PSIKIS MANUSIA TERHADAP KONSEP AL-QUR’AN TENTANG MANUSIA
Sunday, October 16, 2016
I. PENDAHULUAN
Manusia
sebagai kenyataan fisik material terdiri atas bagian-bagian yang membentuk
suatu komposisi yang menunjukkan eksistensi manusia secara fisik biologis.
Secara psikis, manusia juga memiliki aspek-aspek dan dimensi-dimensi psikis
yang membentuk suatu struktur / komposisi totalitas psikis manusia.[1]
II. PEMBAHASAN
Secara
bahasa kata motivasi berasal dari bahasa Inggris “motivation” yang kata
kerjanya adalah motivate yang berarti “to provide with motives, as
the characters in a story or play”. Artinya : “Sebagai karakter dalam
cerita / permainan”. Berdasarkan itu, dapat dijelaskan bahwa motivasi adalah
dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan. Dalam istilah
psikologi, motivation adalah “a general term referring to the regulation of
need–satisfying and goal–seeking behaviors”. Artinya : “motivasi adalah
istilah umum yang merujuk kepada perputaran pemenuhan kebutuhan dan tujuan
tingkah laku”.[2]
Berdasarkan
sifatnya yang intrinsik, motivasi muncul sebagai akibat adanya tiga hal pokok,
yaitu kebutuhan pengetahuan, dan aspirasi cita-cita. Sementara itu, motivasi
ekstrinsik muncul sebagai akibat adanya tiga hal pokok juga, yaitu : ganjaran,
hukuman, persaingan / kompetisi. Sejalan dengan itu, maka motivasi itu berguna
dan bermanfaat bagi manusia sebagai: menggerakkan tingkah laku, mengarahkan
tingkah laku, menjaga dan menopang tingkah laku. Kecuali itu, yang tak kalah
pentingnya adalah bahwa motivasi itu juga mempunyai peranan dan fungsi yang
besar bagi manusia, yaitu : 1) menolong manusia untuk berbuat / bertingkah
laku. 2) menentukan arah perbuatan manusia, dan 3) menyeleksi perbuatan
manusia.
Peranan yang
demikian menentukan ini, dalam konsep Islam disebut niyyah dan ibadah. Niyah
merupakan pendorong utama manusia untuk berbuat / beramal. Sementara ibadah
adalah tujuan manusia berbuat / beramal. Maka perbuatan manusia berada pada
lingkaran niyyah dan ibadah. Dalam sebuah hadits Rasulullah menjelaskan bahwa
perbuatan sangat ditentukan oleh niyat.
إنّـما
لأعمـال بالنيـة
“Sesungguhnya
amal perbuatan itu ditentukan oleh niyatnya”[3]
Berdasarkan
itu, dapat dirumuskan ada tiga kelompok sifat-sifat kebutuhan manusia, yaitu :
kebutuhan yang bersifat jismiah (fisik-biologis, primer), kebutuhan yang
bersifat nafsiah (psikologis / sosiologis, sekunder), dan kebutuhan yang
bersifat ruhaniah (spiritual, meta-kebutuhan).
Kebutuhan-kebutuhan
jismiah adalah seluruh kebutuhan yang bersifat fisik-biologis.
Kebutuhan-kebutuhan itu berada pada dasar yang paling bawah dari rangkaian
kebutuhan manusia.
o Kebutuhan-kebutuhan nafsiah
Kebutuhan-kebutuhan
nafsiah adalah sejumlah kebutuhan diri manusia yang bersifat psikis /
psikologis. Kebutuhan-kebutuhan ini muncul dari berbagai dimensi dalam aspek
nafsiah.
o Kebutuhan-kebutuhan dari dimensi al-nafsu
Tingkatan
kedua adalah kebutuhan pada rasa aman dan seksual. Kebutuhan-kebutuhan pada
dimensi ini merupakan sisi dalam dari kebutuhan-kebutuhan biologis dari aspek
jismiah manusia.
o Kebutuhan-kebutuhan dari dimensi al-aql
Tingkatan
ketiga adalah kebutuhan kepada penghargaan diri dan rasa ingin tahu. Dengan
adanya pemikiran dan sifat rasional itu, manusia dapat menyadari dan menilai
keberadaan dirinya di antara keberadaan orang lain.
o Kebutuhan-kebutuhan dari dimensi al-qalb
Tingkatan
keempat adalah kebutuhan kepada rasa cinta dan kasih sayang. Kebutuhan ini
sebagai akibat adanya sifat supra rasional, perasaan, dan emosional yang
bersumber dari dimensi qalb.
Kebutuhan-kebutuhan
Ruhaniah
Kebutuhan-kebutuhan
ruhaniah merupakan kebutuhan yang bersifat spiritual. Sejalan dengan dimensi
yang ada pada aspek ruhaniah ini, yaitu dimensi al-ruh, dan dimensi al-fitrah,
maka ada dua jenis kebutuhan aspek ruhaniah ini, yaitu kebutuhan perwujudan
diri (akulturasi diri) dari dimensi al-ruh, dan kebutuhan agama (ibadah) dari
dimensi al-fitrah.
o Kebutuhan perwujudan diri (akulturasi diri)
Tingkatan
kelima adalah kebutuhan akan perwujudan diri untuk mewujudkan fungsi itu
manusia telah dibekali oleh Allah dengan sejumlah potensi.
o Kebutuhan ibadah (agama)
Tingkatan
keenam adalah tingkatan tertinggi dan terakhir, yaitu kebutuhan kepada agama.
Bentuk kebutuhan pada agama dalam hal ini diartikan sebagai kebutuhan beribadah
sebagai salah satu tugas manusia.[4]
Abraham
Horald Maslow (1326-1390 H / 1908-1970 M) menyebutnya dengan istilah
meta-motivasi. Menurutnya ada tiga kelompok motivasi manusia dan bertingkah
laku, yaitu motivasi biologis, motivasi psikologis dan meta-motivasi. Meta
motivasi baginya adalah pemenuhan akulturasi diri, yaitu mewujudkan potensi
luhur batin manusia.
o Sumber penyakit kejiwaan
Setiap
makhluk hidup memiliki kebutuhan primer, yaitu kebutuhan hidup demi menjamin
keberlangsungan keberadaannya, memenuhi kebahagiaannya, dan mengukuhkan
kelangsungan keturunannya. Semua itu dinamakan dengan pemeliharaan atas
beberapa naluri yang meliputi : (1) naluri mencintai kehidupan dan menjaga
keberlangsungannya, (2) naluri mencintai kepemilikan, (3) naluri seksual
(kecenderungan terhadap lawan jenis), (4) naluri kasih sayang dan welas asih
yang muncul dari perasaan fitri akan kelemahan diri.
Naluri
penjagaan diri / mencintai kehidupan dan kekekalannya yang disertai dengan
adanya pengaruh kebiasaan masyarakat yang dominan / pendidikan rumah dan
sekolah yang keliru akan menumbuhkan penyakit takut mati dan penyakit
turunannya seperti penyakit takut umur pendek, takut akan siksa kubur, penyakit
ingin kekal, penyakit takut sakit, dan penyakit rasa berat hati orang sakit
kepada anak-anaknya.
Naluri
mencintai kepemilikan yang disertai dengan proses pendidikan rumah dan sekolah
yang keliru / kebiasaan masyarakat yang desktruktif akan menumbuhkan penyakit
bakhil, penyakit mencemaskan masa depan, penyakit takut akan masa depan,
penyakit merasa kekurangan, penyakit mencelakai orang lain, penyakit cinta
terhadap kekuasaan dan kepada penguasa, dan sebagian penyakit seksual.[5]
Perasaan
fitri akan kelemahan diri dan kebutuhan setiap diri akan kasih sayang dan sikap
welas asih yang disertai dengan proses pendidikan rumah dan sekolah yang keliru
serta kebiasaan masyarakat yang destruktif akan menimbulkan penyakit merasa
serba kurang, penyakit takut kepada orang lain, penyakit mencelakai diri
sendiri dan orang lain, dan sebagian penyakit seksual.
Kebutuhan /
naluri seksual yang disertai dengan proses pendidikan rumah dan sekolah yang
keliru serta berbagai pemahaman masyarakat yang salah akan menimbulkan penyakit
berupa berbagai penyimpangan seksual.
Telah
menjadi kebiasaan di kalangan para psikolog untuk menyebut berbagai sumber dan
sebab munculnya berbagai perasaan emosional dan perilaku yang sakit dengan
penyakit kejiwaan. Beberapa ayat al-Qur’an mulia menyebut penyakit kejiwaan ini
dengan istilah kesukaran (‘aqabat), thaghut, syahwat, hawa nafsu, dan ‘Tuhan’
(arbab).
o Penyebab
Sesungguhnya
kehilangan, penyimpangan, ataupun tidak adanya pengetahuan terhadap dasar-dasar
pendidikan rumah dan sekolah yang benar yang dibangun di atas prinsip-prinsip
akhlak yang benar dan yang disandarkan pada pelajaran-pelajaran samawi yang
benar merupakan penyebab utama bagi timbul dan tumbuhnya akar penyakit kejiwaan
pada generasi muda.
o Mekanisme dan gejalanya
Ada beberapa
mekanisme kejiwaan untuk melepaskan jiwa dari segala kesukaran yang dialami.
Bagi seorang ahli, hal semacam ini dapat terlihat karena penyakit itu berubah
menjadi kebalikannya, yang dinamakan dengan ‘ganti rugi’. Seperti : penyakit
kekikiran sering berubah menjadi keserakahan, ketamakan, dan kebakhilan,
penyakit kelemahan berubah menjadi penyakit kesombongan dan keangkuhan,
penyakit kurang kasih sayang berubah menjadi suka menyakiti, bersikap ganas,
dan tinggi hati.[6]
o Penyakit kikir akan kasih sayang
Setiap
makhluk hidup membutuhkan sekali kasih sayang, cinta dan pemeliharaan, yang
paling penting dan wajib direalisasikan adalah kasih sayang, cinta dan
pemeliharaan terhadap (1) orang tua, (2) karib kerabat. (3) saudara-saudaranya
yang mukmin.
Hewan dan
tumbuhan juga membutuhkan kasih sayang dan pemeliharaan fisik maupun psikis,
jadi tidak hanya manusia. Hilangnya cinta pada manusia, khususnya sejak
kelahirannya sampai berakhirnya masa remaja, biasanya akan mendatangkan
penyakit kurang kasih sayang. Penyakit ini akan berpengaruh secara negatif
terhadap perasaan dan perilaku manusia. Sehingga ia tampak seperti menipu
dirinya sendiri maupun orang lain. Di antara gejalanya adalah sikap
mementingkan diri sendiri, menjadi gila, ragu / bimbang, cemas, sedih, jahat,
serta cenderung menyakiti orang lain dan dirinya sendiri.
o Penyakit kikir dan bakhil
Penyakit ini
dalam beberapa kondisi, berhubungan erat dengan penyakit kurang kasih sayang.
Kebanyakan gejalanya merupakan kebalikannya seperti berlebihan dalam makan dan
minum serta kebergantungan pada segala sesuatu yang cepat hilang, yang kemudian
melahirkan penyakit seperti sikap bakhil dan takut miskin.
o Penyakit merasa kekurangan, menyesal dan takut kepada orang lain
Merasa
kurang dan lemah sesungguhnya merupakan perasaan alamiah dalam diri setiap
makhluk hidup. Dalam beberapa kondisi, penyakit merasa kekurangan ini
berhubungan erat dengan penyakit kikir materi dan kurang kasih sayang /
penyakit buruk akhlak dan perilaku dengan pendidikan rumah dan masyarakat yang
salah / dengan semua sebab-sebab ini. Di antara gejalanya adalah adanya sikap
mengasingkan diri, melarikan diri, takut kepada orang lain, sangat cemas
menghadapi segala sesuatu yang baru, buruk akhlak, serta senang menyakiti diri
sendiri dan orang lain.
o Penyakit angkuh, sombong dan arogan (penyakit iblis / penyakit maksiat yang
pertama)
Keangkuhan,
kesombongan dan arogansi merupakan penyakit yang tidak disenangi Allah
sekaligus merusak diri sendiri dan orang lain, karena biasanya sering menyertai
sifat kezaliman.
Manusia
sejak pembentukan kepribadiannya sampai tarap kematangannya senantiasa berusaha
mengalahkan perasaan lemah yang bersifat alamiah yang ada pada dirinya. Jika
keluarga dan para pendidik, di dalam proses pendidikan mereka terhadap
anak-anak, tidak memperbandingkan antara perasaan lemah yang bersifat fitri dan
dorongan perasaannya untuk mengalahkan perasaan lemah ini melalui kesukaan dan
kebutuhan pada kekuatan dan kekuasaan, maka hawa nafsu dan keinginan anak-anak
kadang-kadang condong untuk terus menerus berada dalam penyakit keangkuhan,
kesombongan dan sikap arogan.
Tidak ada
sesuatu pun yang dapat membimbing jiwa manusia menuju tingkat yang seimbang
antara penyakit kekurangan dan penyesalan dengan penyakit keangkuhan dan sikap
arogan, kecuali pendidikan agama yang benar.[7]
Freud
menemukan persamaan antara perbuatan was-was (obsessions and compulsions) dan
upacara-upacara agama, maka seorang yang menderita gangguan jiwa dengan ganjil
compulsive behavior, misalnya terpaksa mengulangi perbuatan / kata-kata
tertentu, yang tidak ada gunanya, kendatipun menurut logika dan kesadarannya ia
tidak menginginkan terjadinya seperti itu.[8]
III. KESIMPULAN
Jika Islam
dipahami, dipelajari dan dilaksanakan dengan sistematis dan ilmiah, baik di
rumah, di sekolah, ataupun di tengah-tengah masyarakat. Maka dia akan menjadi
satu-satunya sistem samawi yang sempurna dan tidak memiliki cela. Sistem samawi
inilah yang mampu membebaskan manusia dari segala penyakit kejiwaan, bahkan
meninggikan derajat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Bahrudin, Paradigma Psikologi Islam, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004.
Dr. Adnan Syarif, Psikologi Qur’ani, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 2005.