-->

ads

islam radikal dan moderet



Islam Radikal

Al Ustadz Ja’far Umar Thalib

Radikalisme sesungguhnya banyak menjangkiti berbagai agama dan aliran-aliran sosial, politik, budaya, dan ekonomi di dunia ini. Tetapi dalam masa pasca perang dingin, yang menjadi fokus pergunjingan di dunia ialah apa yang diistilahkan dengan Radikalisme Islam. Isu sentral dalam pergunjingan ini adalah munculnya berbagai gerakan “Islam” yang menggunakan berbagai bentuk kekerasan dalam rangka perjuangan untuk mendirikan “Negara Islam”. Arus informasi sedang dikontrol oleh Barat dan sekutunya, yang notabene sedang menebarkan wabah Islamo Phobia di seluruh dunia. Oleh karena itu definisi radikalisme Islam semakin bias, sehingga meliputi pula segala bentuk militansi beragama di kalangan Muslimin diidentikkan dengan “ekstrimis Islam” atau dalam istilah lain adalah “Islam radikal” atau “Islam fundamentalis”. Fenomena inilah sesungguhnya sudah banyak dipahami oleh berbagai pihak masyarakat Muslimin. Tetapi banyak pihak pula merasa kebingungan dalam merespon berbagai fenomena tersebut berhubung tumbuh suburnya mentalitas ketidak berdayaan serta rendah diri berhadapan dengan superioritas Barat dan sekutunya.

RADIKALISME POSITIF DAN NEGATIF
Secara semantik, radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka). Dalam Ensiklopedi Indonesia (Ikhtiar Baru – Van Hoeve, cet. 1984) diterangkan bahwa “radikalisme” adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut. Dalam dua definisi ini “radikalisme” adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim. Adapun dalam Kamus Ilmiyah Populer karya Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry (penerbit Arkola Surabaya, cet. th. 1994) diterangkan bahwa “radikalisme” ialah faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan. Dalam definisi terakhir ini “radikalisme” cenderung bermakna perubahan positif.
Oleh karena itu, pandangan positif dan negatifnya terhadap radikalisme tentunya terletak pada cara merealisasikan dan mengekspresikannya serta dasar pandang para pengamatnya. Biasanya kaum establishment amat alergi dengan isu radikalisme, berhubung kaum radikal amat gigih menuntut adanya perubahan sosial politik yang berarti pula akan sangat tajam mengoreksi kalangan statusquo. Keinginan adanya perubahan sosial – politik masih dianggap wajar dan positif bila disalurkan melalui jalur perubahan yang benar dan tidak mengandung resiko instabilitas politik dan keamanan. Dalam makna ini, radikalisme adalah wacana sosial – politik yang positif. Adapun perubahan yang cepat dan menyeluruh (revolusi), selalu diikuti oleh kekacauan politik dan anarkhi, sehingga menghancurkan infra struktur sosial – politik bangsa dan negara yang mengalami revolusi tersebut. Dalam makna ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman yang negatif dan bahkan dapat pula dikatagorikan sebagai bahaya laten ekstrim kiri ataupun kanan.




RADIKALISME DI KALANGAN KAUM MUSLIMIN
Radikalisme dalam makna yang positif adalah keinginan adanya perubahan kepada yang lebih baik. Dalam istilah agama disebut ishlah (perbaikan) atau Tajdid (pembaharuan). Adapun radikalisme dalam makna negatif adalah sinonim dengan makna ekstrimitas, kekerasan dan revolusi. Dalam istilah agama disebut ghuluw (melampaui batas) atau ifrath (keterlaluan). Kedua kutub makna yang amat bertolak belakang ini berakibat munculnya dua kutub gerakan keagamaan yang konfrontatif di Dunia Islam. Di sinilah letak kerancuan generalisasi Radikalisme Islam dalam makna serba negatif sehingga semangat Islamo Phobia memperoleh tempat penyalurannya. Karena tidak dapat membedakan antara Radikalisme Islam dalam makna positif dengan Radikalisme dalam makna negatif. Kedua semangat Radikal tersebut disamakan, karena keduanya menghendaki perubahan total sosial – politik bangsa dan negaranya. Walaupun perbedaan keduanya sangatlah konfrontatif dan tidak mungkin dipertemukan dari sisi mana pun.
Radikalisme ekstrim pertama kali muncul di zaman akhir masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu `anhu, dalam bentuk gerakan yang dipimpin Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi dari negeri Yaman yang masuk Islam di Al-Madinah An-Nabawiyah dan kemudian menebarkan fitnah di kalangan kaum Muslimin tentang keutamaan Ali menduduki jabatan Khilafah lebih dari Abu Bakar, Umar dan Utsman) bersama dua ribu pengikutnya yang menghendaki untuk digantinya Usman bin Affan dari kedudukannya sebagai Khalifah (kepala negara) dengan Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu. Karena Ali lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam di banding Utsman. Kelompok Abdullah bin Saba’ berhasil membunuh Khalifah Utsman, dan negara dalam kekacauan yang amat serius, sehingga para Shahabat Nabi mendesak Ali bin Abi Thalib untuk memangku jabatan Khalifah untuk menghindari ancaman kehancuran negara.
Gerakan radikalisme ekstrim semakin menjadi-jadi di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu baik kwantitas maupun kwalitas. Gerakan ekstrim Ibnu Saba’ semakin menjadi-jadi (yaitu dengan menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya adalah titisan Tuhan sehingga mereka meyakini bahwa beliau dan keturunannya dari Fathimah Az-Zahra’ mempunyai sifat-sifat ketuhananan), ditambah lagi dengan munculnya gerakan ekstrim di negeri Haura’ ( Kufah, Iraq) yang dipelopori oleh tokoh ultra ekstrim bernama Abdullah bin Wahhab Ar-Rasibi. Gerakan ini dinamakan Khawarij atau Haruriyah yang mempunyai prinsip bahwa orang Islam yang berbuat dosa dianggap murtad dari Islam. Kemudian prinsip ini berkembang pula kepada pemahaman yang lebih ekstrim yang mengatakan bahwa semua orang Islam yang berada di luar kelompok alirannya dianggap kafir. Maka dengan dasar pemahaman inilah mereka dengan serta merta mengkafirkan pemerintah di negara-negara Islam. Dan dengan dasar pemahaman seperti inilah mereka melakukan teror terhadap fasilitas-fasilitas umum di negara-negara Islam serta menggalang pemberontakan kepada pemerintah-pemerintah Muslimin di negara-negara Islam. Kalau karya pertama gerakan Ibnu Saba’ adalah membunuh Khalifah Utsman bin Affan, maka karya pertama gerakan Khawarij adalah membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Maka kedua gerakan radikal tersebut mempunyai kesamaan misi, yaitu menginginkan perubahan yang cepat dengan membunuh dan memberontak. Dan setelah meninggalnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib, gerakan radikal ekstrim bertambah lagi dengan munculnya Mu’tazilah di zaman pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Gerakan radikal ini mempunyai Pancasila prinsip gerakan; yaitu:
1). At-Tauhid, yang makna asalnya adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam segala sifat dan namaNya, tetapi bagi gerakan ini maknanya ialah mengingkari keimanan kepada adanya sifat-sifat bagi Allah.
2). Al-‘Adel, yang makna asalnya ialah mempercayai keadilan Allah yang maha sempurna, tetapi bagi gerakan ini maknanya ialah mengingkari keimanan kepada adanya taqdir Allah atas segala kejadian di dunia ini.
3). Al-wa’ad wal wa’ied, yaitu keyakinan gerakan ini bahwa seorang Muslim yang mati dalam keadaan belum bertaubat dari dosa-dosanya, maka dia akan masuk neraka kekal selamanya sebagaimana keadaan orang-orang yang mati dalam keadaan kafir.
4). Al-manzilatu bainal manzilatain, yaitu keyakinan grakan ini bahwa seorang Muslim yang berbuat dosa, maka di dunia ini dia keluar dari kedudukannya sebagai Muslim, akan tetapi belum bisa dikatagorikan kafir, sehingga dia di dunia ini dalam posisi di tengah-tengah di antara posisi Muslim dan posisi kafir.
5). Al-‘amru bil ma’ruf wan nahyu `anil munkar, yang makna asalnya ialah menyerukan manusia kepada kebaikan dan mencegah manusia dari kemungkaran, tetapi bagi gerakan ini maknanya ialah memperjuangkan tegaknya Syari’ah Islamiyah dalam bernegara dan berbangsa dengan cara mengkudeta pemerintah yang sedang berkuasa. Dan mencegah kemungkaran dengan cara memberontak kepada sumber kemungkaran yaitu penguasa yang zalim.
Gerakan radikal ekstrim Mu’tazilah ini dibangun pertama kali oleh Washil bin Atha’ yang semula adalah murid dari Imam Al-Hasan Al-Bashri (seorang Ulama’ dari kalangan Ahlul Hadits di masa generasi sesudah meninggalnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam). Tetapi ketika Washil mempelopori gerakan ekstrim tersebut, maka dia diusir dari halaqah ilmu yang dipimpin Imam Al-Hasan Al-Bashri, dan Washil akhirnya membikin halaqah sendiri terpisah dari halaqah gurunya.
Dari tiga aliran radikal ekstrim tersebut kemudian lahir berbagai aliran ekstrim lainnya di dunia Islam sampai hari ini. Tiga aliran tersebut bila diperjelas dalam kata-kata yang lugas adalah sebagai berikut:
1). Aliran Abdullah bin Saba’ atau Ibnu Saba’ atau Saba’iyah yang kemudian dikenal dengan aliran Ar-Rafidhah atau sekarang lebih terkenal dengan nama Syi’ah.
2). Aliran Khawarij atau Haruriyah atau Azariqah, yang berubah-rubah namanya di setiap zaman dan tempat disesuaikan dengan situasi dan kondisi sosial – politik yang sedang berkembang.
3). Aliran Mu’tazilah atau Washiliyah, juga akhirnya berkembang di segala zaman dan tempat dengan berganti nama juga sesuai dengan situasi dan kondisi sosial – politik masing-masingnya.
Demikianlah cikal bakal tumbuhnya berbagai aliran pemahaman agama yang radikal ekstrim sehingga melahirkan berbagai fitnah keji di kalangan kaum Muslimin khususnya dan di kalangan ummat manusia pada umumnya.
Adapun pemahaman dan sikap radikal yang positif dalam pandangan Islam adalah ishlah dan tajdid. Keduanya dikatakan radikal, karena menghendaki koreksi total terhadap kondisi sosial – politik di masyarakat muslimin yang telah banyak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Melalui gerakan ishlah dan tajdid, diperjuangkanlah perubahan sosial – politik agar sesuai dengan ajaran Islam secara kaaffah.
Gerakan ini dinamakan ishlah, karena sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam yang memberitakan adanya orang-orang yang memperjuangkan ishlah di kalangan masyarakat Muslimin ketika terjadi kerusakan dan penyimpangan dari tununan agamanya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
(hadits1)
“Islam mulai didakwahkan dalam keadaan asing di kalangan ummat manusia, dan Islam nantinya di belakang hari akan kembali kepada keasingannya. Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing oleh lingkungannya (karena menjalankan ajaran Islam yang sudah tidak dikenal lagi oleh keumuman orang). Para shahabat bertanya: Siapakah mereka ya Rasulullah?” Beliau menjawab: Yaitu mereka yang melakukan gerakan ishlah ketika terjadi kerusakan perangai pada keumuman manusia.” (HR. Al-Imam Abu Bakar Al-Ajurri dalam Al-Ghuraba’ minal Mu’minin hal. 23, dan At-Tirmidzi dalam Kitabul Iman bab 13 dan berkata Tirmidzi: hadits ini hasan shahih gharib, dan Al-Baihaqi dalam Az-Zuhdul Kabir no. 198 hal. 114, Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid 7 / 278 dari Jabir radliyallahu `anhu).

Dan gerakan ini dinamakan pula tajdid, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah memberitakan dalam sabdanya akan muncul orang yang selalu melakukan perjuangan tajdid ini. Sebagaimana sabda beliau berikut ini:
(hadits2)
“Sesungguhnya Allah akan selalu membangkitkan untuk ummat ini pada setiap seratus tahun, orang yang akan melakukan gerakan tajdid terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya hadis ke 4291, Al-Hakim dalam Al-Mustadraknya jilid 4 halaman 522 dan lain-lainnya).

Adapun pengertian melalukan gerakan tajdid terhadap agamanya ialah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam berikut ini:
(hadits3)
“Yang akan terus menerus membawa ilmu agama ini pada setiap generasi (yakni setiap seratus tahun) adalah orang-orang yang terpercaya ilmu agamanya dan perangainya pada generasi itu. Mereka yang membawa ilmu agama dengan kriteria demikian itu melakukan gerakan-gerakan sebagai berikut:
1). Meluruskan kembali penyimpangan kalangan ekstrimis dalam memahami agama.
2). Membantah kedustaan para pendusta yang ingin mengeksploitasi agama demi kepentingan pribadinya atau golongannya.
3). Meluruskan kembali penafsiran agama yang salah yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh.”
(Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra jilid 10 halaman 209, dan Al-Ajurri dalam As-Syari’ah jilid 1 halaman 270 – 273 hadis ke 1 dan 2, juga diriwayatkan oleh para Imam yang lainnya).

Demikianlah asal penamaan ishlah dan tajdid bagi gerakan radikal positif dan sekaligus pengertian daripada nama-nama yang menjadi simbul gerakan tersebut.

PRINSIP-PRINSIP GERAKAN TAJDID DAN ISHLAH
Perlu pula di sini dijelaskan beberapa prinsip gerakan radikal positif yang diistilahkan ishlah dan tajdid tersebut agar semakin jelas perbedaan ideologis antara gerakan radikal ekstrim dengan gerakan radikal positif tersebut, sehingga di harapkan dapat mengurangi kesalahpahaman penilaian terhadap keduanya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1). Menyerukan dan mengajarkan kepada Ummat Islam untuk memahami ajaran agamanya dengan pemahaman yang benar sesuai dengan pemahaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam dan para shahabat beliau terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits.
2). Mengoreksi segenap pemahaman dan pengamalan kita terhadap agama ini agar dibersihkan dari polusi syirik dan bid’ah.
3). Membangun mental ketaatan kepada penguasa Muslim dalam segala perkara yang baik dan berlepas diri dari kejelekan yang dilakukan oleh penguasa tersebut.
4). Mencegah adanya sikap memberontak kepada penguasa Muslim dalam menyalurkan rasa ketidak puasan terhadap berbagai kebobrokan penguasa Muslim.
5). Menasehati penguasa Muslim dengan nasehat yang tidak menimbulkan pemahaman pada masyarakat bahwa nasehat tersebut sebagai sikap memberontak kepada penguasa yang dinasehati.
6). Mencegah kemungkaran dengan syarat tidak mengandung resiko munculnya kemungkaran yang lebih besar daripadanya.
7). Mengikhlaskan segala bentuk perjuangan tersebut hanya untuk mencapai keridlaan Allah Ta’ala dan tidak mempunyai tujuan sampingan atau susulan apa pun.
8). Sabar berpegang teguh dengan prinsip-prinsip agama dan tidak bergeser sedikitpun dari padanya dalam keadaan bagaimanapun dan dengan alasan apapun.
9). Merujuk kepada kepemimpinan Ulama’ Ahlul Hadits dalam memutuskan perkara-perkara besar atau prinsipiel dan tunduk patuh kepada keputusan para Ulama’ tersebut dalam keadaan suka ataupun tidak suka.
10). Menjaga persatuan dan kesatuan Ummat Islam di atas bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menghindari perkara-perkara yang akan menjadi sebab perpecahan Ummat Islam selama tidak menyimpang dari keduanya.

Demikianlah beberapa prinsip pergerakan ishlah dan tajdid sebagai gerakan radikal positif yang memperjuangkan adanya perubahan total dengan cara yang benar dan mencocoki fitrah kemanusiaan.

GERAKAN ISLAMO PHOBIA DAN AKIBATNYA
Faktor ekstern Ummat Islam ikut berpengaruh besar dalam menumbuh suburkan semangat radikal ekstrim di kalangan Ummat Islam. Di antara faktor ekstern tersebut ialah gerakan Islamo phobia yang melancarkan aksi deIslamisasi dengan dua pola sinergis:
1). Menjauhkan Ummat Islam dari Ilmu agama dengan menyibukkan mereka di seputar iptek. Seolah-olah belajar agama berarti tidak belajar iptek dan belajar iptek berarti tidak belajar agama. Upaya yang demikian ini sangat strategis dalam menciptakan kondisi mengambang di kalangan Ummat Islam terhadap agama mereka.
2). Mengkondisikan pemerintah negara-negara Islam untuk terus-menerus curiga dan ketakutan dari ancaman “bahaya Islam”. Sehingga pemerintah selalu bertindak represif dalam memberangus aspirasi keagamaan Ummat Islam.

Dua pola gerakan tersebut bagaikan pupuk penyubur tumbuhnya gerakan-gerakan radikal ekstrim yang berlebel Islam. Karena berbagai gerakan radikal ekstrim tersebut akan sangat laku dijual di kalangan Ummat Islam yang mempunyai semangat agama tetapi jauh dari ilmu agama dan gerakan tersebut akan dapat dieliminir dengan bangkitnya semangat belajar ilmu agama. Berbagai ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah yang terus menerus mencurigai Ummat Islam, akan menjadi isu pemicu semangat perlawanan Ummat Islam yang tidak dibimbing ilmu agama dengan model perlawanan yang radikal ekstrim tersebut.

PENUTUP
Isu Radikalisme Islam sesungguhnya bukanlah dari Ummat Islam. Akan tetapi dari salah satu bentuk gerakan Islamo Phobia yang terus menerus dilancarkan oleh Barat dalam rangka semangat perang salib dan imperialisme moderen. Radikalisme dalam pengertian negatif amat ditentang dalam Islam, bahkan diistilahkan “bid’ah dhalalah” (penyimpangan yang sesat). Oleh karena itu pemerintah negara-negara Islam hendaknya jangan terus-menerus memerankan diri sebagai kuda tunggangan bagi berbagai kepentingan Barat yang salibis dan zionis itu. Semangat mempelajari agama Islam dengan sungguh-sungguh, dengan tanpa mengurangi semangat mempelajari iptek, harus dibangkitkan di kalangan Ummat Islam untuk mengurangi tumbuhnya semangat radikalisme ekstrim.


DAFTAR PUSTAKA:
1). Al-Ghuraba’ minal Mu’minin, Al-Imam Abu Bakar Al-Ajurri.
2). Basha’ir Dzawis Syaraf, As-Syaikh Salim Al-Hilali.
3). Ensiklopedi Indonesia, cet. 1984, Ikhtiar Baru – Van Hoeve.
4). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka.
5). Kamus Ilmiah Populer, Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, penerbit Arkola, Surabaya, th. 1994.

Moderat
Oleh: Fahmy Zarkasyi
Tahun 2008 Japan Institute of International Affair (JIIA) menggelar symposium di Tokyo.  Temanya “Islam and Asia: Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam”, yakni tentang masa depan politik Islam. Pesertanya mayoritas dari negara-negara Islam seperti Mesir, Pakistan, Iran, Turkey, Tunis, Indonesia dan Malaysia, ditambah seorang dari Amerika dan beberapa dari Jepang sendiri. Nampaknya simposium ini bertujuan untuk mengukur masa depan kekuatan politik Islam pasca peristiwa 11 September, akan ditangan radikal atau moderat.
Maka dari itu diantara isu yang dilontarkan disitu adalah tentang arti Muslim moderat. Istilah ini nampaknya berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi sekularisme tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme. Mulanya para peserta merespon dengan datar-datar saja. “Moderate” artinya tidak berlebihan ghuluww (ekstrim) dalam menjalankan agama. Bagi Professor Bedoui Abdelmajid, dari Tunis moderat dalam Islam tercermin dalam keimanan, peribadatan, hubugan sosial, tradisi dan dalam pemikiran maupun dalam kehidupan nyata.
Tapi masalahnya menjadi krusial ketika Angel Rabasa, wakil dari Rand Coorporation Amerika Syerikat mendefinisikan. Muslim moderat adalah yang mau menerima pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender, demokratisasi, humanisme dan civil society. Dr.Sohail Mahmud dari Pakistan menganggap definisi Rabasa itu sarat dengan kepentingan Barat. Azzam Tamimi, Direktur TV al-Hiwar London, menolak definisi itu dan menegaskan bahwa mayoritas Muslim menurut kriteria Islam adalah moderat meskipun tidak setuju dengan pluralisme, feminisme, humanisme dsb.
Saya pun ikut merespon. “Pengertian anda itu sekarang di Indonesia disebut dengan “Islam Liberal”, mestinya anda tahu itu. Dan “Islam Liberal” di Indonesia itu tidak moderat tapi ekstrim. Jika anda katakan “Islam liberal” adalah moderat maka konsekuensinya mayoritas umat Islam yang tidak liberal, termasuk NU dan Muhammadiyah, adalah fundamentalis, ekstrimis dan tidak moderat.
Masataka Takeshita, Professor Studi Islam dari Universitas Tokyo segera bertanya, apa yang anda maksud “Islam liberal”? saya katakan “Islam Liberal” itu terlalu kontekstual, artinya cenderung menafsirkan Islam hanya untuk menjustifikasi konsep-konsep dalam konteks masyarakat Barat. Contohnya, di kalangan liberal ada yang menafikan hukum Tuhan (syariah), mempersoalkan otentisitas al-Qur’an, menyoal otoritas ulama agar kemudian dapat menghalalkan homoseks dan lesbi, nikah beda agama dsb. Rabasa tetap pada pendiriannya, tapi diluar forum terus terang dia terkejut dan tidak percaya jika ada orang liberal Indonesia yang setuju dengan homoseks dan lesbi. I will check it, katanya.
Rabasa tak bergeming karena pasca 9/11, Rand Coorporation giat menjual “Islam moderat”. Setelah American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat tema ini secara serial lima tahun lalu, petanya semakin jelas. sedikitnya ada tiga kelompok: anti-Islam, Barat dan Islam.
Definisi Islam moderat yang anti Islam dalam dilihat pada situs “muslimsagainstshariah”. Disitu ditulis begini diantaranya: tidak anti bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, menentang jihad, pro Israel atau netral, tidak berreaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, syariah, dan terrorisme.  Andrew McCarthy dalam National Review Online, August 24, 2010 malah tegas-tegas menyatakan siapapun yang membela syariah tidak dapat dikatakan moderat. (no one who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.
Islam moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Rabasa, Graham E Fuller dan Ariel Cohen sudah seperti ijma. Muslim moderat, kata Fuller adalah yang menolak literalism dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain. Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental bau orientalismenya.
Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang liberal itu biasa dan “nothing wrong”. Tapi yang justru menemukan kesalahannya adalah John L Esposito. Dengan bijak dan adil dia kritik begini: pertama jika definisi Barat itu diterima maka Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Sholat Jumat menjadi kriteria moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk Paus John Paul II yang patrialistik itu justru tidak masuk kriteria moderat.
Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja. Seorang Muslim belum dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara publik. Tapi masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya yang menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan tanah Palestina. Itu kesalahan yang kedua.
Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian “Muslim moderat” di Barat adalah “a person who is not comfortable with his/her Islamic roots and heritage, and openly hostile to Islam, and eager to transcend all Islamic norms”. Contoh yang nyata, katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal mengkritik Syariah (bukunya The Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith), tapi pada saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh Barat dianggap sebagai “the voice of moderation”.
Bagi Muqtedar Khan, cendekiwan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang berfikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar ma’ruf nahi munkar (QS 5:48; 3:110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah Jan, menambahi Muslim yang menolak ketidak adilan atau Muslim yang hidupnya hanya untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan. Jadi, untuk mengalahkan radikalisme tidak perlu liberalisme dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus. Wallahu a’lam
Surah ash – shaff ayat 10-12
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ö@yd ö/ä39ߊr& 4n?tã ;ot»pgÏB /ä3ŠÉfZè? ô`ÏiB A>#xtã 8LìÏ9r& ÇÊÉÈ   tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur tbrßÎg»pgéBur Îû È@Î6y «!$# óOä3Ï9ºuqøBr'Î/ öNä3Å¡àÿRr&ur 4 ö/ä3Ï9ºsŒ ׎öyz ö/ä3©9 bÎ) ÷LäêZä. tbqçHs>÷ès? ÇÊÊÈ   öÏÿøótƒ ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ óOä3ù=Åzôãƒur ;M»¨Zy_ ̍øgrB `ÏB $pkÉJøtrB ㍻pk÷XF{$# z`Å3»|¡tBur Zpt6ÍhŠsÛ Îû ÏM»¨Zy_ 5bôtã 4 y7Ï9ºsŒ ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊËÈ  
10. Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
11. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
12. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel