pendidikan menurut Ibnu Sina
Wednesday, January 9, 2013
Konsep Pendidikan Ibnu Sina
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus
diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah
perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi
pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada
upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama
dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat,
kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, ibnu
sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan
segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah raga, makan, minum, tidur
dan menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah
untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat).
Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak
diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan
dengan pendidikan budi pekerti di harapkan seorang anak memiliki kebiasaan
bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan
kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat
daya hayalnya.
Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan
yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan,
penyablonan dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional
yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan
Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil
(manusia yang sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi diinya
secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengenbangkan potensi dan bakat
dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar
eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat.
2. Kurikulum
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan
untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai
satu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow
yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isisnya
sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai
syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.[3]
Kurikulim disini berfungsi sebagai alat
mempertemukan kedua pihak sehingga anak didik dapat mewujudkan bakatnya secara
optimal dean belajar menyumbangkan jasanya untuk meningkatkan mutu kehidupan
dalam masyarakatnya.[4]
Konsep Ibnu Sina tentang kurikulum didasarkan
pada tingkat perkembangan usia anak didik. Untuk usia anak 3 sampai 5 tahun
misalnya, menurut Ibnu Sina perlu diberikan mata pelajaran olahraga, budi
pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian.[5]
Pelajaran olahraga tersebut diarahkan untuk
membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan berfungsinya organ tubuh
secara optimal. Sedangkan pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si
anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Selanjutnya dengan pendidikan kebersihan diarahkan agar si anak memiliki
kebiasaan mencintai kebersihan. Dan dengan pendidikan seni suara dan kesenian
diarahkan agar si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta
meningkatkan daya khayalnya sebagaimana telah disinggung di atas.
Mengenai mata pelajaran olahraga, Ibnu Sina
memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya. Dalam
hubungan ini Ibnu Sina menjelaskan ketentuan dalam berolahraga yang disesuaikan
dengan tingkat perkembangan usia anak didik serta bakat yang dimilikinya.
Dengan cara demikian dapat diketahui dengan pasti mana saja diantara anak didik
yang perlu diberikan pendidikan olahraga sekedarnya saja, dan mana saja diantara
anak didik yang perlu dilatih olah raga lebih banyak lagi. Ibnu Sina lebih
lanjut memperinci tentang mana saja olahraga yang memerlukan dukungan fisik
yang kuat serta keahlian dan mana saja olahraga yang tergolong ringa, cepat,
lambat, memerlukan peralatan dan sabagainya. Menurutnya semua jenis olahraga
ini disesuaikan dengan kebutuhan bagi kehidupan anak didik.
Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina
yang perlu dimasukan kedalam kurikulum adalah olahraga kekuatan, gulat
meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.
Mengenai pelajaran kebesihan, Ibnu Sina
mengatakan bahwa pelajaran hidup berusia dimulai dai sejak anak bangun tidur,
ketika hendak makan, sampai ketika hendak bangun kembali. Dengan cara demikian,
dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat, dan
mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Selanjutnya kurikulum untuk usia 6 sampai 14
tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-qur’an,
pelajaran agama, pelajaran sya’ir dan pelajaran olah raga.
Pelajaran membaca dan menghafal menurut Ibnu Sina
berguna di samping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan
ayat-ayat al-qur’an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama
islam seperti pelajaran Tfasi Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan pelajaran
agama lainnya yang sumber utamanya Al-qur’an. Selain itu pelajara membaca dan
menghafal Al-Qur’an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa arab,
karena dengan menguasai Al-Qur’an berarti ia telah menguasai kosa kata bahasa
arab atau bahasa Al-qur’an.dengan demikian penetapan pelajaran membaca
Al-qur’an tampak bersifat startegis dan mendasar, baik dilihat daru segi
pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari segi pembentukan ilmuwan muslim,
sebagaimana yang diperlihatkan Ibnu Sina sendiri. Sudah menjadi alat kebiasaan
umat islam mendahulukan pelajaran Al-Qur’an dari yang lain-lain.
Hikmahnya :
untuk mengambil berkat dan mengharapkan pahala
khawatir kalau anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum sampai membaca/ menghafal al-qur’an. Akhirnya anak-anak tidak mengenal al-qur’an sama sekali.[6]
khawatir kalau anak-anak tidak terus belajar lalu keluar sebelum sampai membaca/ menghafal al-qur’an. Akhirnya anak-anak tidak mengenal al-qur’an sama sekali.[6]
Selanjutnya kurikiulum untuk usia 14 tahun ke
atas menurut Ibnu Sina mata pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya,
namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat si anak.
Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan
cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut
dengan baik. Ibnu sian menganjurkan kepada para pendidikagar memilihkan jenis
pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih
lanjut oleh muridnya.
Kedua, bahwa startegi penyusunan kurikulum yang
ditawarkan Ibnu Sina juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis
fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang
dipelajari dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pasar (marketing
oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap
difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada dimasyarakat.
Ketiga, strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina
tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya.
Pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam, ilmu dan keterampialan
ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata lain, ia menghendaki
agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahliaan menempuh
sebagaimana cara yang ia lakukan.
Dengan meliha cirri-ciri tersebut dapat dikatakan
bahwa konsep kurikulum Ibnu Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan
kurikulum yang dikehendaki masyarakat modern saat ini. Konsep kurikulum untuk
anak 3 sampai5 tahun misalnya, tampak masih cocok untuk diterapkan dimasa
sekarang, sepeti pada kurikulum Taman Kanak-Kanak.
Metode Pengajaran
Konsep metode yang ditawarkan Ibnu Sina antara
lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi
pelajaran Ibnu Sina selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak
didik. Berdasarkan pertimbangan psikologinya, Ibnu Sina berpendapat bahwa suatu
materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam
anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara
sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Penyampaian materi pelajaran pada anak menurutnya
harus disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara
metode dengan materi yang diajarkan tidak akan kehilangan daya relevansinya.
Metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain metode talqin,
demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi magang, dan penugasan.
Yang dimaksud dengan metode talqin dalam cara
kerjanya digunakan untuk mengajarkan membaca al-qur’an, dimulai dengan cara
memperdengerkan bacaan al-qur’an kepada anak didik sebagian demi sebagian.
Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan disuruh mengulangi bacaan
tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang hingga hafal. Cara seperti
ini dalam ilmu pendidikan modern dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana
dikenal dalam pengajaran dengan modul.
Selanjutnya mengenai metode demontrasi menurut
Ibnu Sina dapat digunakan dalam cara mengajar menulis. Menurutnya jika seorang
guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan
tulisan huruf hijaiyah di hadapan murid-muriodnya. Setelah itu barulah menyuruh
para murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyyah sesuai dengan
makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
Berkenaan dengan metode pembiasaan dan teladan,
Ibnu Sina mengatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode
pengajaran yang paling efektif, khususnya dmengajarkan akhlak. Cara tersebut
secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan denganm
perkembangan jiwa si anak, sebagaimana hal ini telah disinggung pada uraian
diatas.
Selanjutnya metode diskusi dapat dilakukan dengan
cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan pada suatu masalah yang dapat
berupa pertanyaan yang bersifat problematic untuk dibahas dan dipecahkan
bersama.
Berkenaan dengan metode magang, Ibnu Sina telah
menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid
Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori
dan praktek. Yaitu satu hari diruang kelas untuk mempelajari teori dan hari
berikutnya mempraktekan teori tersebut dirumah sakit atau balai kesehatan.
Selanjutnya berkenaan dengan metode penugasan
adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu
agar siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam bahasa arab pengajaran dengan
penugasan ini dikenal dnegan istilah at-ta’iim bi al-marasil ( pengajaran
dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul ).
Dalam keseluruhan urasian mengenai metode pengajaran
tersebut diatas terdaoat empat cirri penting, yakni:
uraian tentang berbagai metode tersebut
memperlihatkan adanya keinginan yang besar dari ibnu sina terhadap keberhasilan
pengajaran.
setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam presfektif kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta tingkat usia peserta didik.
metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik.
metode yang ditawarkan ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingka perguruan tinggi.
setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam presfektif kesesuaiannya dengan bidang studi yang diajarkannya serta tingkat usia peserta didik.
metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperhatikan minat dan bakat si anak didik.
metode yang ditawarkan ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingka perguruan tinggi.
Cirri-ciri metode tersebut hingga sekarang masih
banyak digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa
pemikiran Ibnu Sina dalam bidang metode pengajaran masih relevan dengan
tuntutan zaman.
4. Konsep Guru.
Konsep guru yang idtawarkan Ibnu Sina antara lain
berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa
guru yang baik adalah berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik
akh;ak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok
dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan suci
murni.
Lebih lanjut Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang
guru itu sebaiknya darikaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya,
cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membingbing anak-anak, adil, hemat dalam
penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak dll.
Berkenaan dengan tugas pendidikan, maka tugas
seorang guru tidaklah mudah. Sebab pada hakekatnya tugas pendidikan yang utama
adalah membentuk perkembangan anak dan membiasakan kebiasaan yang baik dan
sifat-sifat yang baik menjadi factor utama guna mencapai kebahagiaan anak, oleh
karena itu orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik, contoh yang
bagus dan berakhlak hingga tidak meninggalkan kesan buruk dalam jiwa anak yang
menirunya.[7]
Jika diamati secara seksama, tampak bahwa potret
guru yang dikehendaki Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru
yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam pendapatnya itu Ibnu Sina selain
menekankan unsure kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian
yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak
didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia
dapat membina mental dan akhlak anak.
5. Konsep Hukuman dalam Pengajaran
Ibnu Sina pada dasarnya tidak berkenan
menggunakan hukuman dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya
yang sangat menghargai martabat manusia. Namun dalam keadaan terpaksa hukumanm
dapat dilakukan dengan cara yang amat hati-hati. Ibnu Sina menyadari
sepenuhnya, bahwa manusia memiliki naluri yang selalu ingin disayang, tidak
suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan halus. Atas dasar pandangan
kemanusiaan inilah maka Ibnu Sina sangat membatasi pelaksanaan hukuman.
Penggunaan-penggunaan bantuan tangan adalah
pembantu paling diandalkan dan merupakan seni bagi seorang pendidik. Dengan ada
control secara terus-menerus, maka mendidik anak dapat diawasi dan diarahkan
sesuai dengan tujuan pendidikan.[8]
Ibnu Sina membolehkan pelaksanaan hukuman dengan
cara yang ekstra hati-hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan
terpaksa atau tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman tidak boleh
dilakukan. Sikap humanistic ini sangat sejalan dengan alam demokrasi yang
menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan sebagainya.