Makalah Perkembangan Bank Sebelum dan Sesudah Deregulasi
Sunday, October 30, 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Kondisi dunia perbankan di Indonesia telah
mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ini selain disebabkan
oleh perkembangan internal dunia perbankan, juga tidak terlepas dari pengaruh
perkembangan di luar dunia perbankan, seperti sektor riil dalam perekonomian,
politik, hukum dan sosial. Perkembangan faktor- faktor internal dan eksternal
perbankan tersebut menyebabkan kondisi perbankan di Indonesia secara umum dapat
dikelompokkan dalam empat periode. Masing – masing periode memiliki ciri – ciri
khusus yang tidak dapat di samakan dengan periode lainnya. Serangkaian paket –
paket deregulasi di sector riil dan moneter yang di mulai sejak tahun 1980- an
serta terjadinya krisis ekonomi di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an adalah
dua peristiwa utama yang telah menyebabkan munculnya empat periode kondisi
perbankan di Indonesia sampai dengan tahun 2000. Keempat periode ini
adalah :
-
Kondisi perbankan di Indonesia sebelum
serangkaian paket- paket deregulasi di sector rill dan moneter yang di mulai sejak
tahun 1980-an.
-
Kondisi perbankan di Indonesia setelah
munculnya deregulasi sampai dengan masa sebelum terjadinya krisis ekonomi pada
akhir tahun 1990-an.
-
Kondisi perbankan di Indonesia pada masa
krisis ekonomi sejak akhir tahun 1990-an,
-
Kondisi perbankan di Indonesia pada saat
sekarang ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana kondisi perbankan di Indonesia dari masa
sebelum deregulasi sampai sesudah deregulasi
C.
TUJUAN PEMBAHASAN
- Untuk Mengetahui kondisi perbankan di Indonesia dari
masa sebelum dan sesudah deregulasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam dunia
Perbankan di Indonesia dalam kurung waktu belakangan ini mengalami berbagai
macam perubahan. Dalam pembahasan ini Kita bahas 4 macam periode yang pernah
terjadi di Indonesia :
1. Dari tahun 1988-1996 (sebelun deregulasi)
2. Dari tahun 1997-1998 (setelah deregulasi)
3. Dari tahun 1999-2002
4. Dari tahun 2002 sampai sekarang.
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari
zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu De javasche Bank, NV
didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul
Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai
pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar
negeri serta terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia
Belanda. Bank-bank yang ada itu antara lain:
1.De Javasce
NV
2.De Post
Poar Bank
3.Hulp en
Spaar Bank
4.De
Algemenevolks Crediet Bank
5.Nederland
Handles Maatscappi (NHM)
6.Nationale
Handles Bank (NHB)
7.De
Escompto Bank NV
8.Nederlansche
Indische Handelsbank
Di samping
itu, terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan orang-orang asing
seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut antara lain :
1.NV.
Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank
2.Bank
Nasional Indonesia
3.Bank Abuan
Saudagar
4.NV Bank
Boemi
5.The
Chartered Bank of India, Australia and China
6.Hongkong
& Shanghai Banking Corporation
7.The
Yokohama Species Bank
8.The Matsui
Bank
9.The Bank
of China
10.Batavia
Bank
Di zaman kemerdekaan,
perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi. Beberapa bank
Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman
awal kemerdekaan antara lain :
1. NV. Nederlandsch Indische Spaar En
Deposito Bank (saat ini Bank OCBCNISP), didirikan 4 April 1941dengan kantor
pusat di Bandung.
2. Bank Negara Indonesia, yang
didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal dengan BNI ’46.
3. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan
tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dari De Algemenevolks Crediet
Bank atau Syomin Ginko.
4. Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur
(MAI) tahun 1945 di Solo.
5. Bank Indonesia di Palembang tahun
1946.
6. Bank Dagang Nasional Indonesia tahun
1946 di Medan.
7. Indonesian Banking Corporation tahun
1947 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank Amerta.
8. NV Bank Sulawesi di Manado tahun
1946.
9. Bank Dagang Indonesia NV di
Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan Bank Pasifik.
10. Bank Timur NV di Semarang berganti
nama menjadi Bank Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun
1949.
Masing-masing periode mempunyai ciri
khusus yang tidak dapat disamakan dengan periode lainnya. Deregulasi di sektor
riil dan moneter yang dimulai sejak tahun 1980-an serta terjadinya krisis
ekonomi di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an adalah dua peristiwa utama yang
telah menyebabkan munculnya empat periode kondisi perbankan di Indonesia sampai
dengan tahun 2000.
Keempat periode itu adalah :
§ Kondisi perbankan di Indonesia
sebelum serangkaian paket – paket deregualsi di sektor riil dan moneter yang
dimulai sejak tahun 1980-an.
§ Kondisi perbankan di Indonesia
setelah munculnya deregulasi sampai dengan masa sebelum terjadinya krisis
ekonomi pada akhir tahun 1990-an.
§ Kondisi perbankan di Indoneisa pada
masa krisis ekonomi sejak akhir tahun 1990-an.
§ Kondisi perbankan di Indonesia pada
saat sekarang ini.
A.
Kondisi Sebelum Deregulasi Perbankan (Periode
1988 – 1996)
pada
masa ini sangat di pengaruhi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan politik dari
penguasa, yang dalam hal ini adalah pemerintah. Pada masa colonial kegiatan
perbankan di wilayah Hindia- Belanda ini terutama di arahkan untuk melayani
kegiatan usaha dari perusahaan – perusahaan besar milik kolonial di wilayah
jajahannya serta membantu administrasi anggaran milik pemerintah. Dengan
demikian fungsi utama perbankan pada masa penjajahan adalah :
ü Memobilisasikan
dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja
perusahaan – perusahaan besar milik kolonial
ü Memberikan jasa-
jasa keuangan kepada perusahaan – perusahaan besar milik kolonial, seperti
giro, garansi bank, pemindahan dana dan lain- lain
ü
Membantu
pemindahan dana jasa modal dari wilayah kolonial ke Negara penjajah
Sebagai tempat sementara dari dana hasil pemungutan pajak, baik pajak dari
perusahaan – perusahaan maupun dari masyarakat pribumi, untuk kemudian dikirim
ke negara penjajah.
ü
Mengadministrasikan
anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah kaolonial.
Fungsi utama perbnkan pada masa setelah kemerdekaan sampai dengan sebelum
adanya deregulasi tidak banyak mengalami perubahan. Orientasi kegiatan perbankan
masih banyak dipengaruhi oleh pola yang diterapkan pada masa penjajahan. Dengan
demikian fungsi utamanya adalah:
§ Memobilisasikan
dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja
perusahaan – perusahaan besar milik pemerintah dan swasta.
§ Memberikan jasa-
jasa keuangan kepada perusahaan- perusahaan besar
§ Mengadministrasikan
anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah.
§ Menyalurkan dana
anggaran untuk membiayai program dan proyek pada sektor- sektor yang ingin di
kembangkan oleh pemerintah Bank – bank yang ada tidak secara tegas di arahkan
untuk memobilisasikan dana seluas- luasnya dari seluruh anggota masyarakat, dan
juga tidak diarahkan untuk mengembangkan perekonomian rakyat seluas- luasnya.
Kebijakan
yang terkait dengan sektor perbankan hanya ditekanakan pada kegitan usaha-
usaha besar dan program- program pemerintah. Selain karena pola kebijakan
otoritas moneter pada waktu itu yang belum mementingkan mobilisasi dari dana
masyarakat luas, keadaan diatas juga disebabkan oleh belum adanya perangkat
peraturan dan perundang- undangan yang secara khusus mengatur dunia perbankan.
Secara lebih rinci keadaan perbankan saat itu adalah sebagai berikut:
a)
Tidak
adanya peraturan perundang- undangan yang mengatur secara jelas tentang perbankan
di Indonesia
b)
Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank- bank tertentu
c)
Bank
banyak menanggung program-program pemerintah
d)
Instrumen
pasar uang yang terbatas
e)
Jumlah
Bank Swasta yang relatif sedikit
f)
Sulitnya
Pendirian bank baru
g)
Persaingan
antar bank yang tidak ketat
h)
Posisi
tawar- menawar bank yang relative lebih kuat daripada nasabah
i)
Prosedur
berhubungan dengan bank rumit
j)
Bank
bukan merupakan alternative utama bagi masyarakat luas untuk menyimpan dan
memimjam dana
k)
Mobilisasi
dana lewat perbankan yang sangat rendah
Pada 1983,
tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank
bebas menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan
pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali
untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan
ekspor. Tahap awal deregulasi tersebut berhasil menumbuhkan iklim persaingan
antar bank.
Banyak bank,
terutama bank swasta, mulai bangkit untuk mengambil inisiatif dalam menentukan
arah perkembangan usahanya. Seiring dengan itu, BI memperkuat sistem pengawasan
bank yang di antaranya melalui penyusunan dan pemeliharaan blacklist yang
diberi nama resmi Daftar Orang-Orang yang Melakukan Perbuatan Tercela (DOT) di
bidang perbankan. Mereka yang masuk dalam daftar ini tidak boleh lagi
berkecimpung dalam dunia perbankan.
B. Kondisi Sesudah
Deregulasi (Periode 1997 – 1998 )
Pertumbuhan pesat yang terjadi pada periode 1988 –
1996 berbalik arah ketika memasuki periode 1997 – 1998 karena terbentur pada
krisis keuangan dan perbankan. Bank Indonesia, Pemerintah, dan juga lembaga‐lembaga
internasional berupaya keras menanggulangi krisis tersebut, antara lain dengan
melaksanakan rekapitalisasi perbankan yang menelan dana lebih dari Rp 400
triliun terhadap 27 bank dan melakukan pengambilalihan kepemilikan terhadap 7
bank lainnya.
Tingkat inflasi yang tinggi serta
kondisi ekonomi makro secara umum yang tidak bagus terjadi bersamaan dengan
kondisi perbankan yang tidak dapat memobilisasi dana dengan baik. Fenomena yang
terjadi pada masa sebelum deregulasi tersebut seolah- olah menjadi suatu
lingkaran yang tidak ada ujung pangkalnya serta saling mempengaruhi. Untuk
mengatasi situasi ynag serba tidak mengunungkan ini cara yang ditempuh
pemerintah pada waktu itu adalah dengan melakukan serangkaian kebijakan berupa
deregulasi di sektor rill dan moneter. Pada tahap awal deregulasi lebih cepat
dampaknya pada sektor moneter melalui serangkaian perubahan di dunia perbankan.
Meskipun istilah yang digunakan adalah “deegulasi” tidak berarti bahwa
perubahan yang dilakukan sepenuhnya berupa pengurangan pembatasan atau
pengaturan di dunia perbankan. Perubahan yang terjadi juga termasuk peningkatan
pengaturan pada bidang- bidang tertentu, sehingga deregulasi ini lebih tepat
diartikan sebagai perubahan- perubahan yang dimotori oleh otoritas
moneter untuk meningkatkan kinerja dunia perbankan, dan pada akhinya juga
diharapkan akan meningkatkan kinerja sektor rill. Kebijakan deregulasi yang telah
dilakukan dan terkait dengan dunia perbankan, antara lain adalah:
a. Paket
1 Juni1983 yang berisi tentang
a)
Penghapusan
pagu kredit dan pembatasan aktiva lain sebagai instrumen pengendali Jumlah Uang
Beredar (JUB).
b)
Pengurangan
KLBI kecuali untuk sektor- sektor tertentu.
c)
Pemberian
kebebasan bank untuk menetapkan suku bunga simpanan dan pinjaman kecuali untuk
sektor- sektor tertentu.
b.
Bank Indonesia sejak 1984 mengeluarkan
SBI
c. Bank
Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas diskonto oleh BI.
d. Paket
27 Oktober 1988 yang berisi tentang:
1.
Pengerahan dana masyarakat, yang meliputi
o
Kemudahan
pembukaan kantor bank
o
Bank
pemerintah, bank pembangunan daerah, bank swasta nasional dan bank koperasi
dapat membuka cabang di seluruh wilayah Indonesia.
o
Pembukaan
kantor cabang pembantu cukup dilakukan dengan memberi tahu Bank Indonesia
o
Kejelasan
pendirian bank swasta
o
Modal
di setor bank umum minimal 10 miliar
o
Modal
di setor BPR minimal Rp 50 juta
o
BPR
dapat ditingkatkan menjadi bank umum
o
BPR
dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan
tabungan. - Pembukaan kemungkinan untuk mendirikan bank
campuran antara bank nasional dengan bank asing
o
Bank
dan Lembaga Keuangan Bukan Bank bisa menerbitkan sertifikat deposito tanpa
memerlukan izin
o
Semua
bank dapat memberikan layanan Tabanas dan tabungan lainnya.
2.
Efisiensi Lembaga Keuangan yang meliputi
o BUMN dan BUMD
bukan bank dapat menempatkan sampai dengan 50 % dananya pada bank nasional
manapun.
o Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) bagi bank dan lembaga keuangan bukan bank
3.
Pengendalian Kebijakan moneter yang meliputi
o Likuiditas wajib
minimum perbankan dan lembaga keuangan bukan bank diturunkan dari 15 % menjadi
2 % dari jumlh dana pihak ketiga
o SBI dan SBPU yng
semula hanya berjangka waktu 7 hari, sekarang di tambah dengan berjangka waktu
sampai dengan 6 bulan
o Batas maksimum
pinjaman antarbank ditiadakan
4.
Pengembangan pasar modal, yang meliputi
o
Bunga
deposito berjangka dan sertifikat deposito dikenakan pajak penghasilan
sebesar 15 % agar dunia perbankan mendapat perlakuan yang sama dengan pasar
modal
o
Penangguhan
pengenaan pajak penghasilan terhadap bunga tabungan
o
Perluasan
modal bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat dilakukan dengan prnjualan
saham baru melalui pasar modal di samping peningktan penyertaan oleh pemegang
saham.
e.
Paket 20 Desember 1988 yang berisi tentang :
1.
Aturan
peyelenggaraan bursa efek oleh swasta
2.
Alternatif
sumber pembiyaan berupa sewa guna usaha, anjak piutang, modal
ventura,perdagangan surat berharga, kartu kredit, dan pembiayaan konsumen
3.
Bank
dan Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat melakukan kegiatan perdagangan surat
berharga, anjak piutang , kartu kredit, dan pembiayaan konsumen.
4.
Kesempatan
pendirian perusahaan asuransi kerugian, asuransi jiwa, reasuransi, broker
asuransi, adjuster asuransi, dan aktuaria.
f.
Paket 25 Maret 1989 yang berisi tentang :
1.
Penyempurnaan
paket sebelumnya
2.
Bank
dan Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat memiliki net open position maksimum
sebesar 25 % dari modal sendiri.
g.
Paket 29 Januari 1990 yang berisi tentang penyempurnaan program perkreditan
kepada usaha kecil agar dilakukan secara
luas oleh semua bank.
h.
Paket 28 Februari 1991 yang berisi tentang penyempurnaan paket sebelumnya
menuju penyelenggaraan lembaga keuangan dengan prinsip kehati- hatian, sehingga
dapat tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan
i. UU No 7 Tahun
1992 tentang Perbankan j. Paket 29
Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi:
1.
Rasio
kecukupan modal (capital adequacy ratio)
2.
Batas
maksimum pemberian kredit (BMPK)
3.
Kredit
Usaha Kecil (KUK)
4.
Pembentukan
cadangan piutang
5.
Rasio
pinjaman terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio) Serangkaian
kebijakan di atas telah mengakibatkan banyak perubahan dalam perbankan di
Indonesia.
Ciri-ciri
kondisi perbankan pada masa sebelum deregulasi sudah tidak dapat ditemui lagi
pada masa setelah deregulasi, sehingga pada masa setelah deregulasi ini
perbankan di Indonesia mempunyai ciri- ciri sebagian berikut:
a.
Peraturan
yang memberikan kepastian hukum
b.
Jumlah
bank swasta bertambah banyak
c.
Tingkat
persaingan bank semakin kuat
d.
Sertifikat
Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang
e.
Kepercayaan
masyarakat terhadap bank yang meningkat
f.
Monilisasi
dana melalui sektor perbankan yang semakin besar Kondisi Saat Krisis Ekonomi
Mulai Akhir Tahun 1990-an Deregulasi dan penerapan kebijakan- kebijakan lain
yang terkait dengan sektor moneter dan rill telah menyebabkan sektor perbankan
lebih mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerja ekonomi makro di
Indonesia.
Mobilisasi dana melalui perbankan
menjadi lebih besar dan perbankan menjadi lebih besar peran sertanya dalam
menunjang kegiatan di sektor rill melalui peningkatan produksi barang dan
jasa. Deregulasi di atas ternyata kurang diimbangi dengan manajemen resiko
perbankan yang baik. Perkembangan perbankan yang cukup lama untuk dapat
mengangkat Indomesia menjadi Negara dengan tingkat kesejahteraan yang sama
dengan negara- negara lain di Asia Tenggara. Perkembangan ini dalam waktu yang
sangat singkat menjadi terhenti dan bahkan mengalami kemunduran total akibat
adanya krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an. Krisis ekonomi
yang pada awalnya hanya dipandang sebagai krisis moneter ini banyak menyebabkan
perubahan dalam kondisi perbankan di Indonesia, sehingga kondisinya saat masa
itu adalah sebagai berikut:
1.
Tingkat
kepercayaan masyarakat Dalam dan Luar Negri terhadap perbankan di Indonesia
menurun drastic
2.
Sebagian
besar bank dalam keadaan tidak sehat
3.
Adanya
Spread negative
4.
Munculnya
penggunaan peraturan perundangan yang baru
5.
Jumlah
bank menurun Kondisi Terakhir Tiga hal penting menandai kondisi terakhir sektor
perbankan di Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah:
a)
Selesainya
peyusunan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Munculnya API ini dipicu oleh
adanya krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia mulai
tahun 1997. Salah satu landasan penting penyusunan API ini adalah usaha Bank
Indonesia untuk menerapkan 25 Barel Core Princioles.
b)
Serangkaian
rencana dan komitmen pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia untuk membentuk atau
menyusun: - Lembaga penjamin simpanan, - Lembaga Pengawas perbankan
yang independent - Otoritas Jasa keuangan
c)
Kinerja
perbankan yang lebih menunjukkan kondisi masa peralihan atau awal masa
pemulihan dari krisis ekonomi ke arah kondisi perbankan yang lebih sesuai
dengan praktik- praktik perbankan yang lebih baik. Praktik perbankan yang lebih
baik ini antara lain mengrah kepada:
1)
Manajemen
Pengelolaan resiko yang baik.
2)
Struktur
perbankan nasional yang lebih baik.
3) Penerapan
prinsip kehati- hatian (prudential banking) yang konsisten
4)
Penyaluran dana masyarakat kea rah yang lebih
mencerminkan bank sebagai perantara keuangan (financial intermediary) dengan
tetap berlandaskan prinsip kehati- hatian.
Tabel 1. Perkembangan Bank di Indonesia, 1988-1993
Tabel 2 . Perkembangan Dana, Kredit,
Jumlah, Uang Beredar dan Tingkat Inflasi di Indonesia, 1988-93 (Milyar rupiah)
C. Periode 1999 – 2002
(Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an)
Berdasarkan
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan,
ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana
masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi
persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para
pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum
bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi
hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan
pelanggaran ketentuan perbankan.
Sebagai rangkaian kebijakan
deregulasi dengan mengantisipasi perkembangan sebagaimana diuraikan di atas,
pada 17 Desember 1990 Bank Indonesia menetapkan Pola Dasar Pengawasan dan
Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan pola pengawasan dan
pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk meningkatkan kedewasaan dan
kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab dalam mengamankan
kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.
Pola dasar
pengawasan dan pembinaan bank harus dikembangkan sebagai konsep yang
terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait. Untuk
meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan
Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan Pengawasan
dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang
mengacu pada standar perbankan internasional yang antara lain meliputi
ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan
Aktiva Produktif.
Bertalian
dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Perbankan 1992 yang menetapkan bahwa
bank pemerintah harus menyesuaikan bentuk hukum lembaga selambat-lambatnya
setahun sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut, Bank Indonesia membantu
bank-bank yang bersangkutan termasuk pemegang saham yang dalam hal ini diwakili
oleh Menteri Keuangan untuk melakukan persiapanpersiapan yang diperlukan dalam
rangka mewujudkan penyesuaian yang diwajibkan. Sebelum berakhirnya batas waktu,
ketujuh bank pemerintah telah dapat melakukan penyesuaian sehingga untuk
selanjutnya nama resmi yang digunakan oleh bank-bank tersebut adalah :
(i) Bank
Negara Indonesia (Persero)
(ii) Bank
Bumi Daya (Persero)
(iii) Bank
Rakyat Indonesia (Persero)
(iv) Bank
Dagang Negara (Persero)
(v) Bank Ekspor
Impor Indonesia (Persero)
(vi)Bank
Pembangunan Indonesia (Persero) dan
(vii)Bank
Tabungan Negara (Persero).
Krisis
perbankan yang demikian parah pada kurun waktu 1997 – 1998memaksa pemerintah
dan Bank Indonesia untuk melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka
melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Langkah
penting yang dilakukan sehubungan dengan itu adalah:
a) Angka pengaturan dengan menyusun
rencana implementasi yang jelas untuk memenuhi 25
b) Basel Core Principles for Effective
Banking Supervision yang menjadi standard internasional bagi pengawasan bank.
c) Meningkatkan infrastruktur sistem
pembayaran dengan mengembangkan Real Time Gross Settlements (RTGS)
i.
Menerapkan
bank guarantee scheme untuk melindungi simpanan masyarakat di bank
ii.
Merekstrukturisasi
kredit macet, baik yang dilakukan oleh BPPN, Prakarsa Jakarta maupun Indonesian
Debt Restrukturing Agency (INDRA)
iii.
Melaksanakan
program privatisasi dan divestasi untuk bankbank BUMN dan bank‐bank yang
direkap
iv.
Meningkatkan
persyaratan modal bagi pendirian bank baru.
D. Periode 2002 – Sekarang
Perjalanan
perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan tantangan dan kendala yang
harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku usaha dan pengusaha dari berbagai
sektor merevisi target pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya.
Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun ini dan
akibatnya dampak tersebut mulai dirasakan negara berkembang, khususnya
Indonesia.
Meskipun
dampak dirasakan belum separah yang dialami negara maju, dimana sumber
tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam
negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi
memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun depan,
sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi
dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis
ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di
dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime
mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor
dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara
maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis
keuangan global dan apalagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ternyata
betul saja, dampak krisis sempat memberikan sentimen buruk bagi lembaga
keuangan bank dan non bank di Indonesia. Pasar modal dalam negeri juga sempat
terkoreksi pada level yang paling buruk dampak menularnya kejatuhan pasar bursa
di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa dalam negeri sempat membuat otoritas
bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu dua hari.
Kepanikan Akibat Rumor Negatif
Muncul kabar
dan rumor negatif adanya redemption di pasar modal oleh para investor asing
guna menutupi keuangan di negaranya, telah membuat nilai tukar rupiah terus
melorot dan jatuhnya indek harga saham gabungan (IHSG).
Akibatnya,
kepanikan para nasabah perbankan dalam negeri bertambah dan mereka menilai
menyimpan dana di bank sudah tidak aman lagi.
Beberapa
kali pemerintah mencoba menyakinkan masyarakat, krisis yang terjadi tidak akan
menjadikan perekonomian Indonesia terpuruk sebagaimana yang terjadi di tahun
1998. Pasalnya fundamental ekonomi di Indonesia masih kuat dan perbankan masih
berjalan sehat.
Tingginya
intensitas rumor negatif yang beradar di masyarakat, akhirnya mempertegas
kondisi perbankan Indonesia sedang mengalami ketatnya likuiditas antar bank.
Gagal kriliring akibat kesulitan likuiditas yang dialami bank Century menjadi
bukti nyata dampak rumor telah meresahkan sektor perbankan. Maklum saja lembaga
perbankan sangat sensitif dengan kabar dan rumor tersebut.
Banyaknya
beredar rumor menjadi momok menakutkan bagi sektor perbankan dan akhirnya
membuat pemerintah geram. Kekesalan pemerintah terhadap penyebar rumor berbuah
hasil dengan ditangkapnya broker PT Bahana Securitas, Erick Jazier Adriansyah
pada awal November.
Modus yang
dilakukan si penyebar rumor likuiditas perbankan nasional ini dengan
menyebarkan surat elektronik kepada sejumlah kliennya yang isinya bahwa lima
bank dalam keadaan kesulitan keuangan, yaitu Bank Artha Graha Internasional,
Bank Bukopin, Bank Century, Bank Panin, dan Bank Victoria.
Dengan
alasan untuk mengembalikan kepercayaan nasabah dan menjaga dampak sistemik
keuangan di Indonesia, pemerintah mengambil alih bank Century melalui Lembaga
Penjamin Simpanan dengan menyuntikkan dana hingga Rp2 triliun. Kasus diambil
alihnya Century oleh pemerintah telah menjadi tamparan telah bagi Bank
Indonesia. Pasalnya, sebagai bank sentral, BI dinilai lemah dalam melakukan
pengawasan antar Bank. Anggota DPR Komisi XI Drajat Wibowo mengatakan, kasus
Century bukan hanya tanggung jawab penyebar rumor negatif tetapi juga tanggung
jawab BI, karena gagalnya melakukan pengawasan antar bank.
Di tengah
tingginya persaingan perbankan merebut pasar dalam negeri, ternyata dampak
krisis keuangan global membuat bisnis bank-bank BUMN harus direvisi dan bahkan
lebih bersikap hati-hati dalam mengucurkan kreditnya. Tidak mau menimbulkan
kredit macet dan tingginya Non Performance Loan (NPL), sekarang perbankan harus
lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan kreditnya.
Hal semacam
inilah yang dilakukan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang lebih selektif memberikan
kucuran kredit kepada nasabahnya, khususnya disektor perkebunan kelapa sawit.
“Kita tidak menurunkan kredit perbankan untuk sektor perkebunan, tetapi akan
lebih selektif” kata Direktur Risk Management Bank Mandiri Sentot A Sentausa.
Menurutnya,
apa yang dilakukan Bank Mandiri dengan cara tersebut sebagai upaya
mengantisipasi terjadinya kredit macet yang tinggi, sebagaimana pengalaman yang
terjadi di tahun 2005. Masih labilnya kondisi ekonomi dan ancaman lambatnya
pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang, membuat kebijakan Bank Indonesia
tentang kepemilikan tunggal (Single Pressence Policy/SPP) berjalan di tempat
dan tidak ada progress yang signifikan, kendatipun BI sudah mengundurkan target
penerapan peraturan tersebut dari semula pada akhir 2008 menjadi akhir 2010.
***
BAB III
PENUTUP
B. KESIMPULAN
Dengan
makalah yang kita susun diatas, maka dapat dipahami bersama bahwa kondisi
perbankan di Indonesia terbagi dalam empat bagian yaitu :
§ Kondisi perbankan di Indonesia
sebelum serangkaian paket – paket deregualsi di sektor riil dan
moneter yang dimulai sejak tahun 1980-an.
§ Kondisi perbankan di Indonesia
setelah munculnya deregulasi sampai dengan masa sebelum terjadinya krisis
ekonomi pada akhir tahun 1990-an.
§ Kondisi perbankan di Indoneisa pada
masa krisis ekonomi sejak akhir tahun 1990-an.
§ Kondisi perbankan di Indonesia pada
saat sekarang ini.
C. DAFTAR PUSTAKA
§ http://tsetyaernawati.wordpress.com/2011/07/20/perkembangan-perbankan-di-indonesia/
§ http://p21din.blog.com/files/2011/02/TUGAS-PERKEMBANGAN-PERBANKAN-blog.pdf
§ http://widyanurhayati.blogspot.com/2011/12/perkembangan-perbankan-di-indonesia.html
§ http://economoy.blogspot.co.id/2012/04/perkembangan-perbankan-di-indonesia.html