islam radikal dan moderet
Wednesday, March 13, 2013
Islam Radikal
Al Ustadz Ja’far
Umar Thalib
Radikalisme
sesungguhnya banyak menjangkiti berbagai agama dan aliran-aliran sosial,
politik, budaya, dan ekonomi di dunia ini. Tetapi dalam masa pasca perang
dingin, yang menjadi fokus pergunjingan di dunia ialah apa yang diistilahkan
dengan Radikalisme Islam. Isu sentral dalam pergunjingan ini adalah munculnya
berbagai gerakan “Islam” yang menggunakan berbagai bentuk kekerasan dalam
rangka perjuangan untuk mendirikan “Negara Islam”. Arus informasi sedang dikontrol
oleh Barat dan sekutunya, yang notabene sedang menebarkan wabah Islamo Phobia
di seluruh dunia. Oleh karena itu definisi radikalisme Islam semakin bias,
sehingga meliputi pula segala bentuk militansi beragama di kalangan Muslimin
diidentikkan dengan “ekstrimis Islam” atau dalam istilah lain adalah “Islam
radikal” atau “Islam fundamentalis”. Fenomena inilah sesungguhnya sudah banyak
dipahami oleh berbagai pihak masyarakat Muslimin. Tetapi banyak pihak pula
merasa kebingungan dalam merespon berbagai fenomena tersebut berhubung tumbuh
suburnya mentalitas ketidak berdayaan serta rendah diri berhadapan dengan
superioritas Barat dan sekutunya.
RADIKALISME
POSITIF DAN NEGATIF
Secara
semantik, radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka). Dalam Ensiklopedi
Indonesia (Ikhtiar Baru – Van Hoeve, cet. 1984) diterangkan bahwa “radikalisme”
adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang
ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan
ideologi yang mereka anut. Dalam dua definisi ini “radikalisme” adalah upaya
perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim. Adapun dalam Kamus
Ilmiyah Populer karya Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry (penerbit Arkola
Surabaya, cet. th. 1994) diterangkan bahwa “radikalisme” ialah faham politik
kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan
untuk mencapai taraf kemajuan. Dalam definisi terakhir ini “radikalisme”
cenderung bermakna perubahan positif.
Oleh
karena itu, pandangan positif dan negatifnya terhadap radikalisme tentunya
terletak pada cara merealisasikan dan mengekspresikannya serta dasar pandang
para pengamatnya. Biasanya kaum establishment amat alergi dengan isu
radikalisme, berhubung kaum radikal amat gigih menuntut adanya perubahan sosial
politik yang berarti pula akan sangat tajam mengoreksi kalangan statusquo. Keinginan
adanya perubahan sosial – politik masih dianggap wajar dan positif bila
disalurkan melalui jalur perubahan yang benar dan tidak mengandung resiko
instabilitas politik dan keamanan. Dalam makna ini, radikalisme adalah wacana
sosial – politik yang positif. Adapun perubahan yang cepat dan menyeluruh
(revolusi), selalu diikuti oleh kekacauan politik dan anarkhi, sehingga
menghancurkan infra struktur sosial – politik bangsa dan negara yang mengalami
revolusi tersebut. Dalam makna ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman yang
negatif dan bahkan dapat pula dikatagorikan sebagai bahaya laten ekstrim kiri
ataupun kanan.
RADIKALISME
DI KALANGAN KAUM MUSLIMIN
Radikalisme
dalam makna yang positif adalah keinginan adanya perubahan kepada yang lebih
baik. Dalam istilah agama disebut ishlah (perbaikan) atau Tajdid (pembaharuan).
Adapun radikalisme dalam makna negatif adalah sinonim dengan makna ekstrimitas,
kekerasan dan revolusi. Dalam istilah agama disebut ghuluw (melampaui batas)
atau ifrath (keterlaluan). Kedua kutub makna yang amat bertolak belakang ini
berakibat munculnya dua kutub gerakan keagamaan yang konfrontatif di Dunia
Islam. Di sinilah letak kerancuan generalisasi Radikalisme Islam dalam makna
serba negatif sehingga semangat Islamo Phobia memperoleh tempat penyalurannya.
Karena tidak dapat membedakan antara Radikalisme Islam dalam makna positif
dengan Radikalisme dalam makna negatif. Kedua semangat Radikal tersebut
disamakan, karena keduanya menghendaki perubahan total sosial – politik bangsa
dan negaranya. Walaupun perbedaan keduanya sangatlah konfrontatif dan tidak
mungkin dipertemukan dari sisi mana pun.
Radikalisme
ekstrim pertama kali muncul di zaman akhir masa pemerintahan Khalifah Utsman
bin Affan radliyallahu `anhu, dalam bentuk gerakan yang dipimpin Abdullah bin
Saba’ (seorang Yahudi dari negeri Yaman yang masuk Islam di Al-Madinah
An-Nabawiyah dan kemudian menebarkan fitnah di kalangan kaum Muslimin tentang
keutamaan Ali menduduki jabatan Khilafah lebih dari Abu Bakar, Umar dan Utsman)
bersama dua ribu pengikutnya yang menghendaki untuk digantinya Usman bin Affan
dari kedudukannya sebagai Khalifah (kepala negara) dengan Ali bin Abi Thalib
radliyallahu `anhu. Karena Ali lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam di banding Utsman. Kelompok
Abdullah bin Saba’ berhasil membunuh Khalifah
Utsman, dan negara dalam kekacauan yang amat serius, sehingga para Shahabat
Nabi mendesak Ali bin Abi Thalib untuk memangku jabatan Khalifah untuk
menghindari ancaman kehancuran negara.
Gerakan
radikalisme ekstrim semakin menjadi-jadi di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
radliyallahu `anhu baik kwantitas maupun kwalitas. Gerakan ekstrim Ibnu Saba’
semakin menjadi-jadi (yaitu dengan menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib dan anak
cucunya adalah titisan Tuhan sehingga mereka meyakini bahwa beliau dan
keturunannya dari Fathimah Az-Zahra’ mempunyai sifat-sifat ketuhananan),
ditambah lagi dengan munculnya gerakan ekstrim di negeri Haura’ ( Kufah, Iraq)
yang dipelopori oleh tokoh ultra ekstrim bernama Abdullah bin Wahhab Ar-Rasibi.
Gerakan ini dinamakan Khawarij atau Haruriyah yang mempunyai prinsip bahwa
orang Islam yang berbuat dosa dianggap murtad dari Islam. Kemudian prinsip ini
berkembang pula kepada pemahaman yang lebih ekstrim yang mengatakan bahwa semua
orang Islam yang berada di luar kelompok alirannya dianggap kafir. Maka dengan
dasar pemahaman inilah mereka dengan serta merta mengkafirkan pemerintah di
negara-negara Islam. Dan dengan dasar pemahaman seperti inilah mereka melakukan
teror terhadap fasilitas-fasilitas umum di negara-negara Islam serta menggalang
pemberontakan kepada pemerintah-pemerintah Muslimin di negara-negara Islam.
Kalau karya pertama gerakan Ibnu Saba’ adalah membunuh Khalifah Utsman bin
Affan, maka karya pertama gerakan Khawarij adalah membunuh Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Maka kedua gerakan radikal tersebut mempunyai kesamaan misi, yaitu
menginginkan perubahan yang cepat dengan membunuh dan memberontak. Dan setelah
meninggalnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib, gerakan radikal ekstrim bertambah
lagi dengan munculnya Mu’tazilah di zaman pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin
Abi Sufyan. Gerakan radikal ini mempunyai Pancasila prinsip gerakan; yaitu:
1).
At-Tauhid, yang makna asalnya adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam segala sifat
dan namaNya, tetapi bagi gerakan ini maknanya ialah mengingkari keimanan kepada
adanya sifat-sifat bagi Allah.
2).
Al-‘Adel, yang makna asalnya ialah mempercayai keadilan Allah yang maha
sempurna, tetapi bagi gerakan ini maknanya ialah mengingkari keimanan kepada
adanya taqdir Allah atas segala kejadian di dunia ini.
3).
Al-wa’ad wal wa’ied, yaitu keyakinan gerakan ini bahwa seorang Muslim yang mati
dalam keadaan belum bertaubat dari dosa-dosanya, maka dia akan masuk neraka
kekal selamanya sebagaimana keadaan orang-orang yang mati dalam keadaan kafir.
4).
Al-manzilatu bainal manzilatain, yaitu keyakinan grakan ini bahwa seorang
Muslim yang berbuat dosa, maka di dunia ini dia keluar dari kedudukannya
sebagai Muslim, akan tetapi belum bisa dikatagorikan kafir, sehingga dia di
dunia ini dalam posisi di tengah-tengah di antara posisi Muslim dan posisi
kafir.
5).
Al-‘amru bil ma’ruf wan nahyu `anil munkar, yang makna asalnya ialah menyerukan
manusia kepada kebaikan dan mencegah manusia dari kemungkaran, tetapi bagi
gerakan ini maknanya ialah memperjuangkan tegaknya Syari’ah Islamiyah dalam
bernegara dan berbangsa dengan cara mengkudeta pemerintah yang sedang berkuasa.
Dan mencegah kemungkaran dengan cara memberontak kepada sumber kemungkaran
yaitu penguasa yang zalim.
Gerakan
radikal ekstrim Mu’tazilah ini dibangun pertama kali oleh Washil bin Atha’ yang
semula adalah murid dari Imam Al-Hasan Al-Bashri (seorang Ulama’ dari kalangan
Ahlul Hadits di masa generasi sesudah meninggalnya Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam). Tetapi ketika Washil mempelopori gerakan ekstrim
tersebut, maka dia diusir dari halaqah ilmu yang dipimpin Imam Al-Hasan
Al-Bashri, dan Washil akhirnya membikin halaqah sendiri terpisah dari halaqah
gurunya.
Dari
tiga aliran radikal ekstrim tersebut kemudian lahir berbagai aliran ekstrim
lainnya di dunia Islam sampai hari ini. Tiga aliran tersebut bila diperjelas
dalam kata-kata yang lugas adalah sebagai berikut:
1).
Aliran Abdullah bin Saba’ atau Ibnu Saba’ atau
Saba’iyah yang kemudian dikenal dengan aliran Ar-Rafidhah atau sekarang lebih
terkenal dengan nama Syi’ah.
2).
Aliran Khawarij atau Haruriyah atau Azariqah, yang berubah-rubah namanya di
setiap zaman dan tempat disesuaikan dengan situasi dan kondisi sosial – politik
yang sedang berkembang.
3).
Aliran Mu’tazilah atau Washiliyah, juga akhirnya berkembang di segala zaman dan
tempat dengan berganti nama juga sesuai dengan situasi dan kondisi sosial –
politik masing-masingnya.
Demikianlah
cikal bakal tumbuhnya berbagai aliran pemahaman agama yang radikal ekstrim
sehingga melahirkan berbagai fitnah keji di kalangan kaum Muslimin khususnya
dan di kalangan ummat manusia pada umumnya.
Adapun
pemahaman dan sikap radikal yang positif dalam pandangan Islam adalah ishlah
dan tajdid. Keduanya dikatakan radikal, karena menghendaki koreksi total
terhadap kondisi sosial – politik di masyarakat muslimin yang telah banyak
menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Melalui gerakan ishlah dan tajdid,
diperjuangkanlah perubahan sosial – politik agar sesuai dengan ajaran Islam
secara kaaffah.
Gerakan
ini dinamakan ishlah, karena sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam
yang memberitakan adanya orang-orang yang memperjuangkan ishlah di kalangan
masyarakat Muslimin ketika terjadi kerusakan dan penyimpangan dari tununan
agamanya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
(hadits1)
“Islam
mulai didakwahkan dalam keadaan asing di kalangan ummat manusia, dan Islam
nantinya di belakang hari akan kembali kepada keasingannya. Maka beruntunglah
orang-orang yang dianggap asing oleh lingkungannya (karena menjalankan ajaran
Islam yang sudah tidak dikenal lagi oleh keumuman orang). Para
shahabat bertanya: Siapakah mereka ya Rasulullah?” Beliau menjawab: Yaitu
mereka yang melakukan gerakan ishlah ketika terjadi kerusakan perangai pada
keumuman manusia.” (HR. Al-Imam Abu Bakar Al-Ajurri dalam Al-Ghuraba’ minal
Mu’minin hal. 23, dan At-Tirmidzi dalam Kitabul Iman bab 13 dan berkata
Tirmidzi: hadits ini hasan shahih gharib, dan Al-Baihaqi dalam Az-Zuhdul Kabir
no. 198 hal. 114, Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid 7 / 278 dari Jabir
radliyallahu `anhu).
Dan
gerakan ini dinamakan pula tajdid, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam telah memberitakan dalam sabdanya akan muncul orang yang selalu
melakukan perjuangan tajdid ini. Sebagaimana sabda beliau berikut ini:
(hadits2)
“Sesungguhnya
Allah akan selalu membangkitkan untuk ummat ini pada setiap seratus tahun,
orang yang akan melakukan gerakan tajdid terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud
dalam Sunannya hadis ke 4291, Al-Hakim dalam Al-Mustadraknya jilid 4 halaman
522 dan lain-lainnya).
Adapun
pengertian melalukan gerakan tajdid terhadap agamanya ialah sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam berikut ini:
(hadits3)
“Yang
akan terus menerus membawa ilmu agama ini pada setiap generasi (yakni setiap
seratus tahun) adalah orang-orang yang terpercaya ilmu agamanya dan perangainya
pada generasi itu. Mereka yang membawa ilmu agama dengan kriteria demikian itu
melakukan gerakan-gerakan sebagai berikut:
1).
Meluruskan kembali penyimpangan kalangan ekstrimis dalam memahami agama.
2).
Membantah kedustaan para pendusta yang ingin mengeksploitasi agama demi
kepentingan pribadinya atau golongannya.
3).
Meluruskan kembali penafsiran agama yang salah yang dilakukan oleh orang-orang
yang bodoh.”
(Hadis
ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra jilid 10 halaman 209,
dan Al-Ajurri dalam As-Syari’ah jilid 1 halaman 270 – 273 hadis ke 1 dan 2,
juga diriwayatkan oleh para Imam yang lainnya).
Demikianlah
asal penamaan ishlah dan tajdid bagi gerakan radikal positif dan sekaligus
pengertian daripada nama-nama yang menjadi simbul gerakan tersebut.
PRINSIP-PRINSIP
GERAKAN TAJDID DAN ISHLAH
Perlu
pula di sini dijelaskan beberapa prinsip gerakan radikal positif yang
diistilahkan ishlah dan tajdid tersebut agar semakin jelas perbedaan ideologis
antara gerakan radikal ekstrim dengan gerakan radikal positif tersebut,
sehingga di harapkan dapat mengurangi kesalahpahaman penilaian terhadap
keduanya. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1).
Menyerukan dan mengajarkan kepada Ummat Islam untuk memahami ajaran agamanya
dengan pemahaman yang benar sesuai dengan pemahaman Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi sallam dan para shahabat beliau terhadap Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
2).
Mengoreksi segenap pemahaman dan pengamalan kita terhadap agama ini agar
dibersihkan dari polusi syirik dan bid’ah.
3).
Membangun mental ketaatan kepada penguasa Muslim dalam segala perkara yang baik
dan berlepas diri dari kejelekan yang dilakukan oleh penguasa tersebut.
4).
Mencegah adanya sikap memberontak kepada penguasa Muslim dalam menyalurkan rasa
ketidak puasan terhadap berbagai kebobrokan penguasa Muslim.
5).
Menasehati penguasa Muslim dengan nasehat yang tidak menimbulkan pemahaman pada
masyarakat bahwa nasehat tersebut sebagai sikap memberontak kepada penguasa
yang dinasehati.
6).
Mencegah kemungkaran dengan syarat tidak mengandung resiko munculnya
kemungkaran yang lebih besar daripadanya.
7).
Mengikhlaskan segala bentuk perjuangan tersebut hanya untuk mencapai keridlaan
Allah Ta’ala dan tidak mempunyai tujuan sampingan atau susulan apa pun.
8).
Sabar berpegang teguh dengan prinsip-prinsip agama dan tidak bergeser
sedikitpun dari padanya dalam keadaan bagaimanapun dan dengan alasan apapun.
9).
Merujuk kepada kepemimpinan Ulama’ Ahlul Hadits dalam memutuskan
perkara-perkara besar atau prinsipiel dan tunduk patuh kepada keputusan para
Ulama’ tersebut dalam keadaan suka ataupun tidak suka.
10).
Menjaga persatuan dan kesatuan Ummat Islam di atas bimbingan Al-Qur’an dan
As-Sunnah serta menghindari perkara-perkara yang akan menjadi sebab perpecahan
Ummat Islam selama tidak menyimpang dari keduanya.
Demikianlah
beberapa prinsip pergerakan ishlah dan tajdid sebagai gerakan radikal positif
yang memperjuangkan adanya perubahan total dengan cara yang benar dan mencocoki
fitrah kemanusiaan.
GERAKAN
ISLAMO PHOBIA DAN AKIBATNYA
Faktor
ekstern Ummat Islam ikut berpengaruh besar dalam menumbuh suburkan semangat
radikal ekstrim di kalangan Ummat Islam. Di antara faktor ekstern tersebut
ialah gerakan Islamo phobia yang melancarkan aksi deIslamisasi dengan dua pola
sinergis:
1).
Menjauhkan Ummat Islam dari Ilmu agama dengan menyibukkan mereka di seputar iptek.
Seolah-olah belajar agama berarti tidak belajar iptek dan belajar iptek berarti
tidak belajar agama. Upaya yang demikian ini sangat strategis dalam menciptakan
kondisi mengambang di kalangan Ummat Islam terhadap agama mereka.
2).
Mengkondisikan pemerintah negara-negara Islam untuk terus-menerus curiga dan
ketakutan dari ancaman “bahaya Islam”. Sehingga pemerintah selalu bertindak
represif dalam memberangus aspirasi keagamaan Ummat Islam.
Dua
pola gerakan tersebut bagaikan pupuk penyubur tumbuhnya gerakan-gerakan radikal
ekstrim yang berlebel Islam. Karena berbagai gerakan radikal ekstrim tersebut
akan sangat laku dijual di kalangan Ummat Islam yang mempunyai semangat agama
tetapi jauh dari ilmu agama dan gerakan tersebut akan dapat dieliminir dengan bangkitnya
semangat belajar ilmu agama. Berbagai ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah
yang terus menerus mencurigai Ummat Islam, akan menjadi isu pemicu semangat
perlawanan Ummat Islam yang tidak dibimbing ilmu agama dengan model perlawanan
yang radikal ekstrim tersebut.
PENUTUP
Isu
Radikalisme Islam sesungguhnya bukanlah dari Ummat Islam. Akan tetapi dari
salah satu bentuk gerakan Islamo Phobia yang terus menerus dilancarkan oleh
Barat dalam rangka semangat perang salib dan imperialisme moderen. Radikalisme
dalam pengertian negatif amat ditentang dalam Islam, bahkan diistilahkan
“bid’ah dhalalah” (penyimpangan yang sesat). Oleh karena itu pemerintah
negara-negara Islam hendaknya jangan terus-menerus memerankan diri sebagai kuda
tunggangan bagi berbagai kepentingan Barat yang salibis dan zionis itu.
Semangat mempelajari agama Islam dengan sungguh-sungguh, dengan tanpa
mengurangi semangat mempelajari iptek, harus dibangkitkan di kalangan Ummat
Islam untuk mengurangi tumbuhnya semangat radikalisme ekstrim.
DAFTAR
PUSTAKA:
1).
Al-Ghuraba’ minal Mu’minin, Al-Imam Abu Bakar Al-Ajurri.
2).
Basha’ir Dzawis Syaraf, As-Syaikh Salim Al-Hilali.
3).
Ensiklopedi Indonesia, cet. 1984, Ikhtiar Baru – Van Hoeve.
4).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka.
5).
Kamus Ilmiah Populer, Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, penerbit Arkola,
Surabaya, th. 1994.
Moderat
Oleh:
Fahmy Zarkasyi
Tahun
2008 Japan Institute of International Affair (JIIA) menggelar symposium di
Tokyo. Temanya “Islam and Asia: Revisiting the Socio-Political
Dimension of Islam”, yakni tentang masa depan politik Islam. Pesertanya
mayoritas dari negara-negara Islam seperti Mesir, Pakistan, Iran, Turkey,
Tunis, Indonesia dan Malaysia, ditambah seorang dari Amerika dan beberapa dari
Jepang sendiri. Nampaknya simposium ini bertujuan untuk mengukur masa depan
kekuatan politik Islam pasca peristiwa 11 September, akan ditangan radikal atau
moderat.
Maka
dari itu diantara isu yang dilontarkan disitu adalah tentang arti Muslim moderat.
Istilah ini nampaknya berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi
sekularisme tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme. Mulanya para peserta
merespon dengan datar-datar saja. “Moderate” artinya tidak berlebihan
ghuluww (ekstrim) dalam menjalankan agama. Bagi Professor Bedoui
Abdelmajid, dari Tunis moderat dalam Islam tercermin dalam keimanan,
peribadatan, hubugan sosial, tradisi dan dalam pemikiran maupun dalam kehidupan
nyata.
Tapi
masalahnya menjadi krusial ketika Angel Rabasa, wakil dari Rand Coorporation
Amerika Syerikat mendefinisikan. Muslim moderat adalah yang mau menerima
pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender, demokratisasi, humanisme dan civil
society. Dr.Sohail Mahmud dari Pakistan menganggap definisi Rabasa itu
sarat dengan kepentingan Barat. Azzam Tamimi, Direktur TV al-Hiwar
London, menolak definisi itu dan menegaskan bahwa mayoritas Muslim menurut
kriteria Islam adalah moderat meskipun tidak setuju dengan pluralisme,
feminisme, humanisme dsb.
Saya
pun ikut merespon. “Pengertian anda itu sekarang di Indonesia disebut dengan
“Islam Liberal”, mestinya anda tahu itu. Dan “Islam Liberal” di Indonesia itu
tidak moderat tapi ekstrim. Jika anda katakan “Islam liberal” adalah moderat
maka konsekuensinya mayoritas umat Islam yang tidak liberal, termasuk NU dan
Muhammadiyah, adalah fundamentalis, ekstrimis dan tidak moderat.
Masataka
Takeshita, Professor Studi Islam dari Universitas Tokyo segera bertanya, apa
yang anda maksud “Islam liberal”? saya katakan “Islam Liberal” itu terlalu
kontekstual, artinya cenderung menafsirkan Islam hanya untuk menjustifikasi
konsep-konsep dalam konteks masyarakat Barat. Contohnya, di kalangan liberal
ada yang menafikan hukum Tuhan (syariah), mempersoalkan otentisitas al-Qur’an,
menyoal otoritas ulama agar kemudian dapat menghalalkan homoseks dan lesbi,
nikah beda agama dsb. Rabasa tetap pada pendiriannya, tapi diluar forum terus
terang dia terkejut dan tidak percaya jika ada orang liberal Indonesia yang
setuju dengan homoseks dan lesbi. I will check it, katanya.
Rabasa
tak bergeming karena pasca 9/11, Rand Coorporation giat menjual “Islam
moderat”. Setelah American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat
tema ini secara serial lima tahun lalu, petanya semakin jelas. sedikitnya ada
tiga kelompok: anti-Islam, Barat dan Islam.
Definisi
Islam moderat yang anti Islam dalam dilihat pada situs “muslimsagainstshariah”.
Disitu ditulis begini diantaranya: tidak anti bangsa semit, menentang
kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu
ditiru, menentang jihad, pro Israel atau netral, tidak berreaksi ketika Islam
dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, syariah, dan
terrorisme. Andrew McCarthy dalam National Review Online, August
24, 2010 malah tegas-tegas menyatakan siapapun yang membela syariah tidak dapat
dikatakan moderat. (no one who advocates shariah can be a moderate).
Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.
Islam
moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Rabasa, Graham E Fuller dan
Ariel Cohen sudah seperti ijma. Muslim moderat, kata Fuller adalah yang
menolak literalism dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam
dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran
agama lain. Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur
moderat adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur
dunia. Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai
menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya
sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam
pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental bau orientalismenya.
Definisi
Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang
liberal itu biasa dan “nothing wrong”. Tapi yang justru menemukan
kesalahannya adalah John L Esposito. Dengan bijak dan adil dia kritik begini:
pertama jika definisi Barat itu diterima maka Muslim konservatif dan
tradisionalis menjadi tidak moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim
memimpin Sholat Jumat menjadi kriteria moderat, maka banyak orang Kristen,
Yahudi dan penganut agama lain termasuk Paus John Paul II yang patrialistik itu
justru tidak masuk kriteria moderat.
Louay
Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama.
Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja. Seorang
Muslim belum dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara publik. Tapi
masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus mengingkari
kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya yang
menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan tanah Palestina. Itu
kesalahan yang kedua.
Kerancuan
lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian “Muslim moderat” di Barat
adalah “a person who is not comfortable with his/her Islamic roots and
heritage, and openly hostile to Islam, and eager to transcend all Islamic
norms”. Contoh yang nyata, katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang
feminis yang terkenal mengkritik Syariah (bukunya The Trouble with Islam: A
Muslim’s Call for Reform in Her Faith), tapi pada saat yang sama mengaku
sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh Barat dianggap sebagai “the
voice of moderation”.
Bagi
Muqtedar Khan, cendekiwan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang berfikiran
terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar ma’ruf nahi munkar
(QS 5:48; 3:110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah
Jan, menambahi Muslim yang menolak ketidak adilan atau Muslim yang hidupnya
hanya untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan.
Jadi, untuk mengalahkan radikalisme tidak perlu liberalisme dan agar menang
melawan hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang
akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus. Wallahu a’lam
Surah ash – shaff ayat 10-12
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ö@yd ö/ä39ßr& 4n?tã ;ot»pgÏB /ä3ÉfZè? ô`ÏiB A>#xtã 8LìÏ9r& ÇÊÉÈ tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur tbrßÎg»pgéBur Îû È@Î6y «!$# óOä3Ï9ºuqøBr'Î/ öNä3Å¡àÿRr&ur 4
ö/ä3Ï9ºs ×öyz ö/ä3©9 bÎ) ÷LäêZä. tbqçHs>÷ès? ÇÊÊÈ öÏÿøót ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRè óOä3ù=Åzôãur ;M»¨Zy_ ÌøgrB `ÏB $pkÉJøtrB ã»pk÷XF{$# z`Å3»|¡tBur Zpt6ÍhsÛ Îû ÏM»¨Zy_ 5bôtã 4
y7Ï9ºs ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊËÈ
10.
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang
dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
11. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.
12. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan
(memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah
keberuntungan yang besar.