Makalah Qira'at Alqur'an dalam Islam
Wednesday, September 21, 2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik dan
hidayah-Nya. Sehingga penyusunmampumenyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam kepada sang pendidik sejati Rasulullah
SAW, serta para sahabat, tabi’in dan para umat yang senantiasa berjalan dalam
risalahnya. Dengan terselesainya makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan
terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang memberikan sumbangan
baik moral maupun spiritual.
Selanjutnya penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam
makalah ini banyak terdapat kekurangan, walaupun penyusun sudah berusaha
semaksimal mungkin untuk membuat yang terbaik. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa
di dunia ini tidak ada yang sempurna. Begitu juga dalam penyusunan makalah ini,
yang tidak luput dari kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi
penyempurnaan makalah ini.Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Amiin.
Makassar,
10 November 2012
Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………..………...1
DAFTAR
ISI…………………………………...……………………………2
BAB
I PENDAHULUAN……..……………………………………………..3
LATAR
BELAKANG………….…………………………………….3
RUMUSAN
MASALAH…………………………………………….3
BAB
II PEMBAHASAN…………………………………………………….5
Pengertian
Qiraat…….……………………...………………………..5
Sejarah
Perkembangan Qiraat….….………………………………….6
Tokoh-tokoh
Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya…………………....
Mengenal
Imam-Imam Qiraat………………..………………………9
Syarat-syarat
Sahnya Qiraat………………………………………….13
Pengaruh
Qiraat Terhadap Istinbat Hukum…………………………..14
Manfaat
Perbedaan Qiraat……………………………………………17
BAB
III PENUTUP………………………………………………….………19
KESIMPULAN…………………...………………………………….19
SARAN-SARAN…….……………………………………………….19
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………….….20
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum
al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali
orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang
menyebabkan hal itu, di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan
langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu
fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang dapat dikatakan berhubungan langsung
dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari
masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau
hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari,
banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting
adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal
sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki
gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai
seginya, juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan
berbagai macam qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji
ilmu ini. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu
populer.
Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa
dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang
benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qiraat
telah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian
dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya
kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak
kemurnian al-Qur’an. Tulisan singkat ini akan memaparkan secara global tentang
ilmu Qira’at al-Qur’an, dapat dikatakan sebagai pengenalan awal terhadap Ilmu
Qira’at al-Qur’an.
RUMUSAN MASALAH
Secara
garis besar terdapat beberapa rumusan masalah, diantaranya:
1.
Pengertian
Qiraat.
2.
Sejarah
Perkembangan Qiraat.
3.
Tokoh-tokoh
Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya.
4.
Mengenal
Imam-Imam Qiraat.
5.
Syarat-syarat
Sahnya Qiraat.
6.
Pengaruh
Qiraat Terhadap Istinbat Hukum.
7.
Manfaat
Perbedaan Qiraat.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Qiraat
Menurut bahasa, qira’at (قراءات)
adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة)
yang merupakan isim masdar dari qaraa (), yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal
ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama
tersebut. Berikut ini akan diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
Qira’at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal
al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf
tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.
Dari pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya
terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan qira’at saja. Ia
tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira’at itu dapat terjadi dan bagaimana
pula cara mendapatkan qira’at itu.
Ada pengertian lain tentang qira’at yang lebih luas daripada
pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian qira’at menurut pendapat
al-Zarqani.
Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab
yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang
lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan
thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun
pengucapan bentuknya.”
Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus
diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini
akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan
tariqah, sebagai berikut :
Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang
imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’,
qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada
salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas.
Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut
dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang
disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang
tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu
al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat
Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati
Warsy min tariq al-Azraq.
Sejarah Perkembangan Qira’at
Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan ilmu qira’at ini
dimulai dengan adanya perbedaan pendapat tentang waktu mulai
diturunkannya qira’at. Ada dua pendapat tentang hal ini;
Pertama,
qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an.
Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di
mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat
Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak
di Makkah.
Kedua,
qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana
orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab
dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab
tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya
membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air
Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebut--terletak di dekat kota
Madinah.
Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak
membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada
hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat
al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam
surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya
sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat
menampung lebih dari satu qira’at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh
satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga
mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada.
Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti
bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci
utama pengambilan qira’at al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang
diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda
ketika menerima qira’at dari Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf
ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan orang yang sesuai qiraatnya
dengan mushaf tersebut. Qira’at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain,
sebagaimana mereka mengambil qira’at dari sahabat yang berbeda pula,
sedangkan sahabat juga berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari
Rasulullah SAW.
Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli qira’at, antara
lain adalah : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid
bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri
Islam dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda
juga ketika Tabi’in mengambil qira’at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan
Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari para Tabi’in.
Ahli-ahli qira’at di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di
berbagai kota. Para Tabi’in ahli qira’at yang tinggal di Madinah antara lain :
Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’
(keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’,
Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan
Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin
Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad,
Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu
Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi.
Sementara Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu
‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan
Qatadah.
Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah
bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d.
Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam
qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam qira’at – qira’at
tertentu dan mengajarkan qira’at mereka masing-masing.
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa
pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali
menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang
wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang
menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang
yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman bin Tsabit
al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H. Dengan demikian mulai
saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat
dikompromikan. Orang yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk
prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama kali menullis tentang
qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi.
Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun
qira’at Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam
qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam
mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam
qira’at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya.
Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah
secara kebetulan, tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini,
orang-orang awam menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah adalah
qira’at sab’ah oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at
lain yang kadar kemampuannya setara dengan tujuh imam qira’at dalam kitab
Ibn Mujahid
Abu
al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at
sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya
dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu
adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya
akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari
tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama
setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah :
al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan
al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at
al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at
al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna. Masih banyak lagi
kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qiraat dari berbagai segi secara
luas, hingga saat ini.
Tokoh-tokoh Ilmu Qiraat dan Karya
Ilmiahnya
Perkembangan ilmu qiraat demikian pesatnya, sehingga
memunculkan banyak tokoh-tokoh ahli qira’at yang mengabadikan ilmunya dalam
bentuk karya tulis. Berikut ini dipaparkan beberapa tokoh ahli qira’at dengan
karya-karyanya, sebagai berikut :
1.
Makki
bin Abu Thalib al-Qaisi, wafat pada tahun 437 H.
Beliau
menyusun kitab : al-Ibanah ‘an Ma’ani al-Qiraat dan al-Kasyfu ‘an Wujuuhi
al-Qiraati al-Sab’i wa ‘Ilaaliha
2.
Abdurrahman
bin Ismail, yang lebih dikenal dengan nama Abu Syaamah, wafat pada tahun 665 H.
Beliau mengarang kitab :Ibraazu Ma’ani min Harzi al-Amani dan Syarah
Kitab al-Syatibiyah
3.
Ahmad
bin Muhammad al-Dimyati. Wafat pada tahun 117 H. Beliau menyusun kitab : Itafu
Fudalai al-Basyari fi al- qira’at al-Arba’i ‘Asyar
4.
Imam
Muhammad al-Jazari, wafat pada tahun 832 H. Beliau menyusun kitab :Tahbir
al-Taisir fi al-Qiraat al-‘Asyar min T}ariiqi al-Syatibiyah wa al-Durrah
5.
Imam
Ibn al-Jazari yang menyusun kitab : Taqrib al-Nasyar fi al-Qira’at
al-‘Asyar dan Al-Nasyar fi al-Qira’at al-‘Asyar
6.
Husain
bin Ahmad bin Khalawaih, wafat pada tahun 370 H. Beliau menyusun kitab :
al-Hujjatufi Qira’at al-Sab’i dan Mukhtashar Syawaadzi al-Qur’an
7.
Imam
Ahmad bin Musa bin Mujahid, wafat pada tahun 324 H. Beliau menyusun kitab :
Kitab al-Sab’ah
8.
Imam
Syatibi, wafat pada tahhun 548 H. Beliau menyusun kitab : Harzu al-Amani
wa Wajhu al-Nahani –Nazam fi Qira’at al-Sab’i
9.
Syaikh
Ali al-Nawawi al-Shafaqisi yang menyusun kitab : Ghaitsu al-Nafi’ fi
al-Qira’atial-Sab’i
10. Imam Abu Amr al-Dani, wafat pada tahun
444 H. Beliau menyusun kitab : al-Taysir fi al-Qira’at al-Sab’i.
Mengenal Imam-Imam Qiraat
Berikut ini adalah para imam qira’at yang terkenal dalam
sebutan qira’at Sab’ah dan Qiraat ‘Asyarah , serta qira’at Arba’ ‘Asyara :
Nafi’al-Madani
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin
Abu Nu’aim al-Laitsi, maula Ja’unah bin Syu’ub al-Laitsi. Berasal dari Isfahan.
Wafat di Madinah pada tahun 177 H.
Ia mempelajari qira’at dari Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’,
Abdurrahman bin Hurmuz, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah
al-Makhzumi; mereka semua menerima qiraat yang mereka ajarkan dari Ubay bin
Ka’ab dari Rasulullah.
Murid-murid Imam Nafi’ banyak sekali, antara lain : Imam
Malik bin Anas, al-Lais bin Sa’ad, Abu ‘Amar ibn al-‘Alla’, ‘Isa bin Wardan dan
Sulaiman bin Jamaz.
Perawi
qira’at Imam Nafi’ yang terkenal ada dua orang, yaitu Qaaluun (w. 220 H)
dan Warasy (w.197 H).
Ibn
Kasir al-Makki
Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Kasir bin Umar bin
Abdullah bin Zada bin Fairuz bin Hurmuz al-Makki. Lahir di
Makkah tahun 45 H. dan wafat juga di Makkah tahun 120 H.
Beliau mempelajari qira’at dari Abu as-Sa’ib, Abdullah bin
Sa’ib al-Makhzumi, Mujahid bin Jabr al-Makki dan Diryas (maula Ibn ‘Abbas).
Mereka semua masing-masing menerima dari Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan
Umar bin Khattab; ketiga Sahabat ini menerimanya langsung dari Rasulullah SAW.
Murid-murid Imam Ibn KAsir banyak sekali, namun perawi
qiraatnya yang terkenal ada dua orang, yaitu Bazzi (w. 250 H) dan Qunbul (w.
251 H).
Abu’Amr
al-Basri
Nama lengkapnya Zabban bin ‘Alla’ bin ‘Ammar bin ‘Aryan
al-Mazani at-Tamimi al-Bashr. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya.
Beliau adalah imam Bashrah sekaligus ahli qiraat Bashrah. Beliau lahir di
Mekkah tahun 70 H, besar di Bashrah, kemudian bersama ayahnya berangkat ke
Makkah dan Madinah. Wafat di Kufah pada tahun 154 H.
Beliau belajar qira’at dari Abu Ja’far, Syaibah bin Nasah,
Nafi’ bin Abu Nu’aim, Abdullah ibn Kasir, ‘Ashim bin Abu al-Nujud dan Abu
al-‘aliyah. Abu al-‘Aliyah menerimanya dari Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab,
Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Abbas. Keempat Sahabat ini menerima qira’at
langsung dari Rasulullah SAW.
Murid beliau banyak sekali, yang terkenal adalah Yahya bin
Mubarak bin Mughirah al-Yazidi (w. 202 H.) Dari Yahya inilah kedua perawi
qiraat Abu ‘Amr menerima qiraatnya, yaitu al-Duuri (w. 246 H) dan al-Suusii (w.
261 H).
Abdullah
bin ‘Amir al-Syami
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin ‘Amir bin Yazid bin
Tamim bin Rabi’ah al-Yahshabi. Nama panggilannya adalah Abu ‘Amr, ia termasuk
golongan Tabi’in. Beliau adalah imam qiraat negeri Syam, lahir pada tahun 8 H,
wafat pada tahun 118 H di Damsyik.
Ibn ‘Amir menerima qira’at dari Mugirah bin Abu Syihab,
Abdullah bin Umar bin Mugirah al-Makhzumi dan Abu Darda’ dari Utsaman bin Affan
dari Rasulullah SAW.
Di antara para muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang
terkenal adalah Hisyam (w. 145 H) dan Ibn Zakwaan (w. 242 H).
‘Ashim
al-Kufi
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim bin Abu al-Nujud. Ada
yang mengatakan bahwa nama ayahnya adalah Abdullah, sedang Abu al-Nujud adalah
nama panggilannya. Nama panggilan ‘Ashim sendiri adalah Abu Bakar, ia masih
tergolong Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 127 H.
Beliau menerima qira’at dari Abu Abdurrahman bin Abdullah
al-Salami, Wazar bin Hubaisy al-Asadi dan Abu Umar Saad bin Ilyas al-Syaibani.
Mereka bertiga menerimanya dari Abdullah bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud
menerimanya dari Rasulullah SAW.
Di antara para muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang
terkenal adalah Syu’bah (w.193 H) dan Hafs (w. 180H).
Hamzah
al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin ‘Ammarah bin
Ismail al-Kufi. Beliau adalah imam qiraat di Kufah setelah Imam ‘Ashim. Lahir
pada tahun 80 H., wafat pada tahun 156 H di Halwan, suatu kota di Iraq.
Beliau belajar dan mengambil qiraat dari Abu Hamzah Hamran
bin A’yun, Abu Ishaq ‘Amr bin Abdullah al-Sabi’I, Muhammad bin Abdurrahman bin
Abu Ya’la, Abu Muhammad Talhah bin Mashraf al-Yamani dan Abu Abdullah Ja’far
al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainul ‘Abidin bin Husein bin Ali bin Abi
Thalib serta Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah SAW.
Di antara para muridnya yang menjadi perawi qira’at -nya
yang terkenal adalah Khalaf (w. 150 H) dan Khallad (w. 229 H).
Al-Kisa’i
al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Usman
al-Nahwi. Nama panggilannya Abul Hasan dan ia bergelar Kisa’i karena ia mulai
melakukan ihram di Kisaa’i. Beliau wafat pada tahun 189 H.
Beliau mengambil qira’at dari banyak ulama. Diantaranya
adalah Hamzah bin Habib al-Zayyat, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laia,
‘Ashim bin Abun Nujud, Abu Bakar bin’Ilyasy dan Ismail bin Ja’far yang
menerimanya dari Syaibah bin Nashah (guru Imam Nafi’ al-Madani), mereka semua
mempunyai sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.
Murid-murid Imam Kisaa’i yang dikenal sebagai perawi yang
dikenal sebagai perawi qira’at-nya adalah al-Lais (w. 240 H) dan Hafsh
al-Duuri (w. 246 H).
Untuk
melengkapi jumlah qira’at menjadi qira’at ‘Asyarah, maka ditambahkan imam-imam
qira’at berikut ini :
Abu
Ja’far al-Madani
Nama lengkapnya adalah Yazid bin Qa’qa’ al-Makhzumi
al-Madani. Nama panggilannya Abu Ja’far. Beliau salah seorang Imam Qiraat
‘Asyarah dan termasuk golongan Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 130 H.
Beliau mengambil qiraat dari maulanya, Abdullah bin ‘Iyasy
bin Abi Rabi’ah, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah, mereka bertiga
menerimanya dari Ubay bin Ka’ab. Abu Hurairah dan Ibn Mas’ud mengambil qiraat
dari Zaid bin Tsabit, dan mereka semua menerimanya dari Rasulullah SAW.
Murid Imam Abu Ja’far yang terkenal menjadi perawi qiraatnya
adalah Isa bin Wardaan (w. 160 H) dan Ibn Jammaz (w. 170 H).
Ya’qub
al-Bashri
Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ishaq bin Zaid bin
Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrami al-Mishri. Nama panggilannya Muhammad. Beliau
seorang imam qiraat yang besar, banyak ilmu,shalih dan terpercaya. Beliau
merupakan sesepuh utama para ahli qiraat sesudah Abu ‘Amr bin al-‘Alla’. Beliau
wafat pada bulan Zul Hijjah tahun 205 H.
Beliau mengambil qiraat dari Abdul Mundir Salam bin Sulaiman
al-Muzanni, Syihab bin Syarnafah, Abu Yahya Mahd bin Maimun dan Abul Asyhab
Ja’far bin Hibban al-‘Autar. Semua gurunya ini mempunyai sanad yang bersambung
kepada Abu Musa al-Asy’ari dari Rasulullah SAW.
Murid sekaligus perawi dari qiraat Imam Ya’qub yang terkenal
adalah Ruwas (w. 238 H) dan Ruh (w. 235 H).
Khalaf
al-‘Asyir
Nama lengkapnya adalah Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab al-Asdi
al-Baghdadi. Nama panggilannya Abu Muhammad. Beliau lahir tahun 150 H. dan
wafat pada bulan Jumadil akhir tahun 229 H. di Bagdad.
Beliau tampil dengan qiraat tersendiri yang berbeda dengan
qiraat dari gurunya Imam Hamzah, oleh karena itu ia terhitung masuk ke dalam
kelompok Imam Qiraat ‘Asyarah
Murid-murid yang merawikan qiraat Imam Khalaf ini yang
terkenal adalah Ishaq (w. 286 H) dan Idris (w. 292).
Untuk melengkapi jumlah qiraat menjadi Qiraat Arba’
‘Asyarah, maka ditambahkan imam-imam qiraat berikut ini :
Hasan
al-Basri
Nama
lengkapnya adalah Hasan bin Abu al-Hasan Yasar Abu Said al-Bashri. Seorang
pembesar Tabi’in yang terkenal zuhud, wafat pada tahun 110 H. Dua perawinya
adalah Syuja’ bin Abu al-Nashr al-Balkhi dan al-Duri.
Ibn
Muhaisin
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Abdurrahman al-Makki. Beliau adalah guru dari
Abu ‘Amr al-Dani, wafat pada tahun 123 H. Dua perawinya adalah al-Bazzi dan Abu
al-Hasan bin Syambudz
Al-Yazidi
Nama
lengkapnya adalah Yahya bin Mubarak al-Yazidi al-Nahwi. Beliau adalah guru dari
al-Duri dan Al-Susi, wafat pada tahun 202 H. Dua perawinya adalah Sulaiman bin
al-Hakam dan Ahmad bin Farh.
Al-A’masy
Nama
lengkapnya adalah Sulaiman bin Mahram al-A’masy. Beliau termasuk golongan
Tabii., wafat pada tahun 148 H. Dua perawinya adalah al-Hasan bin Said
al-Mathu’I dan Abu al-Farj al- Syambudzi al-Syatwi.
Syarat-syarat Sahnya Qiraat
Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya
qiraat. yaitu :
1. Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa
Arab.
2. Sesuai dengan tulisan pada salah satu
mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3. Shahih sanadnya.
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu kaidah bahasa
Arab“ ialah: tidak menyalahi salah satu segi dari segi-segi qawa’id
bahasa Arab, baik bahasa Arab yang paling fasih ataupun sekedar fasih, atau
berbeda sedikit tetapi tidak mempengaruhi maknanya. Yang lebih dijadikan
pegangan adalah qiraat yang telah tersebar secara luas dan diterima para imam
dengan sanad yang shahih.
Sementara yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu
tulisan pada mushaf Usmani” adalah sesuainya qiraat itu dengan tulisan pada
salah satu mushaf yang ditulis oleh panitia yang dibentuk oleh Usman bin ‘Affan
dan dikirimkannya ke kota-kota besar Islam pada masa itu.
Mengenai maksud dari “shahih sanadnya” ini ulama berbeda
pendapat. Sebagian menganggap cukup dengan shahih saja, sebagian yang lain
mensyaratkan harus mutawatir.
Syaikh Makki bin Abu Talib al-Qaisi menyatakan : “Qiraat
shahih adalah qiraat yang shahih sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW,
ungkapan kalimatnya sempurna menurut kaedah tata bahasa Arab dan sesuai dengan
tulisan pada salah satu mushaf Usmani.” Pendapat ini diikuti oleh Ibnl Jazari,
sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Tayyibatun Nasyar fi al-Qira’at
al-‘Asyar..
Menurut
Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pendapat al-Shafaaqasi, pendapat ini lemah
karena membawa akibat tidak adanya perbedaan antara al-Qur’an dengan yang bukan
al-Qur’an.
Akan tetapi pada kesempatan lain, Ibnl Jazari mensyaratkan
mutawatir untuk diterimanya qiraat yang shahih, seperti disebutkan pada
kitabnya Munjid al-Muqriin wa Mursyid al-Talibin. Jadi, mungkin yang
dimaksud dengan “shahih sanadnya” oleh Ibnl Jazari di sini adalah Mutawatir.
Menurut Imam al-Nuwairi : “ Meniadakan syarat mutawatir
adalah pendapat yang baru, bertentangan dengan ijma’ para ahli fiqih, ahli
hadis dan yang lain-lain. Sebab al-Qur’an menurut jumhur ulama empat mazhab yang
terkemuka adalah kalamullah yang diriwayatkan secara mutawatir dan
dituliskan pada mushaf. Semua orang yang memegang definisi ini pasti
mensyaratkan mutawatir, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Hajib. Dengan
demikian, menurut para imam dan pemuka mazhab yang empat, syarat mutawatir itu
merupakan keharusan. Banyak orang yang secara jelas menerangkan pendapat ini
seperti Abu Abdul Barr, al-Azra’i, Ibn ‘Athiyah, al-Zarkasyi dan al-Asnawi.
Pendapat yang mensyaratkan mutawatir inipun telah menjadi ijma’ para ahli
qiraat. Tidak ada ulama mutaakhirin yang tidak sependapat kecuali al-Makki dan
beberapa orang lainnya.”
Pengaruh Qiraat Terhadap Istinbat Hukum
Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan
hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang
berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna
dari lafaz tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan
qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum dan adakalanya
tidak.
1.
Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum
Qira’at
shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas
serta dasar penetapan hukum, misalnya qira’at membantu penafsiran qira’at
(لَامَسْتُمْ) dalam menetapkan hal-hal yang
membatalkan wudu seperti dalam Q.S Al-Nisa’ (4): 43 :
وَإِنْ كُنتُمْ
مَرْضَى أَوْ
عَلَى سَفَرٍ أَوْ
جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْمِنْ
الْغَائِطِ أَوْ
لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءًفَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْإِنَّ اللَّهَ
كَانَ عَفُوًّا غَفُورً
Terjemahnya:
"…..
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun".
Ada
perbedaan cara membaca pada lafaz (لَامَسْتُمْ
النِّسَاءَ). Ibn Katsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer
dan Ibn 'Amir, membaca (لَامَسْتُمْالنِّسَاءَ), sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i,
membaca (لَامَسْتُمْالنِّسَاءَ
Para
ulama berbeda pendapat tentang makna dari qira’at (لَامَسْتُمْ), ada tiga versi pendapat ulama
mengenai makna (َامَسْتُمْ), yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan
bersentuh serta bersetubuh.
Para
ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari (َامَسْتُمْ).
Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa
maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas al-Nakha'i
dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik
dalam bentuk persetubuhan atau dalam bentuk lainnya.
Ada
sebuah pendapat yang menyatakan, bahwa yang
dimaksud dengan (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ)
adalah sekedar menyentuh perempuan. Sedangkan maksud dari (امَسْتُمْ) adalah berjima’ dengan perempuan.
Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah mencium
istrinya sebelum berangkat sholat tanpa berwudhu lagi.
Jadi yang dimaksud dengan kata (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ)
di sini adalah berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari contoh di atas
dapat diambil kesimpulan, bahwa yang membatalkan wudhu adalah berjima’, bukan
sekedar bersentuhan dengan perempuan.
Pendapat
lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang berarti bersentuhan kulit.
Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums (اللمس) dalam qira’at (لمستم),
makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa pada
dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara
itu, kata al-mulamasat (الملامسات) dalam qira’at (لمَسْتُمْmakna hakikinya adalah saling
menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.
2.
Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh
terhadap Istinbat Hukum
Berikut
ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh
terhadap istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.
يَاأَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا نَكَحْتُمْ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّطَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْعَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ
تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّسَرَاحًا جَمِيلًا
Terjemahnya:
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara sebaik-baiknya."
Ayat
di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraiakn oleh suaminya dalam
keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah
masa menunggu bagi seorang wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita
tersebut dibolehkan kawin lagi dengan laki-laki lain.
Berkenaan
dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan قَبْلِ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ, sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi'
membaca: (مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَمَسُّوهُنَّPerbedaan bacaan tersebut tidak
menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
3.
Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum
Tidak
hanya qira’at mutawatir dan masyhur yang dapat dipergunakan untuk
menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk
membantu menetapkan hukum syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at
Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir),
dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama.
Ulama
mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat Syaz sebagai
dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an.
Pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak
Qira’at Syaz sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz
sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis
Ahad.
Contoh
penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :
1.
Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam
surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمانيَهُمَا
Artinya:
Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..
Dalam
Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
2.
Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah
sumpah, juga berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat
89, yang berbunyi:
فَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ
أَيَّامٍ متتلبعات
Artinya
:
……….
Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya puasa
selama tiga hari berturut-turut ….
Dalam
qira’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
فَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ
أَيَّامٍ
Sya’ban
Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan
sebenarnya dari Qiraat Syaz adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih
(masyhur) dan penjelasan mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya
(lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Qur’an pada tempat
tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut,
pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan ini merupakan hal yang sangat
baik.
Pendapat
ini diperkuat dengan pernyataan al-Suyuti, sebagai berikut :
“Jika
penafsiran itu dikemukakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang benar,
yang kemudian menjadi bagian dari qiraat al-Qur’an itu sendiri, tentu tafsir
ini lebih tinggi nilainya dan lebih kuat. Mengambil kesimpulan hukum dari
penafsiran yang dikemukakan Qira’at Syaz ini adalah suatu pengejawantahan yang
dapat dipertanggung jawabkan.”
Manfaat Perbedaan Qiraat
Adanya bermacam-macam qiraat seperti telah disebutkan di
atas, mempunyai berbagai manfaat, yaitu :
1.
Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an.
Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal
diturunkannya al-Qur’an, dimana mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku
yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan
sebagainya. Meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sekiranya al-Qur’an itu
diturunkan dalam satu qiraat saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku lain
yang berbeda bahasanya dengan al-Qur’an.
2.
Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan
penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3.
Dapat menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang
lain, baik qira’at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz
yang menyalahi rasam mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu
penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62): 9:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ
مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِفَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ
اللَّهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ
Yang
dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini adalah bukan berjalan
cepat-cepat dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke masjid dan berjalan
dengan tenang.
4.
Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap
qiraat menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan
lafaz.
5.
Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah, misalnya dalam penafsiran
tentang sifat-sifat surga dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20 :
وَإِذَا رَأَيْتَ
ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا
وَمُلْكًا كَبِيرًا
Dalam
qira’at lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan
mengkasrahkan lam, sehingga qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa
orang-orang mukmin akan melihat wajah Allah di akhirat nanti.
6.
Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad SAW atas
umat-umat pendahulunya, karena kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan
satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Qur’an yang turun dengan
beberapa qiraat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan tentang qiraat di atas dapat diambil
beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Qira’at Sab’ah bukanlah Sab’atu
ahruf, tetapi qira’at Sab’ah adalah qira’at yang diriwayatkan oleh para imam
qiraat yang tujuh orang, dan merupakan bagian dari Sab’atu Ahruf.
2. Qira’at ‘Asyarah adalah shahih dan
sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, maka boleh membaca al-Qur’an
dengan qiraat manapun diantara salah satu dari yang sepuluh itu, di luar itu
adalah Qiraat Syadz serta tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an.
3. Qira’at, baik shahih maupun syadz,
dapat dipakai untuk menetapkan hukum syar’i, sebagaimana pendapat jumhur ulama.
4. Umat Islam sangat mementingkan masalah
al-Qur’an beserta qiraatnya yang bermacam-macam itu sehingga banyak ulama
mengkhususkan diri dalam maslah qiraat dengan mendalaminya, mengajarkannya dan
menulis kitab-kitab tentang qiraat. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk
menjaga kemurnian al-Qur’an.
5. Perbedaan qira’at yang ada mempunyai
banyak manfaat bagi umat Islam, terutama dalam memudahkan membaca al-Qur’an dan
mengambil hukum dari al-Qur’an.
Saran-Saran
Dengan selesainya makalah ini tentunya masih banyak yang
kurang di dalamnyai maka dari itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang
sifatnya membangun dari Bapak dosen yang membawakan mata kuliah ini.
Selanjutnya selaku Penyusun makalah ini kami hanya
memberikan himbauan khususnya kepada teman-teman mahasiswa karena seperti yang
kita ketahui bahwa mahasiswa “agent social of change dan agent social of
control”, maka untuk mengaplikasikannya itu maka kita dituntut untuk mengadakan
inovasi dan tidak lupa kita harus membenahi diri kekurangan yang ada untuk
menuju kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Nur,
Muhammad Qadirun. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta. Pustaka Amani.
Ash-Shabuni,
Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Jakarta. Darul Kutub
Al-Islamiyah.
Al-Qattan,
Manna Khalil. 1973. Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Surabaya. Al-hidayah.
Al-Qodi,
Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar
el-Islam