MAKALAH KAIDAH FIQH, DEFENISI, PEMBAGIAN DAN SISTEMATIKA
Tuesday, October 6, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Banyak dari kita yang
kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu
Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk
menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah,
perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai
kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai
fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah
fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat
yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain
itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial,
ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
II. Rumusan Masalah
1. Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh
2. Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
3. Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
4. Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
5. Apa beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
6. Mengetahui apa itu kaidah umum dan kaidah asasi
III. Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun
bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal
yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi,
pembagian dan sistematika kaidah fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian
Sebagai studi ilmu agama
pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan
definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan.
Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu
dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk
jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan
istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson
menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi),
al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq
(metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
An-Nahl ayat 26 :
”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”. (Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Sedangkan menurut
istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang
tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli
(kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau
cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang
itu”.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan
hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam,
dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung
selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta
tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H).
Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak
ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn
Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika
fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab
ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim
(kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri
dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri
tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi
sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
• Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat
• Segi cakupan makna dan
bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya
ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu:
”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”
Demikian beberapa sabda
Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh. Generasi
berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah
fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat
membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid
Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan
terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya
adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang
mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub
ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj,
kaidah-kaidah yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut
berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu
lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau
mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang
mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase
kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang
dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yang dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
2. Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalah sejarah hukum
islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian
besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam
mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah
bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu
fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H,
dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena
perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh
terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
- Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
- Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
- Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
- Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
3. Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap
sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak
berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman
sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”
III. Pembagian Kaidah Fiqh
Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
1. Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah
fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah
fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki
cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid
al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah
yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan
sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’
2. Segi mustasnayat
Dari sumber
pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah
yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya
adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada
kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
• Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan
kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia
terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan
kemaslahatan.
• Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
• Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang
diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah al-Ahkam
al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha
usmaniah.
IV. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
- Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
- Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
- Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
- Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
- Mempermudah dalam menguasai materi hukum
- kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
- Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
- mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
- Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
- Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam
V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari sudut sumber,
kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan
menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh,
ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2. Dari segi istinbath
al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum
terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu
alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf
dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan
hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata,
pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya
nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik
yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari
lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa
kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah
furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah
fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum
bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di
bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu
Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah
fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan
dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut.
Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak
akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika
tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak
pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada
kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami
oleh pengikutnya.
VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kaidah fiqh sebagai
pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan
dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan
sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya
ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai
dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang
berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum
mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh
boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al_Hawani menolak
pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya, menurut al-Hawani,
berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan
bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat.
Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian.
Karena memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti
pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai
dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
Kedudukan kaidah fiqh
dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-masalah
fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad
al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh
ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai
berai.”
Dalam kontek studi fiqh,
al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua hal : pertama, ushul;
dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh
yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan
kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia
syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah
Pada umumnya pembahasan
qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan
kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang
disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya.
jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :
1. Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
2. Kemudaratan itu harus dihilangkan
3. Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
4. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sebagian fuqaha’
menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat.” Sedangkan
kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah
asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap diakui.
VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
1. Kaidah ushul adalah
cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah
kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang
sama.
2. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
3. Kaidah-kaidah ushul
menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam
dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil
tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun
di dalam kaidah.
IX. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
1. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Izzuddin bin Abdul
as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam
mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara
menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang
membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh
maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat
dilarang oleh syari’ah.
2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
a. Kaidah asasi pertama
“segala perkara tergantung kepada niatnya”
Niat sangat penting
dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah
seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan
melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat
karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
b. Kaidah asasi kedua
“keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
c. Kaidah asasi ketiga
“kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna dari kaidah diatas
adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan
dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga
mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
d. Kaidah asasi keempat
“kemudhoratan harus dihilangkan”
Kaidah tersebut kembali
kepada tujuan merealisasikan maqasid al-Syari’ah dengan menolak yang
mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau setidak-tidaknya
meringankannya.
e. Kaidah asasi kelima
“adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”
Adat yang dimaksudkan
kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada
unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.
X. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
1. “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab :
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
2. “apa yang haram diambil haram pula diberikannya”
Atas dasar kaidah ini,
maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap. Sebab,
perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.
3. “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
4. “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil”
Maksud kaidah ini adalah
ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi ada tanda-tanda
yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang
yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk
bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang
tersebut bukan hasil curian.
5. “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum maghrib tiba.
XI. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak kaidah fiqh yang
ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan lebih
sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh
tertentu, yaitu :
1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu”
2. Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
Dalam hukum islam, hukum
keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga)
dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu
“Hukum asal pada masalah s e k s adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah
dalam hubungan s e k s, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab
yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan
adanya akad pernikahan.
3. Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini
adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti
: jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas
diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan
riba.
4. Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
Fiqh jinayah adalah
hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan
sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah
satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :
“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”
Pengambilan harta orang
lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan
harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka
diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat
dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
5. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini menegaskan
bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan rakyat,
bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun
golongannya.
6. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat
ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah
konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung.
Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini
yaitu :
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Perdamaian antara
penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian
yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah fiqh
itu terdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan
kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya)
2. Salah satu manfaat
dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh
dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian
menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.
3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
- Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
II. Saran
Penyusun makalah ini
hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku
referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang
ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah
ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas
membaca makalah ini saja.
Daftar Pustaka
Mubarok, Jaili. 2002. Kaidah Fiqih Sejarah dan Kaidah Asasi. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Syafe’I, Rachmad. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia. Bandung
Usman, Muklish. 1997. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Raja Grafindo Persada: Jakarta