berdamaian, menegakkan keadilan, memenuhi janji, menjaga hak-hak dan kebebasan
no muslim, serta melakukan tolong menolong kemanusiaan dan saling toleransi.
Sementara islam membenci
peperangan. Perang hanya akan menimbulkan kesedihan, keruskan, penghancuran dan
pembunuhan. Adapun prinsip-prinsip luar negeri islam dalam keadaan perang
adalah:
1. Menentukan tujuan
perang. Perang dalam islam bukan semata-mata adanya keinginan untuk perang
namun dikarenakan oleh sebab karena ingin mencapai tujuan tertentu. Dalam islam
tujuan perang itu antar lain: menahan serangan musuh dan melawan kedzaliman dan
mengamankan dakwah yang membawa kebajikan untuk seluruh umat.
2. Melakukan persiapan.
Suatu negara harus selalu berada dalam kekuatan dan persiapan dalam menahan
perang dan mencegah perang itu terjadi.
3. Tidak meminta bantuan
musuh untuk mengalahkan musuh. Umat islam harus berhati-hati agar tidak tertipu
oleh musuh yang menampakkan senang dengan landasan-landasan islam, padahal
sejatinya dia ingin menghancurkan landasan islam itu sendiri. Jika hal demikian
terjadi maka akan berakibat lebih fatal lagi terhadap umat islam.
4. Menepati perjanjian dan
persetujuan. Menepati perjanjian atau persetujuan dalam perang adalah sama
dalam keadaan damai. Tidak boleh makukan pelanggaran dalam perjanjian kecuali
dalam keadaan yang darurat.
5. Menjalankan hukum dan
adab islam dalam perang. Islam membuat hukum-hukum, syarat serta etika yang
tidak boleh dilanggar oleh umat islam dan pemimpin. Diantaranya: a. Dilarang
membunuh wanita, anak kecil dan ornag tua kecuali orang tersebut turut
memerangi islam dengan tipu muslihatnya, b. dilarang membunuh seseorang dengan
khianat tanpa mengumumkan terlebih dahulu sikap perang, c. dilarang merusak
jenazah musuh sekalipun hal yang sama dilakukan terhadap jeazah orang muslim,
d. mengubur mayat-mayak musuh sebagai penghormatan terhadap kemanusiaan, e.
memperlakukan tawanan dengan baik.
Dengan demikian jelaslah
sudah islam sangat membenci adanya peperangan. Dengan siapapun itu kelompoknya.
Karena peprangan hanya akan menimbulakan adanya kerusakan, kehancuran dan
pendritaan. Namun islam juga memperbolehkan adanya perang namun dengan sebab
yang sudah pasti sesuai dengan aturannya. Walaupun demikan perang yang
dilakukan oleh umat muslim tetap harus berpegang terguh dengan prinsip serta
hukum-hukum islam yang berlaku. Sehingga bilaman perang tersebut terpaksa harus
dilakakukan aka memberikan kemaslahatan bagi umat muslim itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
Politik merupakan pemikiran
yang mengurus kepentingan masyarakat. Pemikiran tersebut berupa pedoman,
keyakinan hokum atau aktivitas dan informasi. Beberapa prinsip politik islam
berisi: mewujudka persatuan dan kesatuan bermusyawarah, menjalankan amanah dan
menetapkan hukum secara adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab, mentaati
Allah, Rasulullah dan Ulill Amr (pemegang kekuasaan) dan menepati janji.
Korelasi pengertian politik islam dengan politik menghalalkan segala cara
merupakan dua hal yang sangat bertentangan. Islam menolak dengan tegas mengenai
politik yang menghalalkan segala cara. Pemerintahan yang otoriter adalah
pemerintahan yang menekan dan memaksakn kehendaknya kepada rakyat. Setiap
pemerintahan harus dapat melindungi, mengayomi masyarakat. Sedangkan
penyimpangan yang terjadi adalah pemerintahan yang tidak mengabdi pada
rakyatnya; menekan rakyatnya. Sehingga pemerintahan yang terjadi adalah
otoriter. Yaitu bentuk pemerintahan yang menyimpang dari prinsip-prinsip islam.
Dalam politik luar negerinya islam menganjurakan dan menjaga adanya perdamain.
Walaupun demikan islam juga memporbolehkan adanya perang, namun dengan sebab
yang sudah jelas karena mengancam kelangsungan umat muslim itu sendiri. Dan
perang inipun telah memiliki ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya. Jadi
tidak sembarangan perang dapat dilakukan. Politik islam menuju kemaslahatan dan
kesejahteraan seluruh umat.
DAFTAR PUSTAKA
Hasby, Subky, dkk.2007.
BUKU DARAS.PPA Universitas Bramijaya; Malang
Materi Tambahan :
Politik di dalam bahasa
Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para
ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al
Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba
yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya,
melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu
(mengurusi/mengatur perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah
(politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu,
kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku
pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam
realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya
saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam
perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara
(masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin
kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan
kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan
(ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan
(ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri
menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : “Adalah Bani Israil, mereka
diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi
wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan
ada banyak para khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik
atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung
dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara
menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan
musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa
dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya,
menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat
terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak
hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW.
Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
“Siapa saja yang bangun
pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa
saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia
bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim)
Rasulullah ditanya oleh
sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Ia menjawab : “Kalimat haq yang
disampaikan pada penguasa” (HR. Ahmad).
Berarti secara ringkas
Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim.
Namun, realitas politik
demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik
perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan
oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau
dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya,
dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan
para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap
dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus
politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi
rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini
memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama
(Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga
tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman,
pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau
tidak memengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam
memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan
untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah,
hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
Dalam term keislaman
politik identik dengan siasah. Secara etimologis siasah artinya mengatur,aturan,dan
keteraturan.Fiqih siasah adalah hukum islam yang mengatur sistem kekuasaan dan
pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan dan tindakan (kebijakan,
siasat, dan sebagainnya) mengenai pemerintahan suatu negara lain. Politik dapat
juga berarti kebijakan atau cara bertindak suatu negara dalam menghadapi atau
menangani suatu masalah.
Garis-garis besar siasah
Islam meliputi tiga Aspek:
1. siasah Dusturiyyah (Tata
Negara dalam Islam)
2. Siassah Dauliyyah (Hukum
politik yang mengatur hubngan antara satu negara dengan negara lain.)
3. Siasah Maliyyah (Hukum
politik yang mengatur sistem ekenomi negara).
Kedaulatan berarti
kekuasaan tertinggi menurut siasah Islam ada pada Allah. Kedaulatan yang dapat
mempersatukan kekuatan-kekuatan dan aliran-aliran yang berbeda-beda di
masyarakat dalam konsep islamberada di tangan Tuhan.Gambaran kekuasaan dan
kehendak Tuhan tertuang dalam Al-quran dan sunnah Rasul.Oleh karena itu
penguasa tidaklah memiliki kekuasaan mutlak, ia hanyalah wakil (khalifa) Allah
di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan
nyata. Kekuasaan adalah amana Allah yang di berikan kepada orang-orang yang
berhak mendapatkannya.pemegang amanah haruslah menggunakan kekuasaannya itu
dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan prinsip-prinsipdasar yang di tetapkan
al-Quran.
kedaulatan mutlak dan
keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid yang terkandung dalam konsep
khilafah memberikan kearangka yang dengannya para cendekiawan belakangan ini
mengembangkan teori politik tertentu yang dapat dianggap demokratis. Di
dalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan
rakyat,tekanan pada kesamaan derajat manusia,dan kewajiban, sebagai pengemban
pemerintah.Penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam,
banyak memberikan perhatian pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial
politik.Demokrasi Islam dianggapsebagai sistemyang mengukuhkan konsep-konsep
Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah(syura),persetujuan(ijma’),dan
penilaian interpretatif yang mandiri (ijtihad). seperti banyak konsep dalam
tradisi barat,istilah-istilah initidak selalu dikaitkan engan pranata demokrasi
dan mempunyai banyak konteks dalam wacana muslim dewasa ini . Namun lepas dari
konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah inisangat penting dalam
perdebatan menyangkut demokratisasi di kalangan masyarakat muslim (John
L.Esposito dan Jhon 0. Voll,1999:33)