MAKALAH HUKUM NIKAH JARAK JAUH
Monday, October 5, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Urusan perkawinan di
Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 serta
diatur ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam. Saripati aturan-aturan
Islam mengenai perkawinan, perceraian, perwakafan dan pewarisan ini
bersumber dari literatur-literatur fikih Islam klasik dari berbagai
madzhab yang dirangkum dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
Indonesia. Kedua dasar hukum mengenai perkawinan dan urusan keluarga
tersebut diharapkan dapat menjadi pijakan hukum bagi rakyat Indonesia
yang akan melaksanakan perkawinan. Namun dalam praktek pelaksanaan
perkawinan yang berlaku di masyarakat, banyak muncul hal-hal baru yang
bersifat ijtihad, dikarenakan tidak ada aturan yang tertuang secara
khusus untuk mengatur hal-hal tersebut.
Kurang lebih satu dekade
yang lalu, muncul peristiwa menarik dalam hal pelaksanaan akad nikah
yang dilakukan secara tidak lazim dengan menggunakan media telepon.
Kemudian status pernikahan ini dimohonkan pengesahannya melalui
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan
status hukumnya dikukuhkan dengan dikeluarkannya Surat Putusan No.
1751/P/1989. Meski Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengesahkan praktek
semacam ini, namun putusan ini tetap dianggap riskan. Kabarnya, Mahkamah
Agung menegur hakim yang memeriksa perkara tersebut karena
dikhawatirkan menimbulkan preseden yang tidak baik.
Peristiwa yang serupa
dengan itu terulang kembali. Kali ini praktek akad nikah tertolong
dengan dunia teknologi yang selangkah lebih maju dengan menggunakan
fasilitas video teleconference. Teknologi video teleconference lebih
mutakhir dari telepon, karena selain menyampaikan suara, teknologi ini
dapat menampilkan gambar atau citra secara realtime melalui jaringan
internet. Hal ini seperti yang dipraktekkan oleh pasangan Syarif
Aburahman Achmad ketika menikahi Dewi Tarumawati pada 4 Desember 2006
silam. Ketika pelaksanaan akad nikah, sang mempelai pria sedang berada
di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sedangkan pihak wali beserta mempelai
wanita berada di Bandung, Indonesia. Kedua belah pihak dapat
melaksanakan akad nikah jarak jauh berkat layanan video teleconference
dari Indosat.
Hal ini tidak berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh pasangan Sirojuddin Arif dan Iim
Halimatus Sa'diyah. Dengan memanfaatkan teknologi ini, mereka
melangsungkan akad nikah mereka pada Maret 2007 silam. Hanya
perbedaannya adalah, kedua mempelai sedang berada di aula kampus Oxford
University, Inggris, sedangkan wali mempelai berada di Cirebon,
Indonesia ketika akad nikah dilangsungkan.
Fenomena seperti ini
menggelitik untuk dikaji dan dikomentari oleh para pakar hukum keluarga
Islam di Indonesia. Oleh sebab praktik akad nikah jarak jauh dengan
menggunakan media teknologi ini belum pernah sekalipun dijumpai pada
jaman sebelumnya. Praktek akad nikah pada jaman Nabi dan para Salafus
shalih hanya menyiratkan diperbolehkannya metode tawkil, yakni pengganti
pelaku akad apabila pihak pelaku akad (baik wali maupun mempelai pria)
berhalangan untuk melakukannya. Oleh karena itu, penulis juga tertarik
untuk memaparkan tentang fenomena nikah jarak jauh tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar
belakang masalah yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, penulis
mengajukan beberapa masalah sebagai berikut:
- Bagaimana hukum akad nikah melalui telepon?
- Apa dasar-dasar yang dipakai dalam menentukan hukum akad nikah melalui telepon?
- Bagaimana metode ijtihad dalam menentukan hukum akad nikah melalui telepon?
1.3. Ruang Lingkup
Dalam makalah ini,
penulis membatasi masalah yang akan dibahas pada materi kuliah Agama.
Pembahasan lebih dikhususkan pada masalah pernikahan jarak jauh.
1.4. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penyusunan
tugas ini adalah untuk memenuhi dan melengkapi salah satu tugas mata
kuliah Agama di Bina Sarana Informatika. Sedangkan tujuan dari penulisan
tugas ini adalah:
- Mengembangkan kreativitas dan wawasan penulis.
- Memberikan uraian tentang analisa hukum Islam terhadap pernikahan jarak jauh.
- Menelaah lebih lanjut mengenai hukum nikah jarak jauh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Umum
Nikah atau perkawinan
ialah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulakn hak dan
kewajiban antara keduannya. Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Islam
menganjurkan umatnya untuk menikah dan melarang tidak menikah.
Larangan tidak menikah
terdapat dalam Al Qur’an surat Al Hadid ayat 27 yang artinya “Kemudian
Kami iringi di belakang mereka dengan Rosul-Rosul Kami dan Kami iringi
(pula) dengan Isa Putra Maryam ; dan Kami berikan kepadanya Injil dan
Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan
kasih sayang. Dan mereka mengada-ada RAHBANIYAH padahal Kami tidak
mewajibkan kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adanya)
untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliiharaan yang semestinya. Maka Kami berikan pada orang-orang yang
beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka
orang-orang fasik.“ Rahbaniyah adalah tidak beristri atau tidak bersuami
dan mengurung diri dalam biara. Rosulullah saw. bersabda, “Sedangkan
aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi wanita, maka
barang siapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk umatku.” (HR.
Muslim No. 1401)
Anjuran untuk menikah
terdapat dalam Al Qur’an surat Ar Rum ayat 21 yang artinya “Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir.“
2.1.1. Hukum Nikah
Hukum nikah ada 4, yaitu:
1. Jaiz adalah boleh (merupakan dasar dari hukum nikah).
2. Sunnah adalah bagi orang yang berkehendak dan cukup belanjanya (nafkah dan lain-lain).
Sabda Nabi Muhammad saw.
yang artinya “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menggantikan kependetaan
itu dengan agama yang lurus dan lapang.“
Abu Abbas berkata, “Tidak tercapai kesempurnaan orang beribadah sebelum ia kawin terlebih dahulu.“
3. Wajib adalah bagi orang yang cukup mempunyai nafkah dan khawatir akan terjerumus maksiat.
4. Makruh adalah bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah, namun sudah punya hasrat menikah yang kuat.
2.1.2. Tujuan Nikah
Tujuan menikah adalah :
1. Mengikuti Sunnah Rosul
Sabda Nabi saw. yang
artinya “Ada empat macam di antara sunnah pada Rosul yakni : berinai,
memakai wangi-wangian, menggosok gigi dan menikah.“
2. Membentuk
keluarga sakinah, mawadah, dan warohmah (bahagia lahir dan batin) yang
dapat terbina apabila masing-masing anggota keluarga melaksanakan
fungsinya. Sebagaimana tersebut dalam Surat Ar Rum ayat 21 dan dalam UU
RI Nomor 1 Tahun 1974.
3. Untuk memenuhi kebutuhan biologis yang diridhoi Allah swt.
4. Untuk memperoleh keturunan yang sah.
2.1.3. Rukun Nikah
Pengertian rukun yaitu sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud kecuali dengannya. Rukun nikah ada 5, yaitu :
1. Calon Suami
2. Calon Istri
3. Sighat akad (ijab qabul)
4. Wali mempelai perempuan
Sabda
Nabi saw yang artinya “Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin
walinya maka pernikahan itu batal (tidak sah).“ (HR. Empat orang ahli
hadist kecuali Nasa’i).
5. Dua orang saksi
Sabda Rosulullah saw. yang artinya “Tidak sah menikah melainkan dengan walinya dan dua orang saksi yang adil.“
2.1.4. Akad Nikah
Ketika taaruf antara
ikhwan dan akhwat sudah semua disepakati, maka disunahkan untuk segera
mengkhitbahnya, dan segera dilangsungkan akad nikah untuk menghindari
fitnah. Perlu kita ketahui bahwa dalam akad nikah hal-hal yang
disyariatkan dan wajib ada adalah :
1. Adanya suka sama suka antara kedua calon mempelai
2. Adanya Wali
3. Adanya Saksi
4. Adanya Mahar
5. Adanya Ijab Qabul
Dan menurut sunnah, sebelum akad nikah dimulai, terlebih dahulu diadakan khutbah yang dinamakan ”khutbatun nikah”.
Suka sama suka antara
kedua calon mempelai adalah sebuah keharusan, karena mereka berdua yang
akan menjalani hidup berumah tangga maka dibutuhkan keikhlasan diantara
keduanya. Maka taaruf sebelum pernikahan dan melihat calon sebelum
pernikahan sangat dianjurkan.
Wali sebagaimana kita
tahu adalah ayah dari calon mempelai wanita yang seagama, jika tidak ada
maka bisa digantikan oleh kakak tertua yang laki-laki, atau jika memang
sudah tidak ada sama sekali orang yang bisa dijadikan wali, maka
diambilah wali hakim Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh
Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan
kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah dengan syarat sudah tidak
ada lagi yang bisa mewakili atau menjadi wali bagi calon mempelai
wanita.
Saksi berfungsi sebagai
alat bukti apabila ada pihak ketiga yang meragukan perkawinan tersebut.
Juga mencegah pengingkaran oleh salah satu pihak. Syarat sebagai saksi
nikah adalah laki-laki, muslim, adil, balig, tidak terganggu ingatan dan
tidak tuna rungu. Saksi nikah minimal harus dua dan hadir serta
menyaksikan secara langsung akad nikah, menandatangani akta nikah pada
waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.
Mahar merupakan
pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang
selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh.
Dalam
masalah mahar, wajib hukumnya seorang lelaki memuliakan wanita dan
memberikan sesuatu yang paling bagus menurut kemampuannya, dan bagi
wanita boleh meminta mahar kepada calon yang akan menikahinya, namun
lebih baik kalau mahar yang diminta itu yang mudah di dapat dan tidak
memberatkan calon suaminya.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Wanita yang paling agung barakahnya, adalah
yang paling ringan maharnya” (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan
sanad yang shahih).
Namun jika calon suami
ingin memberi lebih kepada calon istrinya, itu tidak menjadi masalah,
asal dia rela dan ikhlas dengan pemberian tersebut, seperti yang
tertulis dalam Al Qur’an.
“Berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan …” (QS An-Nissaa :4).
Ijab adalah ungkapan
pertama kali yang diucapkan wali wanita dan Qobul adalah ungkapan
penerimaan yang diucapkan oleh calon suami. Ijab qobul boleh dilakukan
dengan bahasa, ucapan dan ungkapan apa saja yang tujuannya diketahui
untuk menikah. Hasil dari akad nikah ini kemudian dicatat oleh penghulu
(KUA) untuk dicatatkan dalam berita acara pernikahan dan masing-masing
akan diberikan buku nikah suami dan istri.
2.2. Dilema Pernikahan Pada Masa Perkembangan Teknologi
Sebagaimana hasil ilmu
pengetahuan dan teknologi, muncul permasalahan baru dalam soal
perkawinan yaitu tentang sahnya akad nikah yang ijab qabulnya
dilaksanakan melalui telepon. Ada contoh kasus yaitu ada seorang ayah
yang ingin menikahkan anaknya, tetapi perjalanan seorang ayah tersebut
masih tertunda di Jakarta sedangkan akad nikah yang dilaksanakan di
Yogyakarta akan segera dilaksanakan karena rukun nikah sudah terpenuhi
kecuali wali perempuan. Ayah dari mempelai perempuan tetap bersikeras
ingin menikahkan anaknya sendiri tanpa diwakilkan. Jalan keluar yang
diambil yaitu akad nikah dilaksanakan dengan menggunakan video call atau
3G. Dari kasus tersebut, timbul suatu keraguan apakah pernikahan
tersebut sah atau tidak sehingga perlu dilakukan akad nikah ulang.
Menentukan sah atau
tidaknya suatu nikah, tergantung pada dipenuhi atau tidaknya rukun-rukun
nikah dan syarat-syaratnya. Secara formal, nikah lewat telepon dapat
memenuhi rukun-rukunnya, yakni adanya calon suami dan istri, dua saksi,
wali pengantin putri, dan ijab qabul. Namun, jika dilihat dari segi
syarat-syarat dari tiap-tiap rukunnya, tampaknya ada kelemahan atau
kekurangan untuk dipenuhi. Misalnya, identitas calon suami istri perlu
dicek ada atau tidaknya hambatan untuk kawin (baik karena adanya
larangan agama atau peraturan perundang-undangan) atau ada tidaknya
persetujuan dari kedua belah pihak. Pengecekan masalah ini lewat telepon
sebelum akad nikah adalah cukup sukar. Demikian pula pengecekan tentang
identitas wali yang tidak bisa hadir tanpa taukil, kemudian ia
melangsungkan ijab qabul langsung dengan telepon. Juga para saksi yang
sahnya mendengar pernyataan ijab qabul dari wali dan pengantin putra
lewat telepon dengan bantuan mikropon, tetapi mereka tidak bisa melihat
apa yang disaksikan juga kurang meyakinkan. Demikian pula ijab qabul
yang terjadi di tempat yang berbeda lokasinya, apalagi yang sangat
berjauhan seperti antara Jakarta dan Bloomington Amerika Serikat yang
berbeda waktunya sekitar 12 jam.
Oleh karena itu, nikah
lewat telepon itu tidak sah dan tidak dibolehkan menurut Hukum Islam,
karena selain terdapat kelemahan atau kekurangan dan keraguan dalam
memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya sebagaimana diuraikan
diatas, juga berdasarkan dalil-dalil syara’ sebagai berikut :
1. Nikah
itu termasuk ibadah. Oleh karena itu, pelaksanaan nikah harus sesuai
dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih, berdasarkan
kaidah hukum:
الاصل فى العبادة حرام
“Pada dasarnya, ibadah itu haram”.
Artinya, dalam masalah ibadah, manusia tidak boleh membuat-buat (merekayasa aturan sendiri).
2. Nikah
merupakan peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan
itu bukanlah sembarangan akad, tetapi merupakan akad yang mengandung
sesuatu yang sacral dan syiar islam serta tanggungjawab yang berat bagi
suami istri, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat nisa’ ayat :
21.
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”
3. Nikah lewat telepon
mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau
penipuan (gharar atau khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan
(confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan
syarat-syarat nikahnya dengan baik. Dan yang demikian itu tidak sesuai
dengan hadist Nabi atau kaidah fiqih.
لا ضرر ولا ضرارا
“Tidak boleh membuat mudarat kepada diri sendiridan kepada orang lain.”
Dan hadis Nabi
دعما يريبك الا مالا يريبك
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau, (berpeganglah) dengan sesuatu yang tidak meragukan engkau.”
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari mafsadah (resiko) harus didahulukan atas usaha menarik (mencari) maslahah”
Peristiwa akad nikah
lewat telepon mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat. Contoh
lain yaitu pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak jauh
Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di
kediaman Prof. Dr. Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon
suami Drs. Ario sutarto yang sedang bertugas belajar di program
Pascasarjana Indiana University Amerika Serikat, sedangkan calon istri
adalah Dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu. Kedua calon
suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama belajar dari
tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga sudah
mendapat restu dari orang tua kedua belah pihak.
Sehubungan dengan tidak
bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan alasan tiadanya biaya
perjalanan pulang pergi Amerika Serikat-Jakarta dan studinya agar tidak
terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) agar
diusahakan adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon
suami kepada seseorang yang bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab
qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu
pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat taukil
itu, padahal surat undangan untuk walimatul urs sudah tersebar, maka
Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala
sesuatu yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei
1989, antara lain dengan melengkapi pesawat telepon di rumahnya dengan
alat pengeras suara (mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape
recorder dan video. Alat pengeras suara itu dimaksudkan agar semua orang
yang hadir di rumah Baharuddin dan juga di tempat kediaman calon suami
di Amerika Serikat itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan baik,
artinya semua orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu
dapat mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali
mempelai putri dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki,
sedangkan alat perekam itu dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat
bukti otentik atas berlangsungnya akad nikah pada hari itu.
Setelah akad nikah
dilangsungkan lewat telepon, tetapi karena surat taukil dari calon suami
belum juga datang pada saat akad nikah dilangsungkan, maka kepala KUA
Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia mencatat nikahnya dan
tidak mau memberikan surat nikah, karena menganggap perkawinannya belum
memenuhi syarat sahnya nikah, yakni hadirnya mempelai laki-laki atau
wakilnya.
Peristiwa nikah tersebut
mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari
kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka menganggap
tidak sah nikah lewat telepon itu, antara lain Munawir Syadzali, M.A
Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI pusat, dan Prof. DR.
Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan tindakan kepala KUA
tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak memberikan surat
nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah,
mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan
confused (keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah
dan syarat-syarat secara sempurna menurut hukum Islam.
Ada ulama yang
berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum
safe, sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang
berlainan jenis kelaminnya itu melakukan hubungan sek s ual sebagai
suami istri yang sah. Adapula ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat
telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi
kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap nikah lewat telepon
itu tidak sah secara mutlak.
Proses pernikahan dalam
Islam mempunyai aturan-aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang
sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan
qabul, sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran
dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan
transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh
karena itu calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga
wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun
harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad pernikahan.
Ketika seseorang menikah
lewat telpon, maka banyak hal yang tidak bisa terpenuhi dalam akad
nikah lewat telpon tadi, diantaranya : tidak adanya dua saksi, tidak
adanya wali perempuan, dan tidak ketemunya calon pengantin ataupun
wakilnya. Ini yang menyebabkan akad pernikahan tersebut menjadi tidak
sah.
Seandainya dia
menghadirkan dua saksi dan wali perempuan dalam akad ini, tetap saja
akad pernikahan tidak sah karena kedua saksi tersebut tidak menyaksikan
apa-apa kecuali orang yang sedang menelpon, begitu juga wali perempuan
tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Suara yang ada ditelpon itu belum
tentu suara calon suami atau istri. Ringkasnya bahwa akad pernikahan
melalui telpon berpotensi untuk salah, atau rentan terjadinya penipuan
dan manipulasi.
Dalam syariat Islam, akad nikah tidak terjadi antara seorang calon suami dengan calon isteri. Melainkan antara ayah kandung seorang wanita dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Maka tidak ada akad nikah kalau tidak melibatkan keduanya bersama.
Sama dengan jual beli, kita diharamkan membeli barang dari orang yang bukan
pemilik sah suatu barang. Misalnya dari penadah atau dari pencuri. Kita hanya
boleh membeli barang dari pemiliknya. Paling tidak, atas izin dari pemilik barang. Misalnya kita beli sebidang tanah, jangan mau kalau orang yang mengaku sebagai pemilik tanah itu tidak bisa menujukkan bukti-bukti kepemilikannya, misalnya SHM atau paling tidak girik. Sebab kalau kita asal beli begitu saja, jangan-jangan tanah itu sudah ada yang punya. Kita akan terlibat sengketa tanah tak berkesudahan nantinya.
Begitu juga ketika menikahkan anak, kita harus 'membeli' langsung dari 'pemiliknya', yaitu ayah kandung. Bukan maksud kami menyamakan seorang wanita dengan barang, tetapi ini sekedar ilustrasi yang memudahkan. Kita ibaratkan seorang wanita adalah barang yang dimiliki oleh ayah kandungnya. Maka kalau kita mau 'menikahinya', kita harus menyelesaikan akad dan transaksi dengan sang pemilik. Bukan dengan orang lain yang bukan pemilik.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian yang penulis paparkan, dapat penulis simpulkan dan sarankan sebagai berikut :
- Nikah lewat telepon tidak boleh dan tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
- Penetapan/putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang mengesahkan nikah lewat telepon No. 175/P/1989 tanggal 20 April 1990 merupakan preseden yang buruk bagi dunia Peradilan Agama di Indonesia, karena melawan arus dan berlawanan dengan pendapat mayoritas dari dunia Islam.
- Penetapan peradilan agama tersebut hendaknya tidak dijadikan oleh para hakim pengadilan agama seluruh Indonesia sebagai yurisprudensi untuk membenarkan dan mengesahkan kasus yang sama .
3.2. Saran