QIYAS
Saturday, November 10, 2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio.
Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan
hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus)
dalam syariah (al-kitab wa sunnah).Dengan demikian, sumber hukum Islam terdiri
atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum primer
tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah),
yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul
al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah dan
Istishhab.
Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan dalam
proses interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist merupakan
sumber hukum yang masih universal penjelasannya. Sehingga dibutuhkan ijtihad
para mujtahid. Tidak bisa dipungkiri bahwa amalan para mujtahid masih sangat
diperlukan dalam menginstinbathkan hukum syara. Sebab ada hal-hal tertentu
dalam hukum syara` yang memang masih butuh penjelasan lebih lanjut. Biasanya
yang menjadi objek dari qiyas ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan cabang
bukan pokok dari suatu perkara hukum syara`.
Biasanya untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran maupun
al-hadits. Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan
baru dalam dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan
zaman. Untuk itu penganalogian masalah hukum dengan tetap memperhatikan
al-quran dan hadits sebagai acuan pokok menjadi sangat penting untuk
menghindari perpecahan dan kebutaan umat terhadap perkara hukum syara`. Maka
diperlukan Qias sebagai sumberhukum islam yang ke 4. olehnya itu, pada
pembahasan makalah kami ini akan memaparkan sedikit tentang qiyas.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka kami merumuskan masalahnya pada hal-hal
sebagai berikut :
1.
Pengertian qiyas
2.
Rukun-rukun qiyas
3.
Dalil-dalil kehujjaan qiyas
4.
Keraguan-keraguan penolakan qiyas
5.
Syarat-syarat qiyas
6.
Tempat berlakunya qiyas
C.
Batasan masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah kami adalah :
1.
Apa Pengertian qiyas?
2.
Bagaimana rukun-rukun qiyas?
3.
Apa Dalil-dalil kehujjaan qiyas?
4.
Keraguan-keraguan penolakan qiyas?
5.
Apa Syarat-syarat qiyas?
6.
Dimana Tempat berlakunya qiyas?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qiyas
Menurut bahasa, qiyas berarti
“menyamakan” sedang menurut istilah ahli ushul, qiyas adalah menyamakan hukum
suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan hukum perkara lain yang sudah di
tetapkan oleh nash, karena adanya persamaan dalam illat (alasan) hukum, yang
tidak bisa di ketahui dengan semata-mata memahami lafad-lafadnya dan mengetahui
dilalah-dilalah bahasanya.
Sebenarnya, pengertian qiyas
syar’i di atas di ambil dari pengertian bahasanya. Sebab qiyas menurut bahasa,
berarti menyamakan. Perbedaan antara dua defenisis di atas adalah bahwa
defenisi yang pertama menjelaskan bahwa qiyas dengan pengertian yang hakiki.
Qiyas dalam pengertian ini adalah merupakan hujjah ilahiyah yang datang
dari sisi Allah untuk mengetahui hukum-Nya, dan bukan perbuatan yang di
datangkan bagi seseorng.
Adapun defenisi kedua,ia
menegaskan makna qiyas secara majazi, yang merupakan amalan para mujahid, yang
di tegakkan untuk membistimbathkan hukum syara’. Illat qiyas itu tidak dapat di
ketahui dalam semata-mata memahami lafad dan maknanya tetapi memerlukan pada
pencerahan pikiran dalam memperhaikan, beristidlal dan beristinbath hukum
secara akal.
B.
Rukun-Rukun Qiyas
Dari memahami dfenisi qiyas di
atas, maka dapat di mengerti bahwa qiyas itu harus terdiri dari empat perkara,
yang sekaligus merupakan rukun-rukunnya, yaitu :
1.
Ashl (pokok) yaitu obyek atau masalah yang sudah ada
hukumnya, berdasarkan ketetapan nash (Al-qur’an atau As-sunnah).
2.
Far’u (cabang) yaitu obyek (masalah) yang akan di tentukan
hukumnya, yaitu masalah yang belum ada hukumnya dalam nash.
3.
Illat yaitu sifat yang menjadi motif (alasan) dalam
menentukan hukum.
4.
Hukum Al-ashl, yaitu hukum yang telah di tetapkan oleh nash.
Contoh: “Allah telah
mengharamkan khamar dalam Al-qur’an. Menurut mazhab Hanafi Khamar adalah
perasa’an anggur yang tidak di masak tetapi di biarkan sampai lama, sehingga
keluar buihnya.ayat tersebut adalah :
Dalam contoh di atas, khamar
merupakan perkara pokok yang telah tercantum hukumnya dalam nash, ia di pakai
untuk menyamakan. Sedang nabidz merupakan furu’ (perkara cabang) yang huumnya
tidak ada dalam nash. Ia di samakan hukumnya dengan khamar yang ada ketetapan
hukumnya dalam nash.
Hukum haram merupakan hukum
yang telah di tetapkan pada perkara pokok (khamar). Ia di berlakukan terhadap
perkara furu’ (nabidz). Adapun perkara furu’; yakni keharaman nabidz, maka ia
merupakan kesimpulan dari qiyas (membandingkan) dua perkara di atas.
C.
Dalil-Dalil Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama telah mendatangkan
dalil-dalil dari syariat untuk mendukung kehujjahan qiyas, dan sekaligus
membantah golongan-golongan yang mengingkari dan peniadaan kehujjahan qiyas
dalam syari’at golongan terakhir ini disebut nuffatul qiyas (penolak qiyas).
Berikut ini adalah dalil-dalil
kehujjahan qiyas :
1.
Bahwa syari’at islam datang untuk mengatur kehidupan
manusia; memelihara hubungan mereka secar khusus maupun yang umum di antara
individu dan masyarakat;
Allah yang maha suci tidaklah
mengutus para nabi dan rasul kepada manusia kecuali sebagai rahmat alam
semesta.Allah berfirman:
!$tBur š»oYù=y™ö‘r& žwÎ) ZptHôqy‘ šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya: “Dan tidaklah kami
mengutus kamu ( muhammad ) malainkan sebagai rahmat bagi alam
semesta (al-anbiya’:107)”.
2. Bahwa
al-qur’an telah mempergunakan qiyas dalam mencukupkan dan menetapkan hujjah
serta menjelaskan sebagai hukum dan menetapkannya jika sama, dan
menghilangkannya jika berbeda.
3.
Bahwa al-qur’an telah banyak menyuruh manusia untuk
mengambil I’tibar (pelajaran) dalam berbagai peristiwa.
4.
Bahwa para sahabat telah berjima’ atas kehujjahan
qiyas.
5.
Bahwa nash-nash al-qur’an dan as sunnah adalah terbatas dan
sudah selesai sedangkan peristiwa-pristiwa atau kejadian-kejadian zaman tiada
henti-hentinya terjadi.
D.
Keraguan-Keraguan Penolak Qiyas
An-Nadhdham dari kalangan
mu’tazilah, dan segolongan ulama syiah berpendapat bahwa qiyas tidaklah
termaksuk hujjah dalam syari’at islam dasar mereka adalah:
1.
Bahwa qiyas dalam syari’at (islam) tidak di perlukan. Sebab
tidak ada tempat padanya. Nash-nash yang ada di dalam Al-qur’an ada yang
menjelaskan sebagian hukum sesuatu dengan terang dan jelas. Seperti yang
menyatakan wajib, haram, sunnat, makruh dan mubah.
2.
Bahwa qiyas itu di tegakan di atas dhonni, sebagaimana di
nyatakan Al-qur’an dan tidak boleh di amalkan, Allah berfirman:
artinya : “janganlah kamu
mengikuti sesuatu yang kamu sendiri tidak mempunyai pengetahuan tentang hal
itu”.
3.
Bahwa Allah, sebagaimana yang di katakana An-nadhdhom, telah
membedakan di antara dua hukum yang serupa, yaitu ketika memotong tangan
pencuri, tetapi tidak memotong tangan perampok. Memotong tangan jika yang di
curi itu ada empat dinar, tetapi menjadikan diyatnya lima ratus dinar dan
mewajibkan hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berzinah tetapi tidak
mewajibkan hukuman atas orang yang menuduh kepada orang lain.
Dengan adanya
perbedaan-perbadaan hukum di antara masalah-masalah ini adalah karena tidak
adanya kesamaan illat yang menjadi dasar hukumnya.
E.
Syarat-Syarat Qiyas
Qiyas itu di tegakan di atas
empat rukun qiyas , yaitu perkara ashal, perkara furu’, hukum ashal dan illat
hukum.
1.
Syarat hukum ashal
a)
Hukum ashal hendaknya di tetapkan oleh Al-Qur’an seperti
keharaman khamar sebagaimana yang telah di jelaskan sebelumnya atau hukum ashal
hendaknya di tetapkan oleh hadist
b)
Hukum ashal itu hendaknya dapat di salami akal (ma’kulul
ma’na). Maksudnya akal mampu menentukan illatnya seperti keharaman
khamar.
c)
Hukum ashal hendaknya bukan merupakan hukum yang khusus.
Sebab hukum yang khusus tidak bisa di berlakukan kepada furu’ dengan cara
qiyas.
2.
Syarat-syarat furu’
a.
Tidak ada nash dan ijma yang menetapkan hukum furu’ sebab
qiyas ketika terdapat nash atau ijma yang bertentangan dengannya, maa qiyas
tersebut merupakan qiyas yang batal (fasid) dan berdasarkan kepada illat yang
tidak di benarkan.
b.
Antara furu’ dan ashal harus sama illat hukumnya, tidak ada
berbedaan antara keduanya, sehingga tidak ada mengqiyaskan sesuatu dengan
berbeda.
3.
Syarat-syarat illat
Syarat-syarat illat yang telah
di sepakati para ulama ushul itu ada empat macam:
a.
Illat itu berupa sifat yang jelas
b.
Illat itu harus berupa sifat yang sudah pasti
c.
Illat itu harus berupa sifat yang sesuai (munasib) dengan
hikmah hukum
d.
Illat itu bukan hanya terdapat pada asal (pokok) saja.
F.
Tempat Berlakunya Qiyas
Di lihat dari sebagian ulama
bahwa qiyas berlaku pada semua hukum syari’ah, meskipun dalam perkara hudud,
kafarat, taqditar ( hukum-hukum yang telah di tetapkan ) dan hukum-hukum
perkecualian, apabila syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Sebab dalil yang
mendukung atas kehujjahannya tidak membeda-bedakan antara satu macam hukum
dengan hukum-hukum yang lain.
Dari golongan Hanafiayah
berpendapat bahwa qiyas tidak berlaku pada masalah hudud ( pidana yang telah di
tetapkan nash ) sebab ia termaksuk batas yang telah di tetapkan Allah, yang
tidak bisa di ketahui illatnya oleh akal. Sedangkan qiyas juga syubhat, sebab
ia menunjukan pada hukum dengan cara yang dhonni, bukan qat’hi. Maka uqubat
yang telah di wajibkan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang qat’hi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qiyas adalah menyamakan hukum
suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan hukum perkara lain yang sudah di
tetapkan oleh nash, karena adanya persamaan dalam illat (alasan) hukum, yang
tidak bisa di ketahui dengan semata-mata memahami lafad-lafadnya dan mengetahui
dilalah-dilalah bahasanya. Dengan demikian qiyas bisa dipandang sebagai prosese
berfikir dalam rangka mengeluarkan hukum (istimbath), disamping itu qiyas juga
sebagai salah satu dalil yang dapat dijadikan petunjuk adanya hukum oleh suatu
kaidah yang sudah diakui kekuatan dan kebenarannya