Makalah Sejarah Hukum Alam (Natural Law)
Monday, November 21, 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat
Hukum Alam (Natural Law) lahir sejak zaman Yunani, berkembang di zaman Romawi
sampai ke zaman modern ini. Pemuka Hukum Alam adalah Plato (429-347 BC),
Aristotle (348-322 BC) zaman Yunani, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC) zaman
Romawi, St. Agustine (354-430), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274) dari
kalangan Kristen, Grotius (15831645), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke
(1632-1704).
Teori
Hukum berkenaan dengan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan Hukum Alam (Natural
Law)? Dihubungkan dengan Teori Hukum Alam (Natural Law), maka Teori Hukum lebih
berhubungan dengan karakter dari hukum atau karakter dari suatu sistem hukum
daripada isinya, yaitu peraturan perundang-undangan yang spesifik. Namun
demikian, setiap penjelasan yang tepat mengenai Hukum Alam (Natural Law), akan
mengakomodasi fungsi dan administrasi dari ketentuan-ketentuan hukum tertentu
dari suatu sistem hukum. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, ada yang
menekankan kepada satu atau lebih aspek khusus di dalam mana hukum positif
beroperasi. Analisis hukum yang lainnya memberikan tekanan yang khusus kepada
kekuasaan dan posisi dari pembuat undang-undang, sementara yang lainnya
memberikan penekanan kepada pengadilan, yang lainnya melihat sikap dari
masyarakat yang menjadi subjek hukum, dan lainnya lagi menekankan kepada moral
dan nilai-nilai sosial di mana hukum itu bertujuan untuk mereflesikannya dan
mendorongnya. Analisis dari unsur-unsur hukum seperti tersebut di atas, metode
pendekatannya umumnya dikenal sebagai “doktrin Hukum Alam”, “positivisme”, dan “realisme”,
kesemuanya menawarkan sesuatu yang sangat berharga untuk diperhatikan dan
dengan demikian membuatnya saling bersaing, kadang-kadang menimbulkan konflik,
dalam usaha untuk mendapat pengakuan. Kontribusi masing-masing seringkali
digunakan sebagai alasan kritik terhadap metode yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Hukum Alam (Natural Law)
Sama
halnya dengan banyak bidang studi lainnya, sejarah hukum dari alam (the law of
nature) dimulai pada zaman Yunani. Filsafat Yunani melahirkan standar yang
absolut mengenai hak dan keadilan. Hal ini didasarkan pada kepercayaan pada
berlakunya kekuasaan supernatural atas hukum, di mana manusia seharusnya
mematuhinya. Pernyataan riil pertama dari Teori Hukum Alam (Natural Law) dari
sudut terminologi filsafat berasal dari abad ke 6 SM. Hukum manusia dikatakan
mendapat tempatnya dalam tatanan benda-benda berdasarkan atas kekuatan yang
mengontrol segala hal. Reaksi dari ajaran ini datang pada abad-abad berikutnya
dimana ada perbedaan dan kemungkinan timbulnya konflik antara Hukum Alam
(Natural Law) dan hukum yang dibuat manusia. Pada zaman Yunani, Aritoteles dan
Plato membangun kembali Hukum Alam (Natural Law). Sampai hari ini hanya
Aristoteles yang mempunyai pengaruh terbesar dalam doktrin Hukum Alam (Natural Law).
Aristoteles menganggap manusia adalah bagian dari alam, bagian dari sesuatu,
tetapi juga, diikuti dengan akal yang cemerlang, yang membuat manusia sesuatu
yang istimewa dan memberikannya kekhususan yang menonjol.
Pengakuan
terhadap akal manusia membentuk dasar bagi konsepsi Stoic mengenai Hukum Alam
(Natural Law). 2Stoic mengatakan, akal berlaku terhadap semua bagian dari alam
semesta dan manusia adalah bagian dari alam semesta, diperintah akal. Manusia
hidup pada dasarnya jika ia hidup menurut akalnya. Doktrin Hukum Alam (Natural
Law) kemudian sampai pada tingkat di mana alam universal memimpin, melalui akal
dan kritik yang dijalankan oleh manusia, langsung kepada tingkah laku yang
seharusnya secara normatif dijalankan. Keharusan yang normatif ini dianggap
bagian yang integral dan didukung oleh moral. Stoic menambahkan unsur agama
dalam tingkah laku manusia. Era cemerlang dari Hukum Alam (Natural Law) lahir
dari doktrin hukum agama dari Thomas Aquinas. Pada masa itu Tuhan dari agama
Kristen dianggap sebagai sumber kekuatan akal yang berasal dari Tuhan. Misalnya
hal ini diketemukan dalam 10 Perintah Tuhan.
Sekuralisasi
dari Hukum Alam (Natural Law) kemudian datang belakangan pada masa Thomas
Hobbes dan Grotius. Ahli-ahli filsafat abad ke-17 ini pada umumnya menolak
konsepsi bahwa Tuhan adalah sumber tertinggi dari hukum, mereka berpendapat
Hukum Alam (Natural Law) itu mengindikasikan bahwa tindakan manusia itu datang
dari kesepakatan mereka atau ketidak sepakatan mereka, berdasarkan akal atau
kebutuhan moral, dan akibatnya perbuatan itu dilarang atau diperintahkan oleh
Tuhan.
Dalam
perkembangan selanjutnya Thomas Hobbes mempunyai motif politik dengan
menggunakan Hukum Alam (Natural Law) untuk membenarkan perlunya pemerintahan
yang absolut, kekuasaan politik yang besar untuk melindungi rakyat biasa
melawan mereka sendiri dan melawan kekurangan/kelemahan mereka sendiri. Reaksi
terhadap Thomas Hobbes datang dari Jeremy Bentham dengan ajarannya
utilitarianisme – kebahagiaan setinggi-tingginya untuk sebesar-besarnya umat
manusia. Ajaran Bentham adalah penolakan total dari doktrin Hukum Alam (Natural
Law).
Pembela
doktrin Hukum Alam Modern, antara lain Professor d’Entreves yang mengatakan
alam masalah analisis terhadap sifat dari hukum: “jawaban kaum Positivis adalah
mengorbankan apa yang seharusnya (the ought) kepada apa yang menjadi (the is);
sarjana Hukum Alam (Natural Law) mengorbankan apa yang menjadi (the is) kepada
apa yang seharusnya (the ought); tentu persoalannya adalah bagaimana hukum
dapat dinyatakan dalam bentuk menjadi (an is) dan yang seharusnya (an ought),
bagaimana keduanya dapat menjadi fakta dan proposisi seharusnya (an ought
proposition). Saya percaya ada unsur kebenaran pada kedua pihak, dan bahwa kata
akhir bukanlah masalah Teori Hukum sebagaimana juga bukan Teori Politik.”
Pendapat dari Prof. d’Entreves membuktikan kenyataan bahwa doktrin Hukum Alam
dan Positivisme mempunyai peranan yang saling melengkapi untuk memecahkan
persoalan-persoalan sifat dari hukum. Hukum internasional merupakan indikator
yang baik untuk mendukung pendapatnya tersebut. Lemahnya hukum internasional
sekarang ini tidak karena tidak adanya penegakkan tetapi karena tidak adanya
“peranan moral internasional” (“international moral sence”). Menghubungkannya
dengan sikap modern terhadap Hukum Alam yang memusatkan perhatian kepada aspek
spesifik tertentu tentang isinya, Hard berpendapat isi minimum dari Hukum Alam
adalah “core of good sence” (perasaan yang baik). Hard berpendapat Hukum Alam
bisa diketemukan melalui akal, dan apa hubungannya dengan hukum manusia dan
moralitas. Dalam hubungan ini, pertanyaan mengenai bagaimana manusia hidup
bersama, harus kita asumsikan bahwa keinginan mereka, dalam garis besarnya
adalah untuk hidup.
Pada
abad ke 18 terjadi perdebatan antara Blackstone dan Bentham yang mempengaruhi
Teori Hukum (Legal Theory). Blackstone adalah penganut Hukum Alam dari Inggris,
sebaliknya Bentham adalah pengkritik Hukum Alam. Menurut Blackstone hukum itu
adalah rule of action,aturan untuk berbuat yang diterapkan secara tidak
diskriminatif kepada semua macam tindakan apakah animate or inanimate, rasional
atau tidak rasional. Rule of action dilakukan oleh yang superior di mana yang
inferior terikat untuk menaatinya. Hukum dari alam menurut Blackstone adalah
kehendak dari Penciptanya (Maker).
B. Pengertian Hukum Alam
Pembahasan
tentang sifat daripada hukum, sebagian mengenai “hukum dari alam” (“the law of
nature”). Berdasarkan idologi tertentu yang ada dibalakangnya, berbagai nama
dipergunakan untuk subjek yang sama, seperti hukum alam semesta (the law of the
universe), hukum Tuhan (the law of God), hukum yang kekal/abadi (the eternal
law), hukum dari umat manusia (the law of mankind) dan hukum dari akal (the
eternal of reason).
Klaim
yang sentral terhadap “hukum dari alam” (“the law of nature”) ialah apa yang
sifatnya alamiah, yang seharusnya terjadi. Hukum dari alam (“the law of
nature”) seharusnya menjadi hukum yang mengatur untuk semua benda, termasuk
manusia dan hubungan-hubungan manusia. Hipotesa dari asumsi di belakang teori
ini, bahwa hukum atau seperangkat hukum menguasai atau mengatur semua hal,
apakah itu grafitasi, gerakan, phisik, dan reaksi kimia, insting binatang atau
tindakan manusia. Boleh dikatakan tindakan kita yang tertentu dan reaksinya
ditentukan oleh hukum dari alam (the law of nature) dan segala yang terjadi
berlawanan adalah berlawanan dengan alam. Jika sebuah batu dijatuhkan dalam
keadaan gravitasi normal, ia akan menentang hukum grafitasi jika terangkat ke
udara. Menurut hukum gravitasi, batu itu akan jatuh ke bawah, namun demikian
batu itu tidak mempunyai akal dan tidak memiliki kapasitas untuk memilih apa
yang ia inginkan. Sebaliknya, manusia memiliki kemampuan dalam berbagai
kombinasi. Tidak seperti batu, manusia tidak terikat dengan sendirinya, secara
psikologis atau spiritual untuk mengikuti hukum yang seharusnya ditaatinya
dalam hubungan sesama mereka. Kita “seharusnya” (“ought”) dapat dipakai dalam
hubungan dengan batu dalam pernyataan seperti : “batu itu seharusnya jatuh
(ought to fall) ke bawah bila kita melepaskannya”.
Hukum
Alam (Niyama Dhamma) adalah salah satu konsep dalam ajaran agama Buddha
mengenai hukum-hukum yang bekerja di alam ini. Hukum ini bekerja dengan
sendirinya dan bersifat universal. Hukum alam dapat dibagi ke dalam lima
kelompok:
1. Utu Niyama, Hukum ini mencakup semua
fenomena anorganik, termasuk hukum-hukum dalam fisika dan kimia. Contohnya
adalah hukum mengenai terbentuk dan hancurnya bumi, planet, tata surya,
galaksi, temperatur, iklim, gempa bumi, angin, erupsi, dan segala sesuatu yang
bertalian dengan energi.
2. Bija Niyama, Hukum ini mencakup semua
gejala organik seperti dalam biologi. Contohnya adalah perkembangan hewan atau
tumbuhan, mutasi gen manusia, pembuahan, proses perkembangbiakkan pada
tumbuh-tumbuhan.
3. Kamma Niyama, Hukum Moralitas, yaitu
Hukum sebab-akibat (hukum karma). Segala tindakan sengaja atau tidak disengaja
akan menghasilkan sesuatu yang baik atau buruk.
4. Citta Niyama, mengenai pikiran misalnya
bagaimana proses kesadaran bekerja. Hukum ini bekerja pada memori manusia dan bagaimana
psikis seseorang. Hukum ini mengatur pertalian kerja antara sesuatu yang hidup
dan mati.
5. Dhamma Niyama, mengenai segala sesuatu
yang tidak diatur oleh keempat Hukum diatas. Hukum ini mencakup konsep abstrak
yang dikembangkan manusia seperti dalam ilmu matematika dimana realitas alam
dijelaskan dalam bentuk abstrak (tidak berwujud).
C. Teori Hukum Alam
1.
TEORI HUKUM ALAM ( tokoh : aristoteles, Thomas aquino dan hugo de groot/
grotius)
Kenapa
orang tunduk dan taat pada hokum ?
Menurut
aristoteles :
- hokum berlaku karena penetapan Negara
- hokum tidak tergantung pada pandangan
manusia tentang baik buruknya
- hokum alam sebagai hokum yang asli
berlaku dimana saja tidak tergantung waktu dan tempat , orang-orang yang
berfikiran sehat merasakan hokum alam selaras dengan kodrat manusia.
Menurut
Thomas Aquino : segala kejadian dalam ini di perintah dan dikendalikan oleh
suatu UU abadi ( lex eterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan
lainnya . lex aterna = kehendak pikiran tuhan yang menciptakan dunia ini.
Menurut
Thomas Aquino pula hokum alam memuat dua azas yaitu :
a. azas umum ( principia prima) : azas yang
dengan sendirinya dimiliki manusia sejak lahir dan mutlak diterima ( contoh :
berbuat baik) .
b. azas diturunkan dari azas umum (
principia secundaria) : azas yang merupakan tapsiran dari principia prima yang
dilakukan manusia
Thomas
Aquino membagi 4 macam golongan hokum alam sebagai berikut :
1. lex aetrna ( hokum abadi) : yaitu rasio
tuhan sendiri yang mengatur segala hal yang ada sesuai dengan tujuan dan
sifatnya , merupakan sumber segala hokum
2. lex divina ( hokum ketuhanan ) : sebagian
kecil dari rasio tuhan yang diwahyukan kepada manusia.
3. lex naturalis ( hokum alam) : bagian dari
lex divina yang dapat di tangkap oleh rasio manusia atau merupakan penjelmaan
lex aeterna didalam rasio manusia
4. hokum positif : hokum yang berlaku nyata
didalam masyarakat ( ius constitutum)
Hugo
De Groot/ grotius dalam bukunya de jure oc pacis bahwa sumber hokum alam adalah
akal manusia.
c. TEORI SEJARAH ( fried cral vo savigny
1779-1861) hokum itu penjelmaan jiwa / rohani manusia , hokum bukan disusun /
diciptakan manusia tetapi tumbuh sendiri ditengah rakyat dan akan mati bila
suatu bangsa kehilangan kepribadiannya
d. TEORI TEOKRASI : teori ini mendasarkan
kekuatan hokum itu atas kepercayaan pada tuhan , manusia di perintahkan tuhan
harus tunduk pada hokum . Tujuan dan legitimasi hokum dikaitkan dengan
kepercayaan agama
e. TEORI KEDAULATAN RAKYAT : ( Rousseau) :
akal dan rasio manusia , sebagaimana aliran rasionalisme , raja atau penguasa
Negara memperoleh kekuasaan bukan dari tuhan tetapi dari rakyatnya melalui
suatu perjanjian masyarakat ( kontrak social ) yang diadakan antara anggota
masyarakat untuk mendirikan Negara
f. TEORI KEDAULATAN NEGARA ( Hans kelsen) ;
hukum ditaati karena Negara menghendakinya , hukum adalah kehendak Negara dan
Negara punya kekuasaan tak terbatas
g. TEORI KEDAULATAN HUKUM ( prof. Mr. Crabe
, Hugo De Groot, Imanuel Kant & Leon Duguit ) : sumber hukum itu rasa
keadialan hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan dari jumlah terbanyak
orang, tidak dapat mengikat peraturan demikian bukanlah hukum , walaupun masih
ditaati atau pun dipaksakan.
h. TEORI KESEIMBANGAN ( prof. Mr. R.
Kranenburg) : kesadaran hukum orang menjadi sumber hukum , hukum itu berfungsi
menurut suatu dalil yang nyata
Hukum
alam (Natural Law atau Law of Nature) adalah sistem hukum yang konon ditentukan
oleh alam, dan oleh karenanya bersifal universal.
Teori-teori
Hukum Alam dapat dibagi atas beberapa macam yaitu:
1. Hukum Alam yang bersifat otoriter dan
yang bersifat fakultatif. Hukum Alam sebagai hukum yang mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi daripada hukum positif (ius constitutum), di lain sisi Hukum
Alam sebagai cita-cita (ius constituendum) dengan mana hukum positif harus
disesuaikan;
2. Hukum Alam yang progresif (maju/ dinamis)
dan yang konservatif (kaku/ statis). Teori ini diilhami oleh dua macam
cita-cita, pertama, adanya ketertiban/ keteraturan (order) yang menguasai umat
manusia yang nantinya melahirkan hukum positif, kedua, hak-hak azazi yang tidak
dapat dipisahkan dari orang perorang yang nantinya melahirkan hukum-hukum yang
sosiologis.
3. Hukum Alam yang relijius/ agamis dan yang
profane/ rasionalis. Hukum Alam memberi ilham kepada kaum relijius/ agamis,
dilain sisi ia juga mengilhami teori-teori kaum Individualistis.
4. Hukum Alam yang bersifat mutlak/ absolut
dan yang bersifat relative/ nisbi. Feodalisme yang mencerminkan hukum absolute
atau hukum Jawa Kuno dengan ungkapan “sabda pandhito ratu”.
D. Pemikir Teori Hukum Alam
Cukup
banyak filsuf yang menjadi pemikir atau penggagas teori hukum alam. Pemikiran
masing-masing tokoh hukum alam tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Plato (472-347 SM), meskipun Plato tidak
memiliki teori secara eksplisit mengenai hukum alam, namun pemikirannya tentang
alam, menurut John Wild, mengandung beberapa elemen yang ditemukan dalam teori
hukum alam.[3] Menurut Plato, kita semua hidup dalam dunia yang tertata.[4]
Inti dari dunia yang tertata ini, atau alam, adalah bentuk-bentuk, yang paling
fundamental adalah Bentuk Kebaikan, yang Plato menguraikannya sebagai “wilayah
yang paling cemerlang dari suatu makhluk”.[5] Bentuk Kebaikan adalah asal mula
segala hal dan jika itu terlihat maka akan menuntun seseorang untuk berbuat
secara bijak.[6]
b. Menurut Aristoteles (384-322 SM), Hukum
Alam ialah “Hukum yang oleh orang-orang berpikiran sehat dirasakan sebagai
selaras dengan kodrat alam.”[7] Segala yang diperintahkan oleh hukum dapat
berbeda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, tetapi segala yang
diperintahkan “oleh alam” akan selalu sama dimanapun. Oleh karenanya, hukum
alam lebih merupakan sebuah paradoks daripada sesuatu yang secara nyata eksis/
ada.[8]
c. Menurut Marcus Tullius Cicero (106-43
SM), dengan aliran stoic-nya, konsep Hukum Alam diartikan sebagai prinsip yang
meresapi alam semesta, yaitu akal yang menjadi dasar bagi hukum dan
keadilan.[9] Tujuan dari hukum positif adalah untuk menciptakan ‘keamanan
penduduk, pelestarian negara, dan kedamaian dan kebahagiaan umat manusia’.
Menurut pandangan ini, ‘undang-undang yang kejam dan tidak adil’ adalah ‘bukan
hukum’, karena di dalam definisi hukum yang sebenarnya terkandung ide dan
prinsip untuk memilih yang adil dan benar.[10]
d. Menurut Thomas van Aquino (1225-1274),
penganut hukum alam dari aliran scholastik, bahwa segala kejadian di alam dunia
ini diperintah dan dikemudikan oleh akal ketuhanan, hukum ketuhanan adalah yang
tertinggi. Hukum dibagi ke dalam empat golongan:
Lex
Aeterna, rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala sesuatu dan merupakan sumber
dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusai;
Lex
Divina, bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap panca indera manusia
berdasarkan waktu yang diterimanya;
Lex
Naturalis, hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio
manusia;
Lex
Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh
manusia berkaitan dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia.
Hukum positif dibagi menjadi dua, yaitu hukum positif yang dibuat oleh Tuhan
(kitab-kitab suci) dan hukum positif yang dibuat oleh manusia.
e. Hugo de Groot (1583-1645), dalam bukunya
“De jure belli ac pacis” (tentang hukum perang dan damai), mengatakan bahwa
sumber Hukum Alam adalah pikiran atau akal manusia. Hukum alam ialah
pertimbangan yang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak benar.[12]
E. Fungsi Hukum Alam
Menurut
Soedjono Dirdjosisworo dalam Ishaq, fungsi hukum alam terhadap hukum positif
adalah sebagai berikut:
a. Hukum alam sebagai sarana koreksi bagi
hukum positif.
b. Hukum alam menjadi inti hukum positif
seperti hukum internasional.
c. Hukum alam sebagai pembenaran hak asasi
manusia.[13]
d. Menurut Friedman dalam Satjipto Rahardjo,
fungsi hukum alam adalah sebagai berikut:
e. Instrumen utama pada saat hukum perdata
Romawi kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem internasional yang luas.
f. Menjadi senjata yang dipakai oleh kedua
pihak (pihak gereja dan pihak kerajaan) dalam pergaulan mereka.
g. Keabsahan hukum internasional ditegakkan
atas nama hukum alam.
h. Menjadi tumpuan pada saat orang
melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan absolutisme.
Dijadikan
senjata para hakim di Amerika, pada saat memberikan tafsiran terhadap
konstitusi mereka, dengan menolak campur tangan negara melalui
perundang-undangan yang ditujukan untuk melakukan pembatasan ekonomi.
F. Kekuatan dan Kelemahan Hukum Alam
Prinsip
utama hukum alam adalah hukum tersebut bersifat universal. Nilai-nilai yang
diajarkan dalam hukum alam berlaku bagi semua pihak, tidak berubah karena
kaitannya dengan alam. Unversalitas tersebut menjadi kekuatan hukum alam,
karena ia menjadi ukuran validitas hukum positif. Hukum alam dapat digunakan
sebagai landasan dalam melakukan kritik terhadap keputusan-keputusan dan
peraturan-peraturan, dan bahkan mengkritik hukum.[15] Universalitas ini
terlihat pada pemberlakuan nilai-nilai (values) dan moral, yakni dengan
nilai-nilai yang diturunkan dari Tuhan, yang secara filosofis menjadi acuan
bagi pembentukan hukum positif. Dengan kekuatan tersebut, hukum alam dapat
memberikan jawaban atas persoalan-persoalan moral yang tidak dapat diselesaikan
oleh hukum masa kini.
Namun
demikian, universalitas tersebut juga menjadi kelemahan dari hukum alam
sendiri. Karena sifatnya yang universal, maka perlu untuk dilakukan
‘positivisasi’ nilai-nilai dalam hukum alam tersebut, agar secara konkrit dapat
diketahui bentuk hukumnya untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sosial.
Prinsip-prinsip dalam hukum alam bersifat abstrak, sehingga perlu
di-‘breakdown’ atau diterjemahkan ke dalam peraturan yang lebih konkrit.
Mengacu
pada Struktural-Fungsional (Talcott Parson), secara singkat dapat dikatakan
bahwa kekuatan hukum alam adalah pada nilai-nilainya (the values) dan
kelemahannya adalah pada kekuatan berlakunya (the energy).
G. Hukum Alam Zaman Modern
Periode
zaman Renaissance di Eropa, perdebatan tentang Hukum Alam terkait dengan issue
hak-hak individu manusia dan batas-batas dari pemerintah. Hugo Grotius, Thomas
Hobbes dan John Locke banyak menulis tentang Hukum Internasional adalah pemuka
Hukum Alam Zaman Modern. Kemudian pemikiran Hukum Alam Zaman Modern dimulai
oleh John Finnis, pemikirannya adalah aplikasi dari pandangan Thomas Aquinas
yang berhubungan dengan masalah etika.
Finnis’s
ethical theory has a number of levels. The foundation is the claim that there
are a number of distinct but equally valuable intrinsic goods (that is,things
one values for their own sake), which he calls “basic goods”. In Natural Law
and Natural Rights, Finnis list the following as basic goods: life (and
health), knowledge, play, aesthetic experience, sociability (friendship),
practical reasonableness, and religion (Finnis’s list of basic goods changes
somewhat in later articles). These are “intrinsic” goods in the following sense
: one can value, for example, health for its own sake, but medical treatment
only as a means to health. If someone stated that she was buying medicine, not
because she or someone she knew was sick or might become sick, and not because
it was part of some study or some business, but simply because she liked
acquiring medicines and having a lot of them around, one might rightly begin to
question her sanity 4Pemuka Hukum Alam lainnya dalam zaman modern adalah Lon
Fuller yang menolak secara tegas apa yang dilihatnya sebagai teori Hukum
Positif. Fuller mengatakan bahwa hukum itu sebagai tingkah laku manusia yang
menentukan peraturan-peraturan.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Pemukan-pemuka
Hukum Alam Tradisional adalah Cicero dan Thomas Aquinas. Cicero berpendapat
Hukum Alam itu tidak berubah-rubah dan tidak mempunyai perbedaan dalam
masyarakat yang berbeda. Setiap orang mempunyai akses kepada standar dari hukum
yang tertinggi ini dengan menggunakan
akal. Hukum yang tertinggi itu adalah pencerminan Divine Law atau Hukum Tuhan.
Selanjutnya
Thomas Aquinas mengatakan hukum ada empat macam : the eternal law, the natural
law, the divine law, and human (positive) law. Menurut Aquinas, Hukum Positif
berasal dari Hukum Alam. Kadang-kadang Hukum Alam mendiktekan bagaimana
seharusnya Hukum Positif. Misalnya, Hukum Alam mensyaratkan bahwa pembunuhan
itu terlarang. Pada lain waktu Hukum Alam memberikan ruang kepada manusia untuk
memilih (berdasarkan adat lokal atau pilihan kebijakan). Hukum Alam menghendaki
peraturan jalannya mobil untuk keselamatan pihak lain. Akan tetapi Hukum Alam
memberikan keleluasaan kepada pilihan manusia, jalan di sebelah kiri atau di
sebelah kanan, kecepatan kendaraan 55 mil/jam atau 65 mil/jam. Perbebatan
tentang pemikiran Aquinas terus berlangsung, misalnya, apakah Aquinas percaya
Norma Moral berasal secara langsung dari pengetahuan manusia atau berdasarkan
pengalaman penjelmaan alam atau produk dari pengertian praktis dan pemikiran
berdasarkan pengalaman manusia.
Reaksi
dari ajaran ini datang pada abad-abad berikutnya dimana ada perbedaan dan
kemungkinan timbulnya konflik antara Hukum Alam (Natural Law) dan hukum yang
dibuat manusia. Pada zaman Yunani, Aritoteles dan Plato membangun kembali Hukum
Alam (Natural Law). Sampai hari ini hanya Aristoteles yang mempunyai pengaruh
terbesar dalam doktrin Hukum Alam (Natural Law). Aristoteles menganggap manusia
adalah bagian dari alam, bagian dari sesuatu, tetapi juga, diikuti dengan akal
yang cemerlang, yang membuat manusia sesuatu yang istimewa dan memberikannya
kekhususan yang menonjol.
Dalam
perkembangan selanjutnya Thomas Hobbes mempunyai motif politik dengan
menggunakan Hukum Alam (Natural Law) untuk membenarkan perlunya pemerintahan
yang absolut, kekuasaan politik yang besar untuk melindungi rakyat biasa
melawan mereka sendiri dan melawan kekurangan/kelemahan mereka sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Strauss,
Leo (1968). "Natural Law". International Encyclopedia of the Social
Sciences. Macmillan, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
Dominikus
Rato, Filsafat Hukum Mencari Menemukan dan Memahami Hukum,Laksbang Justitia, Surabaya, hal. 190.
Wild,
John (1953. Plato’s Modern Enemies and the Theory of Natural Law. Chicago:
University of Chicago Press. p. 136 dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
Plato,
Gorgias 508a dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
Plato,
The Republic, 540a, 517b–ddalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law ibid
Ishaq,
Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2008, hal. 195.
Strauss,
Leo (1968). "Natural Law". International Encyclopedia of the Social
Sciences. Macmillan. dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law