Makalah Dampak Bahaya Ekonomi
Friday, November 18, 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Persaingan global merupakan momok yang mengerikan bagi para pengusaha
industri terutama industri menengah dan kecil. Dengan adanya ACFTA, hal in
menjadi monster yang menyeramkan. Permasalahan ekonomi kerap kali muncul mengenai
berbagai pemenuhan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam dan meningkat.
Maka dari itu, dampak akan perekonomian Indonesia adanya perjanjian AFTA-China
harus lebih diperhatikan. Hal ini perlu adanya solusi, pemikiran dan sikap/
mental yang harus dipersiapkan dalam menghadapi persaingan global ini.
B.
Maksud
dan Tujuan
•
Tujuan diadakannya penyusunan makalah in adalah
guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia.
•
Maksud dari adanya penyusunan makalah ini adalah
sebagai berikut :
a)
menilai dampak positif dan negatif dari adanya
ACFTA
b)
mengetahui sejauh mana persiapan Indonesia dalam
menghadapi persaingan global.
c)
Menganalisis strategi persiapan Indonesia yang
dilakukan sebelum terlaksananya perjanjian ACFTA
C.
Metode Penelaahan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis
menggunakan metode pustaka, berbagai referensi dari artikel koran serta
pencarian situs website.
BAB II
PERSIAPAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI ACFTA
ACFTA
merupakan salah satu bentuk kerja sama liberalisasi ekonomi yang banyak
dilakuakn Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini. Awal januari 2010 muai
pemberlakuan mengenai Asean China Free Trade Agreement. Ini merupakan perang
mutu, harga, kuantitas akan suatu pelayanan barang dan jasa serta industri
pasar global China. Mengapa China? Seperti yang kita ketahui, harga barang
produksi China relatif murah dan diminati konsumen Indonesia. Hal in itidak
terlepas dari kualitas barang yang dihasilkan oleh China. Dengan adanya
fenomena ini, Indonesia perlu mempersiapkan tim yang diharapkan mampu memberi
kontribusi positif memperkuat daya saing global.
Pemerintah
bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Indonesia
(Apindo) membetuk tim bersama ASEAN-China Free Trade Agreement. Tim ini
berperan menampung keluhan terkait hambatan pengusaha menghadapi pelaksanaan
ACFTA yang dimulai awal Januari 2010. Tim yang dipimpin langsung oleh Menko
Perekonomian, Deputi Menko (Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan) Edi
Putra ini menyoroti kebijakan, potensi gangguan ekspor impor dan pemanfaatan
peluang.
Dengan
adanya tim ini dapat dipantau perbandingan seberapa besar kekuatan barang
kompetitor. Keluhan-keluhan dari para pengusaha bisa dipakai untuk
mengidentifikasi berbagai masalah yang perlu ditangani demi memperkuat daya
saing industri nasional di ajang kompetisi ACFTA. Namun, pada kenyataannya,
pembentukan tim tersebut kurang cukup membantu dalam menghadapi persaingan
global. Hal ini dikarenakan masih minimnya daya saing produk Indonesia yang
menjadi tombak perekonomian. Banyak
faktor yang menentukan tinggi rendahnya daya saing. Salah satunya adalah peran
dari strategi perdagangan dan industri. Tanpa strategi industri dan
perdagangan, suatu negara tidak mungkin membangun industri yang kompetitif dan
produktif.
Apabila
dilihat dari daya saing produk industri, indonesia masih minim dalam menghadapi
persaingan, sedikitnya ada 14 sektor usaha yang harus dirundingkan ulang
(renegoisasi) untuk penangguhan keikutsertaan dalam ACFTA selama 2-5 tahun
kedepan (Media Indonesia, edisi 19 Januari 2010). Maka dari itu, kalangan
industri harus melakukan pembenahan karena persaingna terbuka tidak bisa
dihindari.
BAB III
ABSENSINYA STRATEGI INDONESIA
Strategi
merupakan hal pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap kompetitor. Cara
menghadapi persaingan yang tepat dan efisien diperlukan guna memenangkan
persaingan bebas. Namun, pada kenyataannya Indonesia absen strategi
dibandingkan dengan China. Hal ini dapat kita lihat dari 4 aspek, yakni sebagai
berikut :
1)
sebagai
pusat industri di dunia, pemerintah China memilih untuk memprioritaskan
penyediaan listrik murah. Listrik merupakan faktor penting untuk menciptakan
daya saing dan menarik investasi. Karena itu dalam penyediaan listrik, China
memilih memanfaatkan batu bara yang melimpah. Sedangkan di Indonesia, rendahnya
daya tarik industri manufaktur, antara lain akibat kegagalan PLN menjaga
pasokan listrik dan tingkat harga. Tingginya biaya produksi terjadi karena PLN
tidak mendapat dukungan pasokan energi murah baik batu bara maupuan gas dari
pemerintah. Padahal Indonesia memiliki kekayaan energi alam yang tidak kalah
jika dibandingkan dengan China. Tetapi Indonesia lebih memilih menjadikan batu
bara dan gas sebagai komoditas ekspor, bukan modal untuk membangun Industri. Demikian
juga pada pengolahan timah, China tidak menjadikan komoditas ekspor yang
didasarkan pada visi dan strategi China untuk membangun struktur industri
elektronik yang deep dan kompetitif. Sedangkan Indonesia dibiarkan untuk diolah
negara lain.
2)
Dalam
kebijakan keuangan, kegigihan China untuk tetap menjga nilai tukar yang lemah
dilakukan sesuai strategi untuk menjaga daya saiang produk industri. Bahkan
pada saat krisis, China membantu negara lain lewat special credit facility
yakni memberikan kemudahan pembayaran bagi importir yang dilakukan untuk
menjaga permintaan produk China. Sedangkan kebijakan Indonesia untuk memilih
nilai tukar rupiah yang kuat juga telah menggeruk daya saing berbagai produk
ekspor. Tanpa strategi industri, pilihan kebijakan fiskal dan moneter akhirnya
memang tidak terarah dan akhirnya meguntungkan sektor keuangan daripada riil.
3)
Dalam
hal sumber daya energi, Indonesia hanya memiliki industri perakitan (hulu)
untuk produk elektronika dan produksi.
Namun, berbeda dengan China, dalam membangun industri elektronika yang
terintegrasi mulai dari pembangunan industri pendukung dengan mengolah bahan
baku.
BAB IV
DAMPAK ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN
INDONESIA
Dalam hal ini, terdapat dampak
positif dan negatif dari adanya ACFTA yang diberlakukan oleh Indonesia.
a)
Dampak
Negatif
Pertama: serbuan produk asing
terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang
diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses
deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan
Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari
28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan
penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar
yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM
(industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian
Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga
Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan
dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia,
9/1/2010).
Kedua: pasar dalam negeri yang
diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan
mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai
sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga
tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%.
Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat
Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi
perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan
bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni
dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau
setidaknya pedagang tekstil. Sederhananya, “Buat apa memproduksi tekstil bila
kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan tidak perlu repot-repot jika
diproduksi sendiri.”
Gejala inilah yang mulai
tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamu sangat senang dengan
membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganya murah dan dianggap
lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu lokal
terancam gulung tikar.
Ketiga: karakter perekomian
dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada
asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus diimpor. Jika
banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital
ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang
bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?
Keempat: jika di dalam negeri
saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki
kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data menunjukkan bahwa tren
pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya
24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai 35,09%.
Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah
ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti
ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang
sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.
Kelima: peranan produksi
terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan
terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin
menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta
orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di
Indonesia mencapai 8,96 juta orang.
b)
Dampak
Positif dari adanya ACFTA
Pertama: ACFTA akan membuat
peluang kita untuk menarik investasi. Hasil dari investasi tersebut dapat
diputar lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara yang tidak menjadi
peserta ACFTA
Kedua : dengan adanya ACFTA
dapat meningkatkan voume perdagangan. Hal ini di motivasi dengan adanya
persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir dapat
meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang
diproduksi
Ketiga : ACFTA akan
berpengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat. Namun
disamping itu faktor laba bersih, prosentase pay out ratio atas laba juga
menentukan besarnya dividen atas laba BUMN. Keoptimisan tersebut, karena dengan
adanya AC-FTA, BUMN akan dapat memanfaatkan barang modal yang lebih murah dan
dapat menjual produk ke Cina dengan tarif yang lebih rendah pula ( pemaparan
Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Kerja ACFTA dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR
RI, Rabu (20/1).
Porsi terbesar (91 persen)
penerimaan pemerintah atas laba BUMN saat ini berasal dari BUMN sektor
pertambangan, jasa keuangan dan perbankan dan telekomunikasi. BUMN tersebut
membutuhkan impor barang modal yang cukup signifikan dan dapat menjual sebagian
produknya ke pasar Cina.
BAB V
TESTIMONI ACFTA
Dengan adanya ACFTA terjadilah Pros dan cons
diantara para pelaku ekonom, maka dari itu terdapat beberapa testimoni mengenai
ACFTA yang berdampak bagi perekonomian Indonesia.
1)
Ketua
Komisi VI DPR F-Partai Golkar, Airlangga Hartarto :
“Kita minta kepada pemerintah
secepatnya membuat kebijakan yang tepat untuk menyambut ACFTA, karena kita paham
tak semua sektor riil itu siap menghadapi ACFTA, jadi memang ada beberapa yang
belum siap, bahkan tak siap,” katanya,.
2)
Jakarta,
19 Januari 2010 (Business News) :
”Dengan dibukanya perdagangan
ASEAN - China Free Trade Agreement (AC-AFTA) cukup mengerikan bagi Indonesia”,
ujar Benny A. Kusbini selaku Ketua Harian Dewan Hortikultura Indonesia, dalam
perbincangannya dengan Business News, Senin (19/1) mengatakan, sebab tanpa ada
FTA saja, produk China sudah banyak melanglang buana di Indonesia.
3)
Harga
menentukan kualitas begitu bukan pak Erias, “You Get What You Pay For”.
Barang2 China mungkin cocok
untuk masyarakat kita yang daya belinya rendah, sedangkan dengan harga dan
kualitas produk lokal yang tinggi bisakah kita “menggempur” pasar luar yang
memang memiliki selera tinggi? (Herdy FN, mahasiswa Trisakti)
4)
Uki
Masduki Mahasiswa STIE Ahmad Dahlan, Jakarta :
Dengan adanya kesepakatan
perdagangan bebas dengan negara-negara lain, Indonesia diharapkan dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Bukan karena dilatarbelakangi ketakutan
terhadap dampak trade diversion, yaitu ketakutan kehilangan potensi ekspor ke
negara tertentu. Dengan jumlah penduduk China yang besar dan tingkat tarif
relatif rendah, ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk memasuki pasar
Negeri Tirai Bambu itu.
BAB VI
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1)
ACFTA
merupakan ajang persaingan global dalam bidang produksi barang maupun jasa yang
diadakan sesuai dengan perjanjian Indonesia dan China pada awal januari 2010.
2)
Kalahnya
strategi persaingan bangsa Indonesia terhadap China mendominasi perekonomian
semakin terpuruk. Sikap pesimisme para produsen indonesia mewarnai perang
industri ini dan dijadikan estimasi Indonesia untuk kalah bersaing.
3)
ACFTA
dipandang terlalu agresif untuk melakukan liberalisasi ekonomi Indonesia yang
menjadikan keterpurukan Indonesia semakin dalam.
4)
ACFTA
menimbulkan dampak Positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia. Namun hal
ini tidak bisa dipungkiri dampak negatif dari adanya ACFTA mendominasi akan
keterpurukan perekonomian Indonesia yang menjadi Bom Bunuh Diri bagi industri
negara ini.
B.
Saran
1)
Pemerintah
sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan kesempatan industri
lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industri
manufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan
pelabuhan, serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan
peduli terhadap Market Domestic Obligation (MDO).
2)
UKM
(usaha kecil menengah) perlu ditingkatkan guna memajukan daya saing produk yang
semakin ketat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan keringanan
terhadap para wirausahawan dalam memperoleh kredit usaha.
3)
Pemerintah
harus tetap konsisten dengan kewajiban penggunaan bahan baku lokal untuk
berbagai sektor infrastruktur
DAFTAR PUSTAKA