Resiko Penyakit Ginjal Kronis
Sunday, November 6, 2016
Penderita penyakit ginjal
biasanya memiliki kualitas hidup yang semakin menurun. Apalagi, bila vonis
gagal ginjal dijatuhkan, permasalahan menjadi rumit karena harus memikirkan
biaya untuk cuci darah. Maklum, sekali cuci darah bisa menghabiskan ratusan ribu
hingga jutaan rupiah.
Penanganan masalah ginjal
yang terlambat bisa mengakibatkan fungsi ginjal menurun tanpa sepengetahuan
penderita. Oleh karena itu, melakukan pengecekan kondisi ginjal saat masih
sehat itu perlu sebagai bentuk pencegahan. Bila Anda orang yang berpotensi mengalami
masalah ginjal, cek ginjal seharusnya wajib dilakukan.
Menurut dr. Candra Wibowo,
Sp. PD, dokter spesialis penyakit dalam dari Rumah Sakit Mitra Kemayoran
Jakarta, pencegahan penyakit ginjal itu terletak pada penerapan gaya hidup
sehat. Faktor genetika tidak berpengaruh sebagai penyebab masalah ginjal
“Misalnya orang tua
(mempunyai) batu ginjal, anaknya bisa tidak terkena batu ginjal jika mempunyai
gaya hidup yang baik,” kata dr. Candra seperti dikutip Tribun News.
“Sebaliknya, jika orang tua tidak punya riwayat batu ginjal, tapi gaya hidup
kita jelek, batu ginjal bisa timbul.”
Ada beberapa hal penting
seputar resiko yang memengaruhi penyakit ginjal kronis, di antaranya:
1. Orang tanpa faktor resiko
ginjal
Sebaiknya, orang yang sudah
berumur 40 tahun ke atas memeriksakan fungsi ginjalnya secara keseluruhan.
2. Orang yang berisiko
tinggi
Penderita hipertensi,
diabetes, riwayat gagal ginjal, batu saluran kemih, infeksi saluran kemih
berulang, obesitas, kolesterol tinggi, dan merokok adalah orang yang perlu
mewaspadai kemungkinan terkena penyakit ginjal kronik.
3. Berat badan lahir rendah
Bayi yang beratnya kurang
dari 2.300 gram beresiko menderita penyakit ginjal kronik pada suatu masa.
4. Pendidikan rendah
Ada kecenderungan atau
risiko lebih tinggi mengalami gangguan ginjal, pada orang berpendidikan rendah.
Terutama, menyangkut gaya hidup kurang sehat.
5. Pendapatan rendah
Orang berpenghasilan rendah
rentan mengalami infeksi. Penyebabnya, mereka lebih suka mengonsumsi makanan
berkualitas kurang baik.