MAKALAH LENGKAP TENTANG QIYAS
Tuesday, September 13, 2016
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah yang
telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan.
Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan
baik.
Makalah ini di susun oleh
penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun
maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang
Qiyas yang sengaja penulis pilih karena menarik perhatian penulis untuk
dicermati dan perlu mendapat dukungan dari semua pihak.
Penyusun juga mengucapkan
terima kasih kepada guru / dosen pembimbing yang telah banyak membantu penyusun
agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat
memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini
memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.
Terima kasih.
wssalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh
PEMBAHASAN
BAB
II
PENDAHULUAN
Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat
bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan
hukum dalam ajaran Islam
Telah
terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi
tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan
hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian
atau peristiwa itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan
apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena
itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas,
ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash
yang dimaksud barulah dilakukan qiyas.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian qiyas
Qiyas
menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti
menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama,
bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti
mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain.
Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari
persamaan-persamaannya.
Menurut
para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa
yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian
atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena
ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
2.
Dasar hukum qiyas
Sebagian
besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa
qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum
dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan
qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum,
ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka
itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak
diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Mengenai
dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
a.
Al-Qur'an
1)
Allah SWT berfirman:
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil
amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik
akibatnya." (n-Nisâ': 59)
Dari
ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum
muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits.
Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil
amri.
Jika
tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya
kepada al-Qur'an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau
memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam
hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.
Artinya:
"Dialah
yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada
pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan
merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka
dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan)
dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam
hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka
sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat
(dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam."
(al-Hasyr: 2)
Pada
ayat di atas terdapat perkataan fa'tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil
dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam).
Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan
kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada
orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan
orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari
penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu
hukum syara' dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
b.
Al-Hadits.
1.
Setelah Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau
bertanya kepadanya:
Artinya:
"Bagaimana
(cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu?
Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak
memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah
Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz
menjawab :
Aku
akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh.
(Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi
Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia
berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu
Daud dan at-Tirmidzi)
Dari
hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan
al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat
dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan
qiyas.
2.
Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang
dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
Artinya:
"Sesungguhnya
seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata:
sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak
sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan
hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah
kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya.
Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk
dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)
Pada
hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada
manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia
dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya
untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan
mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan
berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada
Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada
manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar.
Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.
c.
Perbuatan sahabat
Para
sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa
yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut
para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding
sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau
sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu
Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu
Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah
Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang
memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil
keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:
Artinya:
"kemudian
pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang
tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam
keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya,
kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan
yang paling sesuai dengan kebenaran..."
d.
Akal
Tujuan
Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap
peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak
diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash
yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan
'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum
dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum
yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan 'illatnya diduga keras
akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum
dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.
5.
Rukun qiyas
Ada
empat rukun giyas, yaitu:
1. Ashal,
yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau
musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
2. Fara'
yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga
maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang
dibandingkan);
3. Hukum
ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu
pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
4. 'IIIat,
yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'.
Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar
untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.
Sebagai
contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu
ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya.
Peristiwa ini disebut fara'. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa
yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama
dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang
disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash
yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)." (an-Nisâ': 10)
Persamaan
'illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau
habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak
yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ashal,
ialah memakan harta anak yatim.
2. Fara',
ialah menjual harta anak yatim.
3. Hukum
ashal, ialah haram.
4. 'Illat,
ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
6.
Syarat-syarat qiyas
Telah
diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat
sebagai berikut:
a.
Ashal dan fara'
Telah
diterangkan bahwa ashal dan fara' berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama
mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua
tidak mempunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya.
b.
Hukum ashal
Ada
beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
1. Hukum ashal itu hendaklah hukum syara'
yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan
karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara', sedang sandaran hukum
syara' itu adalah nash.Hukum ashal macam ini ada dua macam, yaitu:
'Illat hukum itu hanya ada pada hukum
ashal saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar
shalat bagi orang musafir. 'IlIat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk
menghilangkan kesukaran atau kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur'an dan
al-Hadits menerangkan bahwa 'illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan).
Dalil (al-Qur'an dan al-Hadits)
menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku khusus tidak berlaku pada kejadian
atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan
bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan
laki-laki lain walaupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
c.
'Illat
'Illat
ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum
ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu
sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar
untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
Dengan
demikian dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum dari 'illat, dengan
perkataan lain bahwa semua 'illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua
sebab dapat dikatakan 'illat.
1.
Syarat-syarat 'illat
Ada
empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
1. Sifat 'illat itu hendaknya nyata, masih
terjangkau oleh akal dan pancaindera.
2. Sifat 'illat itu hendaklah pasti,
tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', karena
asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'.
3. 'Illat harus berupa sifat yang sesuai
dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat
itu sesuai dengan hikmah hukumnya.
4. 'Illat itu tidak hanya terdapat pada
ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada
masalah-masalah lain selain dari ashal itu.
2.
Pembagian 'Illat
Ditinjau
dari segi ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau
tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a.
Munasib mu'tsir
Yaitu
persesuaian yang diungkapkan oleh syara' dengan sempurna, atau dengan perkataan
lain bahwa pencipta hukum (syari') telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat
itu, seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"Mereka
bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid." (al-Baqarah:
222)
Pada
ayat di atas Allah SWT (sebagai syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram
mencampuri isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah
kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai
'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri
yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.
b.
Munasib mulaim
Yaitu
persesuaian yang diungkapkan syara' pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah
persesuaian itu tidak diungkapkan syara' sebagai 'illat hukum pada masalah yang
sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai 'illat hukum dan disebut dalam nash
pada masalah yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi.
c.
Munasib mursal
Ialah
munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara'. Munasib
mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas
dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa
syara' membolehkan atau tidak membolehkannya.
d.
Munasib mulghaa
Yaitu
munasib yang tidak diungkapkan oleh syara' sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang
menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan.
3.
Musâlikul 'illat (cara mencari 'illat)
Musâlikul
'illat, ialah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat
dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum.
Diantara
cara tersebut, ialah:
a.
Nash yang menunjukkannya
Dalam
hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan 'illat
hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. 'Illat yang demikian disebut 'illat
manshuh 'alaih. Melakukan qiyas berdasarkan 'illat yang disebutkan oleh nash
pada hakikatnya adalah menetapkan hukum suatu dasar nash.
Petunjuk
nash tentang sifat suatu kejadian atau peristiwa yang merupakan 'illat itu ada
dua macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima' atau isyarah (dengan isyarat).
1.
Dalalah sharahah
Ialah
penunjuk lafadh yang terdapat dalam nash kepada 'illat hukum jeIas sekali. Atau
dengan perkataan lain bahwa lafadh nash itu sendiri menunjukkan 'illat hukum
dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat daIam nash: supaya demikian atau
sebab demikian dan sebagainya. Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama
dalalah sharahah yang qath'i dan kedua ialah dalalah sharahah yang dhanni.
Daialah
sharahah yang qath'i, ialah apabila penunjukan kepada 'illat hukum itu pasti
dan yakin, seperti firman AlIah SWT:
Artinya:
"(Mereka
Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
rasul-rasul itu..." (an-Nisâ': 165)
Ayat
ini menyatakan bahwa 'illat diutus para rasul yang membawa kabar gembira dan
memberi peringatan itu ialah agar manusia tidak mencari-cari alasan dengan
mengatakan bahwa mereka belum pernah mendapat peringatan dari rasul yang diutus
kepada mereka. Perkataan li-allâ yakûna dan ba'darrasûl merupakan 'illat hukum
yang pasti, tidak mungkin dialihkan kepada yang lain.
Dengan
sabda Nabi Muhhammad SAW:
Artinya:
"Aku melarang kamu menyimpan daging binatang kurban tidak lain hanyalah
karena banyak orang berkumpul (memerlukan). Dan (jika tidak banyak orang
memerlukan) makan, simpanlah." (HR. an-Nasâ'i)
Pada
hadits di atas diterangkan 'illat Rasulullah SAW melarang kaum muslimin
menyimpan daging kurban, yaitu karena banyak orang yang memerlukannya. 'Illat
larangan menyimpan daging kurban itu tidak dapat ditetapkan orang lain, selain
dari li ajliddâfah (karena banyak orang memerlukannya).
Daialah
sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash kepada 'illat hukum itu
adalah berdasar dengan keras (dhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada
'illat hukum yang lain. Seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"Dirikanlah
shalat karena matahari tergelincir sampai gelap malam." (al-Isrâ'; 78)
Dan
firman Allah SWT:
Artinya:
"Maka
disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka"
(an-Nisâ': 160)
Pada
ayat pertama terdapat huruf al-lâm pada perkataan liduluki dan huruf al-bâ'
pada perkataan fabidhulmi. Al-lâm berarti karena dan dapat pula berarti
sesudah, sedang al-bâ' berarti disebabkan dan dapat pula berarti dengan Kedua
arti tersebut dapat digunakan, akan tetapi menurut dugaan yang keras bahwa jika
kedua huruf itu diartikan dengan karena dan disebabkan maka akan memperjelas
arti ayat tersebut.
2.
Dalalah ima' (isharah)
Ialah
petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain
ialah ada suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan
'illat ditetapkannya suatu hukum Jika penyertaan sifat itu tidak dapat
dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu. Ada beberapa
macam dalalah ima', diantaranya ialah:
a.
Mengerjakan suatu pekerjaan karena terjadi suatu peristiwa sebelumnya. Seperti
Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah
satu dari rukun shalat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang memerdekakan
budak, karena ia telah bercampur dengan isterinya pada siang hari bulan
Ramadlan.
b.
Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah) dengan hukum.
Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai 'illat tentulah tidak perlu
disebutkan. Contohnya, adalah Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya:
"Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang
berperkara) dalam keadaan ia sedang marah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari
hadits di atas dipahamkan bahwa sifat marah disebut bersamaan dengan larangan
memberi keputusan antara dua orang berperkara yang merupakan 'illat dari
larangan mengadili perselisihan itu.
c.
Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula,
seperti sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
"Barisan
berjalan kaki mendapat satu bagian, sedang barisan berkuda mendapat dua
bagian." (HR. Bukhari dan Muslim)
Barisan
berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi 'illat perbedaan pembagian harta
rampasan perang.