makalah BMT
Wednesday, January 9, 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Islam
merupakan ajaran yang Syamil (universal), kamil (semp urna), dan mutakamil
(menyempurnakan) yang diberikan oleh Allah yang diangkat sebagai Khalifah
(pemimpin) di bumi ini yang berkewajiban untuk memakmurkannya baik secara
material maupun secara spiritual dengan landasan aqidah dan syari’ah yang
masing-masing akan melahirkan peradaban yang lurus dan akhlaqul karimah
(perilaku mulia).
Islam
dalam menentukan suatu larangan terhadap aktivitas duniawiyah tentunya memberi
hikmah yang akan memberikan kemaslahatan, ketenangan dan keselamatan hidup
didunia maupun di akhirat. Namun demikian, Islam tidak melarang begitu saja
kecuali di sisi lain ada alternatif konsepsional maupun operasional yang
diberikannya. Misalnya saja larangan terhadap riba, alternatif yang
diberikan Islam dalam rangka rrienghapus riba dalam praktek mu’amalah
yang dilakukan manusia melalui dua jalan. Jalan yang pertama, berbentuk
shadaqah ataupun qardhul hasan (pinjaman tanpa adanya kesepakatan
kelebihan berupa apapun pada saat pelunasan) yang rnerupakan solusi bagi siapa
saja yang melakukan aktivitas riba untuk keperluan biaya hidup
(konsumtif) ataupun usaha dalam skala mikro. Sedangkan jalan yang kedua adalah
melalui sistem perbankan Islam yang didalamnya menyangkut perighimpunan dana
melalui tabungan mudharubah, deposito musyawarah dan giro wadiah
yang kemudian disalurkan melalui pinjaman dengan prinsip tiga hasil
(seperti mudharabah, musyarakah), prinsip jual beli (bai’ bithaman
ajil, mudarabah dan sebagainya) serta prinsip sewa/fee (Ijarah,
bai’at takjiri dan lain-lain). Dari kedua jalan di atas, secara sistematik
diatur dan dikelola melalui kelembagaan yang dalam istilah Islam disebut Baitul
Maal wat Tamwil.’
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian BMT (Baitul Maal wa
Tamwil) ?
2.
Apa asas landasan BMT (Baitul Maal
wa Tamwil) ?
3.
Bagaimana sejarah berdirinya BMT
(Baitul Maal wa Tamwil) ?
4.
Apa produk yang terdapat dalam BMT
(Baitul Mal Wa Tamwil)?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN BAITUL MAL WA TAMWIL (BMT)
Baitul
Mal Wa Tamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul mal dan baitut
tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan
penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infak dan shodaqoh. Sedangkan baitut
tamwil sebagai usaha pengumpulan dan dan penyaluran dana komersial.
Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BMT sebagai
lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan syariah.
Dari
pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa BMT merupakan organisasi bisnis yang
juga berperan sebagai sosial. Sebagai lembaga sosial, Baitul Maal wa Tamwil
memiliki kesamaan fungsi dan peran dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau badan
amil zakat milik pemerintah. Oleh karenanya, baitul maal ini harus didorong
untuk mampu berperan secara profesional menjadi LAZ yang mapan.
Pada
dataran hukum di indonesia, badan hukum yang paling mungkin untuk BMT adalah
koperasi, baik serba usaha (KSU) maupun simpan pinjam (KSP). Namun demikian,
sangat mungkin dibentuk perundangan tersendiri, mengingat sistem operasional
BMT tidak sama persis dengan perkoperasian semisal Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
syariah dan lain-lain. Bagi BMT yang berbadan hukum KSU, diharuskan membentuk
Unit Simpan Pinjam Syariah (USPS). Unit inilah yang akan menangani kegiatan
usaha simpan pinjam syariah secara terpisah dengan usaha lainnya baik dari
aspek mamajemen maupun lainnya.
Baitul
Mal adalah suatu lembaga yang bertugas mengumpulkan harta negara entah
diperoleh dari umat Islam sendiri atau dari rampasan perang, untuk disalurkan
kepada orang-orang yang berhak menerima atau untuk kebutuhan angkatan
bersenjata. Para khalifah waktu itu memegang kebijakan utama kemana harta-harta
itu akan disalurkan Kegiatan Baitul Maal Wat Tamwil adalah pengembangan
usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan
ekonomi pengusaha kecil diantaranya dengan mendorong kegiatan menabung dan
menunjang kegiatan ekonominya dengan sistem Syari’ah.
Dengan
demikian, BMT menggabungkan dua kegiatan yang berbeda sifatnya (laba dan
nirlaba) dalam satu lembaga. Namun, secara operasional BMT tetap merupakan entitas
(badan) yang terpisah.
1.
Visi
Alenia
baru harus mengarah pada upaya untuk mewujudkan BMT menjadi lembaga yang mampu
meningkatkan kualitas ibadah anggotanya, sehingga mampu berperan sebagai
wakil-pengabdi Allah SWT, menakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Titik tekan perumusan BMT adalah mewujudkan lembaga
yang profesional dan dapat meningkatkan kualitas ibadah.
Masing-masing
BMT dapat saja merumuskan visinya sendiri sebab misi sangat dipengaruhi oleh
lingkungan bisnisnya, latar belakang masyrakatnya, serta visi para pendirinya.
Namun demikian, prinsip perumusan visi harus sama dan dipegang teguh.
2.
Misi
Misi
BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan stuktur
masyrakat madani yang adil berkemkmuran-berkemajuan, berlandaskan syariah dan
ridho Allah SWT.
Dari
pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa misi BMT bukan semata-mata mencari
keuntungan dan penumpukan laba modal pada segolongan orang kaya saja. Tetapi
lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai
dengan prinsip-prinsip ekonomi islam.
B.
Landasan BMT (Baitul Maal wa
Tamwil)
BMT
(Baitul Maal wa Tamwil) berasaskan pancasila dan UUD 1945 serta berlandaskan
prinsip syariah islam, keimanan, keterpaduan, kekeluargaan atau koperasi,
kebersamaan, kemandirian dan profesionalisme.
Dengan
demikian, keberadaan BMT menjadi organisasi yang sah dan legal. Sebagai lembaga
keuangan syariah, BMT harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah.
Keimanan menjadi landasan atas keyakinan untuk mau tumbuh dan berkembang.
Keterpaduan mengisyaratkan adanya harapan untuk mencapai sukses di dunia dan
akhiratjuga keterpaduan antara sisi maal dan tamwil (sosial dan bisnis).
Kekeluargaan dan kebersamaan berarti upaya untuk mencapai kesuksesan tersebut
diraih secara bersama. Kemandirian berarti BMT tidak dapat hidup hanya dengan
bergantung pada uluran tangan pemerintah, tetapi harus berkembang dari
meningkatnya partisipasi anggota dan masyarakat, untuk itulah pola
pengelolaannya harus profesional.
C.
Sejarah berdirinya BMT (Baitul Maal
Wa Tamwil)
Istilah
Baitul Maal telah ada dan tumbuh sejak zaman Rasllullah meskipun saat
itu belum berbentuk suatu lembaga yang permanen dan terpisah. Kelembagaan Baitul
Maal secara mandiri sebagai lembaga ekonomi berdiri pada masa Khalifah Umar
bin Khattab atas usulan seorang ahli fiqih bernama Walid bin Hisyam.
Sejak
masa tersebut dan masa kejayaan Islam selanjutnya (Dinasti abbasyiah dan
Umayyah) Baitul Maal telah menjadi institusi yang cukup vital bagi
kehidupan negara. Ketika itu, Baitul Maal telah menangani berbagai macam
urusan mulai dari penarikan zakut (juga pajak), ghanimah,
infaq, shadaqah sampai membangun fasilitas umum seperti jalan, jembatan,
menggaji tentara dan pajabat negara, serta kegiatan sosial atau kepentingan
umum lainya. Bila dipersamakan dengan saat ini, maka Baitul Maul ketika
zaman sejarah Islam dapat dikatakan menjblankan fungsi sebagai Departemen
Keuangan, Ditjen Pajak, Departemen Sosial, Departemen Pekerjaan Umum dan
sebagainya.
Buitul
Maal yang dalam istilah modern adalah Bank Islam, memiliki akar
yang kuat dari pemikiran para pemimpin gerakan Islam sejak tahun 1940-an yang
mengibarkan bendera dakwah sampai timbulnya Revavilisme Islam
(kebangkitan Islam) sejak himbauan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Iqbal,
Ibnu Badis, Muhammad Abdub, Rasyid Ridha, Hasan al-Bana, Al-Maududi, Savid
Qutub dan lainlain dalam waktu panjang yang menyerukan untuk pembebasan
ekonomi dengan melaksanakan kembali Syari’at Islam di bidang keuangan dan mu
' a l ama h (inte raksi sosial) sebagai prasarana urat tunggang
pemikiran bank-bank dan institusi keuangan Islam.
Meskipun
pendahuluan pemikiran Islam ini belum mampu memberikan alternatif praktis
tertentu, akan tetapi telah berhasil memberikan akomodasi dan mobilisasi opini
umum hingga dapat mendesak dengan kuat beberapa permintaan hingga pemerintah
muslim itu mengeluarkan izin untuk inendirikan bank-bank Islam. Maka pada tahun
1977, Hank Islam Faisal di Sudan melakukan operasi dan kemudian secara
berurutan disusul oleh Kuwait Finance House (1978), Bahrain Islamic
Bunk (1978), Bank Faisal Islami di Mesir (1978), Bank Investasi dan
Pembangunan Islam Internasional ( 1979), Daru ’1-Ma1 l' Islami (
I979 , enam perusahaan Keuangan Islam, Perusahaan Islam Mudharabah dan
Perusahaan Bank-bank Musyakarah Nasional di Pakistan ( 1 980), Persatuan
Investasi Islam di Bahrain (1981). Dan pada tahun 1982, semakin banyak
pertumbuhan bank-bank Islam di berbagai Negara. Kemudian imbasnyapun pada tahun
1992 lahir Bank Mua’malat di Indonesia atas dasar PP No. 72 tahun 1992: bank
berdasarkan prinsip bagi hasil. Bahkan Pemerintah Repubik Pakistan pada tahun
1981, menetapkan bahwa semua bank di Pakistan dalam opersional deposit 0 dan
investasinya harus berdasarkan petunjuk dari syari’at Islam.
Dari
akar sejarah diatas, tampaklah bahwa fungsi Baitul Maal wat Tamwil yang
sebenarnya dalani konsepsi Islam merupakan alternatif kelembungaan keuangan
syari’at yang memiliki dimensi sosial dan produktif dalam skala nasional bahkan
global, dan denyut nadi perekonomian umat terpusat pada fungsi kelembagaan ini
yang mengarah pada hidupnya fungsi-fungsi kelembagaan ekonomi lainnya.
Dalam
perkembangan selanjutnya di Indonesia, didorong oleh rasa keprihatinan yang
mendalam terhadap banyaknya masyarakat miskin (yang notabenenya umat Islam)
yang terjerat oleh rentenir dan juga dalam rangka memberikan alternatif bagi
mereka yang ingin mengembangkan usahanya namun tidak dapat berhubungan secara
langsung dengan perbankan Islam (baik BMI maupum BPRS) dikarenakan usahanya
tergolong kecil dan mikro, maka pada tahun 1992 lahirlah sebuah lembaga
keuangan kecil yang beroperasi dan menggunakan gabungan antara konsep Baitul
Maal dan Baitut Tamwil yang target, sasaran, dan skalanya pada
sektor usaha mikro. Lembaga tersebut “memberanikan diri” bernama Baitul Maal
Wat Tamwil yang disingkat BMT.
D.
produk yang terdapat dalam BMT
(Baitul MaAl Wa Tamwil)
pada
sistem operasional bmt syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di bmt tidak
dengan motif mendapatkan bunga, tetapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi
hasil. produk penghimpunan dana lembaga keuangan syariah adalah (himpunan fatwa
DSN-MUI, 2003), yaitu :
1.
Giro Wadiah
giro
wadiah adalah produk simpanan yang bisa ditarik kapan saja. dana nasabah
dititipkan di bmt dan boleh dikelola. setiap saat nasabah berhak mengambilnya
dan berhak mendapatkan bonus dari keuntungan pemanfaatan dana giro oleh bmt.
besarnya bonus tidak ditetapkan di muka tetapi benar-benar merupakan
kebijaksanaan bmt. sungguhpun demikian nominalnya diupayakan sedemikian rupa
untuk senantiasa kompetitif (fatwa DSN-MUI no. 01/dsn-mui/iv/2000).
2.
Tabungan Mudharabah
Dana
yang disimpan nasabah akan dikelola BMT, untuk memperoleh keuntungan.
keuntungan akan diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan nasabah.
nasabah bertindak sebagai shahibul mal dan lembaga keuangan syariah bertindak
sebagai mudharib (fatwa DSN-MUI no. 02/dsn-mui/iv/2000).
3.
Deposito mudharabah
BMT
bebas melakukan berbagai usaha yang tidak bertentangan dengan syariah dan
mengembangkannya. BMT bebas mengeola dana (mudharabah mutaqah). BMT
berfungsi sebagai mudharib sedangkan nasabah juga shahibul maal. ada juga dana
nasabah yang dititipkan untuk usaha tertentu. nasabah memberi batasan penggunn
dana untuk jenis dan tempat tertentu. jenis ini disebut mudharabah
muqayyadah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari berbagai data di atas dapat
diperoleh kesimpulan bahwa BMT secara hukum berbeda
status dengan bank syaruah. Dengan begitu, BMT menerapkan konsep syariah lebih
baik dari Bank Syariah karena tidak diatur oleh regulasi Bank Indonesia. Selain
itu, BMT memiliki pangsa pasar yang berbeda dengan Bank Syariah, khususnya
dalam hal luasnya. Hal tersebut pula yang kemudian berimbas pada perbedaan
dalam hal mekanisme kerja keduanya. Proporsi pendapatan dalam nisbah bagi hasil
selalu lebih besar bagi pihak BMT, khususnya dalam produk simpann.
Gerakan BMT yang gencar ini membutuhkan
dukungan dari berbagai pihak. Pemerintah misalnya, perlu meregulasikan
perundang-undangan yang jelas bagi BMT, sehingga kinerjanya lebih optimal dan
tidak terbentur urusan hukum. Masyarakat pun akan mulai mempercayakan kebutuhan
ekonominya pada lembaga mikro syariah ini, khususnya masyarakat dengan tingkat
ekonomi menengah ke bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio,
M. Syaf’i. 2001. Bank Syariah : Dari Teori Ke Praktek. Jakarta : Gema Insani
Press.
Suhendi,
Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ridwan,
Muhammad. 2004. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil. Yogyakarta: UII Press.
Rosyidin,
Ahmad Dahlan. 2004. Lembaga Mikro dan Pembiayaan Mudharabah. Yogyakarta:
Global Pustaka Utama.
Widodo,
Hertanto dkk. 1999. PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis
Operasional Baitul Mal Wat Tamwil (BMT). Bandung: Mizan.