Makalah Hubungan Aqidah dan Syari'ah
Wednesday, July 3, 2013
Makalah
Agama Hubungan Aqidah dan Syari'ah
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha
Pengasih Lagi Maha Penyayang, karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya kami bisa
menyusun dan menyelesaikan makalah yang berisi tentang “Hubungan Aqidah dengan
Syariah” sebagai salah satu tugas mata pelajaran “Pendidikan Agama Islam”. Kami
juga mengucapkan kepada berbagai pihak yang telah memberikan informasi yang
sebagian besar di ambil dari internet.
Kami
juga menyadari bahwa dalam penyususnan makalah masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik serta
saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini dan dapat menjadi acuan
dalam menyusun makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya. Kami juga memohon
maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan pengetikan dan
kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud penulis.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam agama Islam terdapat tiga ajaran yang sangat
ditekankan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang harus diamalkan dan dibenarkan dalam
hati. Yaitu iman (akidah), Islam (syariat), dan ihsan (akhlak). Tetapi
sekarang-sekarang ini ada yang mengabaikan salah satu dari tiga hal ini.
Sehingga kehidupannya menjadi jauh dari agama.
Aqidah, syariah dan akhlak pada
dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama.
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama.
|
dalam kategori kafir. Seseorang yg mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak
mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut fasik. Sedangkan orang yg
mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yg tidak
lurus disebut munafik.
Hal yang melatar belakangi kami
membuat makalah ini ialah selain sebagai tugas kami selaku Mahasiswa juga kami
ingin lebih mengetahui dan memahami tentang apa pengertian Aqidah, Syariah, dan
bagaimana hubungan antara aqidah dan syariah.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan aqidah ?
2. Bagaimana kedudukan aqidah dalam
Islam ?
3. apa yang dimaksud dengan Syariah
?
4. Bagaimana Hubungan akidah dengan
syariah ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu
aqidah.
2. Untuk mengetahui kedudukan
aqidah dalam islam.
3. Untuk mengetahui apa yang
dimaksud dengan syariah.
4. Untuk mengetahui bagaimana
hubungan aqidah dengan syariah serta diharapkan
dapat bermanfaat bagi kita semua.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Aqidah
Dalam bahasa Arab akidah berasal
dari kata al-'aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu
(التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu
(اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah
(الرَّبْطُ
بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.
بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.
|
Ibnu Taimiyyah menerangkan makna akidah dengan suatu perkara yang
harus dibenarkan dalam hati, yang dengannya jiwa menjadi tenang sehingga jiwa
itu menjadi yakin serta mantap tidak dipengaruhi oleh keraguan dan juga tidak
dipengaruhi oleh syakwasangka. Sedang Syekh Hasan al-Banna menyatakan akidah
sebagai sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehingga menjadi ketenangan
jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keraguan.
Kedua pengertian tersebut menggambarkan bahwa
ciri-ciri akidah dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Akidah
didasarkan pada keyakinan hati, tidak menuntut yang serba rasional, sebab
ada masalah tertentu yang tidak rasional
dalam akidah;
2. Akidah Islam
sesuai dengan fitrah manusia sehingga pelaksanaan akidah menimbulkan
ketentraman dan ketenangan;
3. Akidah Islam
diasumsikan sebagai perjanjian yang kokoh, maka dalam pelaksanaan akidah harus
penuh keyakinan tanpa disertai kebimbangan dan keraguan;
4. Akidah dalam
Islam tidak hanya diyakini, lebih lanjut perlu pengucapan kalimah “thayyibah”
dan diamalkan dengan perbuatan shaleh;
5. Keyakinan dalam
akidah Islam merupakan masalah yang supraempiris, maka dalil yang dipergunakan
dalam pencarian kebenaran tidak hanya didasarkan atas indra dan kemampuan
manusia, melainkan membutuhkan wahyu yang dibawa oleh para Rosul Allah.
Pada perkembangan selanjutnya, term
akidah identik dengan term iman, tauhid, ushuluddin, ilmu kalam, fiqih
akbar, dan teologi jika akidah itu telah menjadi suatu disiplin ilmu
tersendiri.
Menurut Mahmud Syaltout, akidah ialah sisi
teoritis yang harus pertama kali diimani atau diyakini dengan keyakinan yang
mantap tanpa keraguan sedikitpun. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya
nash-nash al-Qur’an maupun hadits mutawatiryang secara eksplisit menjelaskan
persoalan itu, disamping adanya konsensus para ulama sejak pertama kali ajaran
Islam didakwahkan oleh Rasulullah. Dan perkara itu pula yang menjadi inti
ajaran Allah kepada para Rasul sebelumnya.
B.
Kedudukan Aqidah dalam Islam
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki
kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya,
sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu
yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu
bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk
sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh
dan hancur berantakan.
Maka, aqidah yang benar merupakan
landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal.
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para
Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah,
sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah dan mengajarkan Islam
pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan,
dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas
tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di
Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian
terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau
landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan
pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam
rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal
ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya
aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
C.
Pengertian Syari’ah
Syariat Islam adalah hukum dan
aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi
hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh
kehidupan ini.
Secara umum Sayariah
dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit.
1.
Syari'ah Dalam Arti Luas
Dalam arti luas “al-syari’ah” berarti seluruh ajaran Islam yang berupa
norma-norma ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin (sistem
kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit (legal-formal) yang
individual dan kolektif.
Dalam arti ini,
al-syariah identik dengan din, yang berarti meliputi seluruh
cabang pengetahuan keagamaan Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir, hadis, fikih,
usul fikih, dan seterusnya.
2.
Syari'ah Dalam Arti Sempit
Sedang dalam arti sempit al-syari’ah berarti norma-norma yang mengatur
sistem tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Berdasarkan
pengertian ini, al-syari’ah dibatasi hanya meliputi ilmu fikih dan usul
fikih.
Ibn Jaza al-Maliki, seorang ulama
dari mazhab Maliki mengelompokkan fikih menjadi dua, yakni: (1) ‘ibadah,
dan (2) mu’amalah. Adapun cakupan mu’amalah adalah: perkawinan dan
perceraian, pidana (uqubah), yang
mencakup hudud, qisas dan ta‟zir, jual
beli (buyu’), bagi hasil (qirad), gadai (alrahn), perkongsian pepohonan
(al-musaqah), perkongsian pertanian
(almuzara’ah), upah dan sewa
(al-ijarah), pemindahan utang
(al-hiwalah), hak prioritas pemilik lama/tetangga (al-shuf’ah),
perwakilan dalam melakukan akad (al-wakalah), pinjam meminjam (al-‘ariyah), barang titipan (alwadi’ah), al-gasb, barang temuan (luqathah), jaminan (al-kafalah), sayembara
(al-ji’alah), perseroan (syirkah wa mudlorabah), peradilan (alqadla’), wakaf (al-waqf
atau al-habs), hibah,
penahanan dan pemeliharaan (al-hajr),
wasiat, pembagian harta pusaka (fara’id).
Terkait dengan susunan tertib
syariat, Al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya
Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak
diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara implisit dapat
dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul-Nya belum
menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya
itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat Al Qur'an dalam Surat Al Maidah (QS
5:101) yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah
dimaafkan Allah.
Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam
dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah SWT itu dapat disederhanakan
dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam
kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.
Asas Syara' Yaitu perkara yang sudah
ada dan jelas ketentuannya dalam Al Qur'an atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai
Pokok Syari'at Islam dimana Al Qur'an itu asas pertama Syara' dan Al Hadits itu
asas kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun
berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman, kecuali dalam
keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan
sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat
Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri
secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak
diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak
berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada
ketentuan syariat yang berlaku.
Furu' Syara' Yaitu perkara yang
tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al'quran dan Al Hadist.
Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak
mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat
menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah
kekuasaanya.
D.
HUBUNGAN AQIDAH DENGAN SYARIAH
Menurut sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar diceritakan bahwa pernah datang
seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, yang kemudian ternyata orang itu
adalah malaikat Jibril, menanyakan tetang arti Iman (Aqidah), Islam (Syariat),
dan Ihsan (Akhlak). Dan dalam dialog antara Rasulullah SAW dengan malaikat
Jibril itu, Rasulullah SAW memberikan pengertian tentang Iman, Islam, dan Ihsan
tersebut sebagai berikut :
Iman (Aqidah) : Engkau beriman kepada
Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat
serta engkau beriman kepada kadar (ketentuan Tuhan) baik dan buruk.
Islam (Syariat) : Engkau menyaksikan bahwa sesungguhnya tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, engkau mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan dan engkau pergi haji ke Baitullah jika
engkau mampu pergi ke sana.
Ihsan :
Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, tetapi jika engkau tidak
melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia selalu melihat engkau.
Ditinjau dari hadis di atas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa hubungan antar ketiganya sangat erat bagaikan sebuah pohon. Tidak dapat
dipisahkan antara akar (Aqidah), batang (Syariat), dan daun (Akhlak).
Hubungan
aqidah dengan syariat akan dijelaskan lebih terperinci disini.
Menurut Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang
kedudukan akidah dan syariah menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut
Islam adalah pokok yang kemudian di atasnya dibangun syariat. Sedang syariat
itu sendiri adalah hasil yang dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian
tidaklah akan terdapat syariat di dalam Islam, melainkan karena adanya akidah;
sebagaimana syariat tidak akan berkembang, melainkan di bawah naungan akidah.
Jelaslah bahwa syariat tanpa akidah laksana gedung tanpa fondasi.
Ada juga yang menyatakan bahwa
hubungan aqidah dengan syariat adalah hubungan di antara budi dan perangai.
Dalam undang-undang budi, suatu budi yang tinggi hendaklah dilatihkan terus
supaya menjadi perangai dan kebiasaan. Kalau seorang telah mengakui percaya
kepada Allah dan kepada Hari Kemudian, dan telah mengakui pula percaya kepada
Rasul-rasul Utusan Tuhan, niscaya dengan sendirinya kepercayaan itu
mendorongnya supaya mencari perbuatan-perbuatan yang diterima dengan rela oleh
Tuhan. Niscaya dia bersiap-siap sebab dia telah percaya bahwa kelak dia akan
berjumpa dengan Tuhan. Niscaya dia senantiasa berusaha di dalam hidup menempuh
jalan lurus. Tak obahnya dengan orang yang mengakui diri gagah berani, dia
ingin membuktikan keberaniannya ke medan perang. Seseorang yang mengakui
dirinya dermawan, berusa mencari lobang untuk menafkahkan harta bendanya kepada
orang yang patut dibantu. Seorang yang mengakui dirinya orang jujur, senantiasa
menjaga supaya perkatannya jangan bercampur bohong.
Inilah aqidah yang kuat, aqidah yang
sebenarnya. Apabila keyakinan semacam ini telah dipegang dan dilaksanakan, maka
seorang mukmin yang semacam ini telah mempunyai prinsip yang benar dan kokoh.
Ia senantiasa berkomunikasi dengan orang-orang dengan penuh rasa tanggung-jawab
dan waspada dalam segala urusan. Apabila mereka berada di atas dasar kebenaran,
maka ia dapat bekerja sama dengan mereka. Kalau ia melihat mereka menyimpang
dari jalan yang benar, maka ia mengambil jalan sendiri.
Rasulullah
bersabda:
لايكن احدكم أمعة يقول : انا مع
الناس، ان احسن الناس احسنث وان اساءوا اسأث، ولكن وظنوا انفسكم ان حسن الناس ان
ثحسنوا وان اساءوا ان ثجثنبوا اساءثهم (رواه الترذي)
Artinya : “Janganlah ada di antara kamu menjadi orang yang
tidak mempunyai pendirian, ia berkata: Saya ikut bersama orang-orang. Kalau
orang berbuat baik, saya juga berbuat baik; dan kalau orang berbuat jahat, saya
juga berbuat jahat. Akan tetapi teguhlah pendirianmu. Apabila orang berbuat
baik, hendaklah kamu juga berbuat baik dan kalau mereka berbuat jahat,
hendaklah kamu jauhi perbuatan jahat itu.” (HR. Turmuzi)
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa iman itu
merupakan satu hal yang sangat fondamental dalam Islam dan dengan sendirinya dalam
kehidupan. Untuk memantapkan uraian ini, iman laksana mesin bagi sebuah mobil
yang menggerakkan segala kekuatannya untuk berjalan. Tanpa mesin, maka mobil
itu tak ubahnya seperti benda-benda mati yang lain yang tidak bisa bergerak dan
berjalan.
Kemantapan iman dapat diperoleh
dengan menanamkan kalimat tauhid La Illaha illa al-Allah (Tiada tuhan
selain Allah). Tiada yang dapat menolong, memberi nikmat kecuali Allah; dan
tiada yang dapat mendatangkan bencana, musibah kecuali Allah. Pendket kata,
kebahagiaan dan kesengsaraan hanyalah dari Allah. Al-Maududi mengemukakan
beberapa pengaruh kalimat tauhid ini dalam kehidupan manusia :
1. Manusia yang percaya dengan
kalimat ini tidak mungkin orang yang berpandangan sempit dan berakal pendek.
2. Keimanan mengangkat manusia
ke derajat yang paling tinggi dalam harkatnya sebagai manusia.
3. Bersamaan dengan rasa harga
diri yang tinggi, keimanan juga mengalirkan ke dalam diri manusia rasa
kesederhanaan dan kesahajaan.
4. Keimanan membuat manusia
menjadi suci dan benar.
5. Orang yang beriman tidak
bakal putus asa atau patah hait pada keadaan yang bagaimanapun.
6. Orang yang beriman
mempunyai kemauan keras, kesabaran yang tinggi dan percaya teguh kepada Allah
SWT.
7. Keimanan membuat keberanian
dalam diri manusia.
8. Keimanan terhadap kalimat La
Ilaha illa al-Allah dapat mengembangkan sikap cinta damai dan keadilan
menghalau rasa cemburu, iri hati dan dengki.
9. Pengaruuh yang terpenting
adalah membuat manusia menjadi taat dan patuh kepada hukum-hukum Allah.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kaitan antara aqidah, syariah dan
akhlak ialah bagaikan sebuah pohon, terdapat akar, batang dan daun, yang saling
menyatu bila satu hilang atau rusak maka akan terjadi kehancuran untuk pohon
tersebut.
Aqidah merupakan pilar utama untuk
menumbuhkan syariat dan akhlak. Tanpa aqidah, syariat dan akhlak yang baik
tidak akan terbentuk, atau pun sebaliknya. Rasulullah pernah menjelaskan
tentang pegertian ketiganya ketika Jibril datang kepadanya sebagai seorang
manusia.
Rasulullah sangat menekankan
hubungan antara ketiganya. Tidak boleh dilepas satu sama lain. Rasulullah
menegaskan barang siapa meninggalkan syariah dan akhlak akan kehilangan
keimanannya, ataupun sebaliknya. Dan Rasulullah menegaskan untuk memelihara
ketiganya dalam tubuh seorang mukmin dan muslim.
B.
SARAN
Kami menyarankan bahwa dalam pembahasan telah banyak
dijelaskan betapa pentingnya aqidah, syariah, dan akhlak bagi seorang mukmin
dan muslim. Tanpa ketiga hal tersebut maka seorang mukmin atau muslim akan
kehilangan keimanannya. Maka dari itu kita harus benar – benar menjaga aqidah.
Kaerena aqidah merupakan pilar utama untuk menumbuhkan syariah dan akhlak yang
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Asmaran As., M.A. 2002.
. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Mahmud
Syaltut, 1966. Islam Aqidah wa
Syariah, I, Kairo: Dar al-Kalam.
Prof.
Dr. Hamka. 1982. Iman dan Amal Shaleh. Jakarta: Pustaka Panjimas
Muhammad
al_Gazali, 1970, Khuluk al-Muslim, Kuwait: Dar al Bayan.
1970, Al Aqidah Islam, Kuwait: Dar
al Bayan.
Abdul
Al-Maududi, t.t., Towards Undestanding Islam, Jeddah: One Seeking Mercy of
Allah
T.M.
Hasbi Ash Shiddieqy, 1977, Al Islam I, Jakarta: Bulan Bintang.