MAKNA SDA DALAM PANDANGAN ISLAM
Sunday, November 4, 2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
bahwa hanya dangan petunjuk dan hidayah-Nya sajalah makalah ini bisa selesai
dan bisa terwujud sehingga sampai dihadapan para pembaca yang berbahagia.
Semoga kiranya memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan bagi para
pembaca pada masa sekarang dan yang akan datang.
Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai seamakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa, yang diikuti dengan kecendrungan terbentuknya nilai-nilai budaya yang bersifat universal, tampak studi tentang dengan Mengetahui Sejarah Indonesia mejadi sangat penting dan mendapakan perhatian yang sangat luas, baik dikalangan Siswa maupun dikalangan Umum.
Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai seamakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa, yang diikuti dengan kecendrungan terbentuknya nilai-nilai budaya yang bersifat universal, tampak studi tentang dengan Mengetahui Sejarah Indonesia mejadi sangat penting dan mendapakan perhatian yang sangat luas, baik dikalangan Siswa maupun dikalangan Umum.
Semoga
Makalah yang berjudul “Makna SDA dalam
Pandangan Islam” akan bisa berguna bagi teman teman dan masyarakat umum
nya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………1
DAFTAR ISI ……………………………2
1.
BAB
I
a.
Pendahuluan ……………………………3
b.
Latarbelakang ……………………………3
c.
Rumusan Masalah ……………………………3
d.
Tujuan Kajian ……………………………3
e.
Manfaat Kajian ……………………………3
2.
BAB
II
a.
Pembahasan ……………………………4
b.
Makna SDA dalam Pandangan Islam …………………………… 4
3.
BAB
III
a.
Penutup ……………………………10
b.
Kesimpulan ……………………………10
c.
Saran ……………………………10
d. Daftar
Pustaka ……………………………11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Indonesia adalah negeri yang kaya raya
sumberdaya alam (SDA). Tengok saja potensinya. Ikan di Laut Indonesia
diperkirakan mencapai 6,2 juta ton, belum lagi kandungan mutiara, minyak, dan
kandungan mineral lainnya; di samping keindahan alam bawah lautan. Dari potensi
ikan saja, bisa diperoleh devisa lebih dari 8 miliar US dolar setiap tahunnya.
Sementara itu, di daratan terdapat berbagai bentuk barang tambang berupa emas,
nikel, timah, tembaga, batubara, dan sebagainya. Di perut bumi sendiri
tersimpan gas dan minyak cukup besar. Kandungan emas di bumi Papua yang kini
dikelola perusahaan asing PT. Freeport Indonesia misalnya, konon termasuk yang
terbesar di dunia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
Latarbelakang di atas Penulis menarik Beberapa Masalah :
1.
Bagaimana mengelola SDA
yang baik menurut Islam
2.
Sumber Daya Alam dalam
islam
3.
Apa – apa yang terjadi
dalam Sengketa SDA menurut Islam
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui Penjelasan
Masalah
2.
Mengetahui SDA menurut
Islam
3.
Mengelola SDA
D. Manfaat Kajian
Dalam
Kajian ini kita akan membahas Makna Sumber Daya Alam Dalam Pandangan Islam
serta mengetahui sejauh mana SDA di kelola menurut Islam .
BAB II
PEMBAHASAN
MAKNA
SDA DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam
pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola
hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk
barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan,
kesehatan dan fasilitas umum. Paradigma
pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate
based management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh
negara (state based management) dengan tetap berorientasi
kelestarian sumber daya (sustainable
resources principle).
Pendapat
bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola oleh negara untuk hasilnya
diberikan kepada rakyat dikemukakan oleh
An-Nabhani berdasarkan pada hadits riwayat
Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin
Hamal. Dalam hadits tersebut, Abyad diceritakan
telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan
permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang shahabat,
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau
berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan
air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang
tersebut darinya”.
Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak
digambarkan mengalir terus menerus. Hadist tersebut menyerupakan tambang garam
yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Bahwa semula Rasullah SAW memberikan tambang
garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang
yang lain kepada seseorang. Tapi ketika
kemudian Rasul mengetahui bahwa tambang
tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang
terus mengalir, maka Rasul mencabut pemberian itu, karena dengan
kandungannya yang sangat besar itu
tambang tersebut dikategorikan
milik umum. Dan semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Yang
menjadi fokus dalam hadits tersebut
tentu saja bukan “garam”,
melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul mengetahui bahwa tambang garam itu
jumlahnya sangat banyak, ia menarik kembali pemberian itu. An-Nabhani mengutip
ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:
“Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hambal
terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau
mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya beliau mencabutnya semata
karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan
oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang
tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda
yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya
kembali, karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api dan air
menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut, maka beliau
melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat
memilikinya”.
Penarikan
kembali pemberian Rasul kepada Abyadh
adalah illat dari larangan sesuatu
yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya
sangat banyak untuk dimiliki individu.
Dalam hadits dari Amru bin Qais lebih
jelas lagi disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul milhi” (tambang garam). Adapun hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin
Harits Al Muzni dari kabilahnya, serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid
dalam kitab Al Amwal dari Abi Ikrimah
yang mengatakan: “Rasulullah
saw.memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian,
berikut kandungan buminya, baik berupa gunung atau tambang,” sebenarnya
tidak bertentangan dengan hadits Abyadh
ini. Hadits di atas mengandung
pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal
kandungannya terbatas, sehingga boleh
diberikan.
Sebagaimana Rasulullah pertama kalinya memberikan
tambang garam tersebut kepada Abyadh. Tapi kebolehan pemberian barang tambang
ini tidak boleh diartikan secara mutlak, sebab jika diartikan demikian
tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul
setelah diketahui bahwa tambang itu kandungannya besar bagaikan air yang
terus mengalir. Jadi jelaslah bahwa
kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.
Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi
Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar
baik yang nampak sehingga bisa
didapat tanpa harus susah payah seperti
garam, batubara, dan sebagainya;
ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh
kecuali dengan usaha keras seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan
sejenisnya termasuk milik umum. Baik
berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak,
semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.
Sedangkan
benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk hanya dimiliki oleh
pribadi, benda tersebut termasuk milik
umum. Meski termasuk dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas
umum, benda-benda tersebut berbeda
dengan kelompok yang pertama dari segi sifatnya, maka benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh
individu. Berbeda dengan kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh
individu. Air misalnya, mungkin saja
dimiliki oleh individu, tapi bila suatu
komunitas membutuhkannya, individu tidak boleh memilikina. Berbeda dengan
jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
Oleh
karena itu, sebenarnya pembagian ini - meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, yaitu keberadaannya
sebagai kepentingan umum - esensi faktanya menunjukkan bahwa benda-benda
tersebut merupakan milik umum (collective
property). Seperti jalan, sungai,
laut, dana, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa
disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah
sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan dan sebagainya.
Al-‘Assal
& Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni mengatakan:
“Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan
dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia
(semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak
kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab hal itu
akan merugikan mereka”.
Maksud
dari pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik
orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Maka barang siapa
menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya
untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.
Pemasukan Negara
Dengan
memahami ketentuan syari’at Islam terhadap status sumber daya alam dan
bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni
didapatnya sumber pemasukan bagi
anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan
negara dan dengan demikian diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan
terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.
Dalam
sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumber-sumber
pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat melalui Baitul Mal.
Baitul Mal adalah kas negara untuk
mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara. Mekanisme
pemasukan maupun pengeluarannya semua ditentukan oleh syari’at Islam.
Sektor-sektor pemasukan dan pengeluarannya Kas Baitul Mal, adalah:
1. Sektor
kepemilikan individu
Pemasukan
dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infaq dan shadaqah. Untuk
zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh
dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah
(kepala negara dalam pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya
untuk delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an
(At-Taubah: 60), yaitu: 1). Faqir, 2). Miskin, 3). Amil zakat, 4). Muallaf, 5)
Memerdekakan budak, 6) Gharimin (terlilit hutang), 7). Jihad fi sabilillah, 8).
Ibnu sabil (yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Sementara, infaq dan
shadaqah pendistribusiannya diserahkan kepada ijtihad khalifah yang semuanya
ditujukan untuk kemashlahatan ummat.
2. Sektor
kepemilikan umum
Tercakup
dalam sektor ini adalah segala milik
umum baik berupa hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan dsb.
Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan:
- Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
- Membagikan hasilnya secara langsung kepada masyarakat yang memang sebagai pemilik sumberdaya alam itu berhak untuk mendapatkan hasilnya. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan.
- Sebagian dari kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.
3. Sektor
kepemilikan negara
Sumber-sumber
pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i,
ghanimah, kharaj, seperlima rikaz,
10% dari tanah ‘usyriyah, jizyah,
waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah untuk
kepentingan negara dan kemashlahatan ummat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jelas
sekali, pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber dayaalam negeri
ini yang sesungguhnya sangat melimpah itu.
Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumberdaya itu. Sudah
saatnya, misalnya hanya BUMN yang berhubungan dengan hutan saja yang mengelola hutan-hutan yang ada di negeri ini.
Demikian juga dengan sumberdaya lain. Eksplorasi emas oleh PT Freeport
merupakan kesalahan besar. Sejak tahun 1973 konon lebih dari Rp 500 triliun hasil
emas melayang ke luar negeri. Memang pemerintah mendapatkan pajak dan
sebagainya. Tapi pasti angkanya jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri.
Andai itu sepenuhnya dikelola oleh negara, dana yang tidak sedikit itu tentu
bisa diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Begitu juga dengan barang tambang
lain.
B.
SARAN
Pemanfaatan seoptimal mungkin sumberdaya alam itu hanya
mungkin bila BUMN yang menangani semua
kekayaan milik umum itu dikelola secara profesional dan amanah. Sudah menjadi rahasia umum betapa di
BUMN-BUMN itu selama ini terjadi inefisiensi luar biasa akibat praktek-praktek
kolusi dan korupsi. Akibatnya, bukan hanya dana itu tidak sampai ke tangan
rakyat, BUMN itu juga mengalami kerugian. Bagaimana mungkin PLN misalnya, yang
menjadi perusahaan tunggal dalam pengelolaan
listrik, bisa merugi? Padahal tidak ada satupun rakyat yang tidak
menggunakan listrik. Juga tidak ada perusahaan lain yang menjadi saingan PLN.
Itu semua terjadi karena mismanajemen dan korupsi. Dengan efisiensi, dana yang diperoleh bisa
digunakan untuk kesejahteraan rakyat, dan BUMN itu juga bisa berjalan dengan
baik. Rakyatnya makmur sejahtera, negara tidak perlu berhutang ke sana kemari.
Insya Allah.
DAFTAR PUSTAKA
DEPAG
RI. 2000. Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum.
Jakarta : PT Bulan Bintang.
DEPAG
RI. 2001. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta :
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, DEPAG.
Endratno, Hemin. 2005. Diklat Ajar Studi Islam 3.
Endratno, Hemin. 2005. Diklat Ajar Studi Islam 3.