MAKALAH HUKUM NIKAH MUT'AH
Sunday, September 4, 2016
B.
Syarat Mut’ah
Ketika Islam belum turun, nikah
mut’ah ternyata sudah membudaya di masyarakat. Pada saat itu syariat Islam
belum melarangnya. Hikmahnya ialah supaya aqidah Islam meresap dahulu, baru
setelah pemahaman aqidah meresap larangan mut’ah diberlakukan.
Seluruh kaun muslimin sepakat bahwa
Islam telah menghalalkan pernikahan mut’ah selama beberapa hari pada peristiwa
penaklukan kota Makkah yaitu selama tiga hari saja (Nabi yang Agung dan selalu
menjaga kemaluan menghalalkan pernikahan mut’ah kepada para sahabatnya untuk
bermut’ah), yang terjadi pada tahun ke-5 H. Sesuai sabda Rasul :
عَنْ سَلَمَةَ
بْنِ اْلاَكْوَعٍ رَضِيَ اللهُ قَـالَ : رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. مَـامَ
اَوْطَاسٍ فِىالْمُتْعَةِ ثَلاَثَةَ أَيَّـامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا (رواه مسلم)
“Dari Salamah bin al-Akwa, r.a,
ia berkata: Pernah Rasulullah S.a.w membolehkan perkawinan mut’ah pada hari
(peperangan) authas selama tiga hari, kemudian sesudah itu Ia larang”. (H.R.
Muslim)
عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ كَعْبٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَـالَ : إِنَّـمَاكَانَتِ الْمُتْعَةُ
فِىاَوَّلِ اْلاِسْلاَمِ كَانَ الرَّجُلُ يَقْدُمُ الْبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا
مَعْرِفَةٌ فَيَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى أَنَّهُ يُقِيْمُ
فَنَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ وَتُصْلِحُ لَهُ سَاءْ نَهُ (رواه الترمذى)
“Dari Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu
Abbas, ia berkata : Adakah kawin mut’ah pada awal Islam, ialah seorang
laki-laki masuk ke satu negeri yang tidak ada baginya di jalin kenalan, lalu ia
kawin kepada seorang wanita sekedar masa yang ia rasa, bahwa ia akan tinggal di
sana, maka wanita itu pelihara barang-barangnya dan mengurus keperluannya”.
(H.R. Tirmidzi)
Melihat dari sejarah di atas, maka
Golongan syi’ah mengartikan dan menyimpulkan bahwa nikah mut’ah itu boleh di
lakukan bagi umat Islam, sesuai apa yang telah diperbolehkan tanpa memahami
setelah itu Rasul melarangnya. Di sini akan dibahas sedikit di kalangan Syi’ah
tentang nikah mut’ah.
Nikah Mut’ah Halal di Kalangan
Syi’ah
Menurut syi’ah, mut’ah tidak boleh
di lakukan kembali oleh orang yang mengetahui dengan benar. Maksudnya percaya
dengan riwayat-riwayat bohong yang mengatas-namakan ucapan ahli bait dan yang
mengetahui kebebasan seks. Jika ia percaya pada hal itu, halal baginya nikah
mut’ah. Sementara terhadap orang yang tidak mengetahuinya haram.
Nikah mut’ah yang berlaku di
kalangan syi’ah ialah dengan batas waktu yang jelas dan dengan imbalan upah
yang jelas pula. Ketentuan ini secara otomatis batal setelah masa yang telah
ditentukan itu berakhir. Adapun mengenai sighad (akad) nikah mut’ah
adalah seperti yang diriwayatkan dari Abban bin Thaghlib, ia berkata : Aku
bertanya kepada Abu Abdullah : “Apa yang akan aku katakan kepada perempuan bila
aku bersunyi-sunyian dengannya? Ia menjawab : kamu mengatakan : Aku menikahimu
secara mut’ah atas dasar Kitabullah dan sunnah Nabi, tidak waris-mewarisi,
selama sekian hari dan jika kamu menghendaki, untuk sekian tahun, dengan
imbalan sekian dirham. Kamu sebutkan imbalannya menurut yang telah disepakati,
sedikit atau banyak. Jika ia mengatakan ya, berarti dia rela dan ia telah
menjadi istrimu.
C.
Hukum Nikah Mut’ah
Menurut sumber jelas sekali, hukum
nikah mut’ah itu haram, lain lagi dengan faham syi’ah. Mereka membolehkan nikah
mut’ah sebagaimana pendapat umum mengetahuinya. Tentu saja mereka beralasan
pula, bahkan menggunakan ayat dan hadits sebagai alasannya.
Pembenaran pemahaman mut’ah
didasarkan atas tafsir keliru, yaitu penggunaan ke-24 dari surat an-Nisa’, yang
artinya : “Kalau kamu melakukan nikah mut’ah, maka bayarlah mahar mereka
sebagai suatu kewajiban”. Ayat ini sengaja dipenggal supaya maknanya tidak
sama dengan tafsiran jumhur ulama Sunni. Padahal ayat ini sama sekali tidak ada
kaitannya dengan nikah mut’ah, akan tetapi membicarakan soal mahar bagi istri
yang sah di nikahi.
Imam al-Qurthubi, seorang ulama
Sunni menulis dalam tafsirnya bahwa Q.S. an-Nisa’ : 24, dipahami oleh mayoritas
ulama sebagai izin melakukan nikah mut’ah, tetapi itu pada awal masa Islam dan
izin tersebut telah di cabut atau dibatalkan. Memang sekian banyak hadits sahih
yang membuktikan bahwa nikah mut’ah pernah di lakukan oleh para sahabat Nabi
dan beliau tidak melarangnya, namun kemudian dibatalkan.
Hukum Nikah Mut’ah yang terdapat dalam
Nas al-Qur’an
1) Q.S.
al-Baqarah [2] : 241
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ
مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (البقراة : 241)
“Kepada wanita-wanita yang
diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah*ª
menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.”
(Q.S. al-Baqarah : 24).
2) Q.S. an-Nisa’ [4] : 24
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا مَلَـكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ
وَأُحِلَّ لَـكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلـِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِـكُمْ
مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ
فَآتُـوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
(النـساء : 24)
“Dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki*b
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian*c
(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk
berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;
dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.*d
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(Q.S. an-Nisa : 24)
3) Q.S. al-Mu’minun [23] : 5-6
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5)إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
5.
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6.
Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Dalam surat al-Mu’minun : 5-6, tidak
disebut mut’ah, sehingga dengan demikian ayat ini melarangnya atau dengan kata
lain nikah mut’ah tidak menjadi sebagai salah satu cara yang dibenarkan untuk
menyalurkan nafsu seksual.
Hadits Nabi tentang Nikah Mut’ah
1) H.R
Hasan, Thabrani
عَنْ سَهْلِ
بْنِ سَعْرٍ السَّـاعِدِى قَالَ : إِنَّمَـا رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فيِ
الْمُتْعَةِ لِحَاجَةٍ كَانَتْ بِالـنَّاسِ شَرِيْرَةٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَابَعْرُ
(رواه حسن الطبرا نى)
“Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi,
ia berkata : “tidak lain Nabi memberi kelonggaran tentang mut’ah itu melainkan
karena satu keperluan yang sangat mengenai orang-orang, lalu sesudah itu Nabi
larang”. (H.R. Hasan, Thabrani)
2) H.R Thabrani
عَنِ
الْحَارِثِ بْنِ غَزِيَّةَ قَـالَ : سَمِعْتُ النَّبِيُّ ص.م. يَـوْمَ فَتْحُ
مَكَّةَ يَقُوْلُ مُتْعَـةُ النـِّسَاءِ حَرَامٌ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ (رواه الطبرانى)
“Dari Harits bin Ghaziyah, ia
berkata : Aku dengar Nabi S.a.w berkata pada hari menaklukkan Makkah, kawin
mut’ah dengan wanita haram (Beliau berkata begitu) tiga kali” (H.R.
Thabrani)
3) H.R Ahmad dan Muslim
عَنْ سُبْرَةَ
الْجُهَنِيِّ أَنَّـهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ ص.م. فقال: يَـاآيُّـهَاالنَّـاسُ
اِنِّى كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ فِىاْلإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ إِنَّ
اللهَ قَدْ حَرَمَ ذَلِكَ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ
مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ وَلاَ تَـاءْ خُرُوْ مِمَّااَتَيْتُمُوْ
هُنَّ شَيْئًا (رواه احمد ومسلم)
“Dari Saburah al-Juhani bahwa ia
pernah berpegang bersama Rasulullah S.a.w dalam menaklukkan Mekkah, Rasulullah
kemudian bersabda : Saudara-saudara sekalian! Sesungguhnya Aku dahulu
mengizinkan kalian melakukan nikah mut’ah. Ingatlah! Sesungguhnya (mulai hari
ini) Allah telah melarangnya hingga hari kiamat nanti, lantaran itu barang
siapa yang ada padanya wanita nikah mut’ah, hendaklah ceraikan dia dan
janganlah kamu ambil satu pun dari apa-apa yang kamu telah berikan kepada
mereka.” (H.R. Ahmad dan Muslim)
Pendapat para ulama tentang Nikah
Mut’ah
1) Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah
Dalam kitabnya Manhaj as-Sunnah
an-Nabawiyah, menyatakan tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang membolehkan
pernikahan mut’ah. Kaum Sunni tidak saja mengikuti pendapat Umar bin Khattab,
tapi juga seluruh Khulafaur Rasyidin termasuk sahabat Ali r.a yang oleh
kalangan syi’ah dimuluskan (tidak sepengetahuan sahabat Ali r.a itu sendiri).
Anehnya, kaum Syi’ah justru membolehkannya, padahal Ali r.a melarangnya, tidak
menyetujui.
2) Ulama
Sunni
Ulama Sunni menilai walaupun
terdapat perbedaan tentang masalah dibatalkannya, namun yang jelas bahwa keseluruhan
riwayat tersebut sepakat menyatakan dilarangnya nikah mut’ah, dengan demikian
tidak perlu dipersoalkan lagi tentang waktu pelarangannya, yang penting adalah
larangannya.
III.
ANALISIS
Dari pembahasan tentang nikah mut’ah
ini, pemakalah dapat mengambil sebuah kesimpulan, pada awalnya Rasulullah S.a.w
memang memperbolehkan nikah mut’ah, demi kebaikan umat Islam itu sendiri. Akan
tetapi setelah itu Rasul melarang keras nikah tersebut, karena di pandang tidak
sesuai dengan tuntunan Islam itu sendiri yang mana bahwa Islam adalah “Rahmatan
lil alamin”
Dengan diharamkannya nikah mut’ah,
ketika direnungi ternyata banyak sekali hikmah yang terkandung di dalamnya,
antara lain :
a.
Menjauhkan muslimin dari tujuan perkawinan yang rendah, yang mana perkawinan
dalam Islam diletakkan dalam kedudukan yang suci, mulia dan agung
b. Menghindarkan
kaum mukminah dari perbuatan rendah menjual diri hanya untuk kepentingan
syahwat
c.
Membebaskan dari tujuan buruk menelantarkan keturunan (anak-anak) yang mungkin
lahir dari nikah mut’ah
d. Menjauhkan
pandangan merendahkan syariat nikah, karena dengan nikah mut’ah sebuah
perkawinan tidak punya arti. Wanita dalam hinaan dan derajat yang sangat
rendah.
Menanggapi tentang masalah
perzinaan, pemakalah menyimpulkan walaupun ulama bermadzhab Sunni menegaskan
keharaman nikah mut’ah, kita tidak bisa mempersamakannya secara sempurna. Bahwa
zina secara pasti dan tegas diharamkan dalam al-Qur’an, yang mana kalau
mendekati saja tidak boleh apalagi melakukannya. Ketika terbukti ada yang
melakukan perzinaan dan di saksikan oleh empat orang atau mengakui sendiri
tentang perbuatannya, dapat dijatuhi hukuman dera atau rajam. Ini telah
disepakati oleh seluruh umat Islam, sedangkan mut’ah ada yang membolehkannya.
Oleh karena itu, dapat kami
simpulkan bahwa nikah mut’ah tidak dapat di terima dalam keadaan apapun, oleh
siapapun dan haram hukumnya.
HALAMAN SELANJUTNYA SILAHKAN KLIK HALAMAN 1 HALAMAN 2 DAFTAR PUSTAKA