-->

ads

makalah Sejarah Uang dalam Agama Islam

PENDAHULUAN
Lahirnya Islam sebagai sebuah peradaban dunia yang dibawa dan disebarkan Rasulullah Muhammad SAW telah memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap penggunaan emas sebagai mata uang (dinar) yang digunakan dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan. Pada masa Rasulullah, ditetapkan berat standar dinar diukur dengan 22 karat emas, atau setara dengan 4,25 gram (diameter 23 milimeter). Standar ini kemudian dibakukan oleh World Islamic Trading Organization (WITO), dan berlaku hingga sekarang.
 Saat ini, fakta menunjukkan bahwa ada ketidakseimbangan aktivitas perdagangan internasional, yang terjadi akibat tidak berimbangnya penguasaan mata uang dunia, dan ditandai semakin merajalelanya dolar AS. Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan kemunculan Euro sebagai mata uang bersama negara-negara Eropa. Fakta pun menunjukkan bahwa negara-negara Islam memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap kedua mata uang tersebut, terutama dolar AS. Bahkan, dalam transaksi perdagangan international saat ini, dolar AS menguasai hampir 70 persen sebagai alat transaksi dunia (AZM Zahid, 2003).
Dengan didirikannya World Trade Organization (WTO) pada 1 January 1995 sebagai implementasi dari pelaksanaan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan putaran Uruguay, maka liberalisasi perdagangan menjadi konsekuensi yang tidak dapat dielakkan. Tentu saja, semua negara harus siap terlibat dalam skenario global ini, termasuk negara berkembang yang notabene mayoritas Muslim. Pertanyaan besar yang kemudian harus dijawab adalah seberapa besar dampak dan keuntungan yang akan diraih negara-negara Islam dalam pasar internasional.
SEJARAH MATA UANG ISLAM
A.    Perkembangan Mata Uang Di Masa Rasulullah SAW
Pada masa pemerintahan nabi Muhammad SAW di Madinah, mata uang yang digunakan adalah dinar dan dirham yang didapatkan dari kerajaan Roma dan Persia melalui impor. Besarnya volume impor dinar dan dirham dan juga barang-barang komoditas lainya bergantung kepada volume komoditas yang diekspor ke kedua Negara tersebut dan ke wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaannya.
Rasulullah saw juga mengakui standar timbangan yang berlaku di kalangan kaum Quraisy dengan menggunakan ukuran berat dinar dan dirham. Standar berat satu dinar saat itu sama dengan satu mitsqal setara dengan 6000 habbah khardal (biji sawi). Pada saat ini satu mitsqal adalah 4,25 gram emas. Sedangkan standar berat satu dirham adalah 7/10 mitsqal atau 2, 975 gram.
Ketika Rasulullah saw masih hidup, beliau tetap membiarkan bentuk, gambar dan cap mata uang seperti yang dibuat negara asalnya. Hal itu terus berlanjut sampai pada masa pemerintahan setelahnya.
 B.     Perkembangan Mata Uang Pada Masa Khulafatur Rasyidin
Pada masa ini tidak ada perubahan yang kentara terhadap penggunaan mata uang yang ada, pada masa ini dirham Romawi dan dinar Persia masih digunakan sebagai mata uang utama dalam menjalani system perekonomiannya
Pada zaman khalifah umar dan utsman ra mata uang dicetak mengikuti gaya dirham Persia dengan modifikasi tulisannya. Sebelumnya, waktu awal pemerintahan khlaifah umar ra pernah timbul pemikiran mencetak uang dari kulit, namun rencana itu dibatalkan karena tidak disetujui para sahabat lainnya. Mata uang khilafah islam yang memiliki cirri khusus baru dicetak pada masa pemerintahan imam Ali ra namun peredarannya terbatas karena kondisi politik ketika itu.
C. Perkembangan Mata Uang Pasca Khulafatur Rasyidin
Mata uang dengan gaya Persia juga dicetak pada zaman muawiyyah dengan mencantumkan grafik dan pedang. Gubernur iraq pada waktu muawiyah, ziyad mengeluarkan dirham dengan mencantumkan nama khalifah. Ide pencantuman nama dan grafik dan nama kepala pemerintahan di mata uang ini masih dipertahankan sampai sekarang.
Mata uang yang beredar saat itu belum berbentu bulat seperti uang logam sekarang. Baru ada zaman ibnu Zubair dicetaklah mata uang yang berbentuk bulat, dengan peredarannya terbatas pada daerah Hijaz. Sementara itu, mus’ab (gubernur kuffah), mencetak uang dengan gaya Persia dan romawi. Pada tahun 72-74 H bishri bin Marwan mencetak uang yan disebut atawiyya. Sampai kini mata uang khilafah beredar bersama dinar romawi, dirham Persia dan sedikit himyarite yaman. Baru pada zaman abdul malik (76 H), pemerintah mendirikan percetakan uang yang tersebar di beberapa daerah antara lain di Dara’bard, Suq Ahwaz, Sus Jay, Manadar, Maysan, Ray dan Abarqubadh. Mata uang dicetak secara teroranisasi dengan control pemerintah.
Nilai uang ditentukan berdasarkan beratnya. Mata uang dinar –yang mengandung emas 22 karat- terdiri atas pecahan setengah dinar dan sepertiga dinar. Pecahan lebih kecil didapat dengan memotong mata uang. Imam ali ra misalnya, pernah membeli daging dengan memotong dua karat dari dinar. Berbeda dengan dinar, mata uang dirham terdiri atas beberapa pecahan Nash (20 dirham), nawa (5 dirham) dan sha’ira (1/60 dirham).
Nilai tukar dinar-dirham relative stabil dalam jangka waktu panjang dengan kurs 1 : 10. Pada saat itu, perbandingan emas-perak adalah 1:7, karena itu, satu dinar 20 karat setara dengan sepuluh dinar 14 karat. Abdul Malik kemudian malakukan reformasi moneter dengan mengubah nilai dirham menjadi 15 karat, sementara berat emas dikurangi dari 4,55 menjadi 4,25 gram. Pada zaman ibnu Faqih (289 H) nilai dinar menguat menjadi 1:17. Namun, kemudian stabil pada kurs 1 : 15
Setelah reformasi moneter abdul malik, ukuran nilai uang terinci sebagai berikut : satu dinar 4,25 gram, satu dirham 3,98 gram, satu uqiyya 40 dirham, satu mitsqol 22 karat, satu ritl (liter) 12 uqiyya setara 90 Mitsqal, satu qist 8 ritl setara setengah sa’ setara seperempat artaba, satu wasq 60 sa’, dan satu jarib 4 qafiz.
Tahun 1263-1328 M ibnu Taimiyah yang hidup pada zaman pemerintahan mamluk, mengalami situasi ketika beredar tiga jenis mata uang, yaitu dinar (emas), dirham (perak) dan fulus (tembaga) dengan niali kandungan logam mulia berbeda. Peredaran dinar sangat terbatas, dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang, sementara fulus beredar secara luas. Fenomena ini dirumuskan oleh ibnu Taimiyah sebagai ”uang dengan kualitas rendah (fulus) menedang ke luar uang berkualitas baik (dinar, dirham).
Banyaknya fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang dirham mengakibatkan system moneter pemerintah mamluk tidak stabil. Itulah sebabnya, system moneter modern kemudian menggunakan uang kertas (paper money), terutama setelah standar emas dihapuskan karena berulang-ulang mengalami krisis.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel