PERJANJIAN ISLAM SECARA LEGAL
Sunday, April 28, 2013
DAN CONTOH PERJANJIAN JUAL BELI SECARA LEGAL
PENDAHULUAN
Berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea
keempat yang berbunyi :
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia …" merupakan landasan
hukum dalam upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi
orang-orang yang melakukan perbuatan hukum tertentu seperti transaksi jual beli
secara elektronik. Indonesia merupakan negara hukum sehingga setiap warga
negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar
1945, disebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih tetap
berlaku sebelum diadakan yang beru menurut undang-undang dasar ini. Ketentuan
tersebut mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia masih tetap berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) dan peraturan perundang-undangan lainnya apabila ketentuan termaksud
memang belum diubah atau dibuat yang baru.
SYARAT SAHNYA SUATU PERJANJIAN
Berbicara menganai transaksi jual beli, tidak terlepas
dari konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH
Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata,
yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat
dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka dari KUH
Perdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung
asas Kebebasan Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan
bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu
memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH
Perdata yang mengatakan bahwa, syarat sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai
berikut :
1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari
para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian
tidak boleh ada pakasaan, kekhilapan dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog).
Kecakapan hukum sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian maksudnya bahwa
para pihak yang melakukan perjanjian harus telah dewasa yaitu telah berusia 18
tahun atau telah menikah, sehat mentalnya serta diperkenankan oleh undang-undang.
Apabila orang yang belum dewasa hendak melakukan sebuah perjanjian, maka dapat
diwakili oleh orang tua atau walinya sedangkan orang yang cacat mental dapat
diwakili oleh pengampu atau curatornya.
Suatu hal tertentu berhubungan dengan objek perjanjian,
maksudnya bahwa objek perjanjian itu harus jelas, dapat ditentukan dan
diperhitungkan jenis dan jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang serta
mungkin untuk dilakukan para pihak. Suatu sebab yang halal, berarti perjanjian
termaksud harus dilakukan berdasarkan itikad baik. Berdasarkan Pasal 1335 KUH
Perdata, suatu perjanjian tanpa sebab tidak mempunyai kekuatan. Sebab dalam hal
ini adalah tujuan dibuatnya sebuah perjanjian.
Kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak
merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat subjektif. Apabila tidak
tepenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama dan sepanjang para
pihak tidak membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap berlaku.
Sedangkan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat sahnya
perjanjian yang bersifat objektif.
Apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi
hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.Pada
kenyataannya, banyak perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian
secara keseluruhan, misalnya unsur kesepakatan sebagai persesuaian kehendak
dari para pihak yang membuat perjanjian pada saat ini telah mengalami
pergeseran dalam pelaksanaannya.
UNSUR PERJANJIAN
Pada saat ini muncul perjanjian-perjanjian yang dibuat
dimana isinya hanya merupakan kehendak dari salah satu pihak saja. Perjanjian
seperti itu dikenal dengan sebutan Perjanjian Baku (standard of contract). Pada
dasarnya suatu perjanjian harus memuat beberapa unsur perjanjian yaitu :
transaksi jual beli yaitu :
1. unsur esentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam
perjanjian, seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan dalam suatu
perjanjian, termasuk perjanjian yang dilakukan jual beli secara elektronik
2. unsur naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian
walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik
dari masing-masing pihak dalam perjanjian.
3. unsur accedentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para
pihak dalam perjanjian, seperti klausula tambahan yang berbunyi "barang
yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan"
Dalam suatu perjanjian harus diperhatikan pula beberapa macam azas yang
dapat diterapkan antara lain :
1. Azas Konsensualisme, yaitu azas kesepakatan, dimana suatu perjanjian
dianggap ada seketika setelah ada kata sepakat
2. Azas Kepercayaan, yang harus ditanamkan diantara para pihak yang
membuat perjanjian
3. Azas kekuatan mengikat, maksudnya bahwa para pihak yang membuat
perjanjian terikat pada seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku
4. Azas Persamaan Hukum, yaitu bahwa setiap orang dalam hal ini para
pihak mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum
5. Azas Keseimbangan, maksudnya bahwa dalam melaksanakan perjanjian
harus ada keseimbangan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai dengan
apa yang diperjanjikan
6. Azas Moral adalah sikap moral yang baik harus menjadi motivasi para
pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian
7. Azas Kepastian Hukum yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak
berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya
8. Azas Kepatutan maksudnya bahwa isi perjanjian tidak hanya harus
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga harus
sesuai dengan kepatutan, sebagaimana ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.
9. Azas Kebiasaan, maksudnya bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan
yang lazim dilakukan, sesuai dengan isi pasal 1347 KUH Perdata yang berbunyi
hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara
diam-diam dimasukkan ke dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.
Hal ini merupakan perwujudan dari unsur naturalia dalam perjanjian.
Semua ketentuan perjanjian tersebut diatas dapat
diterapkan pula pada perjanjian yang dilakukan melalui media internet, seperti
perjanjian jual beli secara elektronik, sebagai akibat adanya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan.
Jual beli tidak hanya dapat dilakukan secara
berhadapan langsung antara penjual dengan pembeli, tetapi juga dapat dilakukan
secara terpisah antara penjual dan pembeli, sehingga mereka tidak berhadapan
langsung, melainkan transaksi dilakukan melalui media internet/secara
elektronik.
Dalam kontrak jual beli para pelaku yang terkait
didalamnya yaitu penjual atau pelaku usaha dan pembeli yang berkedudukan
sebagai konsumen memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda. Berdasarkan
ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, diatur mengenai kewajiban-kewajiban pelaku usaha, dalam hal ini
penjual yang menawarkan dan menjual suatu produk, yaitu :
1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak
diskriminatif;
4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang
berlaku;
5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.
ATURAN LARANGAN
Sementara itu, berdasarkan ketentuan pasal 8
Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur pula mengenai beberapa perbuatan
yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha/penjual, antara lain pelaku
usaha/penjual dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang :
1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang disyaratkan
oleh peraturan perundang-undangan;
2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut;
3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4. tidak sesuai dengan kondisi jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7. tidak mencantumkan tanggal daluwarasa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana
pernyataan halan yang dicantumkan dalam label;
9. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,
tanggalpembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau
dibuat;
10. tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Disamping itu, pelaku usaha atau penjual juga tidak
diperkenankan menjual barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang termaksud; atau
memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan
tercemar dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
Dengan demikian apabila terjadi hal seperti itu, maka pelaku usaha atau penjual
wajib menarik barang yang diperdagangkannya itu dari peredaran. Pada
kenyataannya pelaku usaha atau penjual sering melakukan tindakan yang merugikan
dalam menjual produk-produknya hingga menimbulkan kerugian bagi para pembeli
atau konsumennya. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah
dengan tegas memberikan batasan bagi pelaku usaha dalam hal ini penjual dalam
menawarkan dan menjual produknya tersebut antara lain termuat dalam Pasal 9
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menegaskan bahwa penjual dilarang
menawarkan mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak
benar dan atau seolah-olah :
1. Barang tersebut telah memenuhi dan atau memiliki potongan harga
khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu,
sejarah atau guna tertentu;
2. Barang tersebut dalam keadaan baik dan atau baru;
3. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan atau memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri
kerja atau aksesori tertentu;
4. Barang dan/atau jasa termaksud dibuat oleh perusahaan yang mempunyai
sponsor, persetujuan atau afiliasi;
5. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
6. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersebunyi;
7. Barang tersebut merupakan barang perlengkapan dari barang tertentu;
8. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
9. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang lain;
10. menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak menimbulkan
efek samping, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau bahkan tanpa
keterangan yang lengkap.
11. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Dengan demikian seorang penjual tida diperbolehkan
menawarkan dan atau menjual barang dan atau jasa melalui penawaran yang
mengadung pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau
tarif barang dan atau jasa; kegunaan barang dan atau jasa; kondisi, tanggungan,
jaminan hak atau ganti rugi atas suatu barang dan atau jasa; tawaran potongan
harga atau hadiah menarik serta bahaya penggunaan barang dan atau jasa,
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang perlindungan Konsumen. Pelaku
usaha atau penjual dilarang pula untuk menawarkan dan memperdagangkan barang
dan atau jasanya dengan cara pemaksaan yang dapat menimbulkan gangguan fisik
dan atau psikis terhadap konsumen atau pembelinya. Apabila transaksi jual beli
dilakukan dengan sistem pesanan, maka pelaku usaha atau penjual harus menepati
kesepakatan yang telah dibuat dengan konsumen atau pembeli sehingga tidak
melampaui batas waktu yang telah diperjanjikan. Bagi para pelaku usaha atau
penjual yang menawarkan produknya melalui suatu iklan, tidak diperkenankan
mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga
barang dan atau jasa, jaminan/garansi atas barang dan atau jasa; juga dilarang
untuk memberi informasi yang salah mengenai barang dan atau jasa yang
ditawarkan termasuk risiko pemakaiannya serta melanggar etika periklanan
lainnya.
Pelaku usaha atau penjual yang mengadakan hubungan
hukum dengan pembelinya melalui kontrak standar yang memuat klausula baku maka
harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal
1320 KUH Perdata.
HAK PENJUAL
Selain kewajiban, penjual juga memiliki hak dalam proses jual beli
antara lain :
1. Menentukan dan menerima harga permbayaran atas penjualan barang,
yang kemudian harus disepakati oleh pembeli.
2. Penjual juga berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
pembeli yang beritikad tidak baik, kemudian haknya untuk melakukan pembelaan
diri sepatutnya dalam suatu penyelesaian sengketa yang dikarenakan barang yang
dijualnya, dalam hal ini tidak terbukti adanya kesalahan penjual., dan
sebagainya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 6, pelaku usaha dalam hal ini termasuk
penjual memiliki hak-hak sebagai berikut :
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang
diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian
sengketa;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang
diperdagangkan;
5. Hak-hak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain hak dan kewajiban penjual, ada juga hak dan
kewajiban pembeli sebagai pihak dalam perjanjian jual beli. Kewajiban pembeli
juga termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Pembeli sebagai konsumen mempunyai kewajiban dalam proses jual beli
sebagai berikut :
1. Membaca informasi dan mengikuti prosedur atau petunjuk tentang
penggunaan barang dan atau jasa yang dibelinya.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi jual beli barang dan atau
jasa tersebut.
3. Membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat sebagaimana
ditetapkan menurut perjanjian sesuai nilai tukar yang telah disepakati. Harga
termaksud berupa sejumlah uang meskipun hal ini tidak ditegaskan dalam
undang-undang, tetapi dianggap telah terkandung dalam pengertian jual beli
sebagaimana diatur dalam Pasal 1465 KUH Perdata, apabila pembayaran tersebut
berupa barang, maka hal tersebut menggambarkan bahwa yang terjadi bukanlah
suatu proses jual beli tapi tukar menukar, atau pembayaran yang dimaksud berupa
jasa berarti mencerminkan perjanjian kerja. Pada dasarnya harga dalam suatu
perjanjian jual beli ditentukan berdasarkan kesepakatan dua pihak, namun pada
kenyataannya ada juga harga dalam jual beli yang ditentukan oleh pihak ketiga,
dengan demikian, hal tersebut dianggap sebagai perjanjian jual beli dengan
syarat tangguh, yang mana perjanjian dianggap ada pada saat pihak ketiga
menentukan harga termaksud. Berdasarkan Pasal 1465 KUH Perdata, segala biaya
untuk membuat akta jual beli dan biaya tambahan lainnya ditanggung oleh
pembeli, kecual diperjanjikan sebaliknya. Selain harga pembayaran dalam suatu
proses jual beli diatur pula mengenai waktu dan tempat dilakukannya pembayaran,
biasanya pembayaran dilakukan di tempat dan pada saat diserahkannya barang yang
diperjual belikan atau pada saat levering, sebagaimana diatur dalam Pasal 1514
KUH Perdata yang menyebutkan bahwa apabila pada saat perjanjian jual beli dibuat
tidak ditentukan waktu dan tempat pembayaran maka pembayaran ini harus
dilakukan ditempat dan pada waktu penyerahan barang.
4. Biaya akta-akta jual beli serta biaya lainnya ditanggung oleh
pembeli.
5. Mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut apabila timbul
sengketa dari proses jual beli termaksud.
Selain kewajiban yang harus dilakukannya, pembeli yang
dianggap sebagai konsumen juga memiliki hak dalam proses jual beli sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, antara lain :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan atau jasa.
2. Hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan atau jasa dengan
kondisi yang sesuai dengan yang diperjanjikan.
3. Hak untuk mendapatkan informasi secara benar, jujur, dan jelas
mengenai barang dan atau jasa yang diperjualbelikan
4. Hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlakuan secara benar dan tidak
diskriminatif
5. Hak untuk didengarkan pendapatnya atau keluhannya atas kondisi
barang dan atau jasa yang dibelinya.
6. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum secara patut apabila dari
proses jual beli tersebut timbul sengketa.
7. Hak untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi apabila barang dan
atau jasa yang dibelinya tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Dengan demikian hak dan kewajiban penjual dan pembeli
sebagai para pihak dalam perjanjian jual beli harus dilaksanakan dengan benar
dan lancar, apabila para pihak memperhatikan dan melaksanakan hak dan
kewajibannya masing-masing. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan
pembeli tersebut diatas, berlaku juga dalam transaksi jual beli secara
elektronik, walaupun antara penjual dan pembeli tidak bertemu langsung, namun
tetap ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli ini harus tetap
ditaati.
Menulis Surat Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli dibuat untuk mengawali suatu
transaksi dagang. Objek yang diperdagangkan dapat berupa barang bergerak (mobil, sepeda
motor, hewan) dan barang tidak bergerak (rumah, tanah). Dalam perjanjian tersebut
kedua belah pihak telah bersepakat baik secara tulis maupun lisan tentang hak
dan kewajiban masing-masing. Pihak pertama (penjual) berkewajiban menyerahkan
suatu barang, sedangkan pihak kedua (pembeli) berkewajiban membayar sejumlah
uang sesuai dengan harga barang tersebut.
Perjanjian jual beli
dapat berlangsung apabila jenis barang dan harga barang telah disepakati oleh
kedua belah pihak. Perjanjian jual beli yang telah dibuat mengikat kedua belah
pihak dan memiliki kekuatan hukum, sekalipun tidak dilengkapi dengan ketentuan
lain mengenai waktu dan tempat penyerahan, cara penyerahan, dan cara pembayaran
dan sebagainya.
Surat perjanjian jual
beli akan kuat kedudukannya apabila dalam pembuatannya disahkan oleh notaris
atau pejabat pemerintah yang lain seperti lurah atau camat. Apabila perjenajian
tersebut tidak disahkan oleh notaris atau lurah, disebut dengan perjanjian
dibawah tangan. Apabila dalam perjanjian tersebut salah satu pihak merasa
dirugikan, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan protes atau
klaim.
Cara menyusun Surat Perjanjian Jual Beli
a. Tulislah Judul : PERJANJIAN
JUAL BELI TANAH/RUMAH
b. Cantumkan nama,
alamat, pekerjaan, pihak-pihak yang membuat perjanjian jual beli tersebut.
Penjual disebut dengan Pihak I (kesatu) dan pembeli disebut Pihak II (kedua).
c. Segala macam
keterangan mengenai barang yang dijual, hak dan kewajiban pembeli/penjual
ditetapkan oleh kedua belah pihak dan diuraikan dengan menjadi pasal 1 dan
pasal 2.
d. Pasal 3 menyebutkan besarnya
harga jual barang tersebut.
e. Pasal 4 menerangkan
waktu/saat penyerahan barang yang dijual oleh pihak penjual kepada pembeli.
f. Pasal 5 menerangkan kewajiban
pembeli terhadap barang yang dijual diserahkan oleh penjual kepada pembeli.
g. Pasal 6 menerangkan
kewajiban penjual terhadap barang yang dijual
h. Pasal 7 penjual
menerangkan kepada pembeli bahwa barang yang dijual tidak dalam jaminan bank
(hipotik) atau dibebani lain-lain.
i. Pasal 8 menerangkan
pihak yang akan menanggung segala ongkos yang bertalian dengan jual beli ini,
misalnya bea balik nama, bea materai, apakah akan ditangung penjual atau
pembeli.
j. Pasal 9 menerangkan bahwa bila
terjadi perselisihan, kebijaksanaan yang bagaimana yang akan diambil kedua
belah pihak.
k. Surat perjanjian ini dibuat
beberapa rangkap sebanyak orang yang turut membubuhkan tanda tangannya dalam
perjanjian itu.
Contoh
SURAT PERJANJIAN JUAL
BELI TANAH & BANGUNAN
Pada hari ini, Kamis tanggal delapan April 2004 , kami yang bertanda tangan
dibawah ini :
Nama : Soewartini
Umur : 58 Tahun
Alamat : Jl.Margo Utomo No.20 Pasuruan
Selaku penjual, yang selanjutnya
disebut Pihak Pertama ( I )
Nama : Djumiati
Umur : 54 tahun
Alamat : Desa Gayaman Pasuruan
Selaku pembeli yang selanjutnya,
disebut Pihak Kedua ( II )
Telah sepakat untuk mengadakan perjanjian
jual beli Tanah dan Bangunan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
Pasal 1
Pihak I menjual tanah berserta
bangunannya kepada pihak II yaitu rumah belakang dengan luas bangunan 10 meter
persegi yang beralamatkan di Jl. Margo Utomo 32 Pasuruan,. Adapun mengenai
batas-batas bangunan tersebut:
- Sebelah utara batas
tembok kepunyaannya pihak I ( Ibu Soewartini )
- Sebelah barat batas
tembok kepunyaanya Bapak.Syamsul,
- Dan apabila Pihak ke II akan
membangun kembali ( renovasi ) bangunan batas rumah maka pihak ke II harus
membuat tembok pembatas sendiri, agar tidak terjadi permasalahan
dikemudian hari.
Pasal 2
Mengenai rumah yang telah dibeli
oleh II hanya ada air sumur & Pompa Air. Adapun air PDAM & listrik
sementara masih menyalur dari pihak I, dan selanjutnya Pihak II akan memasang
sendiri.
Pasal 3
Pihak I dan Pihak II menyepakati
harga tanah dan bangunan sebesar Rp. 31.000.000,- ( Tiga Puluh Satu Juta
Rupiah)
Pasal 4
Pihak I akan
menyerahkan tanah dan bangunan pada saat Pihak II telah membayar secara tunai
harga tanah dan bangunan serta menandatangani surat perjanjian ini
Pasal 5
Pihak I akan segera mengosongkan rumah dan bangunan tersebut
selambat-lambatnya tiga hari setelah surat perjanjian ini ditandatangani,
sehingga Pihak II dapat menempati rumah dan bangunan tersebut.
Pasal 6
Adapun untuk memperoleh sertifikat atas nama pihak II, akan diurus
bersama –sama dari biaya mulai kepengurusan sampai selesai ditanggung oleh
pihak I & pihak II.
Pasal 7
Jika dalam perjanjian ini timbul suatu persoalan maka akan diselesaikan
secara musyawarah/kekeluargaan, bila musyawarah tersebut mengalami kegagalan
maka akan diselesaikan secara hukum.
Demikian surat perjanjian jual beli ini dibuat atas kesepakatan Pihak
Pertama dan Pihak Kedua, tanpa adanya unsur paksaan didalamnya
dan akan dipatuhi bersama. Perjanjian ini dibuat rangkap 2 (dua), dua-duanya
bermeterai cukup sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak, masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama
Pasuruan, ……….. April 2004
PIHAK I PIHAK II
Ibu Soewartini Ibu. Djumiati
Para Saksi :
1. Dedy Suherman Tanda Tangan
………………………..
2. Ibu Temu Tanda Tangan
…………………………
Mengetahui,
Kepala Kelurahan
Kebonagung
Kecamatan Purworejo
(bisa juga Camat/Notaris)
Contohnya ialah Arab Spring atau
“Musim Semi Arab”. Dari perspektif politik global, ternyata ia hanya “tema
gerakan” melalui kekuatan massa setelah opini publik terbentuk via isu-isu
(korupsi, kemiskinan, pimpinan tirani dll) yang digencarkan oleh media,
facebook, twitter dan lain-lain. Sedangkan “skema” yang diusung oleh
kepentingan Barat di Jalur Sutra (Timur Tengah, Afrika Utara dll) adalah
penggusuran rezim, atau istilahnya tata ulang kekuasaan. Inilah pola
kolonialisme dari model asimetris asing yang mulai terendus.
Tatkala “Save KPK” di Indonesia
kemarin marak, memang sempat dinilai sebagai TEMA gerakan sebab indikasinya
sama dengan pola Arab Spring. Misalnya isu yang ditebar soal korupsi (bukankah
korupsi di Indonesia diciptakan melalui sistem?), ada isu pemimpin atau
institusi tirani, sangat berperannya media, jejaring sosial dan lainnya.
Kemudian bila membandingkan aktor atau pemrakarsa gerakan massa antara Arab
Spring di Jalur Sutra dengan Save KPK ternyata sama pula, yaitu Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang menginduk kepada lembaga donatur internasional atau
memiliki link up ke LSM asing. Secara tersirat, sejatinya TEMA model asimetris
ala KPK hampir sukses di Bumi Pertiwi. Namun syukurlah tema tersebut gagal
melaju ke tahap berikut. Entah kenapa. Karena ketiadaan dana, kurang dukungan,
atau keburu ketahuan?
Contoh lain masalah rumor flu
burung. GFI melihat rumor tersebut cuma sekedar isue semata, karena tema yang
akan diangkat ialah daging mahal atau daging langka, maka skema yang menjadi
tujuan pokok adalah impor daging mutlak harus dilestarikan baik kualitas maupun
kuantitasnya di Indonesia. Jelas sudah, bahwa skema kolonialis yang tengah
disiapkan via isu flu burung adalah “jerat impor” bagi bangsa ini. Demikian
pula untuk bidang pangan lainnya seperti beras, ikan, singkong, kedelai, gula,
garam, bawang-bawangan, dll sehingga republik ini “dibuat” seperti tidak
memiliki kedaulatan sama sekali atas pangan, padahal secara fisik semuanya ada,
nyata dan bahkan berlimpah.
Teringat statement Henry
Kissinger (1970), “Control oil and you control the nations, control food
and you control the people” (Kontrolah minyak kamu akan mengontrol negara,
kontrol pangan maka anda mengendalikan rakyat). Sekali lagi, retorika
menggelitik pun timbul: “Apakah bangsa ini tidak sedang dilumpuhkan kedaulatan
pangannya melalui skema jerat impor oleh asing?”. Retorika ini tidak butuh
jawaban agar artikel ini bisa diteruskan. Tetapi yang lebih mengerikan lagi
ialah isyarat Vandana Shiva, bahwa bila kolonialisasi lama hanya merampas
tanah, sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan!
Merujuk judul dan uraian di
atas, mencermati konflik antara TNI versus Polri di Ogan Komering Ulu (OKU)
dari perspektif politik global, sesungguhnya kasus tersebut hanyalah tema
belaka. Lalu apa kelanjutan skema? Hasil diskusi GFI merekomendasi bahwa
konflik antar aparat di OKU diprakirakan merupakan skema pelemahan bangsa via
pencerai-beraian elemen dan pecah belah dari sisi internal. Ini yang mutlak
diwaspadai bersama oleh segenap tumpah darah Indonesia dimanapun berada dan
berkiprah.
Tak dapat dipungkiri, TNI-Polri
adalah organ-organ perekat bangsa. Bahkan di antara berbagai elemen-elemen
bangsa lain, keduanya masih solid hingga kini, sebab keduanya merupakan anak
kandung revolusi (kemerdekaan) dulu. Tak bisa tidak, TNI-Polri itu benteng
terakhir dari sebuah sistem kedaulatan bangsa. Apabila retak kedua institusi
niscaya bakal pecahlah bangsa dan negara. Ini harus disadari bersama oleh
segenap komponen bangsa!
Jujur harus diakui, dinamika
politik menjelang 2014 kendati terlihat glamour namun tidak bermakna apa-apa
bagi kesejahteraan rakyat, apalagi untuk Kepentingan Nasional RI. Segenap elit
dan partai politik dibuat sibuk, asyik dan porak-poranda oleh korupsi; organisasi
massa dibentur-benturkan melalui pragmatisme; para pemuda dan mahasiswa
diracuni narkoba serta disusupi dogma-dogma impor atas nama kebebasan dan
demokrasi di tataran hilir, dll. Tampaknya media massa terutama media
mainstream memiliki kontribusi luar biasa atas “keretakan” yang tengah terjadi
pada bangsa ini, karena media massa cuma sekedar memberitakan secara gegap
gempita tentang isu-isu, tema, kemudian ke isu lagi, lalu ke tema lagi,
demikian seterusnya cuma mengejar gegap rating tanpa solusi jelas.
Mengakhiri handout singkat lagi
sederhana ini, kiranya segera dihentikan dampak dan polemik yang merambah
kemana-mana justru semakin menjauh dari Kepentingan Nasional RI. Padamkan
solidaritas sempit dan jangan kembangkan ego sektoral yang kontra produktif,
agar tema yang sudah tergelar di OKU tidak melaju ke tahap skema gerakan asing,
yakni pelemahan NKRI dari sisi internal melalui konflik antar TNI versus Polri.[4]
[1]
http://dhaniasashari.blogspot.com/
[2]
http://www.merdeka.com/khas/mencari-akar-masalah-konflik-tentara-polisi-kolom-selasa.html
[3]
http://myzone.okezone.com/content/read/2013/03/28/9880/
[4]
http://catatanmap.wordpress.com/2013/03/11/konflik-tni-versus-polri-skema-pelemahan-nkri-dari-sisi-internal/