-->

ads

Makalah Ragam Bahasa

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasa pokok dalam studi sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana (1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri – ciri vaiasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri –ciri variasi bahasa tersebut  dengan ciri – ciri sosial kemasyarakatan.
Kemudian dengan mengutip pendapat  Fishman (1971:4) Kridalaksanan mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi berbagai variasi, serta hubungan diantara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat baasa.
Bahasa merupakan ujaran yang bermakna dan mempunyai bunyi. Sebagai sebuah lengue sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yung dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu.
Dalam pembicaraan mengenai variasi bahasa kita berbicara tentang satu bahasa yang memilikiberbagai fariasi berkenaan dengan penutur dan penggunaannya secara konkret. Pembicaraan tentang variasi bahasa itu tidak lengkap bila tidak disertai dengan pembicaraan tentang jenis bahasa itu tidak lengkap secara sosiolinguistik.
1.2  Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Bagaimakah ciri –ciri variasi bahasa dan jenis bahasanya ?
b.      Apakah fungsi dari berbagai variasi bahasa dan jenis bahasa ?
1.3  Tujuan
Secara umum penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana variasi dan jenis – jenis bahasa.
Secara khusus penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui bagaimana ciri – ciri dari variasi bahasa dan jenis bahasanya.
b.      Untuk mengetahui fungsi dari berbagai variasi bahasa dan jenis bahasa.
1.4  Manfaat
Penulisan makalah diharapkan bermanfaat :
a.    Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang berbagai macam ciri – ciri dari variasi bahasa dan jenis bahasanya.
b.    Sebagai literatur bagi para pembaca khususnya mahasiswa jurusan bahasa dan sastra indonesia.
1.5  Metode
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode yang bersifat deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk memusatkan diri pada pembahasan dan pemecahan masalah yang ada pada saat sekarang secara aktual dengan jalan mengumpulkan dan menganalisis data secara objektif.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Variasi Bahasa
            Dalam hal variasi atau ragam bahas ini ada dua panadangan. Pertama, varaiasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsunya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak.
            Hartman dan Strok ( 1972 ) membedakan variasi berdasarkan kriteria, sebagai berikut : (a) latar belakang geografi dan sosial penetur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan. Variasi bahasa itu pertama-tama kita bedakan berdasarkan penutur dan penggunaannya. Berdasarkan penutur berarti, siapa yang mengunakan bahasa itu, dimana tinggalnya, bagaimana kedudukan sosialnya didalam masyarakat, apa jenis kelaminnya, dan kapan bahasa itu digunakan. Berdasarkan pengguanannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalur dan alatnya, dan bagaiman situasi ke formalannya.
2.1.1 Variasi dari Segi Penutur
            Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahas yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bermanfaat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setipa orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing.
            Variasi bahasa kedua berdasarkan peneturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karaena dialek ini didasarkan pada wilayah atau tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Para penutur dalam suatu dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek, yang berbeda dengan kelompok penutur lain, yang berada dalam dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai dialeknya juga. Dalam kasus bahasa jawa dialek banten dan bahasa jawa dialek cirebon , sebenarnya kedua bahasa itu sudah berdiri sendiri-sendiri, sebagai bahasa yang bukan lagi bahasa jawa. Tetapi karena secara historis keduanya adalah berasal dari bahasa jawa, maka keduanya juga dapat dianggap sebagai dialek-dialek dari bahasa jawa.
            Penggunaan istilah dialek dan bahasa dalam masyarakat umum memang sering kali bersifaf ambigu. Secara linguistik jika masyarakat tutur  masih saling mengerti, maka alat komunikasinya dadalah dua dialek dari bahasa yang sama. Namun sejarah politis meskipun dua masyarakat tutur bisa saling mengerti karena kedua alat komunikasi verbalnya mempunyai kesamaan sistem dan subsistem, tetapi keduanya dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda. Contohnya, bahasa indonesia dan bahasa malaysia, yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, tetapi secara politis dianggap sebuah bahasa yang berbeda.
            Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek  atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi yang digunkan tahun lima puluhan, dan variasai yang digunakan pada masa kini. Variasai bahasa pada ketiga jaman itu tentunya berbeda, baik dari segi lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis.
Variasi bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni baraiasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Berdasarkan usia, kita bisa melihat perbadaan variasi bahasa yang digunakan oleh kanak-kanak, para remaja, orang dewasa, dan orang-orang yang tergolong lansia ( lanjut usia ). Berdasarkan pendidikan kita juga bisa melihat adanya variasi sosial ini. Para penutur yang beruntung memperoleh pendidikan tinggi, akan berbeda variasi bahasanya dengan mereka hanya berpendidikan menengah, rendah, atau yang tidak berpendidkan sama sekali. Perbedaan ini yang paling jelas adalah dalam bidang kosa kata, pelafalan, dan juga morfologi dan sintaksis.
Perbedaan pekerjaan, pofesi jabatan, atau tugas para penutur, dapat juga menyebabkan adanmya variasi sosial. Didalam masyarakat tutur yang (masih) mengenal tingkat-tingkat kebangsawan dapat pula kita lihat variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat-tingkat kebangsawan itu. Bahasa jawa, bahasa bali, dan bahasa sunda mengenal variasi kebangsaan ini tetapi behasa indonesia tidak.
Keadaan sosial ekonomi para penutur dapat juga menyebabkan adanya variasi bahasa. Pembedaan kelom[ok masayarakat berdasarkan status sosial ekonomi ini tidak sama dengan perbedaan berdasarkan tingkat kebangsawanan, sebab dalam zaman modern ini pemerolehn status sosial ekonomi yuang tinggi tidak lagi identik dengan status kebangsawanan yang tinggi.
Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken.
2.1.2 Variasi dari Segi Pemakaian
            Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa iti digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosa kata.
Variasi bahasa berdasarkan fungsi ini lazim disebut register. Dalam pembicaraan tentang register ini biasanya dikaitkan dengan masalah dialek. Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa, dimana, dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa.
2.1.3 Variasi dari Segi Keformalan
Berdasartkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya(inggris Style),yaitu gaya ragam beku(frozem),gaya atau ragam resmi(formal),gaya atau ragam usaha(konsultatif),gaya atau ragam santai(casual),dan gaya atau ragam akram(intemate)dalam pembicaraan selanjutnya kita sebuah saja ragam.
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal,yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat,dan upacara-upacara resmi misalnya, dalam upacara kenegaraan, khotbah di mesjid, tata cara pengambalian sumpah;kitab undang-undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan.
Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dal;am pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-mnyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya.
Ragam usaha atau ragam kasual adalah variasi bahsa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi.
Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat,berolahraga, berekreasi, dan sebagainya.
Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga, atau antar teman  yang sudah karib.
2.1.4 Variasi dari Segi Sarana
            Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan.Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelepon dan bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memilioki wujud struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini adalah karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secra lisan, kita dibantu unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak – gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala – gejala fisik lainnya. Padahal didalam ragam bahasa tulis hal –hal yang diseutkan it tidak ada. Lalu, sebagai gantinya harus dieksplisitkan secara verbal.
2.2 Jenis Bahasa
            Penjenisan bahasa secara sosiolinguistik tidak sama dengan pennjenisan (klasifikasi) bahasa secara geneologis (genetis) maupun tipologis. Penjenisan atau klafikasi secara geneologis dan tipologis berkenaan dengan ciri-ciri internal bahasa-bahasa itu sedangkan penjenisan sercara sosiolinguistik berkenaan dengan faktor-faktor eksternal atau bahasa-bahasa itu yakni faktor sosiologis, politis, kultural.
2.2.1 Jenis Bahasa Berdasarkan Sosiologis
            Penjenisan bedasarkan faktor sosiologis, artinya penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga bedasarkan faktor sejarahnya,kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi berikutnya.
            Stewart(dalam Fishman (ed) 1968) mengunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis, yaitu (1) standardisasi, (2) otonimi, (3) historisitas, dan (4) vitalitas.
Standardisasi atau pembakuan adala adanya modifikasi dan peneriman terhadap sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaian “bahasa yang benar” (bandingkan Fishman (ed) 1968:534).
Dasar kedua dalam penjenisan sosiologis ini adalah otonomi atau keotonomian sebuah sistem liguistik itu memiliki kemandirian sistem yang tidak berkaitan dengan bahasa lain (Fishman 1968:535)
Dasar ketiga dalam penjenisan sosiologi bahasa adalah faktor historisitas kalau diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa yang lalu (Fishman 1968:535)
Dasar keempat dalam penjenisan bahasa secara sosiologis adalah faktor vitalitas atau keterpakaian. Menurut Fishman (1968:536) yang dimaksud dengan vitalitas adalah pemakaian sistem linguistik oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi. Jadi, unsur vitalitas ini mempersoalkan apakh sistem linguistik tersebut memiliki penutur asli yang masih menggunakan atau tidak.
2.2.2 Jenis Bahasa Berdasarkan Sikap Politik
            Berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Perbedaan ini dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat kaitannya dengan kepentingan kebangsaan.
            Sebuah sistem linguistik disebut sebagai bahasa nasional, sering kali juga disebut sebagai bahasa kebangsaan, adalah kalau sistem linguistik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan ) sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu. Pengangkatan sebuah sistem linguistik menjadi bahasa nasional adalah berkat sikap dan pemikiran politik, yaitu agar dikenal sebagai sebuah bangsa (dengan negara berdaulat dan berpemerintahan sendiri) berbeda dengan bangsa lainnya.
            Yang dimaksud dengan bahasa negara adalah suatu sistem linguistik yang secara resmi dalam undang-undang dasar sebuah negara di tetapkan sebagai alat komukasi resmi sebuah kenegaraan. Artinya, segala urusan kenegaraan, administrasi kenegaraan, dan kegiatan-kegiatan kenegaraan dijalankan dengan menggunakan bahasa itu. Pemilihan dan penetapan sebuah sistem linguistik menjadi bahasa negara biasanya dikaitan dengan kerterpakaian bahasa itu yang sudah merata diseluruh wilayah negara itu.
            Yang dimaksud dengan bahasa resmi adalah sebuah sistem linguistik yang di tetapkan untuk digunakan dalam suatu pertemuan, seperti seminar, konferensi, rapat, dan sebagainya. Dalam sidang internasional di PBB bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Spanyol, bahasa Cina, dan bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi persidangan. Jadi artinya seorang pembicara dalam sidang PBB itu boleh menggunakan salah satu kelima bahasa itu. Untuk menyampaikan pidato atau sambutannya. Dalam konteks sosial di I ndonesia, bahasa negara dapat diidentikkan sama dengan bahasa resmi, yaitu bahasa indonesia.
            Pengangkatan satu sistem linguistik  sebagai bahasa persatuan adalah dilakukan oleh suatu bangsa dalam kerangka perjuangan, dimna bangsa yang berjuang itu merupakan masyarakat yang multilingual. Kebutuhan akan adanya sebuah bahasa persatuan adalah untuk mengikat dan mempererat rasa persatuan sebagai satu kesatuan bangsa.
2.2.3 Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan
            Berdasarkan tahap pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa oertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), Dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan bahasa pertama adalah mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak. Bahasa ibu tidak mengacui pada bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu, melainkan mengacu kepada bahasa yang dipelajari seorang anak dalam keluarga yang mengasuhnya.
            Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat B1) karena baasa itu lah yang pertama-tama dipelajarinya. Kalau kemudian si anak mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua (disingkat B2). Andai kata kemudian sianak mempelajari bahasa lainya lagi, maka bahasa yang dipelajari terakhir ini disebut bahasa ketiga (disingkat B3).
            Yang disebut bahasa asing akan selalu merupakan bahasa kedua bagi seorang anak. Disamping itu penanaman bahasa asing ini juga bersifat politis, yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa lain. Maka itu bahasa Malaysia, bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Cina adalah bahasa asing bagi bangsa indonesia. Sebuah bahasa asing, bahasa yang bukan milik suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) dapat menjadi bahasa kedua.
2.2.4 Lingua Franca
            Yang dimaksud dengan lingua franca adalah sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang berbeda. Dulu bahasa latin di Eropa adalah sebuah lingua franca bagi suku-suku bangsa yang ad diwilayah nusantara.
            Pemilihan satu sistem linguistik menjadi sebuah lingua franca adalah berdasarkan adanya kesaling pahaman diantara sesama mereka. Karena dasar pemilihan lingua franca adalah keterpahaman atau kesaling pengertian dario para partisipan yang menggunakannya, maka “bahasa” apapun, baik sebuah langue, pijin, maupun kreol, dapat menjadi sebuah lingua franca itu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasa diatas dapat pula kita ambil kesimpulan bahwa variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsunya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak.
Dapat juga disimpulkan bahawa yang disebut dengan jenis bahasa itu meryupakan macam – macam bahasa yaitu Penjenisan bedasarkan faktor sosiologis, artinya penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga bedasarkan faktor sejarahnya,kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi berikutnya. Berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Perbedaan ini dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat kaitannya dengan kepentingan kebangsaan. Berdasarkan tahap pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa oertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), Dan bahasa asing. Lingua franca adalah sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang berbeda.


DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. Dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel