Makalah Islamisasi ilmu dan sejarahnya
Tuesday, November 22, 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam
diyakini sebagai sebuah agama yang memperhatikan seluruh kebutuhan umat
manusia. Termasuk di dalamnya dorongan untuk menuntut ilmu. Dalam hal
pengembangan ilmu pengetahuan,umat Islam pernah menhalami kejayaan pada masa
kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Demikiannya juga kehadiran
universitas Islam semisal Universitas al Azhar di Kairo didorong oleh semangat
menuntut ilmu.
Namun
setelah serangan Hulaghu Khan pada abad ke-13 Islam mengalami kemunduran.
Beberapa saat setelah itu,dengan semangat kemodernan dan rasionalitas,Barat
sebagai representasi kawasan Kristen mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ini menurut umat Islam ternyata tidak
diimbangi dengan agama dan spiritualitas yang baik. Barat diduga telah
meninggalkan etika kemanusiaan dalam memajukan ilmu pengetahuan. Tidak
heran,ilmu pengetahuan pada akhirnya ditunggangi oleh kepentingan kolonialisme
dan kapitalisme.
Pada
sisi lain, umat Islam mulai menyadari ketertinggalannya dalam ilmu pengetahuan,
terutama dalam hal yang menyangkut kebutuhan praktis manusia. Untuk urusan ini,
umat Islam dapat menerima Barat tetapi sesuatu yang tidak patut ditiru adalah
keterlepasan ilmu Barat dengan nilai-nilai agama,terutama pasca “perang”
supremasi ilmu dan geraja era modern (abad ke-17 M). Hal ini mendorong ilmuwan
muslim untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis agama.
Gagasan
Islamisasi ilmu di kalangan pemikir Muslim merupakan program epistemologi dalam
rangka membangun (kembali) peradaban Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Islamisasi ilmu dan sejarahnya.
Islamisasi
adalah ”pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos animisme dan tradisi
kebudayaan kebangsaan, dan dari penguasaan sekuler atas akal dan bahasanya
(Syed Muhammad Naquib Al Attas)” 1
Pengislaman
Ilmu atau Islamisasi ilmu adalah wacana yang tak kunjung selesai diperdebatkan
oleh sebagian pemikir Islam. Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai
“Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization
of Knowledge”. Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting malahan
menuntut ilmu diwajibkan semenjak lahir hingga ke liang lahad. Ayat al-Quran
yang pertama yang diturunkan berkaitan dengan ilmu yaitu surah al-’Alaq ayat
1-5. Menurut ajaran Islam, ilmu tidak bebas nilai-sebagaimana yang dikembangkan
ilmuan Barat--akan tetapi sarat nilai, dalam Islam ilmu dipandang universal dan
tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu dalam Islam.
Oleh
kerana itu,sejarah dalam dunia ilmu Islam dahulu telah melahirkan ulama yang
terkemuka yang dapat menguasai ilmu-ilmu “dunia” dan “akhirat”. Mereka berusaha
menyeimbangkan ide-ide besar dalam tamadun yang lain dengan ajaran agama Islam.
Ini dapat dilihat sebagai contoh seperti al-Kindi,Ibnu Sina,al-Ghazali,dan
lain-lain. Mereka berusaha mengetengahkan beberapa ide dasar dan mempertemukan
ilmu “luar“ dengan ajaran Islam. Perbedaannya,mereka tidak mengunakan istilah
“pengislaman Ilmu” kala itu kerana pada saat itu umat Islam begitu cemerlang
dalam ilmu pengetahuan.
Sesungguhnya
usaha pengislaman ilmu ini telah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW dan para
sahabat pada saat turunnya al-Quran dalam bahasa Arab. Al-Quran telah membawa
bahasa Arab ke arah penggunaan yang lebih menenangkan dan damai sehingga
merubah watak, perangai dan tingkah laku orang Arab ketika itu. Al-Quran juga
merubah pandangan hidup mereka tentang alam semesta dan kehidupan dunia.
Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama
sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Oleh itu,islamisasi dalam
arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru. Cuma dalam konteks “kerangka
operasional” pengislaman ilmu-ilmu masa sekarang dicetuskan semula oleh
tokoh-tokoh ilmuwan Islam seperti Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas,
Al-Faruqi, Fazlur Rahman, Syed Hussein Nasr dan lain-lain.
Islamisasi
ilmu ini menjadi perdebatan utama di kalangan para intelektual Islam semenjak
tahun 1970 an. Walaupun ada sarjana muslim membicarakannya tetapi tidak secara
teperinci dan mendalam mengenai konsep dan kerangka pengislaman ilmu. Umpamanya
seperti,Syed Hussein Nasr, Fazlur Rahman, Jaafar Syeikh Idris.
Maka
dapat dikatakan bahwa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai fenomena
modernitas,menarik untuk dicermati. Pada era dimana peradaban modern-sekuler
mencengkeram negeri-negeri Muslim dengan kukuhnya,pemunculan wacana Islamisasi
ilmu pengetahuan dapat dibaca sebagai sebuah “kontra-hegemoni” ataupun
“diskursus perlawanan”. Ia hadir untuk menunjukkan identitas sebuah peradaban
yang sekian lama diabaikan. Tapi,sebuah “kontra-hegemoni” ataupun “diskursus
perlawanan”, adakalanya memunculkan problema dan kontradiksinya sendiri. Itulah
yang ingin coba ditelusuri dalam tulisan ini.
2
B. Pendapat tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dikalangan
para ahli terdapat sikap pro dan kontra tentang islamisasi ilmu pengetahuan.
Dr. Muhammad Arkoun seorang guru besar Islamic Studis pad Universitas Sorbon
Prancis mangatakan bahwa keinginan dari para cendikiawan muslim untuk melakukan
islamisasi ilmu dan teknologi adalah merupakan kesalahan, sebab hal ini dapat
menjebak pada pendekatan yang menganggap bahwa islam hannya semata-mata sebagi
ideologi. Senada dengan itu, di Indonesia juga terdapat yang kurang setuju
dengan arkoun diatas islamisasi ilmu pengetahuan ilmu itu tidak perlu. Lebih lanjut
ia mengatakan: hemat saya, Islamisasi ilmu,bukanlah kerja ilmiah,apalagi kerja
kreatif. Sebab yang dibutuhkan ummat dan lebih-lebih lagi bagi para
cendikiawannya adalah menguasai dan mengembangkan ilmu. Islamisasi ilmu
hannyalah “kerja kreatif” karya orang saja. Sampai tingkat tertentu, tak
ubahnya sebagai kerja tukang dipinggir jalan. Manakala orang atau seorang
ilmuwan berhasil menciptakan atau mengembangkan ilmu,maka orang islam
(sbagian,tentunya),akan mencoba “menangkap” dan berusaha mengislamkannya.
Sedangkan
Usep Fathuddin memberi komentar lebih lanjut,bahwa semangat islamisasi itu
didasari satu anggapan tentang keilmuan dan islam. Streotip yang paling serinng
kita dengar ialah adannya dua kebenaran di dunia ini,kebenaran ilmu dan
kebenaran agama, Ilmu dikatakan sebagai relatif, spekulatif, dan tak
pasti,sementara agama dianggap absolut,trasendental dan pasti.
Sementara
itu terdapat sejumlah kelompok ilmuwan yang mendukung gagasan islamisasi ilmu
pengetahaun. Mulyanto misalnya mengatakan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan
sering dipandang sebagai proses penerapan etika islam dalam pemanfaatan imu
pengetahuan dan kreteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan di
kembangkannya. Dengan kata lain, islam hanya berlaku sebagai kreteria etis diluar
struktur ilmu pengetahuan, Asumsi dasarnya adalah, bahwa ilmu pengetahuan
adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya mereka mereka menganggap mustahil
munculnya ilmu pengetahuan islami, sebagaimana mustahilnya ilmu pengetahuan
Marxisme. Dan islam beserta ideologi-ideologi lainnya, hannya mampu merasuki
subjek ilmu pengetahuan beraksi; lalu menyerahkan kedaulatan muthlak pada
metodologi ilmu bersangkutan. Lebih lanjut mulyanto mengatakan bahwa islamisasi
ilmu pengetahuan,tak lain dari proses pengembalian atau pemurnian ilmu
pengetahuan pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni: tauhid, kesatuan makna
kebenaran, dan kesatuan ilmu pengetahuan.
Perbedaan
diantara para ilmuwan yang berbeda pendapat itu hanya pada soal pendekatan.
Kelompok yang menganggap tidak perlu melakukan islamisasi ilmu
pengetahuan,terkesan ada sedikit rasa gengsi mengambil ilmu pengetahuan dari
barat dan kemudian mengislamkannya. Bagi mereka bahwa umat islam perlu memiliki
ilmu pengetahuan yang islam sebagaimana telah dicatat di zaman klasik. Namun,
caranya bukan dengan mengambil ilmu dari barat yang dan mengislamkannya,
melanikan langsung saja membentuk dan mengembangkan ilmu penngetahuan yang
didasarkan pada corak dan sifat ajaran islam. Sementara itu bagi mereka yang
setuju melakukan islamisasi ilmu pengetahuan,bukan berarti tidak setuju
membentuk ilmu pengetahuan dengan corak islam secara mandiri,melainkan
bersamaan dengan itu dipandang tidak ada salahnya apabila kita mengambil ilmu
pengetahuan dari barat lalu mengislamkannya, sebagaimana halnya barat juga
pernah mengambil ilmu pengetahuan dari islam dizaman klasik lalu mnyesuaikannya
dengan ajaran barat.
C.
Pergulatan Islamisasi Ilmu
Islamisasi
ilmu pengetahuan bergerak pada dua poros utama yaitu: teoritis dan praktis.
Dari segi teoritis pembahasan menyangkut paradigma bebas nilai atau tidaknya
ilmu pengetahuan. Dari segi praktis pembahasan menyangkut nilai kegunaan,
tujuan sains modern yang rasional obyektif serta menyangkut nilai pemanfaatan
bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
Ada
yang mengatakan sains yang sekarang tidak islami seperti kata Sayyed Hossein
Nasr, karena ilmu pengetahuan modern yang berkiblat ke Barat sudah lepas dari
nilai teologisnya (agama). Cara kerja ilmu pengetahuan sudah mengabaikan
prinsi-prinsip agama. Ada yang mengatakan bahwa sains itu netral seperti
almarhum Abdussalam. Oleh karena itu yang perlu dilakukan bukanlah islamisasi
sains, tetapi modernisasi ilmu-ilmu kalam, fiqh dan tasawwuf. Kemunduran
peradaban Islam bersumber pada ketidak mampuan umat Islam menggali Qur’an
secara ilmiah di satu pihak dan kegagalan mengakomodasi tuntutan-tuntutan zaman
sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi.
Dengan
demikian terdapat sebuah spektrum pandangan mengenai relasi sains modern dan
Islam. Dari sains itu tak islami, lewat sains itu netral hingga sains itu sudah
islami (terikat nilai).Sebagai proses, sains tak dapat dilepaskan dan konteks
sosial dan kultural yang selalu berkembang sesuai dengan kemajuan sains sebagai
produk dan teknologi sebagai aplikasi sains.
Dari
segi prakteknya, sains terapan (teknologi) itu bagaikan pisau: di tangan
pembunuh dia menjadi senjata yang mematikan, di tangan dokter bedah dia menjadi
penyelamat manusia. Begitu juga teknologi, misalnya teknologi nuklir bisa
digunakan untuk penghancur, namun dia bisa digunakan untuk sumber energi
pengganti teknologi energi yang menggunakan bahan bakar fosil.
Ilmu
dalam Islam bersifat spiritual. Di dorong oleh semangat semacam ini
epistemologi Islam melahirkan rumus peran sosial ilmu dan hal-hal terlibat di dalamnya.
Ilmu ditujukan untuk ibadah. Dalam hal ini al-Ghazalı merumuskan 3 kelompok
ilmu yaitu 1) jenis-jenis ilmu terpuji dan tercela, 2) etika orang berilmu, dan
3) etika pengajar dan pelajar. Oleh karena itu di dalam Islam persoalan
“relevansi sosial” lebih diunggulkan daripada “relevansi intelektual”, dan
Islam tidak mengenal klaim “bebas nilai” dalam ilmu-pengetahuan.
Dari
penjalasan di atas Islamisasi ilmu sangat perlu dilakukan, baik dari segi
teoritis maupun dari segi praktis. Tetapi dalam hal penamaan, tidak perlu
mencantumkan Islamnya dalam satu frasa semisal, Sastra Islam, Sosiologi Islam,
metalurgi Islam, kimia Islam dan sebagainya. Selain bid’ah secara syari’at,
epistemologinya pun tidak mendesak sampai ke arah itu. Kecuali dalam ilmu-ilmu
tertentu yang menunjukkan kekhasannya, seperti politik Islam dan ekonomi Islam.
DR. Imaduddin Khalil bahkan mengusulkan agar disusun khusus sebuah Kode Etik
Keilmuan Islam.
D. Pendekatan dalam Islamisasi Ilmu
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, sesungguhnya praktik islamisasi ilmu pengetahuan hanya
salah satunya saja. Masyarakat menginginkan agar praktik islamisasi itu
menjangkau seluruh kehidupan umat manusia. Yaitu praktik islamisasi dalam
ilmuekonomi, politik, hukum dan seterusnya. Dengan demikian praktik islamisasi
itu harus melibatkan seluruh pakar dalam berbagai disiplin keadilan.
Praktik
islamisasi dalam berbagai bidang keahlian tersebut kini tengah berlangsung di
masyarakat. Upaya ini dilakukan oleh umat Islam dengan menggunakan pendekatan
yang terkadang berbeda salah satu dan lainnya sebagai berikut.
Pertama,
ada yang menggunakan pendekatan formalistik, verbalistik, dan simbolistik.
Yaitu pendekatan yang menginginkan agar agama secara resmi menjadi dasar
negara,dinyatakan secara eksplisit dalam kata dan diaplikasikan dalam bentuk
simbol yang menjadin logo setiap bidang kehidupan. Praktik islamisasi yang
demikian itu dalam satu segi lebih memperlihatkan sosok yang tegas, lugas dan
transparan dan sekaligus membedakan antara yang Islami dan yang bukan Islami.
Namun,pendekatan yang demikian dapat berakibat timbulnya kecurigaan dan
ketakutan bagi kelompok lain yang secara pluralistik berada di sekitarnya.
Pendekatan yang demikian dapt efektif manakala kondisi sosial keaagamaan dan
lainnya dalam keadaan kondusif seperti pada kasus yang di jumpai di propinsi Aceh
Darussalam.
Kedua,
ada yang menggunakan pendekatan kultural, substansual dan aktual. Dengan
pendekatan ini,agama Islam diupayakan beradaptasi dan mengakomodasi dengan
berbagai kebudayaan yang ada di masyarakat; Islam sebagai rahmat bagi kehidupan
umat manusua dapat dirasakan dengan nyata. Islam benar-benar terlibat dalam
memecahkan masalah kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi, kesehatan,
pemukiman, pendidikan dan kesejahteraan pada umumnya. Islam benar-benar tampak
dalam kenyataan sebagai sebuah sistem kuhidupan yang menyejukkan umat manusia.
Pendekatan yang kedua ini tampak kurang sosoknya secara lahiriah sehingga
terkadang sulit untuk melakukan klaim Islam terhadapnya. Namu secara batiniah
dan substansif dapat dirasakan. Pendekatan yang kedua ini tampak lebih disukai
kelompok lain yang secara empiris memperlihatkan keragaman kultural.
BAB
II
PENUTUP
Sebagaimana
diungkapkan dalam pembuka tulisan ini, posisi gerakan islamisasi ilmu
pengetahuan sebagai sebuah “kontra-hegemoni” sekaligus “ideologi perlawanan”
terhadap upaya dominasi peradaban Barat yang mencengkeram baik lewat
kolonialisme, neo-kolonialisme maupun “invasi pemikiran”, jelas sangat penting.
Lebih tegas, ia adalah sesuatu yang sah secara intelektual maupun politis.
Bahkan merupakan hak dunia Islam, yang sayangnya, memang sebagian besar berada
di dunia ketiga–sebagaimana bagi entitas kebudayaan dan peradaban lainnya–untuk
mempertahankan identitas maupun jatidiri kebudayaan dan peradabannya dengan
merujuk pada akar tradisinya sendiri.
Satu
hal yang kiranya perlu tetap disadari, bahwa setiap hasil pemikiran manusia,
selalu bersifat historis: terikat dengan ruang dan waktu yang melingkungi sang
pemikir. Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, tentulah memiliki
kebenaran-kebenaran tertentu sesuai dengan bingkai ruang dan waktunya. Itu
merupakan sebuah upaya solusi terhadap berbagai problema keumatan yang memang
nyata keberadaannya.
Menjadi
penting bagi kita, pada satu sisi, mengapresiasi dan membuka ruang dialog bagi
gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai suatu sumbangan sekelompok sarjana
Muslim terhadap peradaban umat manusia. Dan pada sisi lain, menjaga agar
gerakan tersebut berada pada bingkai kerja ilmiah, yang ukuran kebenarannya
adalah sejauh mana ia bisa konsisten terhadap premis-premis dasar yang
dibangunnya. Juga sejauh mana ia bisa mengatasi ujian dan verifikasi ilmiah
dari para pengkritiknya. Dan tentu saja, seberapa jauh ia bisa memberi maslahat
bagi umat manusia; setidaknya memecahkan persoalan-persoalan yang dijadikan isu
utama. Sangat naif, jika kemudian terjadi penggeseran orientasi gerakan ini,
dari yang sifatnya ilmiah menjadi politis dan ideologis. Sehingga gagasan
tersebut menjadi gagasan yang tertutup karena dianggap sudah final kebenarannya
atau bahkan diyakini tidak bisa salah karena “berasal dari Tuhan Yang Maha
Benar”.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Faruqi, Ismail Raji. 1995.
Islamisasi Pengetahuan. Terjemahan. Penerbit Pustaka. Bandung
2. Hashim, Rosnani. Gagasan
Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan.
(Pustaka Bandung, Bandung, 2005)
3. Nata, Abudin, Metodologi
Study Islam, (Jakarta: RajaGrafinda Persada, 2006), Sarjuni, S.Ag,
M.Hum.
4. Rekontruksi Ilmu
Pengetahuan, alamat web http://persis67benda.com/index.php?
option=com_fireboard&Itemid=2&func=view&id=18&view=threaded&catid= 3, diakses pada 25 Maret 2009