SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DALAM TEOLOGI, TASAWUF, HUKUM, DAN FILSAFAT
Monday, July 27, 2015
A. PEMIKIRAN TEOLOGI
Perkembangan pemikiran Teologi dalam
Islam dapat dibagi dalam 5 periode, yakni periode Rasulullah saw., Khulafa
al-Rasyidin, Bani Umayyah, Bani ‘Abbas, dan periode sesudah Bani ‘Abbas.
Pada masa Rasulullah saw. pemikiran
teologi dalam Islam merupakan pemikiran yang murni karena mendasarkan hanya
pada Rasulullah saw, Pada periode ini tidak ada perselisihan pendapat dalam
dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis.
Pada masa Khulafa al-Rasyidin
sebelum Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan juga belum terjadi perbedaan pendapat dalam
teologi Islam, hal ini disebabkan oleh praktek teologi Islam langsung
didasarkan pada Alqur’an dan Hadis tanpa pentakwilan atas nash- nashnya. Pada
masa Khalifah ‘Utsman terjadi perpecahan politik dalam tubuh umat Islam,
sehingga berdampak pada penafsiran Alqur’an dan Hadis menurut selera masing- masing
golongan, bahkan sebagian melakukan pemalsuan terhadap Hadis untuk mendukung
keberadaan dan kebenaran kelompok tertentu.
Pada masa Bani Umayah perluasan
wilayah Islam membawa konsekwensi penyerapan tradisi-tradisi non Islam dalam
budaya dan peradaban Islam. Berbagai aliran yang muncul pada masa akhir Khulafa
al-Rasyidin semakin memuncak. Pada masa ini segolongan umat Islam telah berbeda
pendapat tentang qadar danisti ţâ‘ah. Aliran-aliran yang muncul dalam periode
ini antara lain:
1. Qadariyah. Ma’bad al-Juhaniy, Ghailân
al-Dimasyqiy, dan al-Ja‘ad Ibn Dirham dikenal sebagai tokoh awal dari aliran
Qadariyah. Salah satu pemikiran mereka yang sangat kontroversial pada masa itu
adalah bahwa Alqur’an adalah makhluk1 serta kehidupan manusia dibentuk oleh
manusia itu sendiri dan terlepas dari ketentuan Tuhan. Aliran Qadariyah ini
mendapat tantangan keras dari para sahabat Nabi saw, seperti ‘Abdullah ibn
‘Umar, Anas ibn Malik, Ibn ‘Abbas dan Abu Hurairah. Para sahabat ini
menganjurkan umat Islam untuk menjauhkan diri dari golongan Qadariyah, tidak
memberi salam kepada mereka, tidak mengunjungi mereka saat sakit, dan tidak mensalatkan
jenazah mereka, sebagaimana dinyatakan dalam kitab al-Farq bain al-Firaq wa
bayân al-Firqah al-Nâjiyah:
2. Jabriah atau Mujbarah atau Mu’aţţilah atau
Jahmiyah. Jaham ibn Şafwân yang
merupakan tokoh awal dari aliran ini.3 Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah
adalah :
a. Bahwa manusia tidak mempunyai
kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap
b. perbuatannya baik yang jahat, buruk
atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
c. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu
apapun sebelum terjadi.
d. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
e. Iman cukup dalam hati saja tanpa
harus dilafadhkan.
f. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat
yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
g. Bahwa surga dan neraka tidak kekal,
dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi
hanyalah Allah semata.
h. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di
surga oleh penduduk surga
i. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan
bukan kalamullah.
3. Khawarij. Aliran ini muncul dipenghujung
abad pertama Hijriah dan dikenal dengan
pemikirannya
yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa besar adalah kafir. Berbagai
pemikiran mereka yang lain adalah:
a.
Segala
perbuatan hamba mengikut kehendak Allah semata-mata.
b.
Menolak
ijtihad dan berpegang dengan zahir al-Quran.
c.
Menolak
taklif sebelum diutus Rasul.
d.
Menolak
adanya azab kubur.
e.
Menolak
sistim kekhalifahan bagi umat Islam karena tidak diperlukan
f.
Harus
membunuh kanak-kanak dan wanita pihak yang menyalahi mereka.
g.
Pelaku
dosa besar adalah kafir dan kekal dalam neraka.
h.
Tidak
sah menikah dengan orang yang tidak mengkafirkan ‘Utsman dan ‘Ali r.a.
i.
Semua orang yang menyalahi mereka adalah kafir
atau musyrik.
j.
Orang
yang tidak berhijrah kepada mereka adalah musyrik.
k.
Wajib
menguji kesetiaan orang yang berhijrah kepada mereka dengan cara menyuruh orang
itu membunuh tawanan. Jika tidak sanggup bermakna munafiq dan mereka akan membunuhnya.
l.
Anak-anak
orang yang menyalahi mereka kekal dalam Neraka.
m.
Menganggap
negeri orang yang menyalahi mereka sebagai negeri kafir.
n.
Menggugurkan
hukum rajam ke atas penzina yang sudah beristeri.
o.
Memotong
tangan pencuri sampai ke bahu.
p.
Wajib
salat dan puasa atas perempuan haid.
q.
Wajib qada salat atas perempuan haid sebagaimana
qada puasa.
r.
Mendakwa ayat 204 surah al-Baqarah khusus
untuk Ali r.a.
s.
Mendakwa
ayat 207 surah al-Baqarah sebagai khusus untuk ‘Abd ar-Rahman Ibn Muljim
(pembunuh Ali r.a.).
t.
Penyokong
mereka tidak akan masuk neraka Jahannam, jika berdosa mereka akan diazab dengan
azab selain neraka Jahannam.
u.
Sebahagian
mereka menggugurkan hukum hudud bagi peminum arak, dan sebagian yang lain pula
mengenakan hukuman yang sangat berat.
v.
Melakukan
dosa kecil secara berterusan adalah suatu kesyirikan bagi yang tidak menyokong
mereka, tetapi bagi para penyokong mereka ia tidak pula dianggap syirik
meskipun melakukan dosa besar.
w.
Mengharuskan
at-taqiyyah.
x.
Harus
menikah dengan anak perempuan cucu lelaki (cicit) dan anak perempuan anak
saudara lelaki.
y.
Sifat
munafik itu hanya khusus bagi golongan yang disebutkan dalam al-Quran.
4.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Aliran ini dipelopori oleh Hasan
al-Basri dengan pemikiran bahwa orang yang mengerjakan dosa besar hanya
digolongkan dan masih dinyatakan sebagai orang mukmin. Ciri ahlus sunnah wal
jama'ah
· Ahlus Sunnah adalah mereka yang
berpegang teguh dengan tali Allah yang kokoh
· Mereka adalah teladan yang shalih
yang memberikan petunjuk kepada kebenaran dan
bimbingan ke jalan yang lurus.
· Menempuh jalan tengah antara orang
yang mengeraskan agama dan yang meremehkannya terutama tentang
sifat-sifat Allah, hak para nabi, perkara halal dan haram, penciptaan,
perintah, janji, ancaman
· Bertindak sederhana tentang sunnah
Rasul dan mengikutinya dengan sungguh sekalipun
banyak kelompok yang menjerumuskannya dari jalan yang benar
5.
Mu’tazilah. Dipelopori oleh Washil bin Atha’.
Mu’tazilah mempunyai asas dan
landasan
yang disebut dengan al-Uşûl al-Khamsah (lima landasan pokok), yaitu:
a. Al-Tauhid, yakni mengingkari dan meniadakan
sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti
telah menetapkan untuk masing- masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada
Allah.
b.
Al-‘Adl
(keadilan), yakni keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah,
sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah.
c.
Al-Wa’du
wa al-Wa’id, yakni wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al- wa’d) bagi
pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam al-jannah, dan melaksanakan
ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar
dimasukkan ke dalamal- nâr, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah
untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
d.
Manzil
bain al-Manzilatain (suatu keadaan di antara dua keadaan), yakni keimanan itu
satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa
besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak
kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan
(antara keimanan dan kekafiran).
e.
Amar
Ma’ruf Nahi Munkar, yakni wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim)
yang zalim
Ciri
lain dari Mu‘tazilah :
· Mendahulukan akal daripada Al
Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama
· Mengingkari adzab kubur, syafa’at
Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yah Allah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat,mizan (timbangan amal di
hari kiamat),şiraţ (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam),
telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah
diciptakannya Al-Jannah dan An- Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia
setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya
· Vonis mereka terhadap salah satu
dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran
Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah
orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya
· Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan
alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan.
Pada periode Bani ‘Abbas terjadi
usaha-usaha ilmiah yang antara lain adalah penterjemahan filsafat Yunani
kedalam bahasa Arab. Dan mulailah filsafat merambah dalam dunia pemikiran
teologi Islam. Tradisi usaha untuk menuliskan pendapat-pendapat setiap golongan
pun mulai merebak, yang antara lain:
1
‘Amar
ibn ‘Ubaid al-Mu‘tazil yang menyusun kitab berisikan penolakan terhadap faham
qadariyah.
2
Hisyam
ibn al-Hakam al-Syafi‘i menyusun kitab yang menolak faham mu’tazilah.
3
Abu
Hanifah menyusun kitab al-‘Alim wa al-Muta‘alim, dan juga Fiqh al-Akbar yang isinya
mempertahankan faham ahlus sunah wal jama’ah.
4
al-Syafi‘i
menyusun kitab Fiqh al-Akbar juga dalam mempertahankan faham ahlus sunah wal
jama’ah.
5
Abu
al-Hasan al-Asy‘ari menulis kitab Maqalah al-Islamiyin yang didalamnya ia
menentang pendapat Mu’tazilah yang tadinya ia anut dan beralih ke faham ahlussunnah
wal jama’ah. Dalam menegakkan pandangannya Abu al-Hasan al- Asy‘ari
mengumpulkan dalil-dalil aqli dan naqli untuk menolak faham Mu’tazilah.
Pandangan Abu al-Hasan al-Asy‘ari ini kemudian dikembangkan oleh para
pengikutnya antara lain Abu Bakar al-Baqillani, al-Isfarayin dan Imam
al-Haramain al-Juwaini.
Pada
periode setelah Bani ‘Abbas pengikut-pengikut Abu al-Hasan al-Asy‘ari mengintegrasikan
filsafat dan kalam dalam pandangan-pandangan mereka seperti al- Baidawi dalam kitabal-
Ţawal i dan ‘Abduddin al-Ijy dengan kitabnyaal-
Mawaqi
Ibnu
Taimiyah dikenal sebagai pembela aliran salaf (sahabat, tabi’in, dan imam- imam mujtahidin) dan membantah pendirian-pendirian golongan-golongan
al-Asy’ariyah dan lain-lain. Jalan yang di tempuh oleh
Ibnu Taimiyah ini dilanjutkan oleh seorang muridnya yang
terkemuka, yaitu Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Perkembangan pemikiran teologi Islam kemudian
mengalami kefakuman, yang ada hanya terbatas upaya-upaya penjelasan
ma’na-ma’na lafadz dan
ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan lama. Gerakan
permurnian teologi Islam kemudian mengalami kemajuan kembali di tangan Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani yang kemudian di lanjutkan
oleh al-Said Rasyid Ridla. Usaha-usaha mereka kemudian berhasil membangun kembali ilmu-ilmu
agama dan timbullah jiwa baru yang cenderung kepada mempelajari
kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya.
Mereka-mereka inilah yang kemudian dikenal dengan gerakanS al afiyyin.
B. PEMIKIRAN TASAWUF
Keistimewaan tasawuf sebagai salah satu institusi Islam
adalah penekanan pada aspek psikis spiritual dan cara hidupnya yang lebih
mengutamakan aspek psikomotor dan efeksi, lebih mengutamakan pengagungan Tuhan
dan membebaskan diri dari egoisme. Secara umum tasawuf dibagi atas tiga bagian
besar: tasawuf akhlak, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi.
Keadaan ini berlangsung sampai awal abad ke 8 Hijriah yakni
saat Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dari Damaskus menentang urusan yang berlebih-
lebihan dari pihak-pihak yang mencampur baurkan filsafat dengan kalam, atau
menentang usaha-usaha yang memasukkan prinsip-prinsip filsafat dalam aqidah
islamiyah.
Tasawuf Akhlak
Tasawuf akhlak menekankan para pendalaman dan pengamalan
spiritual untuk membangun akhlak mulia. Hal ini diperlukan dalam upaya mencapai
tingkat kesempurnaan dan kesucian jiwa diperlukan latihan mental yang panjang.
Tahap pertama yang harus dilakukan dalam hal ini adalah pendidikan sikap dan
mental dan pendisiplinan tingkah laku (akhlak) yang ketat.
Salah
satu tokoh dalam tasawuf akhlak adalah al-Ghazali. Dalam kitabnyaIhyâ’ ‘ulûm
al-Dîn pada bab Mengenai ketercelaan Dunia
ia menekankan bahwa untuk mencapai kesempurnaan akhlak maka hal utama
yang harus dilakukan adalah manajemen hawa nafsu dan upaya yang harus dilakukan
antara lain adalah melepaskan kesenangan duniawi untuk mencapai kecintaan pada
Allah. Dalam pandangan al-Ghazali manusia memiliki kecenderungan untuk
mengikuti hawa nafsunya yang ingin menguasai dunia dan berkuasa di dunia
sehingga cinta manusia pada dunia menutupi cintanya kepada Allah. Dan ini
merupakan dasar dari kehancuran moral (akhlak) manusia. Untuk mencapai
kesempurnaannya ada beberapa langkah yang harus ditempuh manusia menurut
tasawuf, yakni:
1.
Takhalli, yakni pengosongan diri dari semua
bentuk kemaksiatan dan melenyapkan dorongan hawa nafsu.
2.
Tahalli, yakni upaya menghiasi diri dengan
kebiasaan, sikap dan prilaku yang baik. Minimal ada 7 sikap harus menjadi
hiasan bagi orang-orang yang menekuni jalan sufi, yakni: tobat, cemas dan harap
pada Allah, zuhud, fakir, sabar, rida, dan muraqabah.
3.
Tajalli. Tahap ini merupakan tahap
tertinggi yakni pengisian rasa cinta dan rindu pada Allah yang dengan proses
ini akan terbuka nur Ilahi pada hati seorang sufi.9 Tahap ini merupakan tahap
lanjutan dari pencapaian akhlaq al-karimah saat seorang sufi telah mencapai
kesempurnaan jiwa. Tanpa kesempurnaan kesucian jiwa maka tahap tajalli tidak
akan dapat diraih. Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan dalam tahap ini,
yakni munajat dan zikir maut.
Tasawuf
Amali
Tasawuf amali adalah jalan tasawuf
yang harus dilakukan melalui bimbingan guru tasawuf. Hal ini mengingat bahwa
untuk menjalani kehidupan tasawuf ada orang yang mampu melakukannya sendiri dan
ada yang harus dibimbing oleh seorang ahli tasawuf. Dalam tasawuf amali dikenal
strata yang antara lain adalah:
a. Murid. Yakni orang yang mencari
pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya, dengan memusatkan
perhatian dan usahanya ke dalam tujuannya ini, serta menahan segala kemauannya
dengan menggantungkan diri dan hidupnya kepada Iradah Allah.10 Dalam kalangan ini murid
diklasifikasikan dalam tiga kategori: pemula, menengah dan tinggi.
b. Syekh/Mursyid. Yakni pemimpin
kelompok sufi, pembimbing dan pengawas para sufi. Hubungan murid dengan
syekh/mursyid adalah hubungan penyerahan diri sepenuhnya, atau dengan kata lain
murid harus tunduk, setia dan rela dengan segala perlakuan syekh kepadanya.
c. Wali danQuţb. Wali adalah seorang
yang telah sampai ke puncak kesucian batin, memperoleh ilmu laduni yang tinggi
sehingga tersingkap tabir rahasia hal-hal ghaib- ghaib baginya ia telah
mendapat karomah.11 Sedangkanquţb
adalah seorang wali yang telah berfungsi sebagai “Pewaris Nabi” yang
melanjutkan perjuangan Nabi. Tingkat kesucian jiwa, kedalaman ilmu dan ketaatan
paraquţb hampir sama dengan Nabi, perbedaannya adalah Nabi memperoleh ilmu
melalui wahyu sedangquţb memperoleh ilmu melalui ilham.
Tasawuf
Falsafi
Tasawuf falsafi merupakan reaksi
sebagian kalangan tasawuf atas teori-teori teologi yang dikemukakan para
filusuf atau mutakallimin yang karena harus menyesuaikan diri dengan teori
filasafat sebagian sifat-sifat Tuhan harus ditanggalkan. Secara garis besar
konsep mereka dalam teologi Islam dapat dibagi kedalam tiga bagian: konsep
etika, konsep estetika dan konsep kesatuan wujud.
Konsep
etika tentang Tuhan
menyatakan bahwa zat Tuhan merupakan kekuasaan, daya dan iradat yang mutlak.
Tuhan merupakan pencipta dan penguasa tertinggi dalam segala hal, termasuk
dalam hal tingkah laku manusia. Kalangan ini menyatakan bahwa kehidupan dunia
sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan. Mereka memiliki rasa takut yang luar
biasa terhadap dosa dan siksa, sehingga mereka mempasrahkan diri mereka bulat-bulat
pada pengabdian dan pemenuhan cinta pada Tuhan. Hasan Basri merupakan salah
satu tokoh yang mewakili kelompok ini.12
Konsep
estetika menyatakan
bahwa antara Tuhan dan manusia terdapat jalur timbal balik. Konsep ini pertama
kali dilahirkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Karakteristik yang menonjol pada konsep
ini adalah kecintaan yang luar biasa pada Tuhan. Cinta ini memenuhi jiwa raga
sufi sehingga dalam jiwa tidak ada rasa takut akan siksa Tuhan dan juga tidak
ada rasa untuk mendapat kenikmatan dari Tuhan. Rasa cinta ini merupakan satu-satunya
motivator dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia. bagi kalangan ini Penciptaan
adalah pernyataan cinta kasih Allah yang abadi dan terefleksi dalam dunia
empiris.
Teori ini lahir di kalangan sufi estetis ini bukan dari pencarian nalar
melainkan ia
terhunjam
dalam jiwa melalui al-nûr al-anwâr (sinar Ilahiah).
Konsep
kesatuan wujud
dipelopori oleh Ibn ‘Arabi yang inti ajarannya adalah, alam realitas (dunia
fenomena) ini merupakan bayangan dari supra-realitas (Tuhan). Satu- satunya
wujud yang hakiki adalah Tuhan dan Tuhan adalah wujud yang tidak dapat diberi sifat-sifat.14
Atas dasar pemikiran ini maka kalangan ini menyatakan manusia merupakan refleksi
dari hakikat Ilahi. Oleh sebab itu dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ketuhanan
karena ia merupakan pancaran dari Nu Ilahi. Itulah sebabnya jiwa manusia selalu
bergerak dan berusaha untuk bersatu kembali dengan sumber asalnya. Konsep ini secara
filsafati telah meluas ke pembahasan metafisika, yakni proses bersatunya
manusia dengan Tuhan sekaligus membahas konsepsi manusia dan Tuhan. Terminologi
utama dalam konsep kesatuan wujud ini adalah:al- fanâ danal-baqâ,
al-ittihad,al- hulul, wahdah al-wujud, dan al-isyraq.
C.
PEMIKIRAN HUKUM
Sejarah
perkembangan pemikiran hukum Islam dibagi atas enam periode
1.
Periode
Rasulullah saw. Pada periode ini perkembangan pemikiran hukum Islam belum
terjadi karena semua persoalan hukum langsung dikembalikan kepada Rasulullah
saw.
2.
Periode
sahabat besar. Pada masa ini istimbat hukum terbatas pada fatwa-fatwa yang
pernah dikeluarkan oleh para sahabat. Para sahabat bersifatikhtiyaţ
(berhati-hati) dalam memutuskan suatu perkara hukum. Dan jika suatu persoalan
hukum tidak didapati dalam Alqur’an dan Hadis serta fatwa para sahabat dengan
melakukan permusyawarahan antara para sahabat mereka kemudian mengandalkan
qiyas. Dengan demikian pada masa ini telah ada empat sumber hukum Islam, yakni:
Alqur’an, Sunnah, qiyas, dan Ijma’ sahabat.
3.
Periode
sahabat kecil dan tabi’in. periode ini diawali pada tahun 41 H sampai awal abad
ke II Hijriah. Periode ini ditandai antara lain dengan timbulnya berbagai
golongan politik dalam umat Islam yang kemudian menjadi golongan teologi dan
dengan ijtihad dan pendapat masing-masing, seperti syiah dan khawarij.
4.
Dalam
hal pemikiran hukum Islam pada masa ini terjadi penggunaanra’yu dengan cara
mengambil‘illat dan tujuan mengapa hukum-hukum tertentu disyari’atkan. Oleh
sebab itu bagi kalangan ahlu ra’yi ini terkadang mereka menolak suatu hadis
apabila bertentangan dengan pokok-pokok syari’at apa lagi jika hadis itu
bertentangan dengan hadis yang lain. Umumnya prinsip ahli ra’yi dianut oleh
penduduk Iraq.
5.
Periode
awal abad II sampai pertengahan abad IV Hijriah. Hal utama yang muncul pada
periode ini antara lain penyusunan dan pembukuan Hadis berdasarkan klasifikasi
masing-masing, penyusunan dan pembukuan kitab-kitab Fiqh dan munculnya imam-
imam besar dengan madzhab masing-masing.
Pada saat-saat awal terbentuknya pemikiran hukum Islam yang
metodis (ilmu fiqh), dikenal adanya dua kubu pengembangan pemikiran hukum
Islam; yaitu kubu Irak dan kubu Hijaz. Tokoh utama kubu Irak ialah Imam Abu
Hanifah, dan tokoh utama kubu Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para ulama
pendukung kubu Irak dikenal sebagai ahl al-ra'y, dan para ulama pendukung kubu
Hijaz dikenal sebagaiahl al-hadits.
Ahl al-ra'y sesuai dengan situasi lingkungannya, dalam
pengembangan pemikiran hukumnya (metoda ijtihadnya) volume penggunaan rasio
lebih besar dari volume penggunaan hadist (sebagai salah satu sumber syari'ah).
Ini tidak berarti, mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau sama sekali
tidak menggunakan sumber hukum itu. Tapi penggunaannya sangat terbatas.
Di pihak lain, ahl al-hadits sesuai dengan situasi
lingkungannya, mereka dalam pengembangan pemikiran hukum (metode ijtihadnya)
volume penggunaan sumber hukum hadits lebih besar dari volume penggunaan sumber
rasio (dalam hal ini qias). Ini tidak berarti mereka menolak penggunaan sumber
rasio itu. Kedua kubu tersebut mengakui keabsahan sumber hukum qias.
Dalam pemikiran hukum Islam di periode ini berkembang metode
penetapan hukum sekunder yang kemudian melahirkante chnische- term yang dikenal
sampai sekarang, yang antara lain adalah istihsan, istişlah, Istihsan
sebagaitechnische-term banyak beredar dikalangan tokoh-tokoh (ulama) dari aliran
pemikiran hukum (mazhab) Hanafiyah. Mereka menggunakannya secara tersendiri
atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka sering
mengatakan, hukum dalam masalah ini bersumber dari Istihsan.
Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi qias
karena dimungkinkan adanya qias alternatif (qias kahfi) yang terlepas dari
elemen 'illah (dalam analogi qias biasa), atas pertimbangan sesuatu alasan yang
lebih kuat. Alasan itulah menjadikan qias jali (biasa) dialihkan kepada qias
khafi (alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan. Termasuk pula dalam kategori
Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari suatu ketentuan pokok yang
bersifat umum, atau dari suatu kaidah hukum, karena pengecualian itu didukung
oleh suatu nash, atau ijma', atau 'urf atau dharurah, atau mashlahah. Dengan
kata lain pertimbangan adanya ketentuan lain atau kesepakatan, atau kebiasaan,
atau keadaan darurat atau suatu kepentingan nyata, semua itu merupakan
elemen-elemen dalam hukum Istihsan.
Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, Istihsan ini
ditempatkan sebagai sumber hukum sekunder, di kalangan penganut aliran
pemikiran madzhab Hanafiyah. Kemudian berkembang pula secara terbatas dalam
aliran Malikiyah dan Hambaliyah, sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda.
Imam yang menolak menempatkan Istihsan adalah Imam Syafi'i, karena beliau
berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi atas ketentuan-ketentuan syari'ah
(al-Qur'an dan Sunnah) ditambah dengan analogi qias, sudah cukup, untuk
menampung segala perkembangan yang terjadi.
Istişlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam
yang menjadikan maşlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak
terikat (mursalah) menjadi suatu sumber hukum sekunder. Karenanya juga konsep
ini lebih dikenal dengan sebutan, al-maşlah al-mursalah atau al-maşalih
al-mursalah. Konsep penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran pemikiran
hukum Islam (madzhab) Malikiyah. Tapi dapat dicatat bahwa pada hakekatnya
konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di
kalangan sahabat dan tabi'in.Dan ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam
al-Ghazali dari aliran Syafi'iyah dengan beberapa penyempurnaan. Tapi perlu
dicatat, konsep ini ditolak oleh aliran Zhahiriyyah dan Syi'ah.
Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini ialah,
kenyataan bahwa, syari'ah Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah
kepada terwujudnya maşlahah (apa yang menjadi kepentingan dan apa yang
dibutuhkan manusia dalam kehidupannya di permukaan bumi). Maka tidak dituntut
untuk dilakukan manusia untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak dicegah
melakukan sesuatu, kecuali hal-hal yang pada galibnya membahayakan dan
memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan maşlahah dan mencegah mafsadah
(hal-hal yang merusak) adalah sesuatu yang sangat nyata dibutuhkan setiap orang
dan jelas dalam syari'ah yang diturunkan Allah kepada semua rasul-Nya. Dan
itulah sasaran utama dari hukum Islam.
Dalam
kajian para ahl-ijtihad ada tiga jenismaşlahah, yaitu:
1)
Maşlahah
yang diakui ajaran syari'ah, yang terdiri dari tiga tingkat kebutuhan manusia, yaitu:
·
Daruriyyah
(bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai
manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga dan
kehormatannya) akal pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya dan
kepercayaan keagamaannya.
·
Hajiyyah
(kebutuhan pokok) untuk menghindarkan kesulitan dan kemelaratan dalam
kehidupannya.
·
Tahsiniyyah
(kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun dan tata krama dalam
kehidupan
2)
Maşlahah
yang tidak diakui ajaran syari'ah, yaitu kepentingan yang bertentangan dengan maslahah
yang diakui terutama pada tingkat pertama.
3)
Maşlahah
yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua.
4)
Periode mendirikan dan menguatkan madzhab.
5)
Periode keruntuhan Baghdad di tangan
Hulagukhan sampai sekarang.
D. PEMIKIRAN FILSAFAT
Khazanah Pemikiran dalam Islam kaya
dengan karya dan tradisi filsafat. Sangat tidak memungkinkan dalam rangkuman
ini dipaparkan resume para tokoh dan pemikirannya dalam bidang filsafat. Oleh
sebab itu dalam rangkuman ini hanya dipaparkan 2 tokoh utama, yakni: Ibn Rusyd
untuk mewakili pemikiran filsafat kelasik Islam, dan Jamaluddin al-Afghani
untuk mewakili pemikiran filsafat modern. Pembahasan juga mencakup pengaruh
pemikiran mereka dalam dunia.
Ibn
Rusyd (520-595 H / 1126-1198 M).
Ibn Rusyd adalah model bagi
kemandirian akal-fikiran dan sekaligus model bagi keberanian berfikir,
khususnya dalam melawan pemikiran-pemikiran yang telah terlembaga dalam
institusi agama. Keberaniannya mengkritisi kemapanan kekusaan agama
menginspirasikan orang-orang Eropah pada abad ke-13 dan ke-14 untuk melakukan hal yang sama kepada kuasa Gereja
yang saat itu mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan mereka.
Ibn Rusyd adalah pemikir yang
berusaha menghidupkan tradisi pemikiran bebas dalam pengertian yang kemudian
dikembangkan para filusuf pencerahan di Eropah. Ia dilahirkan dan dibesarkan di
Cordova, sebuah dinasti Islam di Sepanyol. Ia hidup di penghujung masa yang
biasa dikenal “zaman keemasan Islam” (the Golden Age of Islam). Ibn Rusyd hidup
sekitar satu abad sebelum Baghdad jatuh (1258) atau empat abad sebelum Granada,
benteng terakhir umat Islam di Sepanyol, runtuh (1492).
Ibn Rusyd hidup di tengah
kecenderungan kaum Muslim yang semakin antipati terhadap pemikiran rasional.
Pada masa ini, di belahan Timur dunia Islam (masyriq) filsafat Islam mengalami
gempuran sangat keras dari ulama konservatif yang merasa terancam dengan
dominasi “ilmu-ilmu klasik” (‘ulûm al-awail) yang datang dari Yunani. Para
teolog yang didominasi kaum Asy’ariyah menggempur kecenderungan teologi rasional,
khususnya yang dimotori oleh Mu’tazilah.
Simpatinya
kepada Abu Hamid al-Ghazali (w.1111)
disalurkannya dengan membuat sebuahtalkhis (ringkasan)al- Mustasyfa, salah satu karya
penting al-Ghazali dalam bidang ushul fiqh. Tapi sesudah
itu dia menyedari ada yang tidak lengkap dari al- Ghazali
dan para teolog yang membabi-buta mengecam para filsuf Yunani dan para filusuf Muslim lainnya.
Sebuah
peristiwa penting mengubah hidupnya. Dalam sebuah kesempatan, ia diperkenalkan Ibn Tufayl, filsuf Andalusia lainnya, kepada Khalifah
Abu Yusuf Ya’qub, penguasa Marrakesh yang dikenal
menggandrungi filsafat. Sang Khalifah bertanya pada Ibn
Rusyd tentang pandangan para filsuf Yunani mengenai penciptaan alam.
Ibn Rusyd begitu malu dan gundah, karena ia tak mampu
menjawab pertanyaan itu. Karena peristiwa
inilah kemudian ia bertekad mempelajari filsafat Yunani secara lebih serius. Ia mempelajari Plato dan mendalami serta mensyarah karya
Aristotles, sehingga kemudian dijuluki “Sang Pensyarah” (El Gran Comento). Ia beralih,
dari penulistal khis buku al-Ghazali menjadi penulistal
khis buku-buku Aristotles. Ia pun mulai
mengkritisi al-Ghazali,
teolog, dan para fuqaha, yang menurutnya turut memberikan sumbangan bagi
kesesatan (tahafut) pemahaman Muslim terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan.
Ibn Rusyd menulis banyak buku. Ia
meninggalkan tak kurang dari 50 judul buku dari berbagai disiplin ilmu:
filsafat, kedokteran, politik, fikih, dan masalah-masalah agama. Kitab fikihnya
yang terkenal, Bidayat al-Mujtahid, menjadi rujukan di beberapa pesantren di
Indonesia. Namun, sejauh menyangkut peranan Ibn Rusyd sebagai model pencerahan,
tiga bukunya, yakni:
1.
Faşl
al-Maqal fî mâ baina al-Hikmah wa al-Syar‘iah min al-Ittisal, yang berisi
tentang persesuaian antara agama dan filsafat.
2.
al-Kasyf
‘an Manâhij al-Adillah fî Aqâid Ahl al-Millah yang menguraikan tentang
pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya.
3.
dan
Tahafut al-Tahafut (ditulis berturut-turut pada 1178, 1179, 1180), merupakan
karya yang dikhususkan untuk menentang serangan al-Ghazali atas para filusuf
dalam bukunya Tahafut al-Falasifah.
Ketiga buku ini memuat pandangan-pandangan kontroversial Ibn
Rusyd yang pernah menggemparkan dunia Eropah pada pertengahan abad ke-13.
Dampak langsung dari gagasan-gagasan
Ibn Rusyd dapat ditelusuri pada mazhab pemikiran yang dikenal dengan sebutan
“Averoisme.” Istilah Averoisme mulai digunakan di Eropa pada sekitar tahun
1270, atau setelah 72 tahun Ibn Rusyd meninggal dunia. Kata yang digunakan
adalah “Averroistae” yang sesungguhnya lebih merupakan bentuk sinisme untuk
merujuk para pengikut dan pengagum Ibn Rusyd.
Pada bulan Desember 1270, bishop
Stephen Tempier, mengeluarkan pengumuman tentang ajaran-ajaran heretik. Siapa
saja yang mengikuti ajaran ini harus dikirim ke pengadilan inkuisisi dan
dihukum keras. Beberapa ajaran yang dituduh heretik adalah doktrin tentang jiwa
dan intelek yang diajarkan Ibn Rusyd serta doktrin Aristotles tentang Tuhan.
Dalam deklarasi ini, Tempier tidak merinci ajaran-ajaran yang dianggap
terlarang. Tapi, pada Maret 1277, ia mengeluarkan lagi pengumuman lanjutan
dengan memberikan 219 daftar ajaran yang dianggap heretik dan pengikutnya harus
dihukum seberat- beratnya. Surat pengumuman kali ini juga mengarah kepada
beberapa nama, seperti Siger of Brabant (w. 1282), pengikut fanatik Ibn Rusyd
dan pendiri semacam “Jaringan Averoisme Paris” dan Boëthius of Dacia (w. 1290),
mahasiswa filsafat yang aktif dalam jaringan itu.
Siger,
Boethius, dan kebanyakan orang yang setuju dengan ke-219 ajaran yang didaftar
Tempier adalah pengikut Averoisme. Sedianya, daftar itu untuk menjaring para pemikir
liberal yang dianggap “telah meresahkan masyarakat Paris.” Tapi, Tempier agaknya terlalu banyak mendaftar “barang-barang haram” sehingga
beberapa petinggi Gereja yang diam-diam mengagumi Ibn
Rusyd juga terkena imbasnya, termasuk Thomas Aquinas,
pemimpin Ordo Dominikan dan filsuf terbesar Abad Pertengahan.
Averoisme
memang tidak melulu terkait dengan “intelektual liberal.” Dalam sejarah filsafat Barat, Averoisme juga dikaitkan dengan pemikiran
filsafat keagamaan yang kemudian lebih dikenal dengan
sebutan “Averoisme Yahudi” dan “Averoisme Kristen.”
Averoisme
Yahudi lebih mapan ketimbang Averosime Kristian. Mungkin ini ada kaitannya dengan hubungan ketiga agama itu. Hubungan Islam-Yahudi pada
masa itu cukup baik, terutama di Sepanyol di mana warga
Yahudi memiliki keistimewaan yang sangat besar. Sementara
hubungan Islam-Kristian agak buruk, terutama karena dampak perang salib di Jerusalem dan perluasan imperium Islam ke bumi Eropa
(baik yang dilakukan oleh dinasti Umayyah maupun dinasti
Utsmaniyyah). Averoisme
Yahudi berkembang pesat di Andalusia. Para pengikut Averoisme Yahudi umumnya memandang Ibn Rusyd
sejajar dengan filsuf besar mereka, yakni Musa bin Maymun
atau Maimonides (w. 1204) dan Abraham bin Ezra (w. 1167) yang kebetulan keduanya hidup di Andalusia sezaman dengan Ibn Rusyd. Tokoh-tokoh
penting Averoisme Yahudi adalah Isaac Albalag (akhir abad
ke-13) yang menerjemahkkan Maqasid al-Falasifah, karya
Imam al-Ghazali, ke dalam bahasa Ibrani; Joseph ibn Caspi (l. 1279), Moses Narboni (w. 1362), dan Elijah Delmedi (w. 1493),
pengikut Averoisme Yahudi terakhir.
Sementara
itu, Averoisme Kristian sebetulnya merupakan istilah yang agak paradoks, karena dunia Gereja, khususnya pada abad ke-13 dan ke-14,
didominasi oleh kecenderungan memusuhi ajaran-ajaran Ibn
Rusyd dan Aristotles. Tapi, beberapa tokoh Kristen pada
masa-masa akhir Abad Pertengahan, seperti Thomas Aquinas, menggandrungi ajaran-ajaran Aristotles (meski dia memposisikan dirinya
sebagai musuh para pengikut Averoisme Latin, khususnya
Siger of Brabant). Dan tak ada pengantar paling baik ke
filsafat Aristotles kecuali karya-karya Ibn Rusyd.
Baik Averoisme Yahudi maupun Averoisme Kristen menganggap
Ibn Rusyd telah berjasa
menyelesaikan persoalan pelik yang selama berabad-abad menjadi momok bagi para pemikir
agamawan, yakni bagaimana mendamaikan wahyu dengan akal; filsafat dengan agama; para
nabi dengan Ariestoles. Dalam karyanya, Fasl al-Maqal, yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa
penting Eropah, Ibn Rusyd menjawab semua persoalan ini dengan lugas.
Pertama-tama, kunci dari persoalan
itu terletak pada persoalan genting lainnya yang lebih mendasar, yakni apakah
benar bahawa mempelajari filsafat itu haram? Untuk menjawab ini Ibn Rusyd
memberikan hipotesis. Menurutnya, secara legal-fikih (syar’i) belajar filsafat itu punya beberapa kemungkinan: bisa dibolehkan
(mubah), dilarang (mahdzur), dianjurkan (nadb), atau diharuskan (wajib)?
Menurut Ibn Rusyd belajar filsafat hukumnya: wajib atau sunnah. Ibn Rusyd
memberikan kesimpulan bahwa tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal;
filsafat dan agama karena mereka semua datang dari asal yang sama, yakni Tuhan.
Jamaluddin
al-Afghani (1838-1897 M)
Salah satu tanggapan terpenting di
dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin al- Afghani. Gagasannya mengilhami Muslim
di Turki , Iran , Mesir, dan India. Meskipun sangat anti-imperialisme Eropa, ia
mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tidak melihat kontradiksi
antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasannya untuk mendirikan sebuah
universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki menghadapi
tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari negeri itu.
Bagi Afghani, ilmu pengetahuan Barat
dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah Islam karena
memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh sebab itu kaum Muslim harus juga
menguasainya agar dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh
agama Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu anggapan
bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian, dan sama
sekali tak berbicara tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya
bahwa Islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap
taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan
tetapi juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama fakum.
Gagasan
al-Afghani amat berpengaruh, khususnya di dunia Arab dan Iran . Penerus utama
gagasan Afghani di dunia Arab adalah pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan
muridnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi
beberapa negara Eropa, dan amat terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid Ridha, yang
mendapat pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa asing (Perancis dan Turki), yang menjadi jalan masuk untuk mempelajari
ilmu pengetahuan modern. Karena itulah, ketika gerakan
pembaharuan Afghani dan Abduh, dengan jurnal Al-’Urwah
al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di Mesir,
tak sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu.
Seperti
Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan al-Qur’an. Jika hal itu terjadi, maka berarti
penafsiran atas al- Qur’an itulah yang mesti
dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat dari Abduh. Jika seruan keras Abduh untuk ijtihad - untuk menafsirkan
kembali Islam agar memiliki vitalitas baru - dapat
diartikan sebagai adopsi total model Barat untuk ilmu pengetahuan,
maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan menyarankan dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi bagian-bagian yang akan
diadopsi. Namun, sama seperti Abduh, dalam hal ilmu
pengetahuan dan teknologi ia menyeru agar kaum Muslim
mempelajari ilmu pengetahuan maupun ketrampilan teknik Barat. Bagi Abduh
dan Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri adalah baik, yang
menjadi masalah adalah tujuan penggunaannya.
Sebagaimana
di banyak bagian dunia Islam lainnya, gagasan Jamaluddin al- Afghani cukup berpengaruh di Iran. Dalam hal respons terhadap
kemodernan, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, gagasan-gagasan al-Afghani digemakan kembali
oleh beberapa pemikir Muslim Iran.
Salah
seorang pemikir Iran abad ke-20 awal adalah Mahdi Bazargan (l. 1904), yang lahir sekitar 10 tahun setelah wafatnya al-Afghani. Setelah pecah
Revolusi Islam 1979, Bazargan menjadi perdana menteri
yang pertama. Namun sesungguhnya, sebelumnya ia adalah
seorang ilmuwan, bukan politikus. Pada dasawarsa awal abad ke-20 di Iran, pandangan yang berkembang serupa dengan di dunia Islam
umumnya, yaitu bahwa hasil-hasil temuan dan penerapan
ilmu pengetahuan tak bertentangan dengan Islam, tetapi
justru diperlukan untuk membuat masyarakat Islam tak ketinggalan. Bazargan berusaha memberikan penegasan bahwa yang tak bertentangan
dengan Islam adalah ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai instrumen, sementara Islam dianggap sebagai jalan
penyelamatan spiritual. Banyak hasil temuan ilmu pengetahuan telah diisyaratkan dalam al-Qur’an. Hal terpenting yang dikemukakan Bazargan
adalah bahwa seorang Muslim dapat tetap setia kepada
agamanya, dan pada saat yang sama mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Periode berikutnya ditandai dengan
munculnya Ali Syari’ati (1933-1977) dan Murtadha Mutahhari (1920-1979).
Keduanya adalah pemikir terpenting Iran di zaman modern. Sebagai ideolog, tema
terpenting Syari’ati adalah “kembali ke jati diri yang sebenarnya,” sementara
Mutahhari, sebagai seorang mullah yang cukup akrab dengan berbagai pemikiran
Barat modern, berusaha secara sistematis membangun pandangan dunia Islam.
Gagasan keduanya tak terkesan bersifat apologetis terhadap perkembangan modern,
namun sikapnya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi Barat masih berpusat di
sekitar penekanan bahwa keduanya tak bertentangan dengan Islam, dan memiliki wilayahnya
masing-masing.
Kebanyakan pemikir Muslim tidak
mengambil sikap “religius” atau “sekularis” yang ekstrem. Yang tampak tetap
dominan di dunia Arab adalah gagasan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi Barat
harus dikuasai, dan bahwa itu tak bertentangan dengan ajaran Islam. Ini tampak
hingga pada beberapa tokoh ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb dan Yusuf
al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog Ikhwanul Muslimin, menekankan perbedaan
modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi tak berarti pembaratan, dan terbatas
pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern dan penerapan teknologinya, maka Islam
tak menolaknya.
Pandangan Qardhawi ini cukup
mewakili pandangan mayoritas Muslim. Secara umum, dunia Islam relatif terbuka
untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat
praktisnya. Pandangan instrumentalis ini kelak terbukti tetap bertahan, hingga
kini, di kalangan masyarakat Muslim. Tetapi di kalangan pemikir yang
mempelajari sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tak
cukup memuaskan mereka.
E. KESIMPULAN
Dari
rangkuman sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam nampak bahwa tradisi
keilmuwan melekat dalam diri umat Islam sejak agama ini lahir. Tradisi itu
bukan saja hanya pada tataran empirisme melainkan jauh melesat ke alam meta
empiris. Kebebasan dan keberanian dunia pemikiran Islam telah melahirkan
kekayaan yang tidak ternilai dalam khazanah ilmu pengetahuan dalam berbagai
disiplin ilmu. Sayangnya, semua itu saat ini tinggal nostalgia. Dunia Islam
kemudian tertinggal dalam ilmu pengetahuan.
Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah
satu persoalan besar yang diangkat para
pemikir Muslim adalah sikap yang mesti
diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di dunia Barat. Perdebatan mereka
dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu
pengetahuan, tetapi pada Zaman Baru telah jauh tertinggal oleh dunia Barat.
Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuan sejak akhir abad ke-19 itu
memiliki dua aspek penting.
Pertama,
periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam.
Penyebab utamanya adalah kontak yang semakin intensif - pada beberapa kasus
bahkan berupa benturan fisik - antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan
seperti “kemodernan” serta “modernisme”, “westernisasi” atau pembaratan, dan
“sekularisme” menjadi objek utama perhatian para pemikir Muslim. Demikian
luasnya penyebaran gagasan baru itu sehingga tak berlebihan jika dikatakan
bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan menanggapinya.
Kedua,
sejak awal perkembangan Islam, ilmu -berdasarkan pengamatan, wahyu, atau
renungan para sufi- sebagai induk ilmu pengetahuan selalu mendapatkan perhatian
para pemikir Muslim. Bertemu dengan kecenderungan di atas, perhatian tersebut
mengambil bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern
di dunia Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu yang benar.
Tanggapan itu, karena lebih merupakan reaksi daripada usaha atas prakarsa
sendiri, pada diri beberapa pemikir dan aliran pemikiran merupakan penyempitan
wilayah wacana tentang ilmu dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode
sebelumnya, khususnya masa awal perkembangan intelektual Islam.
Sejak
abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan itu melahirkan pemikiran tentang
antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam. Tanggapan tersebut dapat
berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang
dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat “islami”. Bisa pula merupakan usaha
mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena
dianggap islami, sambil menolak sebagian lain. Tidak pula bisa dilupakan usaha
“islamisasi” berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan suatu “filsafat
ilmu pengetahuan Islam”. Akhirnya ada upaya rekonstruksi pandangan dunia serta
epistemologi Islam.
Kesemua
tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana besar. Pembagian atas dua
wacana ini sebagian bersifat kronologis dan sebagian lagi tematis. Wacana
pertama, yang berkembang sejak abad ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak
terdapat pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Islam. Penegasan tersebut
didasarkan pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya
pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada nilai atau
agama tertentu.
Referensi
Afifi,
A.E., Fî al-Taşawuf al-Islâm wa Tarikhi, Kairo: tnp, 1939.
Ahmadi,Abu,Filsafat
Islam, Semarang: Toha Putra, 1982.
al-Ghazâlî,
Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad, Ihyâ’ ‘ulûm al-Dîn, 4 Jilid, Beirut: Dâr
al-Ma‘rifah, tt.
HAMKA,
Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, cetakan ke 8, Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1978.
Nasution, Harun, Falsafah dan Misticisme dalam
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.