ONTOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Monday, November 28, 2016
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ONTOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Ontologis;
cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang
hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya
tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan
pengetahuan?. Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada,
pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika.
Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks
filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal,
menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan
yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1.
Objek Formal
Objek
formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif,
realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi
kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme,
naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira
cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan.
Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan
pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para
ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi
menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.
Metode dalam Ontologi
Lorens
Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi
fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan
keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk
mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis.
Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua
realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan
menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu
dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran
kesimpulan.
Contoh
: Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan
itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi,
badan itu fana’ (S-P)
Sedangkan
pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam
kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata
silogistik sebagai berikut:
Contoh
: Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi
geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi,
Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Bandingkan
tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi
akibat dari realitas dalam kesimpulan.[2]
B.
EPISTIMOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Disebut
the theory of knowledge atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi
dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan mungkin inilah bagian paling
penting dari filsafat untuk para pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah
bagaimana kamu mengetahui (how do you know?). Pertanyaan ini tidak hanya
menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu (the products) tetapi juga tentang
bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistemolog
adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang
diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang
tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting,
bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan
ranah kognitif manusia.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?).
Di sini terdapat tiga posisi epistemologis:
Pertama,
dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar
mengetahui (we can and do know) – selanjutnya bahkan kita yakin (we are
certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu memiliki beberapa
pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak
tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan
keseluruhan > bagian.
Kedua,
skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak
juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk
berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis
yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi premis-premis
yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini seolah
menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.
Ketiga,
fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi
kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum
dogmatis. Mereka ini hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti
(certain). Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak
pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat diverifikasi melampaui
posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan tertentu.
Inilah yang dikenal dengan istilah “doubting Thomas” yang yakin bahwa kita
selalu berhubungan dengan posibilitas-posibilitas dan probabilitas-probabilitas
(pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi
fallibilistik ini memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan
tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka untuk berubah dan
bukannya final, bersifat relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin
daripada pasti. Moda kerja aliran ini mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan
cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan bersifat
tentatif.
Para
filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa
kita (manusia) memang dapat mengetahui, tetapi bagaimana?
Idealisme
menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide adalah produk akal (the
mind) atau hasil dari proses-proses mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi
–jika bukan nalar—dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya
adalah analogi garputala.
Realis
klasik menjawab bahwa daya rasional dari akal mengurai kode pengalaman dan
merajut darinya kebenaran. Pengetahuan kita tentang dunia eksternal hadir
melalui penalaran terhadap laporan-laporan observasi. Sekalipun laporan
tersebut dari waktu ke waktu sering menipu ktia, kita dapat selalu bersandar
pada nalar kita dan percayalah bahwa pengetahuan pasti itu ada, kebenaran
absolut itu ada, dan kita bisa menemukannya.
Kaum
Thomis menjawab agar kita meletakkan kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada
nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan kebenaran
yang diberikan (truth living). Adapun orang yang bijak adalah orang yang mampu
mengambil manfaat dari keduanya. Aliran ini secara epistemologis bersifat
dogmatis.
Sementara
kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis
falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta
kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya.
Dari
sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan
pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang
menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau “ini adalah kebenaran” merupakan
pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit
banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian
pengetahuan dan perburuan kebenaran.
Beberapa
pandangan tentang konsep pendidikan:
1.
Pendidikan sebagai manifestasi (education as manifestation).
Dengan
analogi pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu
proses untuk menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten
(tersembunyi) pada diri setiap anak.
2.
Pendidikan sebagai akuisisi (education as acquisition)
Dengan
analogi spon, pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan
kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.
3.
Pendidikan sebagai transaksi (education as transaction)
Dengan
analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan
bebatuan yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture)
yang secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan
pembuatnya. Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take)
antara manusia dengan lingkungannya. Di sana seseorang mengembangkan atau
menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk memodifikasi atau meningkatkan
kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku
dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi manusia dan
lingkungannya. Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling
memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi
yang lainnya. Mereka adalah proses dan juga produk.
4.
Filsafat sebagi proses (philosophy as process)
Filsafat
sebagai aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di
dalamnya adalah aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan
dengan aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan criteria-kriteria
yang memandu perilaku. (b) evaluasi (the evaluative), berkaitan dengan
aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the speculative), berhubungan
dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the
integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan
kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah
menjadi utuh. Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan
intelektual.
5.
Filsafat sebagai produk (philosophy as product)
Produk
dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi
kata, ide, konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga
bisa menjadi jernih dan dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih
lanjut. Filsafat dengan “P” capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara
internal bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsat.
Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap,
konklusi, ringkasan akhir, dan juga rencana final.
C.
AXIOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Secara
historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral
(morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih
akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the
theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian
tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta
tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu
teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik
(what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang
untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep
semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi
terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral
dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat
dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya
beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau
tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari
sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis,
sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama,
teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan
bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu
perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu
perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat
obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat
baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu
dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak
bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan
dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk
mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan
preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua,
teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah
percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia.
Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan
supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu
dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau
yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan.
Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif,
absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga,
teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya
diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang
dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan,
dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing
perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana
keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif
dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada
kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat,
teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya
menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang
bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya
merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih
dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian
(valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama
kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
BAB III
KESIMPULAN
Ontologi
merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari
Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales,
Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara
penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai
pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula
segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin
sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu
itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Epistemologi,
(dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu)
adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis
pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan
dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana
karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan. Epistomologi
atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan
tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai
metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme,
metode kontemplatis dan metode dialektis.
Aksiologi
berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga,
logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori nilai, penyelidikan tentang
kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai.
DAFTAR
BACAAN
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1996.
Prof.
Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001.
Louis
O. Kattsouff, Pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta
Sidi
Gazalba, Sistematika filsafat II, Yogjakarta, 1995.
Wikipedia.
Epistemologi. http//wikipedia/epistemologi/ontologi