Makalah Masyarakat Madani dalam Pandangan Islam
Wednesday, September 28, 2016
I. MASYARAKAT
MADANI DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam
perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada
penciptaan peradaban. Kata al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama,
berkaitan dengan terma al-tamaddun atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam
pengertian al-madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan
demikian, masyarakat madani mengandung tiga hal, yakni:agama,
peradaban, dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin bahwa
agama merupakan sumbernya, peradaban sebagai prosesnya, dan masyarakat kota
adalah hasilnya.
Secara
etimologis, madinah adalah derivasi dari kosakata Arab yang
mempunyai dua pengertian. Pertama, madinah berarti
kota atau disebut dengan "masyarakat kota”. Kedua, “masyarakat
berperadaban” karena madinah adalah juga derivasi dari
kata tamaddun ataumadaniyah yang berarti “peradaban”, yang
dalam bahasa Inggris dikenal sebagai civility dancivilization. Kata
sifat dari kata madinah adalah madani (Sanaky, 2002:30).
Adapun
secara terminologis, masyarakat madani adalah komunitas Muslim pertama di kota
Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasul Allah SAW dan diikuti oleh
keempat al-Khulafa al-Rasyidun. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Nabi Muhammad SAW tersebut identik dengan civil
society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban
atau civility. Model masyarakat ini sering dijadikan model
masyarakat modern, sebagaimana yang diakui oleh seorang sosiolog Barat, Robert
N. Bellah, dalam bukunya The Beyond of Belief (1976).
Bellah, dalam laporan penelitiannya terhadap agama-agama besar di
dunia, mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin Rasul Allah SAW itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk
zaman dan tempatnya, karena masyarakat Islam kala itu telah melakukan lompatan
jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya
(Hatta, 2001:1).
Nabi
Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut, dengan cara: pertama,membangun
infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya.Kedua, menciptakan
kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda,
yaitu Quraisy dan Yatsrib, serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai
solidaritas keagamaan. Ketiga, membuat nota kesepakatan
untuk hidup berdampingan dengan komunitas lain, sebagai
sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam
Madinah. Keempat, merancang sistem negara melalui konsep jihad
fi sabilillah (berjuang di jalan Allah).
Dengan
dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh NabiMuhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan
solid. Peristiwa hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah.
Penduduk Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi
juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab lain.Nabi SAW menghadapi realitas pluralitas, karena dalam struktur
masyarakat Madinah yang baru dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam,
Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan Majusi—ditambah ada pula yang
tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak (polytheis). Struktur
masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman dan akidah yang nilainya
lebih tinggi dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan afiliasi-afiliasilainnya.
Selain
itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa kelompok yang
didasarkan atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar,
musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat
Madinah pada saat itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang majemuk
atau plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya
kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian mengakibatkan
munculnya persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus
diantisipasi dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi
sistem persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan.
Untuk
mengatasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur penduduk
madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang mengatur
kehidupan dan hubungan antarkomunitas, yang merupakan komponen masyarakat
majemuk di Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan dalam suatu
dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq al-Madinah)
dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Piagam ini
tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-satunya dokumen
penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum di dunia.
Dalam
dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain,
kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung
jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama. Dalam piagam
tersebut juga ditempatkan hak-hak individu, yaitu kebebasan memeluk agama,
persatuan dan kesatuan, persaudaraan (al-ukhuwwah) antaragama,
perdamaian, toleransi, keadilan (al-'adalah), tidak membeda-bedakan
(anti diskriminasi), dan menghargai kemajemukan.
Dengan
kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu mempersatukan mereka. Fakta ini
didasarkan pada: pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah
sebagai tempat untuk hidup dan bekerja bersama. Kedua, mereka
bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk mewujudkan kerukunan dan
kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga, mereka menerima Muhammad
SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam
kehidupan. Otoritas tersebut juga dilengkapi
dengan institusi peraturan yang disebut Piagam Madinah yang berlaku atas seluruh individu dan setiap kelompok.
Dalam
konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada dalam satu ikatan yang
disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari
berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial dan kemanusiaan
yang membuat mereka bersatu menjadiummah wahidah. Oleh karena itu,
perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam mencipatakan suasana
persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural.
Muhammad
Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-satunya
faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal
yang dapatmendukung terwujudnya
suatu umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya unsur kemanusiaan sangat dominan
dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Demikian
juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummah fi Hadharat al-Islam,
menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah merupakan
umat yang sekaligus bersifat
agama dan politik (Bahri, 2001).
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi Muhammad SAW di kota
Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu menghimpun semua komunitas atau
golongan penduduk Madinah, baik golongan yang menerima risalah tauhid beliau
maupun yang menolak.
Perbedaan
akidah atau agama di antara mereka tidak menjadi alasan untuk tidak
bersatu-padu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu,
gagasan dan praktik membentuk satu umat dari berbagai golongan dan unsur
sosial pada masa itu merupakan sesuatu yang baru, yang belum pernah dilakukan
oleh kelompok masyarakat manapun sehingga seorang penulis Barat, Thomas
W Arnold menganggapnya sebagai awal dari kehidupan berbangsa dalam Islam, atau
merupakan kesatuan politik dalam bentuk baru yang disatukan oleh Piagam Madinah
(Mitsaq al-Madinah).
Konstitusi
Piagam Madinah, yang berjumIah 47 pasal itu (Sukardja,
1995:47-57), secara formal mengatur hubungan sosial antarkomponen dalam
masyarakat. Pertama, antarsesama Muslim. Bahwa sesama Muslim itu satu umat walaupun mereka
berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas Muslim dengan
non-Muslim didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam
menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan
menghormati kebebasan beragama. Dari Piagam Madinah ini, setidaknya ada dua
nilai dasar yang tertuang sebagai dasar atau fundamental dalam mendirikan dan
membangun negara Madinah. Pertama, prinsip kesederajatan dan
keadilan (al-musawah wa al-’adalah). Kedua, inklusivisme atau keterbukaan.
Kedua prinsip ini, ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai humanis universal
lainnya, seperti konsistensi (iltizam), seimbang (tawazun),
moderat (tawassut), dan toleransi (tasamuh). Kesemuanya
menjadi landasan ideal sekaligus operasional dalam menjalin hubungan
sosial-kemasyarakatan yang mencakup semua aspek kehidupan, baik politik,
ekonomi maupun hukum.
Pada
masa awal Nabi SAW membangun Madinah, peran kelompok-kelompok masyarakat cukup
besar dalam pengambilan keputusan, sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah.
Tetapi seiring dengan semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah
masa Nabi kemudian berkembang menjadi “sistem teokrasi”. Negara, dalam hal ini
dimanifestasikan dalam figur Nabi SAW yang memiliki kekuasaan amat besar, baik
kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Segala sesuatu pada dasarnya
dikembalikan kepada Nabi SAW, dan ketaatan umat kepada Nabi SAW pun semakin
mutlak sehingga tidak ada kemandirian lembaga masyarakat berhadapan dengan
negara.
Meskipun
demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan kekuasaan besaryang cenderung despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW justru meletakkan nilai-nilai dan norma-norma
keadilan, persamaan, persaudaraan, dan
kemajemukan yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di
samping mendukung keterlibatan masyarakat (sahabat) dalam pengambilan keputusan
secara musyawarah.
Pada
masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi
melainkan “nomokrasi”, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk
supremasi syariat. Namun peran masyarakat menjadi lebih besar, di mana hal itu mengindikasikan mulaiterbangunnya masyarakat madani. Mereka melakukan kontrol
terhadap pemerintah, dan rekrutmen kepemimpinan pun yang didasarkan pada
kapasitas individual. Tetapi, setelah masaal-Khulafa’ al-Rasyidun, situasi mulai
berubah, peran masyarakat mengalami penyusutan, rekrutmen pimpinan tidak lagi
berdasarkan pilihan rakyat (umat), melainkan atas dasar keturunan. Lembaga
keulamaan merupakan satu-satunya lembaga masyarakat madani yang masih relatif independen.
Pada masa kekhilafahan, yakni dari masa al-Khulafa’ al-Rasyidunsampai
menjelang runtuhnya Dinasti Ustmani akhir abad ke-19, umat Islam telah memiliki struktur religio-politik (politik
berbasis agama) yang mapan, yakni lembaga legislatif dipegang
oleh ulama. Mereka memiliki kemandirian dalam berijtihad dan menetapkan hukum.
Dari
pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya masyarakat madani yang bernilai
peradaban itu dibangun setelah Nabi Muhammad SAW melakukan
reformasi dan transformasi pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan
akhlak. Dalam praktiknya, iman dan moralitaslah yang menjadi landasan
dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut menjadi
dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan
hukum pada masa Nabi SAW.
Posisi
Piagam Madinah adalah sebagai kontrak sosial antara Nabi Muhammad SAW
dengan penduduk Madinah yang terdiri dari pendatang Quraisy, kaum lokal Yastrib, dan
orang-orang yang menyatakan siap berjuang bersama mereka. Posisi Rasul SAW adalah sebagai pimpinan yang mereka akui bersama, dan
telah meletakkan Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Itulah
sebabnya penjanjian tersebut, dalam konteks teori politik, disebut
sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Di
dalamnya, terdapat pasal-pasal yang menjadi hukum dasar
sebuah negara kota yang kemudian disebut Madinah (al-Madinah
al-Munawarah atau Madinah al-Nabi). Nilai-nilai yang
tercermin dalam masyarakat Madinah saat itu pastilah nilai-nilai Islami yang
tertuang di dalam Piagam Madinah.
Kontrak
sosial yang dilakukan Nabi SAW itu dinilai identik dengan teori Social
Contract dari Thomas Hobbes, berupa
perjanjian masyarakat yang menyatakan sumber kekuasaan pemerintah adalah
perjanjian masyarakat. Pemerintah memiliki kekuasaan, karena
adanya perjanjian masyarakat untuk mengurus mereka. Teori Social
Contract J.J. Rousseau bahwa otoritas rakyat dan perjanjian politik
harus dilaksanakan untuk menentukan masa depan rakyat serta menghancurkan
monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa atas nama kepentingan
rakyat, juga identik dengan teori Nabi Muhammad SAW ketika membangun ekonomi
dengan membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah yang dibangun NabiSAW itu sebenarnya identik dengan civil society,
karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau peradaban.
Nabi SAW menjadikan masyarakat Madinah pada saat itu
sebagai classless society (masyarakat tanpa kelas), yakni
tidak membedakan antara sikaya dan si miskin, pimpinan dan bawahan—di mana seluruhnya sama dan sejajar di hadapanhukum.
Dari
uraian di atas, secara terminologis masyarakat madani yang berkembang dalamkonteks Indonesia setidaknya berada dalam dua pandangan,
yakni: masyarakat Madinah dan masyarakat sipil (civil
society). Keduanya tampak berbeda, tetapi sama.
Berbeda, karena memang secara historis keduanya mewakili
budaya yang berbeda, yakni masyarakat Madinah yang mewakili historis peradaban
Islam. Sedangkan masyarakat sipil adalah hasil dari peradaban Barat, seperti
telah dipaparkan di atas. Perbedaan lainnya, masyarakat Madinah menjadi tipe
ideal yang sangat sempurna, karena komunitas masyarakat dipimpin langsung oleh
Nabi Muhammad SAW.
Apabila
masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat peran masyarakat sipil, maka
masyarakat madani hanya bertahan di era empat al-Khulafa’ al-Rasyidun. Setelah itu,masyarakat
Islam kembali kepada masa monarki, di mana penguasaan negara (state power)
kembali menjadi besar, dan peran masyarakat (society participation)
menjadi kecil. Oleh sebab itu, ketiga prinsip yang dikemukakan di atas, dapat
dikatakan sebagai elemen penting terbentuknya “masyarakat madani”, yaitu
masyarakat yang memegang teguh ideologi yang benar, berakhlak mulia, bersifat
mandiri secara kultural-politik-ekonomi, memiliki pemerintahan sipil, memiliki
prinsip kesederajatan dan keadilan, serta prinsip keterbukaan.
Timbul
pertanyaan, nilai substansial seperti apakah yang dapat mewakili kecenderungan
masyarakat Madinah? Apabila dikaji secara umum, setidaknya nilai subtansial
dari semangat Islam dalam pemberdayaan masyarakat mencakup tiga pilar utama,
yakni: musyawarah (syura), keadilan (‘adl), dan
persaudaraan (ukhuwwah). Sedangkan masyarakat sipil (civil society)
bermula dari semangat dan pergumulan pemikiran masyarakat Barat untuk
mengurangi peranan negara (state) dalam kehidupan masyarakat.
Seperti
diketahui bahwa pada abad pertengahan masyarakat Barat dikuasai oleh dua
kekuatan yang sangat dominan, yakni gereja dan kerajaan-kerajaan. Sehingga para sejarahwan
Barat menyebutnya sebagai Abad Kegelapan
(the Dark Ages). Selanjutnya, muncul
gerakan perlawanan dari para ilmuwan yang menghadirkan gerakan sekularisme dan
humanisme, di mana mereka menyatakan lepas dari keyakinan gereja, dan
manusia dianggap sebagai pusat segalanya (antrophosentris).
Dengan
demikian, ada konsep baru yang ditawarkan Nabi SAW bahwa negara itu melampaui batas-batas wilayah
geografis. Negara itu lebih cocok dengan nilai-nilai dasar
kemanusiaan (basic values of humanity), sebab yang menjadi dasar
utama kewarganegaraannya bukan nasionalisme, suku, ras atau pertalian darah.
Tetapi manusia dapat memilih konsep hidup tertentu atau akidah tertentu. Manusia secara bebas dan merdeka menentukan pilihan
akidahnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak
mana pun dan oleh siapa pun. Negara baru yang dibangun Nabi SAW adalah negara ideologi yang didasarkan pada asas
kemanusiaan yang terbuka, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah:256.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari
jalan yang sesat.”
Dengan
demikian, konsep negara yang ditawarkan Nabi SAW benar-benar baru dan orisinil, karena negara
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Di
dalam Q.S. al-Saba’:15, Allah SWT mengilustrasikan profil
masyarakat ideal sebagai berikut:
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
"Sebuah
negeri yang aman sentosa dan masyarakatnya terampuni dosanya."
PENUTUP
Banyak faktor
yang turut menentukan dalam pemberdayaan masyarakat madani, gambaran
masyarakat berdaya yang diidamkan sangat menentukan dalam perencanaan
strategis dan operasionalnya. Oleh sebab itu, seluruh sektor
masyarakat terutama gerakan, kelompok, dan individu-individu
independen yang concered dan committed padademokratisasi dan masyarakat madani seyogyanya
mengambil strategi yang lebih stabil, lebih halus, bukan mengambil jalan
konfrontasi langsung yang tidak mustahil akan mengorbankan aktor-aktor
masyarakat madani
itu sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Din Syamsuddin. 1999. Etika Agama dalam membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hatta, Ahmad. 2001. Peradaban
yang Bagaimana? Rincian Misi Negara Tauhid Madinah. http: //
rully-indrawan.tripod.com pada tanggal 14 Februari 2012.
Rahardjo,M.
Dawam. 1996. Masyarakat Madani:
Agama , Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES. 1999. cet. ke.1.
Sanaky, Hujair A.H. 2002. Paradigma
Pendidikan Islam : Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta:
Safiria Insani Press.
Kholidah, Nur, dkk. 2011. Aktualisasi
Pendidikan Islam. Respons Terhadap Problematika Kontemporer. Malang:
Hilal Pustaka.
Yusuf, Y.1998. Azas-azas
Teologi dan filosofis Masyarakat Madani, Makalah Seminar Pembanguan Akhlak
Bangsa dalam Reformasi Menuju Masyarakat Madani.Padang: 28-29 November 1998.