-->

ads

Makalah Konflik Industrial

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Reformasi di Indonesia yang terjadi sejak tahun 1998, diakui telah menghasilkan berbagai perubahan luar biasa, termasuk di dalamnya adalah gerakan buruh  setidaknya telah membawa angin segar bagi buruh.  Salah satu perubahan yang cukup mencolok adalah munculnya banyak organisasi buruh, hingga pada pada akhir tahun 1998 telah terbentuk 14 organisasi buruh dari yang semula hanya satu organisasi pada masa orde baru. Bahkan sampai tahun 2002, telah terbentuk 71 serikat pekerja berbentuk federasi dan lebih 100 serikat pekerja tingkat nasional  menurut jenis usaha non afiliasi dan sekitar 1.200 SP Tingkat Perusahaan  (SPTP) yang independen atau berdiri sendiri yang tetap terdaftar dan masih berfungsi. Beberapa serikat pekerja (SP) baru justru lebih mengutamakan pembentukan organisasi  di perusahaan-perusahaan yang telah ada FSPSI, SPSI atau SPTP, sehingga satu perusahaan bisa memiliki lebih dari satu SP. Akibatnya justru semakin memperlemah solidaritas di kalangan buruh, karena masing-masing organisasi serikat buruh lebih berkonsentrasi untuk merebut anggota dari pada memperjuangkan tuntutan dan aspirasi buruh.  Oleh karena itu, pasca 1998 tema utama yang sering muncul dalam berbagai tulisan tentang gerakan buruh adalah persoalan  perpecahan di kalangan kelas buruh tersebut.
            Lebih dari sepuluh tahun setelah era kebebasan berserikat dimulai, maka gerakan buruh di Indonesia dilukiskan sebagai gerakan yang tercerai berai dan tidak mampu menggunakan kebebasannya untuk membangun kekuatan politik yang diperhitungkan.  Salah satu indicator terjadinya fragmentasi yang tampak adalah adanya kompetisi dan konflik di antara organisasi serikat buruh yang semakin banyak bermunculan. Banyak ahli, pengamat dan bahkan pengurus serikat buruh sendiri yang menilai munculnya organisasi serikat buruh bak jamur di musim hujan ini mengarah pada terjadinya perpecahan dan berakibat akan lemahnya kekuatan politik kelas buruh.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konflik dan Konflik Industrial
Marx  mengakui bahwa konflik bersumber dari perubahan yang terjadi dalam Model produksi (mode of production), komunis primitif, kuno, feodal, kapitalis dan komunis.   Model produksi (mode of production) terdiri atas kekuatan produksi (forces of production) dan hubungan/relasi produksi (relations of production). Kekuatan produksi meliputi sarana produksi (means of production) yaitu bahan mentah dan alat produksi (instrument of production) atau sarana/alat produksi yang mengolah. Kekuatan produksi menghasilkan komoditas yang dibutuhkan masyarakat pada waktu itu, dan kekuatan produksi ini akan menentukan bentuk hubungan/relasi produksi. Hanya ada dua kelompok dalam relasi produksi ini, yaitu kelompok yang memiliki/pemilik dan kelompok yang tidak memiliki/bukan pemilik. Inilah yang oleh Marx disebut struktur kelas.
Pemisahan antara kelompok sosial yang menghasilkan profit – dan karenanya menguasai kapital- dan kelompok sosial yang hanya mampu menjual tenaga kerja saja, menentukan hubungan kelas, yang menjadi basis eksploitasi dan konflik sosial dalam masyarakat modern. Di dalamnya menyangkut relasi sosial : pertama, hubungan-hubungan produksi yang bersifat primer seperti hubungan buruh dan majikan; kedua, hubungan-hubungan produktif yang bersifat sekunder seperti serikat buruh, asosiasi pemilik modal dan pola-pola dasar kehidupan keluarga yang berkaitan erat dengan sistem produksi kapitalistik; ketiga, hubungan-hubungan politik dan sosial yang bersumber dari hubungan produksi primer dan sekunder, lembaga-lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga sosial lainnya yang mencerminkan hubungan buruh dan majikan. Itulah pandangan teori Marxian.
Sementara konflik adalah terbangunnya hubungan-hubungan beberapa pihak dalam arena dan struktur sosial tertentu akibat adanya perbedaan kepentingan dan tujuan sebagai bentuk penerjemahan kebutuhan yang diperjuangkan secara individual dan maupun kolektif (Susan, 2009, Bartos and Wehr, 2003; Burton, 1990)  Dahrendorf berpendapat bahwa, konflik hadir dalam masyarakat dan konteks wilayah sosial (social field) yang mana ada hubungan-hubungan sosial khusus seperti arena sosial pertentanggaan, arena sosial sekolah, arena sosial perkantoran, dan arena sosial industri. Dahrendorf menyebutnya sebagai “integrated into a common frame of reference“ (Dahrendorf, 1959: 165). Berbagai dimensi konflik tersebut memiliki karakter sosiologis dan dinamika yang unik. Pada level praktis seperti pada usaha pemecahan masalah, setiap konteks dimensi konflik membutuhkan model pengelolaan konflik yang spesifik juga.
Dalam kaitannya dengan konflik dalam konteks wilayah sosial industri, Ralf Dahrendorf melalui buku fenomenalnya mengenai Conflict and Industrial Conflict (1959) memperlihatkan bagaimana konflik industrial terbangun melalui proses dari ketidakpuasan individual buruh, menuju pada ketidakpuasaan kolektif yang tidak teroganisir, dan sampai pada tingkat pengorganisasian ketidakpuasan kolektif buruh dalam rangka perjuangan untuk mencapai  tujuan.
Menurut Dahrendorf, otoritas tidak konstan karena terletak pada posisi, bukan dalam diri orangnya, sehingga seseorang yang berwenang dalam suatu lingkungan tertentu tidak harus memegang posisi otoritas di dalam lingkungan yang lain, begitu pula orang yang menempati posisi subordinat dalam suatu kelompok belum tentu subordinat pada kelompok lain. Pendapat ini berasal dari argumen Dahrendorf yang menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang disebut asosiasi yang dikoordinasikan secara imperative atau dikenal dengan ICAs (Imperatively Coordinated Associations).
Asosiasi yang dikoordinasikan secara imperative (ICAs) terbangun dalam suatu proses sosiologis yang spesifik dan sistematis dalam satu wilayah sosial. Pada awalnya di dalam suatu wilayah sosial, seperti perusahaan, para buruh yang berada pada posisi diatur dan disubordinasi (the ruled class) mulai mendapatkan kesadaran bahwa posisi dan hak mereka tertindas. Walaupun demikian mereka belum mempunyai dan membangun kepentingan melakukan perubahan posisi ketertindasan tersebut. Mereka hanya memiliki kepentingan (latent interest), yaitu berada di level individu, muncul di bawah sadar. Kepentingan semu tidak hanya terbatas pada satu individu buruh, namun tersebar pada mereka yang merasa ditindas sebagai kelompok subordinasi. Sehingga menciptakan kelompok semu pula (quasi groups).  Kepentingan semu dari kelompok semu pada gilirannya mulai mengalami aktualisasi secara kolektif menuju menjadi kepentingan yang terwujudkan (manifest interest). Proses penyadaran dilakukan oleh beberapa orang yang terlebih dulu mengerti kepentingan yang harus diperjuangkan. Mereka menciptakan kelompok yang benar-benar sadar pada kepentingan bersama dan perlu diperjuangkan. Proses ini menumbuhkan bentuk kesadaran pada kepentingan yang nyata, yaitu lepas dari ketertindasan. Pada fase inilah terjadi proses pembentukan kelompok terorganisir, kelompok kepentingan (interest groups), (ICAs) yang siap melakukan gerakan perlawanan terhadap posisi dominan kelompok teorganisir lainnya. Seperti kelompok terorganisir buruh terhadap kelompok terorganisir pengusaha.
Dalam konteks yang lebih besar, konflik industrial melibatkan pihak-pihak yang membawa angka kepentingan dan tujuan yang saling berseberangaan. Laporan penelitian berjudul Pemetaan dan Penyusunan Model Penyelesaian Konflik Industrial oleh Sutinah, dkk. (2009) memperlihatkan bahwa isu-isu yang dominan dalam konflik industrial adalah upah dan status buruh kontrak. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik industrial adalah buruh berhadapan dengan pengusaha dan pemerintah. Posisi buruh cukup lemah karena perusahaan mendapatkan dukungan dari pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang menguntungkan perusahaan seperti kasus SKB 4 Menteri. Konflik buruh dengan perusahaan yang didukung oleh pemerintah dari setiap periode kekuasaan di Indonesia terus direproduksi sehingga fenomena perlawanan dan demonstrasi buruh terus berulang dan terus mengakibatkan kerugian-kerugian besar, baik buruh maupun perusahaan. Pada konteks ini, menjadi penting untuk memahami bahwa  konflik industri secara mekanistik melibatkan isu-isu yang terpolakan dan penempatan buruh, perusahaan, dan pemerintah sebagai pihak berkonflik. Industri sebagai proses ekonomi dalam bidang produksi masal baik manufaktur, pertanian, dan alam merupakan bagian integral dari sistem ekonomi nasional yang diatur oleh pemerintah.
Sebagaimana pemikiran Dunlop (1958) tentang sistem hubungan industrial yang interdependen terdapat tiga pelaku utama, yaitu buruh, para manajer dan  organisasi perwakilan mereka, bersama-sama dengan badan pemerintah tertentu, semuanya saling  berinteraksi untuk menciptakan jaringan ketentuan yang mengatur hubungan mereka di tempat kerja, ketentuan tersebut merupakan keluaran dari sistem itu sendiri.  Dari perumusan konsep Dunlop tentang hubungan industrial jelas terlihat ada 3 aktor atau pelaku, yaitu pemerintah, manajemen dan buruh.
Graham Hancock (2003) dalam Dewa-Dewa Pencipta Kemiskinan, menjelaskan bahwa pada konteks fungsi dasar negara, pemerintah melalui berbagai peraturannya memiliki kepentingan agar proses industri berjalan dengan lancar dan berhasil, sehingga pendapatan nasional bisa besar dan ditingkatkan.  Namun demikian dalam sistem ekonomi neo klasik (neo-liberal), negara diminta oleh pasar agar boleh menciptakan peraturan yang merugikan proses ekonomi natural seperti memberi subsidi pada petani, atau pun subsidi minyak. Termasuk di dalamnya adalah pengaturan sistem hubungan kerja buruh dan perusahaan. SKB 4 Menteri, sebagai kasus terkini, menjadi relevan dengan pendapat Hancock di atas, menjadi bukti empiris bahwa negara keluar dari intervensi pengaturan sistem hubungan kerja termasuk di dalamnya adalah isu penentuan besaran upah. Pada perspektif inilah posisi buruh mendapatkan bentuk kejelasannya, yaitu tidak mendapatkan dukungan politis negara karena kepentingan pasar lebih kuat.
B.     Konflik Industrial dan  Akar Permasalahan
Akar masalah konflik (the root causes of conflict) bisa dikatakan sebagai sebab yang paling mendasar dari munculnya hubungan-hubungan konflik dan dinamika yang dikarakteri oleh berbagai bentuk strategi konflik. perspektif structural dalam sosiologi konflik memiliki pandangan bahwa akar masalah konflik selalu berkaitan dengan kekuasaan (power) dan angka kepentingan di dalamnya (Rubenstein, 1996). Kekuasaan secara sosiologis dimanifestasikan pada bentuk wewenang legal formal, dan modal-modal ekonomi dan budaya. Walaupun demikian dalam konteks konflik industrial, kekuasaan lebih didefiniskan oleh wewenang leghal formal negara dan modal ekonomi pasar. Kekuasaan legal formal negara yang mampu menciptakan regulasi bekerjasama dengan kekuasaan ekonomi pasar yang bisa menentukan keberhasilan ekonomi suatu negara. Pada pengertian struktural ini, bisa dilihat bagaimana dua kekuasaan tersebut melakukan perselingkuhan untuk kepentingan dan tujuan masing-masing pemegang kekuasaan.
Dalam konteks hubungan industri, kekuasaan yang hanya menguntungkan diri sendiri dan mengabaikan fakta hubungan-hubungan kerja memiliki kecenderungan menciptakan kekerasan (Sale, 2003). Johan Galtung membagi dua konsep kekerasan, yaitu kekerasan struktural dan langsung. Kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan kekuasaan sumber (resource power), dan kekerasan struktural yang didasarkan pada penggunaan kekuasan struktural. Kekuasaan sumber dibedakan menjadi kekuasaan punitif yang bersifat menghancurkan, kemudian kekuasaan ideologis dan kekuasaan renumeratif. Baik kekuasaan sumber dan kekuasan struktural saling berkaitan, saling memperkuat. Galtung mengungkapkan kekerasan struktural dan personal dapat menghalangi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan, dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul ke permukaan social.
Pada saat negara dan pasar menggunakan kekuasaan mereka untuk menciptakan kekerasan dalam bentuk pemberian upah yang kecil dan tiadanya jaminan keselamatan kerja pada para buruh, yang terjadi adalah proses respon dalam bentuk kekerasan juga. Akibatnya pola hubungan konflik adalah conflict spiral, suatu kondisi yang membuat para pihak berkonflik terus melakukan aksi balasan.   Pada kasus-kasus aksi buruh yang muncul dalam bentuk anarkisme, perusakan kantor perusahaan, dan berbagai bentuk aksi kekerasan pada pengertian ini tidak lebih dari respon terhadap praktek kekerasan pemerintah dan perusahaan terhadap buruh.
C.    Langkah – Langkah mengatasi Konflik Industrial.
Setiap perselisihan, baik dalam masyarakat umum maupun dalam hubungan industrial tentunaya memerlukan upaya, sistem atau proses penyelesaiannya. Berikut ini akan diuraikan bentuk-bentuk penyelesaian tersebut dengan dua kategori bahasan, yaitu penyelesaian perselisihan secara Bipartite dan penyelesaian perselisihan secara Tripartite.
1.      Penyelesaian Perselisihan Secara Bipartite.
Bisa dikatakan penyelesaian secara Bipartite dapat diartikan sebagai perselisihan yang penyelesaiannya diupayakan secara internal yakni antara pihak pekerja dengan pemilik perusahaan. Upaya penyelesaian ini dapat ditentukan dalam Peraturan Perusahaan dengan dasar Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : 02/MEN/1978 yang telah mendapatkan persetujuan oleh Departemen Tenaga Kerja. Dalam penyelesaian musyawarah untuk mencapai mufakat adalah yang diutamakan, dimana pihak akan merundingkan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam penyelesain keluh kesah. Dan dalam penyelesaian secara Bipartite ini akan terlihat lebih mendekati kehendak dari para pihak, karena masing-masing dapat langsung berbicara dan dapat memperoleh kepuasan tersendiri secara murni karena tidak ada campur tangan dar pihak ketiga.
Namun, jika dihubungkan dengan kasus yang ada pada pembahasan sebelumnya. Kemungkinnan adanya musyawarah antar pekerja dengan pemilik perusahaan sangat sulit. Banyak faktor yang mempengaruhi mengapa tidak bisa terlaksananya musyawarah antara pekerja dengan pemilik perusahaan. Bisa saja karena sistem outsourching yang diterapkan dalam perusahaan tersebut.
2.      Penyelesaian Perselisiahan Secara Tripartite.
Pengertian penyelesaian perselisihan secara Tripartite yaitu bahwa perselisihan tersebut terjadi antara pekerja dengan pengusaha tidak dapat diselesaikan secara Bipartite, maka upaya selanjutnya diselesaikan melalui forum yang dihadiri oleh wakil pemilik perusahaan, wakil perkerja (SPSI) dan wakil dari pemerintahan (Departemen Tenaga Kerja). Penyelesaian ini diadakan di Kantor Departemen Tenaga Kerja di tingkat daerah yang dipimpin oleh pegawai perantara.
Menurut pasal 4 Undang-undang Nomor 22 tahun 1957, menyatakan bahwa setelah menerima surat pemberitahuan dari perusahaan tentang pernyataan bahwa telah diadakan perundingan yang langsung antara keduanya (disini berarti pekerja dan pemilik perusahaan) tidak memberikan hasil dan mereka tidak bermaksud menyerahkan perselisihannya kepada Dewan Pemisah, maka pegawai perantara yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja mengadakan penyelidikan tentang permasalahan perselisihan dan mengenai sebab-sebabnya, selambatnya 7 hari terhitung dari tanggal penerimaan sudah harus diperantarai. Apabila pegawai perantara belum dapat menyelesaikan persoalannya, maka persoalan tersebut diserahkan kepada Panitia Penyelesian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dengan memberitahukan kepada pihak-pihak yang berselisih.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Hubungan industrial adalah seluruh hubungan kerjasama antara semua pihak yang bersangkutan dalam proses produksi di suatu perusahaan. Penerapan hubungan industrial merupakan perwujudan pengakuan dan pengakuan atas hak dan kewajiban antara pekerja dengan pemilik perusahaan untuk menjamin kelangsungan dan keberhasilan perusahaan.  Peselisihan yang dilaksanakan dengan cara unjuk rasa atau demonstrasi pada dasarnya kurang sesuai dengan pola hubunga kerja yang berasaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang pada dasarnya segala permasalahan diselesaikan secara musyawarah untuk memcapai mufakat. Tetapi mengingat bagamana tipe manusia yang bekerja sebagai pekerja dalam perusahaan yang akan berhadapan dengan kebijaksanaan para pengusaha dengan para stafnya, jelas musyawarah yang diharapkan sulit untuk dapat mencapai mufakat.
Permasalahan atau konflik yang terjadi antara karyawan atau karyawan dengan atasan yang terjadi karena masalah komunikasi harus di antisipasi dengan baik dan dengan system yang terstruktur. Karena jika masalah komunikasi antara atasan dan bawahan terjadi bias-bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya mogok kerja, bahkan demo.
B.     Saran.
Biasanya masalah timbul karena lingkungan yang kurang kondusif di suatu perusahaan. Misalnya, kondisi cahaya yang kurang, atau sirkulasi yang kurang baik, dan temperature ruangan yang tinggi sangat mungkin untuk meningkatkan emosi seseorang, jadi kondisi dari lingkungan juga harus di perhatikan. Konflik dalam perusahaan juga sering terjadi antar karyawan, hal ini biasanya terjadi karena masalah diluar perusahaan, misalnya tersinggung karena ejekan, masalah ide yang dicuri, dan senioritas. Perusahaan yang baik harus bisa menghilangkan masalah senioritas dalam perusahaan. Hal ini dapat meminimalisir masalah yang akan timbul, kerena dengan suasanya yang harmonis dan akrab maka masalah akan sulit untuk muncul. Dan untuk mengatasi kesalahpahaman dan salah informasi mengenai peraturan pemerintah tentang PPHI hendaknya pemerintah melakukan sosialisasi dan menyediakan pedoman pemahaman dan pelaksanaan semua peraturan.


DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben, 2003. Teori Kritis Sosial, Kritik, Penerapan dani Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana,
 Al Hambra, Makinnuddin,   2002. ”Polarisasi(Gerakan) Buruh: Momentum Negara untuk Menekan Buruh” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7, No. 1 Februari 2002. Bandung: Akatiga,
Amiruddin, 1999. “Reformasi: Anti Gerakan Buruh, ” Diponegoro 74, dalam Jurnal Hukum dan Demokrasi, Jakarta: YLBHI,
Arief, Sritua,  1990. Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik.  Jakarta: UIP,
Borrel, Monique J.,  2004. “Industrial Conflict, Mass Demonstrations, and Economic and Political Change in Postwar France, An Econometric Model,  University of California International and Area Studies Digital Collection. Dalam http://repositories.cdlib.org/uciaspubs/articles/1,
Basrowi & Sukidin,  2003. Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif. Surabaya: Insan Cendekia,
BatuBara, Cosmas,  2008. Hubungan Industrial, Seri Manajemen SDM, No. 14, Jakarta: PPM,
Camara, Dom Helder, 2005. Spiral Kekerasan. Jogjakarta: Resist Book.
Dahrendorf, Ralf, 1986. Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisis Kritik.  Jakarta: CV Rajawali Press,
Endres, Ben, 1996, Habermas and Critical Thinking, http: //www.ed.uiuc.edu/EPS-Yearbook/96_docs/endres.
Giddens, Anthony dan Jonathan Turner, 2008. Social Theory Today. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel