-->

ads

Makalah Utang Piutang dan Riba

KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb
            Alhamdulillah, puji syukur  kehadirat Allah SWT  yang  telah  melimpahkan  rahmat, taufik serta  hidayahnya sehingga  saya  sebagai penulis  dapat menyusun  makalah ini untuk memenuhi  tugas mata kuliah “FIQIH 1”.
            Sholawat Serta salam  mudah-mudahan tetap tertcurahkan kepada junjungan kita  Nabi agung Muhammad SAW, yang  telah  menuntun kita dari jalan  kegelapan  menuju jalan terang benderang  yakni  ‘Addinul Islam.
            Dan tak lupa  saya sebagai penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua  pihak yang telah mendukung penyusunan makalah ini.
            Saya sadar dalam penulisan makalah ini masih  jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik dan saran sangat saya harapakan untuk  memperbaiki penyusunan  makalah yang berikutnya.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb
Kediri, 06 September 2015
                                                                                               
                                                                                                            Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Kata Pengantar………………………………………………………………………………..i
Daftar Isi…………………………………………………………………………………........ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang………………………………………………………………..…..1
B.     Rumusan Masalah…………………………………………….……………..…....1
BAB II            : PEMBAHASAN
A.    Pengertian Riba…………………………………………………………………....2
B.     Pengertian Utang Piutang……………………………...........……………...…......5
BAB III          : PENUTUP
            Kesimpulan………………………………………………………………………….....12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUHAN
  1. Latar belakang
Manusia adalah makhluk sosial, yakni yaakni tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi segala kebutuhannya. Terutama dalam hal muamalah, seperti riba, dan hutang piutang. Baik dalam urusan diri senditi maupun utnuk kemaslahatan umum. Namun sering dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temui kecurangan-kecurangan dalam urusan muamalah ini, seperti riba yang sangat meresahkan dan merugikan masyarakat. Denagan adanya riba secara tidak langsung mereka memeras orang miskin. Dan mengakibatkan permusuhan antar masyarakat. Sehingga kemaslahatan masyarakat sulit untuk dijaga. Untuk menjawab segala problem tersebut, agama memberikan peraturan dan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kita yang telah diatur sedekimian rupa dan bermaktub dalam al-qur’an dan hadis. Agama menganjurkan untuk saling tolong menolong, sperti dalam hutang piutang tetapi yang tidak mendung unsure riba. Seseorang yang menghutangi seseorang sampai dua kali sama dengan sedekah satu kali seperti harta yang dihutangkan.  
  1. Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud riba ?
2.      Apa yang dimaksud dengan utang piutang ?
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Riba
Riba merupakan salah satu usaha mencari rizki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah. Praktik riba mengutamakan kepentingan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain.
a)      Pengertian dan Hukum Riba
v  Riba dalam arti bahasa berasal dari kata: “raba” yang sinonimnya namawa zada, yang artinya tumbuh dan bertambah. Seperti dalam Surah Al-Hajj ayat 5:
وَتَرَى آلأَرْضَ هَا مِدَةً فَإِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْبَتْ
 مِنْ كُلِّ زَوْجِ بَهِيْجٍ (5 )
Artinya:
Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.[1]
Sedangkan riba menurut istilah adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uang) karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjaman dari waktu yang telah ditentukan (pendapat Syekh Muhammad Abdul).
v  Hukum Riba
Hukum melakukan riba adalah haram, berdasarkan Al-qur’an, sunnah, dan ijma’ para Ulama. Dalam Al-qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, diantaranya:
Surah Al-baqarah ayat 275
......وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الّرِبَوا.....
“…… Padahal Allah telah menghalalka  jual beli dan mengharamkan riba…. “
Surah Ali- Imran ayat 130:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْالاَتَأْكُلُوْاالرَّبَوآأَضْعَفًامُضَعَفَةً وَتَّقُوْاللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (العمران:12)
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta riba secara berlipat ganda dan takutlah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan."[2]
Dan dari As-Sunnah terdapat beberapa hadis yang isinya melarang perbuatan riba, diantaranya: Hadis Abdullah ibnu Mas’ud
عَنْ اِبْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكِلَ الرِّبَا            
وّمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَهُ وَكَاتِبَهُ.
Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud ia berkata: Rasulullah mengutuk orang yang memakan riba, orang yang mewakilinya, dan orang yang menulisnya. (HR. At- Tirmidzi).[3]
Sudah jelas bahwa riba termasuk dosa besar yang diharamkan semua agama karena mengandung bahaya besar di dalamnya. Diantaranya, sebagai pemicu permusuhan dimasyarakat, menutup pintu sedekah dan berbuat baik. Riba juga merupakan sikap memakan harta orang lain dengan kebatilan. Tidak ada seorang pun yang sering bertransaksi dengan riba kecuali kondisi hartanya, pada hakikatnya akan merosot menjadi sedikit. Hukuman bagi orang yang sangkut paut dengan riba hukuman paling ringan adalah seperti orang menikahi ibu kandungnya sendiri.[4]
b)     Macam-Macam Riba
Riba terdiri dari dua macam, diantaranya: 
1)      Riba Nasiah
yaitu melebihkan pembayaran yang dipertukarkan, diperjual belikan, atau diutangkan karena dikhawatirkan waktu membayarnya, baik sama sejenisnya maupun tidak. Riba nasiah ini dilakukan oleh kaum jahiliyah sebelum datangnya agama Islam. Andaikan peminjaman belum dapat juga dapat mengembalikan pokok pinjamanya itu dan dia meminta tangguh, pihak pinjaman dapat menerima, tetapi dengan syarat agar pokok pinjaman itu dikembalikan lebih dari semula. Umpanya, pokok yang dikembalikan pada bulan ini Rp. 1.000, 00 kalau dikembalikan pada bulan yang akan datang, harus dilebihi sampai menjadi Rp. 1.500,00 misalnya. Maka Allah menurunkan Qur’an Surat Ali- Imran ayat 130.
2)      Riba Fadhal
Hanafiyah memberikan definisi riba fadhal
رِبَا الْفَضْلِ بِأَنَّهُ زِيَادَتةُ عَيْنِ مَالٍ فِيْ عَقْدِ بَيْعٍ عَلىَ الْعِمْيَارِ الشَّرْعِيِّ
(وَهُوَالْكَيْلُ اَوِالْوَزْنُ) عِنْدَاتِّحَادِالْجِنْسِ
Artinya:
Riba fadhal adalah tambahan benda dalam akad jual beli (tukar-menukar) yang menggunakan ukuran syara’ ( yaitu literan atau timbangan) yang jenis barangnya sama.
Dari definisi yang dikemukakan diatas dapat diambil intisari bahwa riba fadhal adalah tambahan yang disyaratkan dalam tukar-menukar barang yang sejenis (jual beli barter) tanpa adanya imbalan untuk tambahan tersebut. Misalnya, menukarkan beras ketan 10 kilogram dengan beras ketan 12 kilogram. Tambahan 2 kg ketan tersebut tidak ada imbalanya, oleh karena itu disebut riba fadhal (riba karena berlebihan). Dengan demikian, apabila barang yang ditukarkan jenisnya berbeda maka hukumnya dibolehkan dan tidak termasuk riba. Misalnya menukarkan beras biasa 10 kilogram dengan beras ketan 8 kilogram.[5]
c)      Hikmah Dilarangnya Riba
Adapun sebab dilarangnya riba adalah dikarenakan riba menimbulkan kemudaratan yang besar bagi umat islam. Kemudaratan tersebut antara lain:
1.      Riba menyebakan menyebabkan permusuhan antara individu yang satu dengan yang alin, dan menghilangkan jiwa menolong diantara mereka. Padahal semua agama terutama islam sangat mendorong sikap tolong menolong.
2.      Riba mendorong terbentuknya kelas elite, yang tanpa kerja keras mereka mendapat harta, seprti benalu yang setiap saat menghisap orang lain. Padahl islam mengagungkan dan menghormati orang bekerja.
3.      Riba merupakan wasilah atau perantara terjadinya penjajahan dibidang ekonomi, di mana orang-orang kaya menghisap dan menindas orang-orang miskin.
4.      Dalam hal ini islam mendorong umatnya agar mau memberikan pinjaman kepada orang lain yang membutuhkan dengan modal “pinjaman tanpa bunga”
    2.  Utang Piutang
a.      Pengertian Qardh
Utang piutang atau qardh dalam arti berasal dari kata: qaradha yang sinonimnya: qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtaridh).
Dalam pengertian istilah, qardh didefinisikan oleh sebagai berikut,
اَلْقَرْضُ هُوَمَا تُعْطِيْهِ مِنْ مَالٍ مِثْلِيٍّ لِتَتَقَاضَاهُ, اَوْبِعِبَارَةٍ  أُخْرَى هُوَعَقْدٌمَخْصُوْصٌ
يَرُدُّعَلَى دَفْعِ مَالٍ مِثْلِيٍّ لِآخَرَ لِيَرُدَّمِثْلَهُ
Artinya:
Qardh adalah harta yang diberikan orang lain dari mal mistli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalh suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta benda (mal mistli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.
Dari definisi diatas, dapat diambil intisari bahwa qardh adalah suatu akad antara dua belah pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan uang tau barang uang tersebut harus dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama.
b.      Rukun dan syarat qardh
Seperti jual beli, rukun qardh juga diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut hanafiah, rukun qard adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur fuqaha, rukun qardh adalah
                                i.   Aqid, yaitu muqridh dan muqtaridh
Untuk aqid, baik muqtaridh maupun muqridh disyaratkan harus orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’, Oleh karena itu, qardh tidak sah apabila dilakukan oleh anak dibawah umur atau orang gila. Syafi’iyah memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain
1.      Kecakapan untuk melakukan tabarru’
2.      Memiliki pilihan
Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur ‘alaih.
                              ii.   Ma’qud ‘alaih, yaitu uang atau barang
Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, yang menjadi objek akad dalam qardh berupa barang-barang yang ditakar dan ditimbang, maupun barang-barang yang tidak ada persamaannya di pasaran, seperti hewan, barang dagangan, dan barang yang dihitung. Dengan kata lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek jual beli, boleh pula dijadikan akad qardh.
                            iii.   Shighat, yaitu ijab dan qabul
Qardh adalah suatu akad kepemilikan ats harta. Oleh karena itu akad tidah sah kecuali dengan adanya ijab dan qobul, sama seperti akad jual beli dan hibah. Shigat ijab bisa dengan menggunakn lafal qardh (utang atau pinjam) dan salaf (utang), atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “Saya milikkan kepadamu barng ini, dengan ketentuan anda harus mengembalikan kepada saya panggantinya”. Penggunaan kata milik disini bukan berarti diberikan cuma- cuma, melainkan pemberian utang yang harus dibayar. Penggunan lafal salaf untuk qardh didasarkan kepada hadis Abu Rafi’
Artinya:
Dari Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi beruntung seekor unta perawan, kemudian datanglah unta hasil zakat. Lalu Nabi memerintahkan kedapa saya untuk membayar kepadan laki-laki pemberi utang dengan unta yang sama (perawan). Saya berkata: ‘Saya tidak menemukan ubta-unta hasil zakat iyu kecuali unta pilihan yang berumur enam masuk tujuh tahun.” Nabi kemudian bersabda: ‘Berikan saja kepadanya unta tersebut, karena sesungguh nya sebaik-baik manusia iti adalah orang yang paling dalam membayar utang.” (HR. Jama’ah kecuali Al-Bukhori)”
c.       Dasar Hukum Disyaratkan qardh dan hikmahnya
Qardh merupakan perbuatan baik yang diperintah Allah dan Rasul. Dalam ak-qur’an, qardh disebutkan dalam beberapa ayat, antara lain:
Surah al-baqarah ayat 245
مَنْ ذَالَّذِيْ يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَعِفَهُ لَهُ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً وَاللهِ يَقْبِضُ وَيَبْصُطُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
Artinya:
Siapakah yang memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik(menafkahkan di jalan Allah), maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melampangkan (rezeki) dan kepada-Nya_lah kamu dikembalikan.
Ayat-ayat tersebut pada dasarnya berisi anjuran untuk melakukan perbuatan qardh (memberikan utang) kepada orang lain, dan imbalanya adalah akan dilipatgandakan oleh Allah. Dari sisi muqaridh (orang yan memberi utang), islam menganjurkan kepada umatnya untuk memberikan bantuan untuk orang lain yang membutuhkan dengan cara memberi utang. Dari sisi muqtaridh, utang bukan perbuatan yang dilarang, melainkan dibolehkan karena orang berutang dengan tujuan untuk memanfaatkan barang atau uang yang diutangnya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan ia akan mengembalikan persi seperti yang diterimanya. Dalam kaitan hal ini ada beberapa hadis yang memeberi anjuran untuk membantu orang lain, antra lain: Hadis Ibnu Mas’ud
            
Artinya:
Dari Abdullah ibnu mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda: Barang siapa yang memeberikan utang atau pinjaman kepada Allah dua kali, maka ia akan memeperoleh pahala seperti pahala salah satunya andaikata ia menyedekahkanya. (HR. Ibnu Hibban).
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa qardh merupakan perbutan yang dianjurkan, yang akan diberi imba;lan kepada Allah. Adapun hikmah disyariatkan qardh dilihat dari sisi yang menerima utang adalah membantu mereka yang membutuhkan. Dilihat dari sis pemberi utang (muqridh), qardh dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaanya, sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dihadapi oleh saudara, teman, dan tetangganya. 
d.      Empat kriteria orang yang berutang
Ø  Tidak memiliki sama sekali. Dalam hal ini wajib diberi kelonggaran penagguhan tempo kepadanya dan tidak menagih pembayaran kewajibanya. Memberikan tangguhan tempo orang yang kesulitan merupakan akhalak mulia, dan terlebih terlebih lagi membebaskanya.
Ø  Mempunyai harta melebihi jumlah utang yang ditanggungnya. Dalam kondisi ini boleh diminta , dan ia wajib membayarnya. Kewajiban bagi orang yang berhutang untuk cepat-cepat mengembalikan segala sesuatu yang dihutangnya jika ia sudah memiliki apa yang telah dihutangnya. Dan mempercepat pelunasan hutang sebelum meninggal karena agar tidak menjaadi beban bagi orang ditinggalkanya dan ia akan disandera oleh utangnya sampai utang tersebut dilunasi.
Ø  Mempunyai harta sebesar jumlah utangnya, maka ia wajib mambayar utangnya.
Ø  Mempunyai harta lebih sedikit dari jumlah hutangnya, maka dia termasuk orang yang pailit yang terlarang menggunakan hartanya berdasrkan atas permintaan pemberi utang atau sebagainya. Sedangkan harta dibagi-bagikan kepada para pemberi utang.
Peminjaman utang wajib bertekad mengembalikan utangnya, jika tidak niscaya Allah akan membinasakanya. Berbuat baik saat mengembalikan pinjaman sangat disunnahkan, selama tidak ada prasyarat sebelumnya. Hal tersebut merupakan sikap pembayarn yang baik dan sikap mulia. Siapa yang meminjamkan seorang muslim sebanyak dua kali, seakan-akan sedekah kepadanya satu kali.[6]
            Disunnahkan berbuat baik saat mengembalikan utang, selama tidak ada pra syarat. Seperti meminjam satu ekor unta muda kemudian kemudian menggantinya yang lebih baik. Hal ini merupakan hal pembayaran yang baik dan akhlak mulia. Apabila kondisi kondisi orang yang berutang sedang berada dalam kesulitan dan tidk kemampuan, maka kepada kepada orang yang memberikan utang dianjurkan untuk memberikan kelonggaran dengan menunggu sampai dia mampu membayar utangnya. Tetapi apabila ia sudah mampu, tetapi ia menunda-nunda pembayaran utangnya, maka mereka termasuk orang yang zalim.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uang) karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjaman dari waktu yang telah ditentukan (pendapat Syekh Muhammad Abdul).
2.      Hukum Riba adalah haram, meskipun itu orang yang menyatat saja. Semua orang yang bersangkut paut dengan riba, maka orang tersebut termasuk orang yang melakukan riba.
3.      Riba ada 2 macam yaitu Riba Nasihah, dan Riba fadhal
4.      Dilarangnya riba karena demi kemaslahatan masyarakat
5.      Qardh adalah suatu akad antara dua belah pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan uang atau barang uang tersebut harus dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama.
6.      Rukun Qardh ada 3 yaitu aqid, ma’qud ‘alaih, dan shigat
7.      Syarat bagi muqtaridh ada 3 yaitu ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’, dan memiliki pilihan dan syarat bagi muqtaridh adalah memilki kecakapan dalam muamalat
8.      Hukum utang dibolehkan seperti jual beli
DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqih Muamalah. Jakarta:Amzah. 2010.
Sayikh Muhammad bin Ibrahim Bin Abdullah At-Tuwaijiri. Ensiklopedi Islam Al-kamil.Jakarta: Darus Sunnah. 2011.
Rasjid Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung:Sinar Baru Algensindo. 2010.
Mas’ud. Fiqih Madzab Syafi’i. Bandung: CV Pustaka Setia. 2007.
Baqi Muhammad Fuad abdul. Kumpulan Hadits Shahih Bukhari Muslim. Jawa Tengah: Darul Hadits Qahirah. 2014.


[1] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah. (Jakarta: Amzah). Cet. 1. Hlm. 257.
[2] Mas’ud. Fiqih Madzab Syafi’i. (Bandung: CV Pustaka Setia). Hlm. 80
[3] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah. (Jakarta: Amzah). Cet. 1. Hlm 261.
[4]Sayikh Muhammad bin Ibrahim Bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-kamil.(Jakarta: Darus Sunnah) hlm.909-910
[5] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah. (Jakarta: Amzah). Cet. 1. Hlm. 264-265.
[6] Sayikh Muhammad bin Ibrahim Bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-kamil.(Jakarta: Darus Sunnah) hlm. 917.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel