makalah Terjadinya Konflik antara TNI dan Polri
Sunday, April 28, 2013
Terjadinya
Konflik antara TNI dan Polri
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG
Dalam diskusi terbatas di Global
Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit, diperoleh pointers bahwa
konflik internal di suatu negara sesungguhnya cuma TEMA dari sebuah SKEMA yang
hendak ditancapkan oleh sang Pemilik Hajatan. Artinya apapun bentuk dan warna,
baik itu konflik vertikal maupun horizontal, hanya susulan daripada isu-isu
yang sebelumnya ditebar (tersebar) dipublik. Selanjutnya apakah sukses atau
tidak, berhasil atau gagal dari sebuah tema berubah menjadi skema, sangat
tergantung daripada segenap komponen bangsa menyikapi. Sedang pada diskusi
terbatas di forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) pimpinan Dirgo D Purbo,
pakar perminyakan, tampaknya lebih “keras” menyikapi konflik-konflik yang
sekarang marak terjadi. Conflict is protection oil flow and blockade
somebody else oil flow. Ya, konflik diletuskan hanya sebagai alih
perhatian guna memblokade kepentingan orang lain dan bahkan melindungi skema
aliran minyak agar tidak digugat siapapun, sebab bangsa tersebut disibukkan
oleh isu dan tema-tema yang dibuat. Benang merah pointers diskusi di atas
terlihat sama, yaitu konflik cuma sekedar tema belaka!
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Mengetahui
Terjadinya Konflik TNI dan Polri
2.
Penyebab
utama terjadinya Konflik tersebut
3.
Mencari
permasalahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerangka Teori
a.
Menurut Berstein, konflik
merupakan suatu pertentangan, perbedaan yang tidak dapat dicegah
yang mempunyai potensi yang memberi pengaruh positif dan negatif.
b. Dr. Robert M.Z Lawang, konflik
adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, kekuasaan, di mana tujuan
dari mereka yang berkonflik, tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga
untuk menundukkan saingannya.
c.
Menurut Soerjono Soekanto, konflik
adalah suatu proses sosial di mana orang perorangan atau kelompok manusia
berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang
disertai dengan ancamandan atau kekerasan.
Lewis
a. Coser : adalah perselisihan mengenai nilai nilai atau tuntutan
tuntutanberkenaan dengan status, kuasa dan sumber sumber kekayaan yang
persediaannya terbatas.
Leopod Von Wiese :suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan.
R.J. Rummel :konfrontasi kekuasaan atau kekuatan sosial.
Duane Ruth-hefelbower :adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan tindakan salahsatu pihak menghalangi, atau mencampuri atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil. [1]
Leopod Von Wiese :suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan.
R.J. Rummel :konfrontasi kekuasaan atau kekuatan sosial.
Duane Ruth-hefelbower :adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan tindakan salahsatu pihak menghalangi, atau mencampuri atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil. [1]
BAB
III
PEMBAHASAN
A. ANALISIS
MALASAH
1.
Konflik Tni Polri
Konflik antara TNI dan Polri dalam kasus
pembakaran Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, kemarin, diduga
disebabkan kesenjangan kewenangan. Terutama dalam penanganan kasus tewasnya
anggota TNI oleh Polri, akhir Januari lalu.
"Tak sepantasnya konflik ini
terjadi antar dua institusi negara. Kejadian ini harus segera diselesaikan oleh
pihak-pihak terkait agar hal serupa tak terulang kembali," ungkap Wakil
Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon kepada wartawan, Jumat (8/3/2013).
Fadli berpendapat, solusi ke depan
adalah memastikan agar proses hukum yang ada berjalan baik dan hukum ditegakkan.
Pihak-pihak yang bersalah, mendapat sanksi yang sepadan.
"Kejadian bentrok TNI-Polri sudah
berulang kali, perlu dikaji akar masalah. Termasuk UU yang menaungi kedua
institusi. Kesenjangan kewenangan adalah salah satu yang perlu
dievaluasi," tegasnya.
Selain itu, komunikasi yang intens antar
anggota TNI-Polri harus dibangun lebih serius, serta memperkuat komunikasi dua
arah mulai dari pimpinan tertinggi hingga level bawah.
Menurut Fadli, kejadian ini merupakan
evaluasi terhadap regulasi yang ada, yakni UU No. 2/2002 tentang Polri, UU No.
34/2004 tentang TNI, dan UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara.
Namun, aturan pelaksanaan dari regulasi
tersebut belum diselesaikan. Inpres Kamtibmas No. 2/2013 juga masih belum bisa
menjawab gap atau jarak regulasi. "Sehingga, hal ini menjadi sumber
konflik dan presiden harus segera membuat aturan-aturan pelaksanaan yang
memadai," pungkasnya.
Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono
menyatakan bahwa kesejahteraan prajurit kini sudah lebih baik. Oleh karena itu,
menurutnya bentrokan yang terjadi di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, harus
ditelusuri apa penyebab sesungguhnya untuk mencegah bentrokan serupa terulang
kembali di kemudian hari.
"Saat ini pun TNI kesejahteraannya
sudah baik, tetapi ada hal lain yang harus dipelajari yang mungkin nanti kita
akan cari terus mengarah ke pembinaan lapangan," ujar Agus di Bandara
Halim Perdana Kusumah, Jakarta, Sabtu 9 Maret 2013.
Dalam pandangannya, penyerangan terhadap
Mapolres Ogan Komering ulu oleh puluhan anggota Batalyon Armed 15/ 105 TNI
Tarik Martapura dilatarbelakangi kekecewaan atas penanganan kasus Pratu Heru
Oktavinus, anggota Batalyon 15/105, yang tewas ditembak mati oleh anggota
Polisi Lalu Lintas Polres OKU Brigadir Wijaya saat terlibat perkelahian di Desa
Sukajadi, OKU, pada 27 Januari 2013.
"Mereka datang karena emosi,
ketidakpuasan, sehingga melakukan perusakan," kata Agus.
Oleh karena itu, menurut Agus, masalah
yang sebenarnya pada kasus ini harus diketahui dengan baik dan mendapat
penanganan serius.
"Selama kita masih memahami setiap
manusia punya masalah, tinggal bagaimana kita harus mengelola masalah sehingga
tidak terjadi kerusakan," kata Agus.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono telah mencermati kasus bentrokan di Ogan Komering Ulu, Sumarera
Selatan, kemudian mengisntruksikan tim investigasi agar bersikap tegas terhadap
pelaku pelanggaran dari kedua belah pihak.
"Baik TNI maupun Polri, pasti yang melakukan pelangaran
akan ditendak tegas. Instruksi presiden adalah laksanakan penegakan hukum
sebaik-baiknya dan secepatnya, dalam arti yang salah harus ditindak sesuai
peraturan yang berlaku," kata Agus.
Presiden Indonesia ke-3, Baharuddin
Jusuf Habibie, menilai bentrok antara tentara dan polisi di Kabupaten Ogan
Komering Ulu, Sumatra Selatan, bukan cerminan dari institusi.
"Itu bukan soal polisi dan ABRI
(TNI-Red). Itu perorangan," kata Habibie usai memberikan ceramah dalam
Sarasehan Pembangunan Nasional, Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan
di Gedung Bappenas, Jakarta, Jumat (8/3).
Di tempat lain, Habibie memberikan
pendapat, untuk menyiasati masalah tersebut polisi harusnya ditempatkan di
bawah Kementerian Dalam Negeri. "Sudah saya bilang tadi (dalam ceramah
sarasehan-Red) harusnya polisi di bawah Mendagri," ujar Habibie.
Ketika ditanya apakah hal itu berarti
Polri tidak bertanggung jawab kepada presiden, Habibie mengamini.
"Ya," tegasnya.
Bentrokan antara polisi dan tentara di
Ogan, pecah sore kemarin. Dua polisi kritis. Mereka: Kapolsek Martapura OKU
Timur, Komisaris Polisi Riduan; dan anggota Polres OKU, Ajun Inspektur Polisi
Satu Marbawi Aidil. Keduanya kini dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara,
Palembang.
2. Akar Permasalahan Yang Terjadi
antara TNI dan Polri
Serbuan dan pembakaran Mapolres Ogan
Komering Ulu oleh anggota Batalyon Armed 15, pekan lalu, menambah daftar
penjang kisah bentrok TNI-Polri. Tadinya, banyak orang mengira konflik terbuka
tentara-polisi adalah bagian dari proses transisi demokrasi pasca-Orde Baru,
sehingga setelah demokrasi mulai tertata, politik berjalan normal, konflik itu
akan lenyap.
Memang sistem politik demokratis masih
mencari bentuk, tapi stabilitas politik sebetulnya mantab sepanjang 10 tahun
terakhir. Kecuali di beberapa daerah konflik, keamanan semakin terkendali.
Namun toh konflik terbuka TNI-Polri tetap terjadi. Memasuki tahun ke 15 masa
reformasi, konflik terus berlanjut, seakan sudah menjadi penyakit akut.
Bentrok terbuka tentara-polisi, terlihat
jelas pertama kali terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah. Alih-alih meredakan
konflik etnis yang meluas di sana pada awal 2001, pasukan TNI dan anggota Polri
justru saling baku tembak. Hal serupa juga kerap terjadi di wilayah konflik
lainnya seperti Ambon dan Poso.
Rupanya, bukan ketegangan dan salah
koordinasi yang menjadi pemicu bentrok tentara-polisi. Buktinya, di wilayah
damai mereka juga berperang. Saling serang antara Brimob dan Yonif Lintas Udara
100 meletus di Binjai Sumut, sepanjang tiga hari pada akhir September 2002. Lalu
terulang lagi di Atambua dan Gorontalo.
Menurut catatan KontraS, sepanjang
2005-2012, telah terjadi 26 kali bentrok pasukan TNI vs anggota Polri, yang
menewaskan 11 orang dan 47 luka-luka. Korban material juga tak sedikit, mulai
dari amunisi yang terbuang percuma, senjata hilang, motor dan mobil rusak,
hingga pos dan markas terbakar.
Mengapa sejak diterapkannya kebijakan
pemisahan Polri dari TNI lewat Tap MPR No VI/MPR/2000 dan Tap MPR No
VII/MPR/2000, sering terjadi konflik terbuka pasukan TNI vs anggota Polri?
Pimpinan TNI dan Polri selalu menunjuk
faktor ketidaksiapan mental personal sebagai sebab terjadinya bentrok.
Ketidaksiapan mental antara lain dilatari oleh semangat berlebihan dalam
membela kawan, juga karena sifat-sifat superior personal tentara yang kini
berani dihadapi oleh polisi.
Sementara para aktivis LSM, cenderung
menunjuk faktor ekonomi sebagai sebab bentrokan. Dalam hal ini, konflik terbuka
antara kedua kelompok bersenjata itu lebih dimotivasi oleh rebutan lahan bisnis
ilegal, seperti judi, prostitusi dan penebangan kayu ilegal.
Penjelasan psikologis jelas tidak
memuaskan, karena jika itu benar, tentu konflik antara TNI-Polri juga terjadi
pada masa sebelumnya. Demikian juga, menunjuk rebutan lahan bisnis ilegal juga
tidak bisa menjelaskan fenomena konflik yang beruntun sejak diterapkannya
kebijakan pemisahan Polri dari TNI. Keduanya baru bicara soal pemicu konflik.
Padahal konflik terbuka (yang ditandai
dengan kekerasan fisik, seperti pemukulan, penyiksaan dan pembunuhan berserta pemicunya)
hanyalah fenomena permukaan. Di balik berbagai peristiwa konflik terbuka
tersebut pasti terdapat masalah-masalah yang sifatnya substantif yang
melatarbelakangi dan mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa kekerasan
antarpasukan tersebut.
Saatnya para peneliti militer dan
kepolisian, mendalami dan memahami masalah ini, lalu memetakan secara cermat,
sehingga ditemukan jalan keluar yang komprehensif untuk mengatasinya.
Bagaimanapun bentrok antaraparat negara bukan saja memalukan, tetapi juga merugikan
rakyat banyak. Rakyat bayar pajak untuk menggaji mereka, bukan untuk adu
kekuatan sesama, tetapi bela negara dan melindungi rakyat.[2]
3. Penyelesaian Masalah
Peristiwa bentrokan antara
anggota TNI dan Polri, bukan yang pertama kalinya terjadi. Menurut data Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sejak 2005 hingga
2012 telah terjadi 26 kali bentrok TNI-Polri. Banyak yang berpendapat Konflik
TNI dan Polri karena faktor ketimpangan dan kesenjangan.
Selain itu, perilaku korup juga
menjadi penyebab gesekan di antara dua lembaga negara ini, seperti dalam kasus
korupsi simultor. Konflik TNI-Polri sangat memprihatinkan. Peristiwa itu juga
membuat kekhawatiran di masyarakat. Sebab, karena kedua aparat negara ini
memiliki otoritas untuk menggunakan senjata api modern yang mematikan. Konflik
di antara mereka dapat mengancam keamanan dan pertahanan negara. Padahal mereka
seharusnya merupakan garda terdepan penjaga keamanan dan pertahanan negara.
Permasalahan tersebut
membutuhkan kajian yang komprehensif dan kebijakan yang konkrit. Hal itu agar
peristiwa itu tidak meluas dan tidak terluang kembali. persoalan utama konflik
TNI-Polri, karena tak pernah diketahui secara tepat akar konflik itu sendiri.
Analisis yang selama ini beredar lebih banyak dugaan, tanpa dasar penelitian
akademik yang objektif.
Dugaan dan prasangka itu seperti
perebutan rezeki, psikologi polisi yang tidak dibayangi tentara, dan tentara
yang mudah tersinggung. Sudah waktunya menyelesaikan permasalahan dengan data
objektif, karena tidak ada jaminan besok tidak terjadi lagi.[3]
a. Konflik TNI versus Polri: Skema
Pelemahan NKRI dari Sisi Internal
Dalam diskusi terbatas di Global
Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit, diperoleh pointers bahwa
konflik internal di suatu negara sesungguhnya cuma TEMA dari sebuah SKEMA yang
hendak ditancapkan oleh sang Pemilik Hajatan. Artinya apapun bentuk dan warna,
baik itu konflik vertikal maupun horizontal, hanya susulan daripada isu-isu
yang sebelumnya ditebar (tersebar) dipublik. Selanjutnya apakah sukses atau
tidak, berhasil atau gagal dari sebuah tema berubah menjadi skema, sangat
tergantung daripada segenap komponen bangsa menyikapi. Sedang pada diskusi
terbatas di forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) pimpinan Dirgo D Purbo,
pakar perminyakan, tampaknya lebih “keras” menyikapi konflik-konflik yang
sekarang marak terjadi. Conflict is protection oil flow and blockade
somebody else oil flow. Ya, konflik diletuskan hanya sebagai alih
perhatian guna memblokade kepentingan orang lain dan bahkan melindungi skema
aliran minyak agar tidak digugat siapapun, sebab bangsa tersebut disibukkan
oleh isu dan tema-tema yang dibuat. Benang merah pointers diskusi di atas
terlihat sama, yaitu konflik cuma sekedar tema belaka!
Dokumen GFI mengisyaratkan, bahwa
model kolonialisme yang dikembangkan kini ialah asimetris (non militer).
Lazimnya pola asimetris, diawali dengan tebaran isu ke tengah-tengah
masyarakat, kemudian dimunculkan tema gerakan dan berujung pada skema. Ya,
skema merupakan ruh atau inti tujuan kolonialisasi.
Contohnya ialah Arab Spring atau
“Musim Semi Arab”. Dari perspektif politik global, ternyata ia hanya “tema
gerakan” melalui kekuatan massa setelah opini publik terbentuk via isu-isu
(korupsi, kemiskinan, pimpinan tirani dll) yang digencarkan oleh media,
facebook, twitter dan lain-lain. Sedangkan “skema” yang diusung oleh
kepentingan Barat di Jalur Sutra (Timur Tengah, Afrika Utara dll) adalah
penggusuran rezim, atau istilahnya tata ulang kekuasaan. Inilah pola
kolonialisme dari model asimetris asing yang mulai terendus.
Tatkala “Save KPK” di Indonesia
kemarin marak, memang sempat dinilai sebagai TEMA gerakan sebab indikasinya
sama dengan pola Arab Spring. Misalnya isu yang ditebar soal korupsi (bukankah
korupsi di Indonesia diciptakan melalui sistem?), ada isu pemimpin atau
institusi tirani, sangat berperannya media, jejaring sosial dan lainnya.
Kemudian bila membandingkan aktor atau pemrakarsa gerakan massa antara Arab
Spring di Jalur Sutra dengan Save KPK ternyata sama pula, yaitu Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang menginduk kepada lembaga donatur internasional atau
memiliki link up ke LSM asing. Secara tersirat, sejatinya TEMA model asimetris
ala KPK hampir sukses di Bumi Pertiwi. Namun syukurlah tema tersebut gagal
melaju ke tahap berikut. Entah kenapa. Karena ketiadaan dana, kurang dukungan,
atau keburu ketahuan?
Contoh lain masalah rumor flu
burung. GFI melihat rumor tersebut cuma sekedar isue semata, karena tema yang
akan diangkat ialah daging mahal atau daging langka, maka skema yang menjadi
tujuan pokok adalah impor daging mutlak harus dilestarikan baik kualitas maupun
kuantitasnya di Indonesia. Jelas sudah, bahwa skema kolonialis yang tengah
disiapkan via isu flu burung adalah “jerat impor” bagi bangsa ini. Demikian
pula untuk bidang pangan lainnya seperti beras, ikan, singkong, kedelai, gula,
garam, bawang-bawangan, dll sehingga republik ini “dibuat” seperti tidak
memiliki kedaulatan sama sekali atas pangan, padahal secara fisik semuanya ada,
nyata dan bahkan berlimpah.
Teringat statement Henry
Kissinger (1970), “Control oil and you control the nations, control food
and you control the people” (Kontrolah minyak kamu akan mengontrol negara,
kontrol pangan maka anda mengendalikan rakyat). Sekali lagi, retorika
menggelitik pun timbul: “Apakah bangsa ini tidak sedang dilumpuhkan kedaulatan
pangannya melalui skema jerat impor oleh asing?”. Retorika ini tidak butuh
jawaban agar artikel ini bisa diteruskan. Tetapi yang lebih mengerikan lagi
ialah isyarat Vandana Shiva, bahwa bila kolonialisasi lama hanya merampas
tanah, sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan!
Merujuk judul dan uraian di
atas, mencermati konflik antara TNI versus Polri di Ogan Komering Ulu (OKU)
dari perspektif politik global, sesungguhnya kasus tersebut hanyalah tema
belaka. Lalu apa kelanjutan skema? Hasil diskusi GFI merekomendasi bahwa
konflik antar aparat di OKU diprakirakan merupakan skema pelemahan bangsa via
pencerai-beraian elemen dan pecah belah dari sisi internal. Ini yang mutlak
diwaspadai bersama oleh segenap tumpah darah Indonesia dimanapun berada dan
berkiprah.
Tak dapat dipungkiri, TNI-Polri
adalah organ-organ perekat bangsa. Bahkan di antara berbagai elemen-elemen
bangsa lain, keduanya masih solid hingga kini, sebab keduanya merupakan anak
kandung revolusi (kemerdekaan) dulu. Tak bisa tidak, TNI-Polri itu benteng
terakhir dari sebuah sistem kedaulatan bangsa. Apabila retak kedua institusi
niscaya bakal pecahlah bangsa dan negara. Ini harus disadari bersama oleh
segenap komponen bangsa!
Jujur harus diakui, dinamika
politik menjelang 2014 kendati terlihat glamour namun tidak bermakna apa-apa
bagi kesejahteraan rakyat, apalagi untuk Kepentingan Nasional RI. Segenap elit
dan partai politik dibuat sibuk, asyik dan porak-poranda oleh korupsi; organisasi
massa dibentur-benturkan melalui pragmatisme; para pemuda dan mahasiswa
diracuni narkoba serta disusupi dogma-dogma impor atas nama kebebasan dan
demokrasi di tataran hilir, dll. Tampaknya media massa terutama media
mainstream memiliki kontribusi luar biasa atas “keretakan” yang tengah terjadi
pada bangsa ini, karena media massa cuma sekedar memberitakan secara gegap
gempita tentang isu-isu, tema, kemudian ke isu lagi, lalu ke tema lagi,
demikian seterusnya cuma mengejar gegap rating tanpa solusi jelas.
Mengakhiri handout singkat lagi
sederhana ini, kiranya segera dihentikan dampak dan polemik yang merambah
kemana-mana justru semakin menjauh dari Kepentingan Nasional RI. Padamkan
solidaritas sempit dan jangan kembangkan ego sektoral yang kontra produktif,
agar tema yang sudah tergelar di OKU tidak melaju ke tahap skema gerakan asing,
yakni pelemahan NKRI dari sisi internal melalui konflik antar TNI versus Polri.[4]
[1]
http://dhaniasashari.blogspot.com/
[2]
http://www.merdeka.com/khas/mencari-akar-masalah-konflik-tentara-polisi-kolom-selasa.html
[3]
http://myzone.okezone.com/content/read/2013/03/28/9880/
[4]
http://catatanmap.wordpress.com/2013/03/11/konflik-tni-versus-polri-skema-pelemahan-nkri-dari-sisi-internal/