Kemitraan Bisnis dalam islam
Friday, October 19, 2012
BAB I
PEDAHULUAN
A. Latarbelakang
Kekuatan dan vitalitas suatu kelompok masyarakat sangat bergantung
kepada kemampuannya memenuhi
kebutuhan-kebutuhan terhadap barang dan jasa
bagi para anggotanya dan
masyarakat-masyarakat lainnya. Produksi dan
distribusi barang dan jasa
menuntut sumber-sumber daya bukan saja keuangan,
tetapi juga keahlian dan
manajemen. Tidak setiap orang dibekali
sumber-sumber daya dengan suatu
kombinasi optimal. Oleh karena itu, mutlak
menghimpun semua sumber daya yang
tersedia untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Penghimpunan sumber-sumber daya ini harus
diorganisasikan dalam suatu cara
yang saling menguntungkan atau altuaristis
dengan konsep kemitraan yang
sejajar di antara masing-masing pihak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEMITRAAN SEBAGAI ALTERNATIF PERMODALAN USAHA
Pembangunan Ekonomi harus mampu
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat berdasarkan azas
demokrasi, kebersamaan, dan kekeluargaan yang
melekat, serta mampu memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua
pelaku ekonomi untuk berperan
sesuai dengan bidang usaha masing-masing.
Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat, dibutuhkan sebuah
bentuk kemitraan yang diartikan
sebagai kerjasama pihak yang mempunyai modal
dengan pihak yang mempunyai
keahlian atau peluang usaha dengan memperhatikan
prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat, dan saling menguntungkan
Esensi kemitraan jika ditinjau dari sudut pandang tujuan perlindungan
usaha adalah agar kesempatan
usaha yang ada dapat dimanfaatkan pula oleh
yang tidak mempunyai modal tetapi
punya keahlian untuk memumuk jiwa
wirausaha, bersama-sama dengan
pengusaha yang telah diakui keberadaannya.
Pada dasarnya kemitraan secara alamiah akan mencapai tujuannya jika
kaidah saling memerlukan, saling
memperkuat, dan saling menguntungkan dapat
dipertahankan dan dijadikan
komitmen dasar yang kuat di antara para pelaku
kemitraan.[1] Implementasi
kemitraan yang berhasil harus bertumpu kepada
persaingan sehat dan mencegah
terjadinya penyalahgunaan posisi dominan dalam
persekutuan untuk menghindari
persaingan.
Alternatif kemitraan dalam pengembangan usaha kecil dan mikro bukan
dimaksudkan untuk memanjakan atau
pemihakan yang berlebihan , tetapi justru
upaya untuk peningkatan
kemandirian pengusaha kecil dan mikro sebagai pilar
dalam pembangunan ekonomi
kerakyatan. Strategi peningkatan skala usaha dan
akses permodalan dengan
penyaluran kredit program, jika tidak dilakukan
dengan konsep kemitraan
sebagaimana mestinya, pada akhirnya malah akan
menyisakan masalah kredibilitas
tersendiri.
Dalam konsep kemitraan semua pihak harus menjadi stake holders dan
berada
dalam derajat subyek-subyek bukan
subyek-obyek, sehingga pola yang
dijalankan harus dilandasi dengan
prinsip-prinsip partisipatif dan
kolaboratif yang melibatkan
seluruh stake holders dalam kemitraan yang
dijalankan.
Sebagaimana teori sosial pengembangan
masyarakat yang sedang berkembang
akhir-akhir ini, maka dalam
menetapkan suatu program pembangunan ekonomi
harus memperhatikan faktor-faktor
yang berkembang dan sesuai dengan situasi
dan kondisi masyarakat, adat,
budaya, tradisi, moral dan keyakinan agama
yang dianut oleh masyarakat
wilayah itu sendiri.
B.
BENTUK KEMITRAAN DALAM SISTEM EKONOMI SYARIAH
Sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya yang memegang
adat-budaya dengan berlandaskan
kepada agama Islam, maka perlu rasanya
mengkaji Sistem Ekonomi Syariah,
khususnya pola kemitraan bagi hasil sebagai
alternatif pemodalan usaha.
Kekuatan dan vitalitas suatu kelompok masyarakat sangat bergantung
kepada kemampuannya memenuhi
kebutuhan-kebutuhan terhadap barang dan jasa
bagi para anggotanya dan
masyarakat-masyarakat lainnya. Produksi dan
distribusi barang dan jasa
menuntut sumber-sumber daya bukan saja keuangan,
tetapi juga keahlian dan
manajemen. Tidak setiap orang dibekali
sumber-sumber daya dengan suatu
kombinasi optimal. Oleh karena itu, mutlak
menghimpun semua sumber daya yang
tersedia untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Penghimpunan sumber-sumber daya ini harus
diorganisasikan dalam suatu cara
yang saling menguntungkan atau altuaristis
dengan konsep kemitraan yang
sejajar di antara masing-masing pihak.
Dalam Sistem Ekonomi Syariah dikenal
beberapa bentuk kemitraan dalam
berusaha, namun yang umum dikenal
ada 2 (dua), yaitu Mudharabah dan
Musyarakah.
1. Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha)
Mudharabah adalah sebuah bentuk kemitraan di mana salah satu mitra, yang
disebut "shahibul-maal"
atau "rabbul-maal" (penyedia dana) yang menyediakan
sejumlah modal tertentu dan
bertindak sebagai mitra pasif, sedangkan mitra
yang lain disebut
"mudharib" yang menyediakan keahlian usaha dan manajemen
untuk menjalankan ventura,
perdagangan, industri atau jasa dengan tujuan
mendapatkan laba.Mudharib
merupakan orang yang diberi amanah dan juga
sebagai agen usaha. Sebagai orang
yang diberi amanah, ia dituntut untuk
bertindak hati-hati dan
bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi
karena kelalaiannya. Sebagai agen
usaha, ia diharapkan mempergunakan dan
mengelola modal sedemikian rupa
untuk menghasilkan laba optimal bagi usaha
yang dijalankan tanpa melanggar
nilai-nilai Syariah Islam. Perjanjian
mudharabah dapat juga dilakukan
antara beberapa penyedia dana dan pelaku
usaha.
Sedangkan secara ringkas, di dalam Ensiklopedia Hukum Islam, mudharabah
dapat diartikan sebagai pemilik
modal menyerahkan modalnya kepada pekerja/
pedagang untuk diusahakan/
dikelola sedangkan keuntungan dagang itu dibagi
menurut kesepakatan bersama. Mudharabah
dalam bahasa teknis keuangan
dikenal dengan istilah Kerjasama
Mitra Usaha dan Investasi atau Trust
Financing, Trust Investment.
Secara umum, mudharabah terbagi atas dua jenis, yaitu mudharabah
muthlaqah dan mudharabah
muqayadah.
1. Mudharabah Muthlaqah
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal (penyedia dana) dengan
mudharib yang cakupannya sangat
luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi
jenis usaha, waktu, dan daerah
bisnis. Penyedia dana melimpahkan kekuasaan
yang sebesar-besarnya kepada
mudharib untuk mengelola dananya.
2. Mudharabah Muqayyadah
Adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, di mana mudharib dibatasi
dengan batasan jenis usaha,
waktu, dan tempat usaha yang telah diperjanjikan
di awal akad kerjasama.
Pembagian laba antara penyedia dana dengan mudharib harus berdasarkan
suatu proporsi yang adil dan
telah disepakati sebelumnya dan secara
eksplisit disebutkan dalam
perjanjian mudharabah. Pembagian laba tidak boleh
dilakukan sebelum kerugian yang
ada ditutupi dan modal awal dikembalikan
kepada penyedia dana. Setiap
distribusi laba sebelum pentupan perjanjian
mudharabah dipandang sebagai
utang. Jika mudharabah tidak ditentukan batas
waktu atau berterusan,
diperbolehkan menunjuk secara khusus periode
perhitungan yang disepakati
bersama dalam pembagian laba, dengan melihat
masing-masing periode secara
independen, dan jika terjadi kerugian pada
periode tertentu dapat ditutupi
dengan menggunakan laba dalam periode yang
akan datang sampai persetujuan
mudharabah berakhir. Karena itu, dalam hal
mudharabah yang berterusan,
diperlukan untuk menyisihkan cadangan dari
sebagian laba untuk menggantikan
kerugian yang mungkin timbul di suatu
periode.
Semua kerugian yang terjadi dalam perjalanan bisnis harus ditutup dengan
laba sebelum ditutup oleh ekuitas
penyedia dana. Prinsip umum dalam
mudharabah adalah penyedia dana
hanya menanggung resiko modal, sedangkan
mudharib hanya menanggung resiko
waktu dan usahanya.
Liabilitas penyedia dana dalam kontrak mudharabah terbatas pada
kontribusinya dalam menyediakan
modal awal,tidak lebih dari itu. Sang
Mudharib tidak diperbolehkan
melakukan bisnis mudharabah untuk jumlah yang
lebih besar dari modal yang
diberikan oleh penyedia dana. Jika ia
melakukannya atas dasar
kemauannya sendiri, maka mudharib berhak mendapatkan
laba itu dari usaha itu dan juga
menanggung kerugian yang timbul.
Mudharabah akan berakhir setelah selesai proyek yang dikerjakan atau
batas waktu yang ditentukan telah
berlalu, atau kematian salah satu pihak,
atau pengumuman dari salah satu
pihak untuk mengundurkan diri dari
mudharabah dengan niat
membubarkannya.
Musyarakah merupakan suatu bentuk organisasi usaha di mana dua orang
atau
lebih menyumbangkan pembiayaan
dan manajemen usaha, dengan proporsi sama
atau tidak sama.Keuntungan dibagi
menurut perbandingan yang sama atau
tidak sama, sesuai kesepakatan,
antara para mitra, dan kerugian akan
dibagikan menurut proporsi modal.
Musyarakah secara bahasa berarti
mencampur. Dalam hal ini
mencampur satu modal dengan modal yang lain
sehingga tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Musyarakah dikenal juga
dengan istilah
"Syirkah".
Menurut istilah fikih, syirkah adalah
sesuatu akad antara dua orang atau
lebih untuk berkongsi modal dan
bersekutu dalam keuntungan.
Pada prinsipnya syirkah atau musyarakah ada dua jenis, yaitu musyarakah
kepemilikan (amlak) dan
musyarakah yang tejadi karena kontrak (uqud).
Musyarakah kepemilikan tercipta
karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya
yang mengakibatkan pemilikan satu
asset oleh dua orang atau lebih. Dalam
musyarakah ini, kepemilikan
berbagi dalam asset nyata dan keuntungan yang
dihasilkan oleh asset tersebut.
Musyarakah akad tercipta karena adanya kesepakatan antara dua orang atau
lebih bahwa tiap-tiap orang dari
mereka memberikan modal musyarakah dan
sepakat berbagi keuntungan dan
kerugian. Ketentuan tentang pembagian
keuntungan dan petanggungjawaban
kerugian persekutuan dalam syirkah, menurut
M. Nejatullah Siddiqi adalah[3]:
1. Kerugian merupakan bagian
modal yang hilang, karena kerugian akan
dibagi ke dalam bagian modal yang
diinvestasikan dan akan ditanggung oleh
para pemodal;
2. Keuntungan akan dibagi di antara para sekutu
atau mitra usaha
dengan bagian yang telah
ditentukan oleh mereka dengan bagian atau
prosentase tertentu, bukan dalam
jumlah nominal yang pasti yang ditentukan
oleh dan bagi pihak manapun;
3. Dalam suatu kerugian usaha
yang berlangsung terus, diperkirakan
usaha akan menjadi baik kembali
melalui keuntungan sampai usaha tersebut
menjadi seimbang kembali.
Penentuan jumlah nilai ditentukan
kembali dengan
menyisihkan modal awal dan jumlah
nilai yang tersisa akan dianggap sebagai
keuntungan atau kerugian;
4. Pihak-pihak yang berhak
atas pembagian keuntungan usaha boleh
meminta bagian mereka hanya jika
para penanam modal awal telah memperoleh
kembali investasinya, atau
pemilik modal melakukan suatu transfer yang sah
sebagai hadiah kepada mereka.
Musyarakah akad merupakan sebuah kemitraan kontraktual dan dipandang
sebagai suatu kemitraan yang
benar karena pihak yang bersangkutan bersedia
memasuki persetujuan kontrak
untuk melakukan investasi bersama dalam berbagi
keuntungan dan resiko.
Musyarakah atau syirkah akad dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
1. Syirkah Al Inan
Merupakan kemitraan antara dua orang atau lebih yang masing-masing
menyertakan modal ke dalam sebuah
usaha dan sekaligus menjadi pengelolanya,
kemudian keuntungan dibagi antara
mereka berdasarkan kesepakatan.
2. Syirkah Al Wujuh
Kemitraan antara dua orang atau lebih dengan modal dari pihak di luar
keduanya, keuntungan dibagi
setelah dikurangi dengan modal yang diperoleh
dari pihak luar tersebut
3. Syirkah Abdan
Kemitraan antara dua orang atau lebih yang mengandalkan tenaga atau
keahliannya saja tanpa harta
mereka untuk menerima pekerjaan, keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan.
4. Syirkah Mufawadhah
Kemitraan antara dua orang atau lebih yang menyetor modal dan keahlian
yang sama. Masing-masing mitra
saling menanggung satu dengan lainnya dalam
hak dan kewajiban, dan tidak
diperbolehkan satu mitra memiliki modal dan
keuntungan lebih tinggi dari
mitra yang lainnya.
Dalam praktek, bentuk kemitraan musyarakah yang paling populer adalah
Syirkah Al Inan yang mengandung
implikasi saham tidak sama di antara para
mitra dan diakui oleh semua
mazhab dalam agama Islam.
Musyarakah dalam teknis lembaga keuangan dikenal sebagai kerjasama modal
usaha atau Partnership, Project
Financing Participation.
Aplikasi Musyarakah dalam praktek lembaga keuangan adalah berupa:
1. Pembiayaan Proyek
Lembaga keuangan dan pengusaha secara bersama-sama menyediakan dana
untuk
membiayai sebuah proyek. Setelah
proyek selesai, pengusaha mengembalikan
dana tersebut bersama bagi hasil
yang telah disepakati kepada lembaga
keuangan.
2. Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam
kepemilikan perusahaan,
musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura.
Penanaman modal dilakukan untuk
jangka waktu tertentu, dan setelah itu
penyedia dana melakukan divestasi
atau menjual bagian sahamnya, baik secara
langsung atau bertahap.
Menurut Dr. M. Umer Chapra, musyarakah atau syirkah dalam prakteknya
terdapat dalam berbagai model,
para mitra dapat memberikan kontribusi bukan
hanya modal dalam hal keuangan,
tetapi juga tenaga, manajemen, dan keahlian,
dan kemauan baik, meskipun tidak
harus sama.
Kemitraan musyarakah atau syirkah dapat merupakan suatu bentuk kombinasi
dari berbagai bentuk. Persyaratan
Syariah dalam membagi proporsi modal dan
keuntungan dalam bermitra usaha
adalah keadilan. Keadilan yang dimaksud
bukanlah pemerataan secara
mutlak, tetapi adalah keseimbangan antar individu
dengan unsur materi dan spiritual
yang dimilikinya, keseimbangan antara
individu dengan masyarakat,
antara suatu masyarakat dengan masyarakat
lainnya.
Dengan demikian keadilan dalam kemitraan usaha mengandung implikasi
bahwa
saham proporsional dalam laba
harus merefleksikan kontribusi yang diberikan
kepada usaha oleh modal mereka
baik berupa keahlian, waktu, kemampuan
manajemen, kemauan baik, dan
kontrak, serta kerugian juga harus dirasakan
bersama sesuai proporsi modal dan
tuntutan-tuntutan lain yang timbul
akibat
usaha tersebut.
Dalam sebuah sistem perekonomian dengan perbedaan-perbedaan kekayaan
yang
begitu substansial, dan pemberian
pinjaman modal yang menginginkan
keuntungan tanpa terlibat resiko
bisnis, adalah irrasional untuk dapat
memberikan pinjaman kepada orang
miskin sama banyaknya seperti halnya yang
diberikan kepada orang-orang
kaya, atau mengulurkan pinjaman sama banyaknya
karena persyaratan yang sama bagi
keduanya, seperti tingkat suku bunga yang
sama atau bahkan lebih tinggi
kepada pengusaha kecil daripada yang dikenakan
kepada pengusaha besar, dan
keharusan memiliki kolateral (jaminan) dengan
nilai yang lebih tinggi dari
pinjaman modal dengan mengabaikan kenyataan
apakah mereka akan menghasilkan
keuntungan di atas rata-rata dari investasi
modal mereka.
Hal ini merupakan preseden buruk bagi masyarakat karena akan
mengakibatkan pemihakan kepada
satu kelas sosial tertentu saja, dan
menimbulkan kegagalan masyarakat
dalam memanfaatkan bakat wirausahanya
secara maksimal.
Penggunaan sistem kemitraan bagi hasil berdasarkan Syariah diharapkan
mampu menanggulangi permasalahan
modal dan peluang usaha yang terjadi selama
ini karena akan menyuburkan
kemampuan wirausaha di kalangan anggota
masyarakat yang lemah dari sisi
permodalan, sehingga usaha kecil dan mikro
mampu menyumbang kepada output,
lapangan pekerjaan, dan distribusi
pendapatan. Dengan adanya
penanggungan resiko dan keuntungan bersama oleh
lembaga keuangan akan mengurangi
beban pengusaha pada saat-saat sulit dan
mengganti membayar lebih tinggi
pada masa-masa untung, dan lembaga keuangan
bersedia menanggung resiko usaha
tanpa mengurangi kekuatan finansialnya,
karena terbangunnya sitem
pencadangan pengganti kerugian (loss-offsetting
reserves).
Penulis : MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi
Islami)