Makalah Ragam Bahasa
Sunday, November 20, 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Variasi atau ragam bahasa
merupakan bahasa pokok dalam studi sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana
(1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang berusaha
menjelaskan ciri – ciri vaiasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri –ciri variasi
bahasa tersebut dengan ciri – ciri
sosial kemasyarakatan.
Kemudian dengan mengutip
pendapat Fishman (1971:4) Kridalaksanan
mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi
berbagai variasi, serta hubungan diantara bahasa dengan ciri dan fungsi itu
dalam suatu masyarakat baasa.
Bahasa merupakan ujaran yang
bermakna dan mempunyai bunyi. Sebagai sebuah lengue sebuah bahasa mempunyai
sistem dan subsistem yung dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu.
Dalam pembicaraan mengenai
variasi bahasa kita berbicara tentang satu bahasa yang memilikiberbagai fariasi
berkenaan dengan penutur dan penggunaannya secara konkret. Pembicaraan tentang
variasi bahasa itu tidak lengkap bila tidak disertai dengan pembicaraan tentang
jenis bahasa itu tidak lengkap secara sosiolinguistik.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di
atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a.
Bagaimakah
ciri –ciri variasi bahasa dan jenis bahasanya ?
b.
Apakah
fungsi dari berbagai variasi bahasa dan jenis bahasa ?
1.3 Tujuan
Secara umum penulisan makalah ini
bertujuan untuk mengetahui
bagaimana variasi dan jenis – jenis bahasa.
Secara khusus penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
a.
Untuk
mengetahui bagaimana ciri – ciri dari variasi bahasa dan jenis bahasanya.
b.
Untuk
mengetahui fungsi dari berbagai variasi bahasa dan jenis bahasa.
1.4 Manfaat
Penulisan makalah diharapkan bermanfaat :
a.
Dapat
menambah ilmu pengetahuan tentang berbagai macam ciri – ciri dari variasi
bahasa dan jenis bahasanya.
b.
Sebagai
literatur bagi para pembaca khususnya mahasiswa jurusan bahasa dan sastra
indonesia.
1.5 Metode
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode yang bersifat
deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk memusatkan diri
pada pembahasan dan pemecahan masalah yang ada pada saat sekarang secara aktual
dengan jalan mengumpulkan dan menganalisis data secara objektif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Variasi Bahasa
Dalam hal variasi atau ragam bahas
ini ada dua panadangan. Pertama, varaiasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai
akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa
itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya
keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau ragam bahasa
itu sudah ada untuk memenuhi fungsunya sebagai alat interaksi dalam kegiatan
masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau
pun ditolak.
Hartman dan Strok ( 1972 )
membedakan variasi berdasarkan kriteria, sebagai berikut : (a) latar belakang
geografi dan sosial penetur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok
pembicaraan. Variasi bahasa itu pertama-tama kita bedakan berdasarkan penutur
dan penggunaannya. Berdasarkan penutur berarti, siapa yang mengunakan bahasa
itu, dimana tinggalnya, bagaimana kedudukan sosialnya didalam masyarakat, apa
jenis kelaminnya, dan kapan bahasa itu digunakan. Berdasarkan pengguanannya,
berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalur dan
alatnya, dan bagaiman situasi ke formalannya.
2.1.1 Variasi dari Segi Penutur
Variasi bahasa pertama yang kita
lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahas yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang
bermanfaat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setipa orang mempunyai variasi
bahasanya atau idioleknya masing-masing.
Variasi bahasa kedua berdasarkan
peneturnya adalah yang disebut dialek, yakni
variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada
satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karaena dialek ini didasarkan pada
wilayah atau tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek
geografi. Para penutur dalam suatu dialek, meskipun mereka mempunyai
idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada
pada satu dialek, yang berbeda dengan kelompok penutur lain, yang berada dalam
dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai dialeknya juga. Dalam kasus
bahasa jawa dialek banten dan bahasa jawa dialek cirebon , sebenarnya kedua
bahasa itu sudah berdiri sendiri-sendiri, sebagai bahasa yang bukan lagi bahasa
jawa. Tetapi karena secara historis keduanya adalah berasal dari bahasa jawa,
maka keduanya juga dapat dianggap sebagai dialek-dialek dari bahasa jawa.
Penggunaan istilah dialek dan bahasa
dalam masyarakat umum memang sering kali bersifaf ambigu. Secara linguistik
jika masyarakat tutur masih saling
mengerti, maka alat komunikasinya dadalah dua dialek dari bahasa yang sama.
Namun sejarah politis meskipun dua masyarakat tutur bisa saling mengerti karena
kedua alat komunikasi verbalnya mempunyai kesamaan sistem dan subsistem, tetapi
keduanya dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda. Contohnya, bahasa indonesia
dan bahasa malaysia, yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, tetapi secara
politis dianggap sebuah bahasa yang berbeda.
Variasi ketiga berdasarkan penutur
adalah yang disebut kronolek atau dialek
temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada
masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa indonesia pada masa tahun tiga
puluhan, variasi yang digunkan tahun lima puluhan, dan variasai yang digunakan
pada masa kini. Variasai bahasa pada ketiga jaman itu tentunya berbeda, baik
dari segi lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis.
Variasi bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni baraiasi bahasa yang berkenaan dengan status,
golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Berdasarkan usia, kita bisa melihat
perbadaan variasi bahasa yang digunakan oleh kanak-kanak, para remaja, orang
dewasa, dan orang-orang yang tergolong lansia ( lanjut usia ). Berdasarkan
pendidikan kita juga bisa melihat adanya variasi sosial ini. Para penutur yang
beruntung memperoleh pendidikan tinggi, akan berbeda variasi bahasanya dengan
mereka hanya berpendidikan menengah, rendah, atau yang tidak berpendidkan sama
sekali. Perbedaan ini yang paling jelas adalah dalam bidang kosa kata,
pelafalan, dan juga morfologi dan sintaksis.
Perbedaan pekerjaan, pofesi jabatan, atau tugas para penutur, dapat juga
menyebabkan adanmya variasi sosial. Didalam masyarakat tutur yang (masih)
mengenal tingkat-tingkat kebangsawan dapat pula kita lihat variasi bahasa yang
berkenaan dengan tingkat-tingkat kebangsawan itu. Bahasa jawa, bahasa bali, dan
bahasa sunda mengenal variasi kebangsaan ini tetapi behasa indonesia tidak.
Keadaan sosial ekonomi para penutur dapat juga menyebabkan adanya variasi
bahasa. Pembedaan kelom[ok masayarakat berdasarkan status sosial ekonomi ini
tidak sama dengan perbedaan berdasarkan tingkat kebangsawanan, sebab dalam
zaman modern ini pemerolehn status sosial ekonomi yuang tinggi tidak lagi
identik dengan status kebangsawanan yang tinggi.
Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan,
status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi
bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot,
dan ken.
2.1.2 Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan
penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang
penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi
bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa iti digunakan
untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer,
pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan
keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak
cirinya adalah dalam bidang kosa kata.
Variasi bahasa
berdasarkan fungsi ini lazim disebut register.
Dalam pembicaraan tentang register ini biasanya dikaitkan dengan masalah
dialek. Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa, dimana,
dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk
kegiatan apa.
2.1.3 Variasi dari Segi Keformalan
Berdasartkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967) dalam bukunya The
Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya(inggris Style),yaitu
gaya ragam beku(frozem),gaya atau ragam resmi(formal),gaya atau ragam
usaha(konsultatif),gaya atau ragam santai(casual),dan gaya atau ragam
akram(intemate)dalam pembicaraan selanjutnya kita sebuah saja ragam.
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal,yang digunakan dalam
situasi-situasi khidmat,dan upacara-upacara resmi misalnya, dalam upacara
kenegaraan, khotbah di mesjid, tata cara pengambalian sumpah;kitab
undang-undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan.
Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dal;am pidato
kenegaraan, rapat dinas, surat-mnyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku
pelajaran, dan sebagainya.
Ragam usaha atau ragam kasual adalah variasi bahsa yang lazim digunakan
dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang
berorientasi kepada hasil atau produksi.
Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam
situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib
pada waktu beristirahat,berolahraga, berekreasi, dan sebagainya.
Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa digunakan oleh para
penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga, atau
antar teman yang sudah karib.
2.1.4 Variasi dari Segi Sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat
dari segi sarana atau jalur yang digunakan.Dalam hal ini dapat disebut adanya
ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan
sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelepon dan bertelegraf.
Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan
bahwa bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa
bahasa lisan dan bahasa tulis memilioki wujud struktur yang tidak sama. Adanya
ketidaksamaan wujud struktur ini adalah karena dalam berbahasa lisan atau dalam
menyampaikan informasi secra lisan, kita dibantu unsur-unsur nonsegmental atau
unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak – gerik tangan, gelengan
kepala, dan sejumlah gejala – gejala fisik lainnya. Padahal didalam ragam
bahasa tulis hal –hal yang diseutkan it tidak ada. Lalu, sebagai gantinya harus
dieksplisitkan secara verbal.
2.2 Jenis Bahasa
Penjenisan bahasa secara
sosiolinguistik tidak sama dengan pennjenisan (klasifikasi) bahasa secara
geneologis (genetis) maupun tipologis. Penjenisan atau klafikasi secara geneologis
dan tipologis berkenaan dengan ciri-ciri internal bahasa-bahasa itu sedangkan
penjenisan sercara sosiolinguistik berkenaan dengan faktor-faktor eksternal
atau bahasa-bahasa itu yakni faktor sosiologis, politis, kultural.
2.2.1 Jenis Bahasa Berdasarkan Sosiologis
Penjenisan bedasarkan faktor
sosiologis, artinya penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal
bahasa, tetapi juga bedasarkan faktor sejarahnya,kaitannya dengan sistem
linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi berikutnya.
Stewart(dalam Fishman (ed) 1968)
mengunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis, yaitu
(1) standardisasi, (2) otonimi, (3) historisitas, dan (4) vitalitas.
Standardisasi atau pembakuan adala adanya modifikasi dan peneriman terhadap
sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma
yang menentukan pemakaian “bahasa yang benar” (bandingkan Fishman (ed)
1968:534).
Dasar kedua dalam penjenisan sosiologis ini adalah otonomi atau keotonomian
sebuah sistem liguistik itu memiliki kemandirian sistem yang tidak berkaitan
dengan bahasa lain (Fishman 1968:535)
Dasar ketiga dalam penjenisan sosiologi bahasa adalah faktor historisitas
kalau diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa
yang lalu (Fishman 1968:535)
Dasar keempat dalam penjenisan bahasa secara sosiologis adalah faktor vitalitas atau keterpakaian. Menurut Fishman (1968:536) yang dimaksud dengan
vitalitas adalah pemakaian sistem linguistik oleh satu masyarakat penutur asli
yang tidak terisolasi. Jadi, unsur vitalitas ini mempersoalkan apakh sistem
linguistik tersebut memiliki penutur asli yang masih menggunakan atau tidak.
2.2.2 Jenis Bahasa Berdasarkan Sikap Politik
Berdasarkan sikap politik atau
sosial politik kita dapat membedakan adanya bahasa
nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Perbedaan ini
dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat kaitannya dengan
kepentingan kebangsaan.
Sebuah sistem linguistik disebut
sebagai bahasa nasional, sering kali juga disebut sebagai bahasa kebangsaan,
adalah kalau sistem linguistik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti
kenegaraan ) sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu. Pengangkatan
sebuah sistem linguistik menjadi bahasa nasional adalah berkat sikap dan
pemikiran politik, yaitu agar dikenal sebagai sebuah bangsa (dengan negara
berdaulat dan berpemerintahan sendiri) berbeda dengan bangsa lainnya.
Yang dimaksud dengan bahasa negara adalah suatu sistem
linguistik yang secara resmi dalam undang-undang dasar sebuah negara di
tetapkan sebagai alat komukasi resmi sebuah kenegaraan. Artinya, segala urusan
kenegaraan, administrasi kenegaraan, dan kegiatan-kegiatan kenegaraan dijalankan
dengan menggunakan bahasa itu. Pemilihan dan penetapan sebuah sistem linguistik
menjadi bahasa negara biasanya dikaitan dengan kerterpakaian bahasa itu yang
sudah merata diseluruh wilayah negara itu.
Yang dimaksud dengan bahasa resmi
adalah sebuah sistem linguistik yang di tetapkan untuk digunakan dalam suatu
pertemuan, seperti seminar, konferensi, rapat, dan sebagainya. Dalam sidang
internasional di PBB bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Spanyol, bahasa
Cina, dan bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi persidangan. Jadi artinya
seorang pembicara dalam sidang PBB itu boleh menggunakan salah satu kelima
bahasa itu. Untuk menyampaikan pidato atau sambutannya. Dalam konteks sosial di
I ndonesia, bahasa negara dapat diidentikkan sama dengan bahasa resmi, yaitu
bahasa indonesia.
Pengangkatan satu sistem
linguistik sebagai bahasa persatuan
adalah dilakukan oleh suatu bangsa dalam kerangka perjuangan, dimna bangsa yang
berjuang itu merupakan masyarakat yang multilingual. Kebutuhan akan adanya
sebuah bahasa persatuan adalah untuk mengikat dan mempererat rasa persatuan
sebagai satu kesatuan bangsa.
2.2.3 Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan
Berdasarkan tahap pemerolehannya
dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa oertama, dan bahasa kedua (ketiga dan
seterusnya), Dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan bahasa pertama adalah
mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu adalah
satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu
atau keluarga yang memelihara seorang anak. Bahasa ibu tidak mengacui pada
bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu, melainkan mengacu kepada
bahasa yang dipelajari seorang anak dalam keluarga yang mengasuhnya.
Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat B1) karena
baasa itu lah yang pertama-tama dipelajarinya. Kalau kemudian si anak
mempelajari bahasa lain, yang bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang
dipelajarinya itu disebut bahasa kedua
(disingkat B2). Andai kata kemudian sianak mempelajari bahasa lainya lagi, maka
bahasa yang dipelajari terakhir ini disebut bahasa
ketiga (disingkat B3).
Yang disebut bahasa asing akan selalu merupakan bahasa kedua bagi seorang anak.
Disamping itu penanaman bahasa asing ini juga bersifat politis, yaitu bahasa
yang digunakan oleh bangsa lain. Maka itu bahasa Malaysia, bahasa Arab, bahasa
Inggris, dan bahasa Cina adalah bahasa asing bagi bangsa indonesia. Sebuah
bahasa asing, bahasa yang bukan milik suatu bangsa (dalam arti kenegaraan)
dapat menjadi bahasa kedua.
2.2.4 Lingua Franca
Yang dimaksud dengan lingua franca
adalah sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi
sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang berbeda. Dulu
bahasa latin di Eropa adalah sebuah lingua franca bagi suku-suku bangsa yang ad
diwilayah nusantara.
Pemilihan satu sistem linguistik
menjadi sebuah lingua franca adalah berdasarkan adanya kesaling pahaman
diantara sesama mereka. Karena dasar pemilihan lingua franca adalah
keterpahaman atau kesaling pengertian dario para partisipan yang
menggunakannya, maka “bahasa” apapun, baik sebuah langue, pijin, maupun kreol,
dapat menjadi sebuah lingua franca itu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasa diatas dapat pula kita ambil kesimpulan bahwa variasi atau
ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa
itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi
sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua,
variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsunya sebagai alat
interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini
dapat saja diterima atau pun ditolak.
Dapat juga disimpulkan bahawa yang disebut dengan jenis bahasa itu
meryupakan macam – macam bahasa yaitu Penjenisan bedasarkan faktor sosiologis,
artinya penjenisan itu tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi
juga bedasarkan faktor sejarahnya,kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan
pewarisan dari satu generasi berikutnya. Berdasarkan sikap politik atau sosial
politik kita dapat membedakan adanya bahasa
nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Perbedaan ini
dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat kaitannya dengan
kepentingan kebangsaan. Berdasarkan tahap pemerolehannya dapat dibedakan adanya
bahasa ibu, bahasa oertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), Dan
bahasa asing. Lingua franca adalah sebuah sistem linguistik yang digunakan
sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa
ibu yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA