Makalah Ilmu Agama dalam Perspektif AL-Ghazali
Monday, August 29, 2016
Pendahuluan
Wawasan Pendidikan,-
Fenomena berkembangnya ilmu pengetahuan secara sendiri (otonom) dan terbebas
dari agama dan social menandai abad ke-20 terutama setelah perang dunia II.
Akibatnya sering kali perencanaan yang dihasilkan ilmu pengetahuan bertabrakan
dengan nilai-nilai religius seperti yang terjadi di Barat.[1]
Dewasa ini, kita sudah
terbiasa dengan sebutan ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama lebih berorientasi
dan berbasiskan pada wahyu, hadits Nabi, penalaran dan fakata sejarah sudah
berkembang demikian pesat. Selanjutnya ilmu umum yang lebih berbasis pada
penalaran akal dan data empirik juga berkembanglebih pesat. Antara keduanya
seakan terdapat pemisahan wilayah dan seharusnya berjalan sendiri-sendiri.
Hal yang mendasar adalah
pemahaman dan penilaian terhadap ilmu dan agama. Dalam pandangan Islam, ilmu
mempunyai posisi yang sangat tinggi. Tidak mengherankan jika dalam nash-nash
al-Qur’an ditemukan anjuran untuk menuntut ilmu. Bahkan ayat pertama kali yang
diturunkan kepada Muhammad pun adalah anjuran untuk membaca dan belajar. Begitu
juga agama, agama yang lebih dipahami sebagai suatu bentuk tingkah laku demi
pendekatan diri kepada Tuhan juga tidak kalah penting.
Al-Ghazali merupakan salah
satu tokoh yang menentang adanya dikotomi antara ilmu dan agama. Bagi al-Ghazali, kedua seperti mata rantai
yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan bahkan berjalan
sendiri-sdendiri. Al-Ghazali sangat getol dalam penentangannya akan dikotomi
ilmu dan agama. Argumentasi-argumentasi yang dipaparkannya pun menjajjikan
bahkan beliau juga memberikan penggambaran yang nyata akan hubungan keduanya.
Yang menjadi persoalaan
adalah dikotomi antara ilmu dan agama telah mengakibatkan adanya dikotomi
antara ilmu umu dan ilmu agama. beberapa golongan merasa bahwa islam adalah
sumber segalanya, ilmu-ilmu umum yang notabene berasal dari non Islam tidak
patut untuk mendapat apresiasi. Sebaliknya sebagian dari mereka juga ada yang
beranggapan bahwa ilmu adalah pusat kebenaran. Dengan ilmu seseorang akan hidup
bahagia dimanapun berada khususnya di dunia ini.
Untuk menjawab persoalan
diatas, penulis mencoba untuk memahami dan mendalami pandangan al-Ghazali
terhadap hubungan ilmu dan agama. apakah dikotomi antara keduanya terdapat
dalam pandangannya ataupin sebaliknya.
Sekilas ilmu dan agama
Kata ilmu merupakan
terjemahan dari kata dalam bahasa inggris scince. Kata saince ini berasal dari
kata latin scientia yang berarti pengetahuan. Kata secientia ini berasal dari
bentuk kata kerja scire yang artinya mempelajari, mengetahui. Pada mulanya
cakupan ilmu (science) secara etimologis menunjuk kepada pengetahuan
semata-mata, pengetahuan mengenai apa saja. Pada pertimbangan selanjutnya,
pengertian ilmu (science) ini mengalami perluasan arti sehingga menunjuk kepada
segenap pengetahuan sistematis (systemstic knowledge).[2]
Etimologi makna ilmu
mempunyai dua arti, pertama, makna denotatif ilmu yang merujuk kepada
pengetahuan, tubuh pengetahuan yang terorganisir (the organized body of
knowledge), studi sistematis (systematical stadies), dan pengetahuan teoritis
(theoretical knowledge). Dengan demikian, makna denotatif ilmu mengcu pada
lingkup pengertian yang sangat luas baik itu pengetahuan yang dimiliki oleh
semua manusia maupun pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematis dan
dikembangkan melalui prosedur tertentu. Kedua, makna konotasi ilmu yang merujuk
kepada serangkaian aktifitas manusia yang manusiawi (human), bertujuan
(purposeful), dan berhubungan dengan kesadaran (cognitive).[3]
Pada dasarnya, ilmu
dikembangkan untuk mencapai kebenaran atau memperoleh pengetahuan yang benar.
Pengetahuan yang benar akan membawa manusia memperoleh pemahamn yang benar
tentang alam semesta, dunia sekelilingnya, masyarakat, lingkungannya bahkan
dirinya sendiri.
Untuk mencapai kebenaran
terdapat cara atau jalan tertentu yang dipakai dalam dunia ilmu yang
selanjutnya disebut metode. Metode yang digunakan adalah metode ilmiah yaitu
cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmu untuk mendapatkan kebenaran
melalui cara yang ilmiah. Francis Bacon mengemukakan empat sendi untuk menyusun
ilmu, yaitu : observasi (pengamatan), measuring (pengukuran), expalining
(penjelasan), verifying (pengujian).[4]
Ciri-ciri yang terkandung
dalam pengertian ilmu pengetahuan dapat diuji untuk lebih memahami sifat
dcinamis pada ilmu pengetahuan. Salah satu ciri khas ilmu pengetahuan adalah
suatu bentuk aktifitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara
sadar oleh manusia. Ilmu tidak hanya merupakan aktifitas tunggal saja, tetapi suatu
rangkaian aktifitas sehingga merupakan proses. Proses dalam rangkaian aktifitas
ini bersifat intelektual dan mengarah kepada tujuan-tujuan tertentu. Aktifitas
intelektual berarti kegiatan yang memerlukan kemampuan berfikir untuk melakukan
penalaran logis atau hasil-hasil pengalaman empiris.
Dalam aktifitas manusia
khususnya aktifitas intelektual, seseorang akan menemukan sesuatu yang baru
yang belum didapatkan sebelumnya maupun mendapatkan pengembangan dari suatu
pengetahuan. Hasil aktifitas tersebut, merupakan suatu produk yang kemudian
menjadi ciri yang kedua dari ilmu.
Kedua ciri dasar ilmu,
yaitu wujud aktifitas manusia dan hasil aktifitas tersebut, merupakan sisi yang
tidak terlepaskan dari ciri ketiga yang dimiliki oleh ilmu yaitu sebagai metode.
Metode merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola
kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau
mengembangkan pengetahuan yang telah ada.
Tujuan-tujuan terpenting
ilmu bertalian dengan apa yang telah dicirikan sebagai fungsi pengetahuan atau
kognitif dari ilmu. Dengan fungsi itu ilmu memusatakan perhatian terkuat pada
pemahaman-pemahaman kaidah ilmiah yang baru dan tidak diketahui sebelumnya pada
penyempurnaan keadaan pengetahuan dewasa ini mengenai kaidah-kaidah semacam
itu.
Setiap ilmu (sciencea)
ditentukan oleh objeknya. Ada dua macam objek ilmu, yaitu objek material dan
objek formal. Objek material ( obiectum materiale, material object) ialah
seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu. Objek
formal ( obeictum formale, formal object) ialah objek material yang disoroti
oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu satu dengan ilmu yang lainnya, jika
berobyek materi sama.
Berbicara mengenai agama,
kita dapat mendefinisikan kata agama dengan meneliti dan memahami suatu agama
tertentu. Tentu pandangan dan penilaian terhadap suatu agama akan mempengaruhi
definisi yang didapatkan. Banyaknya definisi itu diakibatkan oleh banyaknya
agama itu pula. Dalam menyelidiki agama, terdapat kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Kenyataan bahwa dalam tiap-tiap agama terdapat beberapa paradox (pertentangan)
atau hal-hal yang kelihatan bertentangan mempersulit peneliti dalam membuat
konklusi pemahaman sebuah agama.[5]
Pada dasarnya semua agama
yang ada di muka bumi mengandung unsur-unsur yang terdapat didalamnya. Unsur
terpenting dalam suatu agama adalah adanya keyakinan dan upacara-upacara yang
khas yang terdapat di dalam agama tersebut. Brightman memberikan suatu definisi
deskriptif tentang agama dengan ungkapannya sebagai berikut :
“Agama adalah suatu unsur
mengenai pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai yang tertinggi.
Pengabdian kepada suatu penguasaan yang dipercayai menjadi asal mula, yang
menambah dan melestarikan nilai-nilai ini, dan sejumlah ungkapan yang sesuai
tentang urusan dan pengabdian tersebut, baik dengan jalan melakukan
upacara-upacara simbolis maupun melalui perbuatan-perbuatan lain yang bersifat
perseorangan dan yang bersifat kemasyarakatan.”[6]
Hubungan ilmu dan agama
menurut al-Ghazali
Imam al-Ghazali[7]
merupakan salah satu tokoh agama yang sangat terkenal dikalangan orang islam.
Selain tokah agama, beliau juga terkenal ahli dalam berbagai ilmu. Baik ilmu
tasawuf, filsafat dan logika. Kemampuannya dalam membungkus keilmuannya dengan
syari’at agama menjadikannya mendapat gelar terhormat hujjayul islam. Dengan
berbagai kemampuan dan keilmuannya, beliau menuangkan pemikiran dan
pandangannya berbentuk karya-karya diberbagai cabang keilmuan. Dalam dunia tasawuf,
terdapat salah satu karya monumentalnya yang sekarang dijadikan rujukan dan
dikaji di berbaga studi keislaman. Buku yang dinamakan Ihya’ Ulumuddin itu telah dicetak beberapa kali. Dalam bidang
ushul fiqih, beliau menulis buku yang diberi judul Al-Mustashfa. Tidak hanya
berhenti pada cabang itu, dalam dunia filsafat pun beliau menulis buku yang
sangat terkenal dikalangan filsof muslim pada masa setehnya yaitu Tahafat
al-Falasifah.
Sebelum kita membahas
pandangan al-Ghazali mengenai hubungan ilmu dan agama, kita tidak bisa lepas
dari pandangannya mengenai ilmu. Dalam kitabnya Minhajul Abidin, Al-Ghazali
mengatakan ilmu adalah imamnya amal dan amal adalah makmumnya. Ilmu adalah
pemimpin dan pengamalan adalah pengikutnya. Ilmu ibarat permata yang harus digali
dan terus dicari oleh semua orang.[8]
Dari segi akal, ilmu
merupakan keutamaan yang harus dimiliki dan diraih oleh manusia demi
mendekatkan diri kepada tuhannya. Orang yang berilmu, ilmunya akan
mengantarkannya menuju jalan kebenaran dan kebahagiaan baik di dunia maupun di
akhirat kelak.
Al-Ghazali membagi ilmu
menjadi ilmu terpuji dan ilmu tercela. Ilmu terpuji adalah ilmu yang dapat
mengantarkan seseorang kepada kebenaran dan kebahagiaan di sisi tuhan. Ilmu
fiqih, tauhid, dan ilmu agma-agama yang lainnya dikategorikan dalam kategori
ini. Ilmu tercela adalah ilmu yang
menyebabkan berbagai kerusakan baik kerusakan individual maupun kerusakan
social. Sihir, manta, ramalan dan sebagainya masuk dalam kategori ini. Dalam
mempelajari ilmu Astronomi (perbintangan), hendaklah dibatasi dengan pembahasan
dan pendalaman dalam mencari suatu araha dan mencari kiblat. dalam ilmu kimia
hendalaklah dibatasi dengan ilmu kedokteran secukupnya.[9]
Di sisi lain, al-Ghazali
juga membagi ilmu menjadi ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah. ilmu fardhu ain
adalah ilmu yang dapat menyelamatkan dari kebinasaan dan memperoleh derajat
yang tinggi. Sementara ilmu-ilmu yang lebih dari itu adalah fardhu kifayah
buakan fardhu ain.[10]
Secara filosofis al-Ghazali
membagi ilmu ke dalam ilmu syar’yah dan ilmu aqliyah. Oleh al-Ghazali ilmu yang
terakhir ini disebut juga ilmu ghairu syar’iyah. Ilmu nonfilosofis menurutnya
dipandang sinonim dengan ilmu relegius, karena dia menganggap ilmu itu
berkembang dalam suatu peradaban yang memiliki syari’ah (hukum wahyu).[11]
Ilmu Syar’iyah mencakup dua
ilmu penting. Pertama, ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-Ushul). Dalam
pembahasannya ilmu ini mencakup ilmu tentang keesaan Tuhan, kenabian, akhirat
atau eskatologis, al-Qur’an dan Hadits dan sebagainya. Kedua, ilmu tentang
cabang-cabang (furu’). Dalam pembahasannya ilmu ini mencakup ilmu tentang
kewajiban tuhan kepada tuhannya (ibadah), ilmu kewajiban manusia terhadap
masyarakat, ilmu kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri (akhlak).
Ilmu Aqliyah
mencakup beberapa ilmu dan cabang-cabangnya. Seperti Matematika,
aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi. Ilmu tentang wujud di luar alam
atau metafisika, ontologi, logika, fisika dan sebagainya.
Tidak hanya berhenti pada
pandangannya akan pembagian ilmu, al-Ghazali juga membagi ilmu-ilmu berdasarkan
kadar kepentingannya. Kadar kepentingan dalam tingkatan ilmu diukur dari
kedekatannya dengan akhirat. Seperti ilmu syariat lebih utama dari pada ilmu
yang lainnya. Hal ini menurut
Al-Ghazali, karena segala macam ilmu termasuk dalam af'al (perbuatan-perbuatan)
Allah dan sifat-sifat-Nya.
Al-Ghazali bahkan
beranggapan bahwa ilmu pengetahuan yang dapat digali dari al-Qur’an tidak dapat
dihitung. Al-Ghazali sangat gigih berupaya menjadikan al-Qur’an sebagai sumber
segala macam ilmu pengetahuan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Ia mengklaim
bahwa semua jenis ilmu pengetahuan dapat digali dari al-Qur’an.[12]
Hubungan antara ilmu dan
agama adalah pandangan yang telah lama dikemukakan oleh para ulama, filosof dan
teolog. Masalah ini telah diungkapkan dari sudut pandang yang berbeda-beda dalam teologi dan filsafat
ilmu-ilmu sosial dan filsafat ilmu.
Sebagai Hujjatul Islam,
al-Ghazali tidak mentabukan adanya hubungan antara ilmu dan agama. Dalam
kitabnya Mukhtashar ihya’Ulumuddin, beliau berkata ”iman itu telanjang
pakainnya adalah takwa perhiasannya adalah rasa malu dan buahnya adalah ilmu.”
Ilmu dan ibadah adalah dua mata rantai yang saling terkait, pada dasarnya
segala sesuatu yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan dan kita pelajari
adalah hanya untuk ilmu dan ibadah.
Bagi al-Ghazali, ilmu dan
agama sagat terikat dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Dalam mendiskripsikan
hubungan keduanya, beliau menggunakan logikanya dengan mencoba memahami sebuah
pohon. Pada sebuah pohon, ilmu merupakan pohonnya dan agama merupakan buahnya.
Maka jika kita beragama dan beribadah sesuai tuntutannya tanpa dibekali ilmu,
ilmu tersebut akan lenyap bagaikan debu ditiup angin. Buah pun tidak akan dapat
diraih. Sebaliknya, ketika pohon itu hanya mampu memberi daun dan tidak bisa
menghasilkan sebuah buah maka eksistensi pohon itu menjadi kurang sempurna.[13]
Menuju sikap profesional
Sekelompok orang menawarkan
pemisahan dalam wilayah tugas dan fungsi ilmu dan agama; dengan makna bahwa
tugas ilmu sebagai media hipotesa, estimasi, dan kontrol; bukan penjelas; dan
agama hanya sebagai pengatur dan penertib kehidupan individu dan masyarakat;
bukan penjelas perkara-perkara realitas. Sebagian lagi menjelaskan pemisahan tujuan ilmu dan
agama. Tujuan agama adalah memberi hidayah dan memberi kebahagiaan pada manusia,
sedangkan tujuan ilmu adalah menerangkan hakikat-hakikat alam natural. Kelompok
lainnya, mengungkapkan pemisahan bahasa agama dan bahasa ilmu serta bermaknanya
proposisi-proposisi ilmu dan agama, atau pandangan tidak bermaknanya
proposisi-proposisi agama lewat kaum positivisme, atau pemisahan fungsionalisme
bahasa ilmu dan agama dari filosof analitik bahasa.
Pengklasifikasian ilmu
menjadi ilmu yang terpuji dan yang tercela seakan mengisyaratkan adanya
dikotomi antara ilmu dan agama.ketika dipahami sekilas hal itu seakan tidak
bisa dipungkiri. Setelah diteliti dan dikaji secara mendalam, penulis dapat
memahami adanya pemahaman dan pandangan al-Ghazali akan hubungan antara ilmu
dan agama. Suatu ilmu selalu diukur dan dihubungkan oleh al-Ghazali sesuai batas
agama. Ilmu dapat dikatakan terpuji jika dengan ilmu itu seseorang dapat lebih
mendekatkan andiri kepada tuhan. Hal ini juga tidak mendikotomikan ilmu agama
dan ilmu umum. Seseorang dapat mendekatkan diri kepada tuhan sesuai ilmu yang
dimiliki.
Al-Ghazali memandang bahwa
hubungan dan keseimbangan antara ilmu dan agama sangatlah penting.
Berlandaskan ilmu tanpa berpegang teguh
dengan agama seseorang akan rusak. Tidak dapat dibayangkan jika seseorang
membuat dan meletuskan bom dengan alasan perecobaaan ilmiyah tanpa
memperhatikan keselamatan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya agama tidak pernah
melarang dan membatasi manusia untuk mendapatkan ilmu ataupun penemuan baru.
Sangatlah disayangkan jika ada seseorang tidak beralaskan ilmu dalam peraktek
keagamaan.
Bagi al-Ghazali ilmu dan
agama lebih bersifat aplikatif-implementatif bukan teoretis-teologis. Perhatian
manusia hendaknya dipusatkan untuk mendalami dan mengaplikasikan keduanya. Jika
keduanya sudah terealisasikan dan saling berjabat tangan maka kikta akan
menjadi kuat dan berhasil. Ringkasnya, dengan memadukan ilmu dan agama
perjalanan dan perjuangan kehidupan ini akan sampai pada kekuatan yang kokoh
dan menumbuhkan sifat profesional yang tinggi.[14]
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas,
dapat disimpulkan bahwa ilmu dan agama mempunyai hubungan yang sangat erat.
Keduanya tidak bisa dipisahkan bahkan berjalan sendiri-sediri. Dikotomi antara
keduanya akan menimbulkan pemikiran dan pemahaman yang salah. Islam sendiri
tidak tidak pernah membatasi dan membagi ilmu untuk dipelajari. Ilmu dan agama
merupakan dua kesatuan penting yang dapat menunjukkan manusia menuju jalan yang
benar.
Iman itu telanjang
pakainnya adalah takwa perhiasannya adalah rasa malu dan buahnya adalah ilmu.
Itulah gambaran al-Ghazali akan hubungan antara ilmu dan agama. dikesempatan
lain, al-Ghazali juga berpendapat bahwa ilmu yang tidak berlandaskan agama akan
membawa manusia menuju jalan yang sesat. Begitu juga agama, seseorang beragama
tanpa dibekali ilmu yang mapan akan menghasilkan kesiasiaan dan penyesalan.
Bagi al-Ghazali, ilmu dan
agama harus digandengkan dan berjalan bersamaan dalam diri manusia. Keduanya
akan mengantarkan kepada sikap dan prilaku yang professional.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali.Minhajul Abidin.
trj. Abd. Hiyadh surabaya : Mutiara
Ilmu. 1995.
Al-Ghazali. Mukhtashar
Ihya’ Ulumiuddin . Bairut : Muassasah al-Kutub as-Tsaqafiah. 1990. trj. Irwan
Kurniawan . Bandung : Mizan. 1997).
Bakhtiar, Amtsal. Filsafat
Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers. 2004.
Nata, Abuddin,(dkk).
IntegrasiIlmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: Rajawali pers. 2005.
Sibawaihi. Eskatologi
al-Ghazali dan Fadzlur Rahman. Yogyakarta : Islamika.
Siswomiharjo,
Koentowisbono. (dkk). Filsafat Ilmu., Yogyakarta : LP3 UGM, 1997.
[1] Abuddin Nata, (dkk),
IntegrasiIlmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: Rajawali pers, 2005), hlm.114
[2] Koentowibisono
Siswomiharjo (dkk), Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : LP3 UGM, 1997), hlm.64
[3] Koentowibisono
Siswomiharjo (dkk), Filsafat…hlm. 70
[4] Koentowibisono Siswomiharjo
(dkk), Filsafat…hlm.55
[5] Rasidji, Filsafat
Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 2002), hlm. 12.
[6] Louis O. Kattsoff,
Elements of Philoshopy, (New York : tp, tt). Terj Soejono Soemargono, Pengantar
Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2004), hlm. 435-436.
[7] Nama lengkapnya adalah
Zainudin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi an-Naysaburi. Ia
lahir di kota Thus yang merupakan kota kedua di khurasan setelah Naysabur.
[8] Lihat : Minhajul
Abidin, trj. Abd. Hiyadh ( surabaya : Mutiara Ilmu, 1995) hlm.16
[9] al-Ghazali, Mukhtashar
Ihya’ Ulumiuddin ( Bairut : Muassasah al-Kutub as-Tsaqafiah, 1990) trj. Irwan
Kurniawan ( Bandung : Mizan, 1997), hlm. 32
[10] al-Ghazali,
Mukhtashar…, hlm.26.
[11] Amtsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2004 ), hlm. 123.
[12] Sibawaihi, Eskatologi
al-Ghazali dan Fadzlur Rahman (Yogyakarta : Islamika, 2004), hlm. 169.
[13] Lihat : Minhajul
Abidin, trj hlm. 17
[14] al-Ghazali,
Mukhtashar…, hlm. 29.
Sumber: Perpustakaan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. dan wawasanpendidikan