MAKALAH SEJARAH AGAMA HINDU BUDDHA DI INDONESIA
Monday, February 8, 2016
BAB I
PENDAHULUAN
SEJARAH AGAMA HINDU DAN BUDDHA DI INDONESIA
Agama Hindu dan Buddha merupakan
Agama yang berasal dari negara India, yang pada perjalanannya menjadi salah
satu agama-agama terbesar pengikutnya. Secara garis besar perkembangan
agama Hindu dibedakan menjadi tiga tahap. Tahap pertama berlangsung
sekitar abad 1500-1000 SM yang dikenal dengan agama Weda. Tahap kedua
ditandai dengan munculnya agama Brahman (1000-750 SM), tahap kedua adalah zaman
agama Buddha yang berlangsung sekitar 500 SM-300 M. yang mempunyai corak
berbeda dengan agama Weda. Tahap ketiga ditandai dengan munculnya
pemikiran-pemikiran kefilsafatan yang berpusat di sekitar sungai Gangga
(750-300 M), dan tahap yang ketiga adalah apa yang dikenal dengan agama Hindu
yang berlangsung sejak 300 M. sampai sekarang.[1] Agama Hindu berkembang hingga
ke luar India termasuk Indonesia, yang dibawa oleh para Rsi atau para Brahman.
Agama Hindu merupakan agama impor yang pertama kali masuk ke Indonesia dan
berinteraksi dengan masyarakat Indonesia yang notabenenya sudah mempercayai
Animisme dan Dinamisme.
Sedangkan agama Buddha sendiri bisa
dikatakan sebagai pembaharu dari agama Hindu yang dibawa oleh Sidharta
Gautama. Yang pada perjalannya sang Buddha sendiri melakukan pengembaraan
untuk mencari penerahan yang abadi. Berbeda halnya dengan agama hindu,
agama Buddha lebih banyak berkembang di Cina di bandingkan dengan asal mulanya
agama tersebut yaitu India.
Sedangakan Agama Hindu dan Buddha
masuk di Indonesia sekitar abad ke 7 M, yang dibawa oleh para Rsi maupun para
Bikhhu. Harun Hadiwijono mengatakan bahwa kira-kira abad ke 15 SM. nenek
moyang bangsa Indonesia memasuki Indoneisa dari daratan Cina Selatan, dengan
melewati dua jalur, yaitu jalur utara dan barat. Jalur utara melewati
Jepang, Taiwan, Pilipin, dan menyebrang di Sulawesi, Indoneisa bagian Timur,
Irian dan Melanesia, sedangakan jalur barat melewati Indo Cina, Siam, Malaya,
serta menyebar di Sumatra, Jawa dan Kalimantan.[2] Dan dari perjalan atau
jalur tersebut, saya berpendapat ini merupakan salah satu cara masuknya atau
berkembanganya pengaruh agama Hindu dan Buddha di Indonesia.
Dalam bab selanjutnya akan dibahas
tentang kedatangan awal agama Hindu-Buddha dan pembawanya berdasarkan analisis
teori. Selanjutnya membicarakan bagaimana interaksi dengan
kebudayaan Indonesia dan perkembangan Agama Hindu-Buddha di Indonesia yang
ditandai dengan banyaknya peninggalan kerajaan atau berupa prasasti, bangunan
dan segala aspek yang bercorakan Hindu-Buddha. Pada pembahasan
selanjutnya kita membahas tentang persamaan dan perbedaan Agama Hindu-Buddha di
India, Jawa dan Bali. Dan pada pembahasan terakhir kita membicarakan
Hindu Dharma dan Buddha Dharma yang mana ini merupakan ciri khas agama
Hindu-Buddha yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Kedatangan Awal Agama Hindu-Buddha di Indonesia dan Pembawanya (Analisis Teori)
Di Benua Asia terdapat dua negeri
besar yang tingkat peradabannya dianggap sudah tinggi, yaitu India dan Cina.
Kedua negeri ini menjalin hubungan ekonomi dan perdagangan yang baik
dengan Negara-negara tetangga lainnya. Arus lalu lintas perdagangan dan
pelayaran berlangsung melalui jalan darat dan laut. Salah satu jalur lalu
lintas laut yang dilewati India-Cina adalah Selat Malaka. Dan Indonesia
terletak di jalur dua benua dan dua samudera, serta berada di dekat Selat
Malaka.
Proses Masukknya Agama Hindu-Buddha
ke Indonesia.
Peta Jalur Perdagangan Laut Asia
Tenggara
Agama Hindu- Budha berasal dari India,
yang kemudian menyebar ke Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan letaknya sangat strategis, yaitu
terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Indonesia dan
Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu lintas perdagangan
dunia. Untuk lebih jelasnya, silahkan amati gambar peta jaringan
perdagangan laut Asia Tenggara di atas.
Awal abad Masehi, jalur
perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera) tetapi beralih
kejalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara Cina dan India
melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif dalam
perdagangan tersebut. Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah
kontak/hubungan antara Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal
inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya
Cina ke Indonesia. Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama Hindu -
Budha ke Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti, walaupun demikian para
ahli memberikan pendapat tentang proses masuknya agama Hindu - Budha atau
kebudayaan India ke Indonesia.
Keterlibatan bangsa Indonesia dalam
kegiatan perdagangan dan pelayaran internasional tersebut menyebabkan timbulnya
percampuran budaya. Misalnya saja India, negara pertama yang memberikan
pengaruh kepada Indonesia, yaitu dalam bentuk budaya Hindu. Para
sejarawan mengatakan bahwa banyak pendapat atau teori masuknya agama hindu di
Indonesia, antara lain:[3]
1.
Teori Brahman
Teori ini di kemukakan oleh J.C. Van
Leur, berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum
Brahman. Hanya kaum Brahmanalah yang berhak mempelajari serta mengajarkan
agama Hindu karena hanya kaum Brahmanlah yang mengerti isi kitab suci Weda.
Kedatangan Kaum Brahmana tersebut diduga karena undangan Penguasa/Kepala
Suku di Indonesia atau sengaja datang untuk menyebarkan agama Hindu ke
Indonesia. Beliau juga mengatakan bahwa kaum Brahman sangat
berperan dalam penyebaran agama dan kebudayaan agama Hindu ke
Indonesia.
2.
Teori Ksatria
Terdapat dua pendapat mengenai teori
Ksatria yang pertama menurut Prof.Dr.Ir.J.L.Moens berpendapat bahwa yang
membawa agama Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria atau golongan prajurit,
karena adanya kekacauan politik/peperangan di India abad 4 - 5 M, maka prajurit
yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia, bahkan diduga
mendirikan kerajaan di Indonesia. Yang dikemukakan oleh F.D.K. Bosch,
menyatakan bahwa adanya raja-raja dari India yang datang menaklukan
daerah-daerah tertentu di Indonesia yang telah mengakibatkan penghinduan
penduduk setempat.
3.
Teori Wasiya
Yang dikemukakan oleh N.J. Krom,
mengatakan bahwa pengararuh Hindu masuk ke Indonesai melalui golongan pedagang
dari kasta waisya yang menetap di Indonesai dan kemudian memegang peranan
penting dalam proses penyebaran kebudayaan India termasuk agama Hindu.
4.
Teori Sudra
Von van Faber, menyatakan bahwa
agama Hindu masuk ke Indonesia dibawah oleh kasta sudra. Tujuan mereka adalah
mengubah kehidupan karena di India mereka hanya hidup sebagai pekerja kasar dan
budak. Dengan jumlah yang besar, diduga golongan sudralah yang memberi
andil dalam penyebaran agama dan kebudayaan Hindu ke Nusantara.
5.
Teori Campuran
Teori ini beranggapan bahwa baik
kaum brahmana, ksatria, para pedagang, maupun golongan sudra bersama-sama
menyebarkan agama Hindu ke Indonesia sesuai dengan peran masing-masing.
6.
Teori Arus Balik
Teori arus blik ini tidak hanya
berlaku untuk proses masuknya agamaHindu ke Indonesia saja melainkan untuk
agama Buddha juga. Para ahli mengatakan bahwa banyak pemuda di Indonesia
yang belajar agama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauan mereka mendirikan
organisasi yang disebut Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang
banyak, mereka kembali untuk menyebarkannya. Sedangakan menurut pendapat
FD. K. Bosh, teori arus balik ini menekankan peranan bangsa Indonesia dalam
proses penyebaran kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia. Menurutnya
penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh para cendikiawan atau
golongan terdidik. Golongan ini dalam penyebaran budayanya melakukan proses
penyebaran yang terjadi dalam dua tahap yaitu sebagai berikut: Pertama, proses
penyebaran di lakukan oleh golongan pendeta Buddha atau para biksu, yang
menyebarkan agama Budha ke Asia termasuk Indonesia melalui jalur dagang,
sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat Sangha, dan selanjutnya orang-orang
Indonesia yang sudah menjadi biksu, berusaha belajar agama Budha di India.
Sekembalinya dari India mereka membawa kitab suci, bahasa sansekerta, kemampuan
menulis serta kesan-kesan mengenai kebudayaan India. Dengan demikian peran
aktif penyebaran budaya India, tidak hanya orang India tetapi juga
orang-orang Indonesia yaitu para biksu Indonesia tersebut. Hal ini dibuktikan
melalui karya seni Indonesia yang sudah mendapat pengaruh India masih
menunjukan ciri-ciri Indonesia. Kedua, proses penyebaran kedua dilakukan
oleh golongan Brahmana terutama aliran Saiva-siddharta. Menurut aliran ini
seseorang yang dicalonkan untuk menduduki golongan Brahmana harus mempelajari
kitab agama Hindu bertahun-tahun sampai dapat ditasbihkan menjadi Brahmana.
Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan oleh Siva dan dapat melakukan
upacara Vratyastome / penyucian diri untuk menghindukan seseorang
Pada dasarnya teori Brahmana,
Ksatria dan Waisya memiliki kelemahan yaitu, golongan Ksatria dan Waisya tidak
mengusai bahasa Sansekerta. Sedangkan bahasa Sansekerta adalah bahasa
sastra tertinggi yang dipakai dalam kitab suci Weda. Dan golongan
Brahmana walaupun menguasai bahasa Sansekerta tetapi menurut kepercayaan
Hindu kolot tidak boleh menyebrangi laut.
Jadi hubungan dagang telah
menyebabkan terjadinya proses masuknya penganut Hindu - Budha ke Indonesia.
Beberapa teori di atas menunjukan bahwa masuknya pengaruh Hindu - Budha
merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap di dukung oleh
proses perdagangan.
Untuk agama Budha diduga adanya misi
penyiar agama Budha yang disebut dengan Dharmaduta, dan diperkirakan abad 2
Masehi agama Budha masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya
penemuan arca Budha yang terbuat dari perunggu diberbagai daerah di Indonesia
antara lain Sempaga (Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumsel). Dilihat
ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam Amarawati (India Selatan) dari
abad 2 - 5 Masehi. Dan di samping itu juga ditemukan arca perunggu berlanggam
Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kaltim).
Pada umumnya para ahli cenderung
kepada pendapat yang menyatakan bahwa masuknya budaya Hindu ke Indonesia itu
dibawa dan disebarluaskan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Bukti
tertua pengaruh budaya India di Indonesia adalah penemuan arca perunggu Buddha
di daerah Sempaga (Sulawesi Selatan). Dilihat dari bentuknya, arca ini
mempunyai langgam yang sama dengan arca yang dibuat di Amarawati (India).
Para ahli memperkirakan, arca Buddha tersebut merupakan barang dagangan
atau barang persembahan untuk bangunan suci agama Buddha. Selain itu, banyak
pula ditemukan prasasti tertua dalam bahasa Sanskerta dan Malayu kuno.
Berita yang disampaikan prasasti-prasasti itu memberi petunjuk bahwa
budaya Hindu menyebar di Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.[4]
2.
Interaksi Dengan Kebudayaan Indonesia dan Perkembanganya
Indonesia adalah negara yang kaya
akan budaya, dan sangat erat kaitanya dengan tindak tutur manusia dalam
kehidupannya sehari-hari. Khususnya Pulau Jawa tradisi lokal pribumi Jawa
sendiri sejak dulu telah mewarnai kebudayaan setempat. Di tambah lagi
dengan masuknya pengaruh dari Hindu-Buddha yang di terima dengan baik dan ramah
oleh orang-orang Jawa karena memang banyak kesamaan dengan kepecayaan asli
bangsa Indonesia. Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia banyak ditandai
dengan munculnya kerajaan-kerajaan serta bangunan-bangunan yang bercorakan
Hindu-Buddha, diantaranya:
Kerajaan dan Bangunan Yang Bercorak
Hindu
a.
Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai merupakan kerajaan
tertua bercorak Hindu di Indonesia. Kerajaan ini terletak di Kalimantan,
tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai sendiri diambil dari nama tempat
ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh buah yupa
merupakan sumber utama bagi para ahli untuk menginterpretasikan sejarah
Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang
memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman.
Mulawarman adalah anak Aswawarman
dan cucu Kudungga, Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh
bahasa Sansekerta. Putra Kudungga, Aswawarman, kemungkinan adalah raja pertama
kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti
Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk
Keluarga.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman.
Dari yupa, diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai
mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah
Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
b.
Kerajaan Tarumanegara
Sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara
diperoleh dari prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan. Namun, tulisan pada
beberapa prasati, seperti pada Prasati Muara Cianten dan Prasasti Pasir Awi
sampai saat ini belum dapat diartikan. Banyak informasi berhasil diperoleh dari
tulisan pada kelima prasasti lainnya, terutama Prasasti Tugu yang merupakan
prasasti terpanjang, Tujuh prasasti dari kerajaan Tarumanegara adalah: Prasasti
Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara Cianten,
Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti Munjul.
Sumber sejarah penting lain yang
dapat menjadi bukti keberadaan kerajaan Tarumanegara adalah catatan sejarah
pengelana Cina. Catatan sejarah pengelana Cina yang menyebutkan keberadaan
Kerajaan Tarumanegara adalah catatan perjalanan pendeta Cina Fa-Hsein, pada
tahun414 dan catatan kerajaan Dinasti Sui dan Dinasti Tang. Dari salah satu
prasasti, yakniPrasati Ciaruteun yang ditemukan di Desa Ciampea, Bogor,
diketahui bahwa Purnawarman dikenal sebagai raja yang gagah berani. Data
sejarah yang lebih jelas, terdapat pada Prasasti Tugu. Pada prasasti yang
panjang ini, dikatakan bahwa pada tahun pemerintahannya yang ke-22, Purnawarman
telah menggali Sungai Gomati. Dari prasati tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Purnawarman memerintah dalam waktu yang cukup lama.
Kerajaan dan Bangunan Yang Bercorak
Buddha
a.
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya didirikan ± abad
ke-7 hingga tahun 1377.[5] Pada mulanya Kerajaan Sriwijaya berpusat
di sekitar Sungai Batanghari, pantai timur Sumatra, tetapi pada perkembangannya
wilayah kerajaan Sriwijaya meluas hingga meliputi wilayah Kerajaan Melayu,
Semenanjung Malaya, dan Sunda (kini wilayah Jawa Barat). Catatan mengenai
kerajaan-kerajaan di Sumatra didapat dari seorang pendeta Buddha dari Tiongkok
yang bernama I-Tsing yang pernah tinggal di Sriwijaya antara tahun 685-689 M.
Dari Prasasti Kedukan Bukit (683),
dapat diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya dengan menaklukan daerah Minangatamwan, Jambi. Daerah Jambi
sebelumnya adalah wilayah kerajaan Melayu. Daerah itu merupakan wilayah
taklukan pertama Kerajaan Sriwijaya. Dengan dikuasainya wilayah Jambi, Kerajaan
Sriwijaya memulai peranannya sebagai kerajaan maritim dan perdagangan yang kuat
dan berpengaruh di Selat Malaka. Ekspansi wilayah Kerajaan Sriwijaya pada abad
ke-7 menuju ke arah selatan dan meliputi daerah perdagangan Jawa di Selat
Sunda.
Kerajaan Sriwijaya mengalami
kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa. Pada masa itu, kegiatan
perdagangan luar negeri ditunjang juga dengan penaklukan wilayah-wilayah
sekitar. Sepanjang abad ke-8, wilayah Kerajaan Sriwijaya meluas kea rah utara
dengan menguasai Semenanjung Malaya dan daerah perdagangan di Selat Malaka dan
Laut Cina Selatan. Sejarah tentang Raja Balaputradewa dimuat dalam dua
prasasti, yaitu Prasasti Nalanda dan Prasasti Ligor.
Raja kerajaan Sriwijaya yang
terakhir adalah Sri Sanggrama Wijayatunggawarman. Pada masa pemerintahan Sri
Sanggrama Wijayatunggawarman, hubungan Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Chola
dari India yang semula sangat erat mulai renggang. Hal itu disebabkan oleh
seranggan yang dilancarkan Kerajaan Chola di bawah pimpinan Rajendracoladewa
atas wilayah Sriwijaya di semenanjung Malaya. Serangan-serangan tersebut
menyebabkan kemunduran kerajaan Sriwijaya.
b.
Sailendra di Mataram
Sekitar tahun ± 775-850 M di daerah
Bagelan dan Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari Wangsa Sailendra yang memeluk
agama Buddha. Dan pada kerajaan inilah Mataram mengalami masa keemasaan
dan daerah-daerah yang berada dibawah pemerintahan Sailendra. Dan pada
masa raja Sailenra lah banyak seniman-seniman Indonesia yang telah melahirkan
karya-karya yang mengagumkan, misalnya candi Borobudur, candi paling besar yang
dibangun pada masa pemerintahan raja Sailendra. Selain itu ada candi
Pawon, Mendut, Kalasan dan Sewu[6].
c.
Kerajaan Majapahit
Kerajaan bercorak Hindu yang
terakhir dan terbesar di pulau Jawa adalah Majapahit. Nama kerajaan ini berasal
dari buah maja yang pahit rasanya. Ketika orang-orang Madura bernama Raden
Wijaya membuka hutan di Desa Tarik, mereka menenukan sebuah pohon maja yang
berubah pahit. Padahal rasa buah itu biasanya manis. Oleh karena itu mereka
menamakna permukiman mereka itu sebagai Majapahit. Daerah ini merupakan daerah
yang diberikan Raja Jayakateang dari Kerajaan Kediri kepada Raden Wijaya. Raja
Wijaya adalah menantu Raja Kertanegara dari kerajaan Singasari. Pada saat
Kerajaan Singasari diserbu dan dikalahkan oleh Jayakatwang, Raden Wijaya berhasil
melarikan diri. Ia mencari perlindungan kepada Bupati Madura yang bernama Arya
Wiraraja. Dengan bantuan orang-orang Madura, ia membangun pemuliman di Desa
Tarik yang kemudian diberi nama Majapahit tersebut.
Pada tahun 1292, armada Cina yang
terdiri dari 1.000 buah kapal dengan 20.000 orang prajurit tiba di Tuban, Jawa
Timur. Tujuan mereka adalah menghukum Raja Kertanegara yang menyatakan tidak
mau tunduk kepada Kaisar Kubilai Khan dari Cina. Mereka tidak mengetahui bahwa
Raja Kertanegara dari Singasari itu telah meninggal dikalahkan oleh Raja
Jayakatwang dari Kediri.
Melihat peluang ini, Raden Wijaya
mengambil kesempatan untuk merebut kembali Kerajaan Singasari. Ia menggabungkan
diri dengan pasukan cina dan menyerang Raja Jayakatwang di Kediri. Kerajaan Kediri
tidak mampu menghadapi serangan itu. Raja Jayakatwang berhasil dikalahkan.
Kemenangan itu membuat pasukan Cina bergembira dan berpesta pora. Mereka tidak
menyaka kalau kesempatan itu dipakai oleh Raden Wijaya untuk balik menyerang
mereka. Pasukan Raden Wijaya berhasil mengusir armada Cina kembali ketanah
airnya. Sejak saat itu Kerajaan Majapahit dianggap sudah berdiri.
Raden Wijaya naik tahta sebagai Raja
Majapahit pada tahun 1293 dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Pada tahun
1295., berturut-turut pecah pembrontakan yang dipimpin oleh Rangga lawe dan
disusul oleh Saro serta Nambi. Pembrontakan-pembrontakan itu bisa dipadamkan.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 dan mendapat penghormatan di dua tempat,
yaitu Candi Simping (Sumberjati) dan Candi Artahpura.
Setelah Raden Wijaya wafat, putera
permaisuri Tribuwaneswari yang bernama Jayanegara menggantikannya sebagai Raja
Majapahit. Pada awal pemerintahannya Jayanegara harus menghadapi sisa pemberontakan
yang meletus dimasa ayahnya masih hidup. Selain pembrontakan Kuti dan Sumi,
Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan pengawal (Bhayangkari) yang dipimpin
oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke Desa Bedager.
Raja Jayanegara wafat tahun1328
karena dibunuh oleh salah seorang anggota dharmaoutra yang bernama Tanca. Oleh
karena ia tidak mempunyai putra ia kemudian digantikan oleh adik perempuannya
Bhre Kahuripan yang bergelar Tribuanatunggadewi Jayawishnuwardhani. Suaminya
bernama Cakradhara yang berkuasa di Singasari dengan gelar Kertawerdhana.
Dari kitab Negarakertagama,
digambarkan adanya beberapa pemberontakan di masa pemerintahan Ratu
Tribuanatunggadewi. Pembrontakan yang paling berbahaya adalah pemberontakan di
Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Namun pemberontakan itu pemberontakan itu
dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah itu Gajah Mada bersumpah di hadapan
Raja dan para pembesar kerajaan bahwa ia tidak akan amukti palapa (memakan buah
palapa), sebelum ia dapat menundukan Nusantara.
Pada tahun 1334, lahirlah putra
mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama Hayam Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu
Tribuanatunggadewi mengundurkan diri setelah berkuasa 22 tahun. Ia wafat pada
tahun 1372. Pada tahun 1350, Hayam Muruk dinobatkan sebagai raja Majapahit dan
bergelar Sri Rajasanagara. Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubumi.
Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai
puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai wilayah yang sangat luas.
Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk pada Majapahit.
Gajah Mada meninggal tahun 1364.
Meninggalnya Gajah Mada menjadi titik tolak kemunduran Majapahit. Setelah Gajah
Mada tidak ada negarawan yang kuat dan bijaksana. Keadaan semakin memburuk
setelah Hayam Wuruk juga meninggal pada tahun 1389. Hayam Wuruk tidak memiliki
putra mahkota. Tahta kerajaan Majapahit diberikan pada menantunya yang bernama
Wikramawardhana (suami dari putri mahkota Kusumawardhani). Hayam Wuruk
sebenarnya memiliki putra yang bernama Bhre Wirabhumi. Namun, dia bukan anak
dari permaisuri sehingga tidak berhak mewarisi tahta Kerajaan Majapahit.
Meskipun demikian, Wirabhumi tetap
diberi kekuasaan di wilayah kekuasaan di wilayah Kerajaan sebelah Timur, yaitu
Blambangan. Dengan cara tersebut, kemungkinan perpecahan antara Bhre Wirabhumi
dan Wikramawardhana berhasil diredam. Masalah kembali timbul ketika tahta
Kerajaan Majapahit kembali kosong setelah Kusumawardhani meninggal dunia pada
tahun 1400. Wikramawardhana berniat untuk menjadi pendeta dan menunjuk putrinya,
Suhita, menjadi ratu Kerajaan Majapahit.
Pada tahun 1401, pecah perang antara
keluarga Wikramawardhana dan Wirabhumi yang dikenal sebagai Perang Paregreg.
Perang Paregreg baru berakhir pada tahun 1406 dengan terbunuhnya Bhre
Wirabhumi. Parang saudara ini semakin melemahkan Kerajaan Majapahit. Satu demi
satu daerah kekuasaannya melepaskan diri. Tidak ada lagi raja yang kuat dan
mampu memerintah kerajaan yang demikian luas. Menurut catatan. Kerajaan
Majapahit runtuh sekitar tahun 1500 yang didasarkan pada tahun bersimbol Sirna
Ilang Kertaning Bhumi.
SEJARAH MASUKNYA AGAMA HINDU DI BALI
Masa Prasejarah
Zaman prasejarah Bali merupakan awal
dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa
itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum
dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti
tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali
keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang,
maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat
memenuhi segala harapan kita.
Berkat penelitian yang tekun dan
terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra
Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian
terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama
Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche
Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah
W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang
pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa
catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura Bukit Penulisan.
Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang
berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba,
Tegallalang.
Penelitian prasejarah di Bali
dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus
on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs.
R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu
tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk
Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan
nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah
museum.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah
ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali
pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi :
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
- Masa bercocok tanam
- Masa perundagian
Masa Berburu dan Mengumpulkan
Makanan Tingkat Sederhana
Sisa-sisa dari kebudayaan paling
awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960
dengan ditemukan di Sambiran (Buleleng bagian timur), serta di tepi timur dan
tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam,
kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua
daerah tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar.
Kehidupan penduduk pada masa ini
adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya. Mereka
hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah
yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung persediaan makanan dan air yang
cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh
kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum
laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk menghadapi
segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk
menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari alam
sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah manusia pada
masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu sama lainnya.
Walaupun bukti-bukti yang terdapat
di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di Pacitan (Jawa
Timur) dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa
alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan
alat-alat batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus
erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari
Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau
keturunannya.
Masa Berburu dan Mengumpulkan
Makanan Tingkat Lanjut
Pada masa ini corak hidup yang
berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan
makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya
yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan
manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua
Selonding, Pecatu (Badung). Gua ini terletak di pegunungan gamping di
Semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang
Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah
berlangsung disana. Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan alat-alat terdiri
dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di
antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat
sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan.
Alat-alat semacam ini ditemukan pula
di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan
terkenal pula di Australia Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan
dinding-dinding gua, yang menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan
kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di
dinding-dinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa,
burung, manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya.
Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih
kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga di antaranya adalah lukisan
kadal seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin mengandung arti
kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala
suku.
Masa Bercocok Tanam
Masa bercocok tanam lahir melalui
proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik
amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada
masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah
cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi
menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat
besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas kedalam
perekonomian dan kebudayaan.
Sisa-sisa kehidupan dari masa
bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai
ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori Kern dan teori Von
Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa Austronesia, yang mulai
datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman neolithik.
Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang
penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama
terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya melalui
jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara kita.
Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa Austronesia dan
gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada gelombang
kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa
Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang
terkenal pada masa ini. Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan
jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat
berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli berpendapat bahwa bahasa
Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan sebagai
bahasa Austronesia.
Masa Perundagian
Gong, yang ditemukan pula di
berbagai tempat di Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar
dari masa perundagian.
Dalam masa neolithik manusia
bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya
menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri
(pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia
berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada zaman ini jenis manusia yang
mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari
berbagai tempat, yang terpenting di antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer
Lor (Banten), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari
temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan
penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah
menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada
rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang
manusia ketika itu.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah
ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian
telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara
penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus
yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya
ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti
ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini
ternyata cukup menarik perhatian di antaranya terdapat hampir 100 buah kerangka
manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi
penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar (Banten), Sabbang (Sulawesi
Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini
berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea.
Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan
yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu
ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara
kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi
megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat
dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang
terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in terdapat
sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal
dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya
ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping
desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat
pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah
pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada
umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras berundak,
batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu
kali.
Temuan lainnya yang penting juga
ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel
(Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu
terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan
penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting
yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.
Masuknya Agama Hindu
Gua Gajah (sekitar abad XI), salah
satu peninggalan masa awal periode Hindu di Bali.
Berakhirnya zaman prasejarah di
Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad
pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya
kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya
pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena
didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam
zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti
abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi
kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan
datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan
Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman
dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari
Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913
Masehi yang menyebutkan kata "Walidwipa". Demikian pula dari
prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti
Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.
Di antara raja-raja Bali, yang
banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang
susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan
Anak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan
Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua 882-914, badan ini disebut dengan istilah
"panglapuan". Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut
dengan istilah "pakiran-kiran i jro makabaihan". Badan ini
beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.
Di dalam prasasti-prasasti sebelum
Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu.
Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni
menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja
istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi
rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa
atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.
Dalam bidang agama, pengaruh zaman
prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada
zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan
dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan
berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang
batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini
terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak.
Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman
sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman
setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja
Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa
itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa,
sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu
Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat
itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya,
ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan
agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang
menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai pembantu
raja