MAKALAH HUKUM NIKAH MUT'AH DALAM ISLAM
Sunday, September 4, 2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum . . .
Puji syukur kami ucapkan atas
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemampuan berfikir, kejernihan akal,
ketangkasan menganalisa yang di anugrahkan kepada setiap manusia sehingga kami
bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “ NIKAH MUT’AH ”. Kami berharap
makalah ini bisa menjadi sumber referensi bagi para pembaca terkait hal Hak dan
Kewajiban Suami Istri. Isi makalah kami dapatkan dari berbagai sumber seperti
e-book dan internet yang tentunya acuan tetap pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Kritik dan saran selalu
kami terima untuk berbagai perbaikan demi makalah-makalah yang lebih baik dan
agar makalah ini tidak menyampaikan yang salah. Kami mohon maaf atas segala
kesalahan dan kekuranagan. Wassalam.
PEMBAHASAN
Dalam literatur yang ada ternyata
nikah mut’ah di kenal dikalangan syi’ah, selain faham syi’ah tidak membenarkan
berlakunya nikah mut’ah setelah ditanya larangan dari Nabi Saw, dalam hadits
shahihnya.
A. Pengertian
Nikah Mutah
Menurut philology bahasa
dikatakan, bahwa ini bertema dengan rumpun kata kawan, yang berarti teman,
sahabat, sehingga kawin mengandung arti yang sama. Perbedaannya hanya kawin
dengan “A” dan pada kawin dengan “I”. ini memberi arti yang sedikit berbeda dan
membawa arti yang lebih mendalam. Dalam Islam, sebenarnya kawin hendaklah
mengetahui calon pasangannya sekalipun tanpa persahabatan. Dan harus
berdasarkan suka sama suka tidak ada paksaan dari siapapun. Tidak pula boleh di sebabkan oleh sesuatu
problema sebelumnya yang menjadikan perkawinan itu terpaksa di lakukan.
Perkawinan Islam bukan
semata hubungan jasmani untuk kemaslahatan hawa nafsu dan bersifat sementara di
waktu diperlukan belaka. Selain itu bahwa perkawinan adalah melestarikan hidup
duniawi dengan melahirkan keturunan yang menyusul untuk menjayakan bumi Allah.
Perkawinan dalam Islam
dinamakan “Zawaj” atau “Nikah”, artinya pasangan dalam arti dua mahkluk di
jadikan pasangan hidup. Ada juga yang mengartikan bahwa nikah adalah akad yang
mengikat dengan rukun-rukun dan syarat-syarat yang menghalalkan dua jenis
manusia untuk hidup secara halal dalam hubungan yang sah secara mendalam dimana
mendapat persetubuhan yang menjaga hawa nafsu, mata dan fikiran dari sikap yang
menjerumuskan dan membahayakan.
Yang dimaksud nikah
mut’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu
tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian
atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka
berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.
Bentuk pernikahan ini,
seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi.
Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu.
Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat
puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah
disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah
kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh
bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal),
dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.
Jadi, rukun nikah mut’ah -menurut
Syiah Imamiah- ada empat :
1.
Shighat,
seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
2.
Calon
istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3.
Mahar,
dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4.
Jangka
waktu tertentu