MAKALAH TAYAMUM LENGKAP
Tuesday, October 6, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menciptakan segala
sesuatu, Allah SWT selalu menerangkan dengan rinci mengapa sesuatu
tersebut diciptakan. Misalnya kita sebagai manusia, makhluk yang paling
mulia di antara sekian makhluk-Nya, diutus ke dunia sebagai khalifah
pemelihara jagad raya ini. Hal yang demikian tentunya ada hikmah/rahasia
tersendiri dibalik penciptaan kita para manusia. Memasuki ranah
syariah, sebagai contoh lain, adalah satu item yang dijadikan alternatif
oleh kita sebagai pengganti wudlu yang merupakan syarat sahnya sholat
yakni tayamum. Dalam tayamum ini pun tersimpan suatu hikmah tertentu
yang dirasa perlu diketahui oleh kita agar nantinya dalam pendekatan
diri kepada-Nya tidak terdapat ganjalan yang memungkinkan kita “lari”
dari syariah Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian, syarat dan rukun dari tayamum ?
2. Apakah hikmah dibalik tayamum ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Syarat dan Rukun Tayamum
Kata tayamum menurut
bahasa sama dengan al-qashdu yang berarti menuju, menyengaja. Menurut
pengertian syara’ tayamum adalah menyengaja (menggunakan) tanah untuk
menyapu dua tangan dan wajah dengan niat agar dapat mengerjakan shalat
dan sepertinya. Tayamum adalah pengganti wudlu atau mandi, sebagai
rukhsah (keringanan) untuk orang yang tidak dapat memakai air karena
beberapa halangan (uzur) yaitu karena sakit, karena dalam perjalanan,
dan karena tidak adanya air. Pensyari’atan tayamum ini berdasarkan
firman Allah dalam Q. S. Al-Nisa’ ayat 43, sebagai berikut:
Dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah
menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Dalam hal ini terdapat
bebebrapa syarat dari tayamum yaitu: pertama, sudah masuk waktu shalat
maksudnya tayamum disyariai’atkan untuk orang yang terpaksa. Sebelum
masuk waktu shalat ia belum terpaksa, sebab shalat belum waajib atasnya
ketika itu. Kedua, sudah diusahakan mencari air tetapi tidak dapat,
sedangkan waktu shalat sudah masuk. Kita disuruh bertayamum bila tidak
ada air setelah dicari dan yakin tidak ada, kecuali orang sakit yang
tidak diperbolehkan memakai air, maka tidak menjadi syarat baginya.
Ketiga, dengan tanah yang suci dan berdebu. Dan yang keempat,
menghilangkan najis maksudnya sebelum bertayamum itu hendaknya harus
bersih dari najis.
Adapun rukun-rukun
tayamum ialah niat, mengusap wajah (muka) dengan tanah (debu), mengusap
kedua tangan sampai ke siku dengan tanah (debu) dan menertibkan
rukun-rukun tersebut. Sedangkan hal-hal yang membatalkan tayamum yaitu
setiap perkara yang membatalkan wudlu dan ketika adanya air. Adanya air
disini adalah ketika mendaptkan air sebelum shalat, maka batallah
tayamum bagi orang yang melakukan tayamum tersebut karena ketiadaan air
bukan karena sakit.
B. Hikmah Tayamum
Diantara hal-hal yang
dituduh menyelisihi akal adalah masalah tayamum. Maka ada tanggapan
bahwa tayamum tidak dapat diterima oleh akal apabila ditinjau dari dua
segi, yaitu: pertama, tanah atau debu adalah sesuatu yang kotor,
sehingga tidak dapat menghilangkan daki maupun kotoran-kotoran lainnya.
Demikian pula tidak dapat membersihkan pakaian. Kedua, tayamum hanya
disyari’atkan pada dua anggota badan (wudlu), dan ini tidak sesuai
dengan akal logika yang sehat.
Benar jika syari’at
tayamum itu memang tidak sesuai dengan akal yang picik. Akan tetapi, ia
sangat selaras dengan akal yang sehat. Karena sesungguhnya Allah SWT
telah menjadikan air sebagai su,ber utama kehidupan, sementara manusia
diciptakan dati tanah. Tubuh kita tersiri dari dua unsur tersebut, yakni
air dan tanah. Dan telah pula dijadikan dari dua unsur itu makanan bagi
kita. Lalu keduanya dijadikan alat bagi kita untuk bersuci dan
beribadah. Tanah adalah materi asal kejadian manusia dan air adalah
sumber kehidupan bagi segal sesuatu. Lalu Allah SWT menyusun alam ini
dan kedua unsur itu sebagai sumber utamanya.
Pada dasarnya, bahan
yang dipakai untuk membersihkan sesuatu dari kotoran dari situasi dan
kondisi yang biasa adalah air. Tidak diperkenankan untuk tidak
mempergunakan air sebagai bahan pembersih, kecuali pada saat itu air
tidak ada, atau karena adanya halangan seperti sakit serta sebab-sebab
yang lain (yang dapat dibenarkan oleh syara’). Pada saat kondisi tidak
memungkinkan untuk mempergunakan air seperti itu, maka mempergunakan
tanah sebagai pengganti air adalah jauh lebih utama dibandingkan dengan
yang lain. Hal ini karena tanah adalah saudara kandung air. Meskipun
pada lahirnya tanah (debu) nampak kotor, namun ia dapat mensucikan
kotoran secara batin. Hal ini diperkuat oleh kemampuan tanah untuk
menghilangkan kotoran-kotoran secara lahir ataupun mengurangi kadar
kotornya. Ini adalah persoalan yang tidak asing bagi mereka yangilmu
yang mendalam, sehingga mampu mengungkap hakikat-hakikat dari sesuatu
amalan serta memahami kaitan antara lahir dan batin bersama interaksi
yang terjadi diantara keduanya.
Adapun segi atau
pandangan yang kedua, yaiut pensyari’atan tayamum yang hanya pada dua
anggota badan (wudlu) tidak sesuai dengan akal, sementara telah
diketahui, bahwa tayamum disyari’atkan pada seluruh anggota badan
(wudlu) seperti halnya dengan air.
Akan tetapi, pada
hakikatnya pensyari’atan tayamum hanya pada dua anggota badan (wudlu)
berada pada puncak kesucian dan keselarasan dengan akal yang sehat,
serta mengandung rasia dan hikmah yang cukup mendalam. Karena pada
umumnya, melumuri kepala denagna debu (tanah) adalah perbuatan yang
tidak sesuai dengan jiwa yang normal. Oleh sebab itu, perbuatan tersebut
umumnya hanya dilakukan orang saat ia ditimpa musibah dan kesulitan.
Adapun kedua kaki umumnya adalah anggota badan yang senantiasa
bersentuhan dengan tanah.
Dari sisi lain,
menyapukan tanah (debu) kemuka atau wajah merupakan gambaran ketundukan
dan pengagungan kepada Allah SWT, dan kerendan hati sangat disukai oleh
Allah SWT dan mengandung manfaat yang besar bagi hamba. Oleh sebab itu,
diperintahkan bagi setiap hamba untuk sujud dan langsung menempelkan
wajahnya langsung ke tanah, dan tidak melakukan sesuatu yang menghalangi
wajahnya bersebtuhan dengan tanah.
Apabila kita telusuri
persoalan ini lebih jauh, maka akan nampak bagi kita hikmah lain yang
unik, dimana tayamum disyari’atkan hanya pada dua anggota badan (wudlu)
yang wajib dibasuh saat seseorang berwudlu, dan tidak disyari’atkan pada
dua anggota badan (wudlu) lain yang boleh untuk dibasuh. Bukankah kaki
boleh dibasuh di atas sepatu dan kepala boleh disuh di atas sorban? Maka
setelah kepala dan kaki mendapat keringanan dari mencuci menjadi
membasuh saat berwudlu, sudah sepatutnya apabila kedua anggota ini juga
diberi keringanan atas dasar pengampunan untuk tidak disapu dengan tanah
saat melakukan tayamum. Sebab, apabila kepala dan kaki disyari’atkan
untuk disapu pula dengan tanah (debu) pada saat bertayamum, niscaya
tidak ada keringanan yang terjadi (akan tetapi justru memberatkan). Yang
ada hanyalah perpindahan bentu dari menyapu dengan menyapu dengan tanah
(debu). Dan ini menyalahi hikmah pensyari’atan tayamum yang bertujuan
memberikan keringanan. Dari sini nampak jelas, bahwa hokum yang
ditetapkan oleh syari’at Islam itu demikian sempurna dan adil. Dan
inilah timbangan yang benar untuk memahami persoalan ini.
Memang benar kalau
banyak hikmah yang dapat dipetik dari adanya pensyari’atan ini, maka
secara singkat akan diuraikan hikmah-hikmah yang lain diantaranya:
- Untuk menunjukkan sifat Rahman dan Rahim Tuhan, bahwa syariat Islam itu tidak mempersulit umat-Nya. Manusia diperintah melaksanakan ajaran-Nya sesuai dengan kesanggupanmasing-masing. Bila tidak ada air atau dalam keadaan sakit yang tidak boleh menggunakan air, maka Allah memberikan kemurahan dengan memperbolehkan menggunakan debu sebagai pengganti air.
- Hikmah yang terdapat pada tanah sebagai pengganti air untuk bersuci antara lain adalah tanah mudah didapat dan juga dapat melemahkan nafsu amarah kita, karena tanah yang biasanya kita injak, pada saat tayamum harus kita sapukan pada wajah kita. Ini berarti menuntut keikhlasan dan kesabaran kita.
- Menyadarkan akan asal manusia diciptakan, bahwa dirinya diciptakan dari tanah. Ini berarti menuntut manusia agar bersifat merendahkan diri dan tidak berlaku sombong.
- Memberikan kesadaran bahwa tidak ada alas an untuk meninggalkan ibadah. Hal ini juga menunjukkan keluwesan ajaran Islam yang lengkap sesuai dengan kebutuhan manusia. Contohnya, menggunakan debu untuk menghilangkan hadas karena ketidak adaan air atau udzur menggunakan air.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut pengertian
syara’ tayamum adalah menyengaja (menggunakan) tanah untuk menyapu dua
tangan dan wajah dengan niat agar dapat mengerjakan shalat dan
sepertinya. Syarat-syarat dari tayamum yaitu: sudah masuk waktu shalat,
sudah diusahakan mencari air tetapi tidak dapat, sedangkan waktu shalat
sudah masuk, dengan tanah yang suci dan berdebu aerta yang terakhir
menghilangkan najis. Adapun rukun-rukun tayamum ialah niat, mengusap
wajah (muka) dengan tanah (debu), mengusap kedua tangan sampai ke siku
dengan tanah (debu) dan menertibkan rukun-rukun tersebut. Sedangkan
hal-hal yang membatalkan tayamum yaitu setiap perkara yang membatalkan
wudlu dan ketika adanya air.
Hikmah yang dapat
dipetik dari adanya pensyari’atan tayamum diantaranya yaitu: Pertama,
untuk menunjukkan sifat Rahman dan Rahim Tuhan, bahwa syariat Islam itu
tidak mempersulit umat-Nya. Manusia diperintah melaksanakan ajaran-Nya
sesuai dengan kesanggupanmasing-masing. Bila tidak ada air atau dalam
keadaan sakit yang tidak boleh menggunakan air, maka Allah memberikan
kemurahan dengan memperbolehkan menggunakan debu sebagai pengganti air.
Kedua, hikmah yang terdapat pada tanah sebagai pengganti air untuk
bersuci antara lain adalah tanah mudah didapat dan juga dapat melemahkan
nafsu amarah kita, karena tanah yang biasanya kita injak, pada saat
tayamum harus kita sapukan pada wajah kita. Ini berarti menuntut
keikhlasan dan kesabaran kita. Ketiga, menyadarkan akan asal manusia
diciptakan, bahwa dirinya diciptakan dari tanah. Ini berarti menuntut
manusia agar bersifat merendahkan diri dan tidak berlaku sombong. Dan
yang keempat, memberikan kesadaran bahwa tidak ada alasan untuk
meninggalkan ibadah. Hal ini juga menunjukkan keluwesan ajaran Islam
yang lengkap sesuai dengan kebutuhan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, H. Mundzier MA. 2002. Fiqih Madrasah Aliyah kelas 1. Semarang: PT Karya Toha Putra
Rasjid, H. Sulaiman. 2006. Fiqih Islam. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo
Ibnu Tamiyah dan Ibnu Qoyim. 2001. Hukum Islam dalam Timbangan Akal dan Hikmah. Jakarta: Pustaka Azzam